"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."
Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"
Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh.
"Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.
Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.
Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby.
"Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu.
"Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.
LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"
Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."
Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina. "Dia memang sangat miskin tapi kalian salah besar kalau menilainya sebagai seorang pengemis."
Satpam yang memiliki kumis tebal itu melongo kaget. "Bukan pengemis? Apa Anda yakin, Pak? Apakah Anda mengenalnya?"
Teman dari si kumis tebal menyikut lengannya dengan cepat. "Apa maksudmu? Tuan Muda Gray tidak mungkin mengenal orang ini. Orang ini-"
"Aku mengenalnya." Tobias menjawab cepat.
Jack seketika menatap Tobias dengan raut penuh tanda tanya.
"Lepaskan dia!" Tobias memerintah.
Si kumis tebal yang masih menahan lengan Jack itu pun melepaskannya dengan agak bingung.
"Untuk apa kau melakukannya?" Jack bertanya begitu dia sudah bisa berdiri tanpa tangan dipegang.
Lily mendengus, "Apa kau tak bisa mengucapkan terima kasih saja, Jack? Haruskah kau mempertanyakan kebaikan hari Jack?"
Kebaikan hati?
Jack tentu saja tak mempercayainya.
Tobias Gray berdeham kecil. "Aku tidak peduli kau mau berterima kasih padaku atau tidak. Tapi, yang pasti saat ini kau sedang berada di mall milik keluargaku, sudah sepantasnya aku memperlakukan semua tamu di sini dengan baik."
Mendengar penjelasan itu, Jack langsung saja melihat sekelilingnya. Di sana ada beberapa orang pengunjung yang bahkan sedang mengabadikan momen itu.
Jack pun mulai mendengar beberapa orang yang sedang berbicara mengenai kejadian itu.
"Wah, Tuan Muda Gray sangat karismatik sekali. Tidak hanya tampan tapi juga sangat berkelas."
"Tentu saja. Kau lihat bagaimana dia membela anak muda itu tadi? Sangat heroik."
Seseorang mengangguk setuju, "Padahal anak muda itu berpenampilan menyedihkan tapi Tuan Muda Gray tidak malu mengakui jika dia mengenalnya. Luar biasa."
"Sungguh calon pewaris Gray Mall yang terhebat. Tidak akan ada yang bisa menandinginya."
"Ah, aku paham sekarang. Kau sedang menjaga citramu ya." Jack berkata dengan nada yang begitu sangat pelan hingga hanya Lily dan Tobias yang bisa mendengarkannya.
Saat Tobias menyadari bila Jack sudah mulai memahami situasinya, Tobias pun memasang senyum palsunya. "Sekarang, karena kau sudah di sini. Bagaimana jika kau berkeliling?"
Jack menaikkan sebelah alisnya.
Lily menggertakkan gigi, "Bukankah kau bilang kau ingin mencari sepatu di sini, Jack?"
Jack tidak tahu mengapa di sana harus ada Lily, gadis yang telah menghancurkan hatinya dan ingin sekali dia lupakan.
"Ya, aku ingin membeli sepatu." Jack pada akhirnya memutuskan untuk tetap berada di tempat itu sampai dia bisa membuat keadaan menjadi terkendali.
Tobias mengangguk senang, "Kalau begitu, silakan melihat-lihat. Kau bisa bertanya pada petugas yang sedang bertugas. Bilang saja sepatu mana yang kau inginkan. Aku ... akan memberimu diskon."
Kata-kata itu memang dikatakan dengan nada yang biasa saja, tapi Jack bisa merasakan bila Tobias hanya ingin membuatnya jengkel atau hanya ingin terlihat seperti orang baik di depan para pengunjung.
"Wah, selain sopan, ternyata Tuan Muda Gray juga memiliki sikap dermawan. Dia tahu temannya itu miskin dan akhirnya memberinya diskon. Ah, aku sangat iri."
"Aku juga mau menjadi teman Tuan Muda Gray."
Sungguh, Jack benar-benar tak mengerti mengapa orang-orang itu bisa dengan begitu mudahnya mempercayai perbuatan Tobias Gray yang hanya merupakan tipuan belaka itu.
"Oh, begini saja. Karena kita sudah bertemu di sini, mengapa kau tidak menemaniku berkeliling, Toby?" Jack berkata sembari tersenyum palsu pada Tobias.
Bahkan, dengan begitu berani Jack juga memanggil Tobias dengan nama panggilan akrabnya. Padahal, panggilan 'Toby' hanya diperuntukkan bagi keluarga Gray saja atau mereka yang sangat dengan Tobias, termasuk Lily yang diizinkan memanggilnya begitu.
Lily yang juga tahu mengenai hal itu pun meradang, "Kau ... kenapa memanggilnya begitu?"
Suaranya sangatlah pelan sehingga hanya Jack saja yang bisa mendengarkannya saja.
Tobias Gray tentu saja tak suka dengan cara Jack memanggilnya itu, tetapi dia yang sadar saat ini dia sedang diperhatikan oleh banyak orang itu pun mencoba menahan diri.
"Lily, biarkan saja. Dia ... teman satu kampus kita. Tidak masalah dia memanggilku begitu."
Perkataannya itu tentu saja semakin membuat anak muda tampan itu dipuji oleh banyak orang.
"Ayo ikut aku!" Tobias yang merupakan putra pemilik Gray Mall itu pun menemani Jack.
"Sungguh sangat sombong sekali dan kelewatan. Memang dia pikir dia siapa? Dia tak pantas berdiri di samping Tobias Gray yang tampan."
"Iya, kau benar. Lihatlah bajunya yang lusuh! Sungguh sangat menyedihkan!" Seseorang berkomentar.
Lily yang semula kesal itu sekarang ini mendadak tersenyum. Dia merasa senang dikarenakan pacarnya yang dipuji-puji.
Saat mereka baru berjalan beberapa detik, Tobias berhenti, "Jack. Ini salah satu gerai sepatu kami yang cukup lengkap."
Jack menoleh dan mengamati dari luar.
Terlihat sekali begitu banyak sepatu bagus terpajang di sana.
"Kau mungkin akan menyukai salah satu dari koleksi itu." Tobias berkata pelan tapi bisa didengar oleh para karyawan yang menyapanya dengan hormat.
Jack pun memasuki area pertama dan melihat-lihat. Dia mengambil sepatu hitam dengan merk G-3 yang memiliki loko di bagian pinggir kanan.
Desainnya cukup menarik dan tidak berlebihan sehingga Jack cukup tertarik. Dia lalu melihat label harga dan langsung melotot kaget.
"$1.500?"
Oh, Jack bukannya merasa tidak bisa membelinya. Namun, Jack hanya merasa harga sepatu itu tidak sebanding dengan kualitasnya.
"Ya, Tuan." Seorang penjaga mengangguk.
Jack meletakkan kembali sepatu di tempatnya lalu melihat sepatu yang lain. Pandangannya kemudian berhenti pada salah satu sepatu berwarna putih dengan tali pendek yang di pinggirnya terdapat warna perak yang berkilau.
Lagi-lagi, begitu Jack melihat harganya, Jack meletakkan kembali sepatu itu pada tempatnya.
Tobias dan Lily yang sedari tadi memperhatikan itu menahan tawa.
Lily berbisik pelan, "Dia pasti kaget dengan harganya yang fantastis."
"Dia tidak akan sanggup membelinya," Tobias merasa sudah menang berhasil membuat Jack malu.
Jack akhirnya berhenti di percobaannya yang keempar. "Apa ada toko lain selain ini?"
Tobias yang masih menjaga akting terbaiknya itu mengangguk pelan, "Tentu saja ada. Ayo, aku akan membawamu ke toko lain. Di sana, kau mungkin akan menemukan sepatu yang kau cari."
Mereka pun berpindah tempat dan masih ada beberapa orang yang tampak mengikuti mereka seakan memang sengaja ingin tahu tentang apa yang sedang terjadi.
Dengan sengaja, Tobias membawa Jack ke toko sepatu kedua yang harga barang-barangnya malah mencapai dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga sepatu di toko yang sebelumnya.
"Silakan pilih yang kau suka!" Tobias berkata sambil tersenyum mengejek.
Tapi, sebelum Jack memasuki area toko itu, Tobias menahan lengan Jack. "Kau bisa pilih yang mana saja, nanti aku akan memberimu diskon yang besar. Jangan khawatir!"
Jack kini membalas ucapan Tobias dengan senyuman. "Tidak perlu khawatir! Aku bisa membelinya, hanya saja ... aku sangat pemilih sehingga tak mudah menemukan apa yang cocok untukku."
Tobias mencibir, "Oh, begitu. Padahal aku sudah berniat baik."
"Tak masalah." Jack pun masuk ke dalam area toko itu dan beberapa kali melihat-lihat sepatu yang harganya sangat mahal dan bahkan sebagian besar diproduksi dalam jumlah terbatas.
Lily berujar jengkel, "Aku sudah mulai bosan."
"Tenanglah! Setelah ini dia akan lelah sendiri." Tobias masih mengamati Jack yang sedang memilih sepatu.
Tiba-tiba saja Jack mengambil sebuah sepatu kerja warna hitam yang bisa juga dipakai untuk bersantai. Desainnya terlihat sangat elegan dan terkesan mewah.
"Saya mau yang ini." Jack menyerahkan sepatu itu pada seorang karyawan cantik.
Sang karyawan pun terkejut, "Tuan, Anda yakin? Harga sepatu ini $200.000."
Tobias dan Lily melongo kaget. Kedua orang itu segera saja berjalan mendekat ke arah Jack dengan ekspresi bingung.
"Ya, saya yakin." Jack lalu menyebutkan ukuran sepatunya.
"Di mana saya harus membayar?' Jack bertanya dengan santainya.
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
Aletta Miller sontak segera menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Gadis itu kemudian mencoba untuk memberanikan diri menatap pada Tobias Gray, sang putra dari pemilik mall besar tempatnya bekerja itu. Pria muda itu kini sedang berdiri tidak jauh darinya. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter saja sehingga Aletta bisa melihat bagaimana Tobias terlihat begitu serius mengatakan hal itu. "Apa Anda sungguh-sungguh, Pak? Apa saya tidak akan dihukum?" Aletta bertanya dengan nada yang begitu sangat lirih.Siapapun yang mendengar suara gadis muda itu, mereka akan dengan mudah mengetahui jika gadis itu memang sedang sangat ketakutan.Lily Osborne semakin tidak sabar dan menjadi begitu kesal gadis yang tidak kalah cantik darinya itu. Dia juga mulai cemburu.Sementara itu Tobias masih terlihat tenang dan berwibawa. "Sejak kapan aku bercanda untuk masalah seperti ini, Nona ....?""Aletta Miller," ucap Kevin, sang manager ketika Tobias menoleh ke arahnya seolah-olah sedang bertanya k
Ledakan tawa seketika memenuhi di sekitar toko itu. Itu adalah suara tawa Tobias Gray dan juga Lily Osborne.Bagaimana tidak mereka berdua itu tertawa, sebab di mata mereka Jack Morland adalah mahasiswa paling miskin di kampus mereka. Lalu, mereka kemudian melihat dia membela karyawan perempuan itu dengan cara menawarkan sebuah pekerjaan.Siapa yang akan percaya kepadanya?"Jack, bangunlah dari mimpimu! Tolong jangan gila!" Tobias menggelengkan kepala dan masih sambil tertawa keras.Lily menyeka air mata yang jatuh menetes akibat menertawakan kekonyolan Jack. Gadis itu lalu menanggapi, "Jack, ayolah. Kau masih waras kan?"Jack tidak merespon dan dia malah mengambil sepatu milik Aletta yang ditinggal tak jauh di belakangnya. Aletta masih bingung bagaimana dia harus bertindak."Pak, Anda serius?" Aletta akhirnya bertanya."Saya selalu serius." Jack memberikan sepasang sepatu milik Aletta tersebut kepada sang pemilik.Lily memutar bola mata. Dulu Jack memang selalu bersikap manis kepada
"Pak, saya sungguh sangat meminta maaf pada Anda. Tapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya merasa ... tidak ingin membebani orang lain." Aletta berhenti berkata selama beberapa detik, seakan memikirkan kata-kata yang tepat yang tidak akan menyinggung Jack.Melihat Jack yang terlihat sedang menunggunya, dia segera melanjutkan, "Anda tadi sudah menolong saya, Pak. Saya rasa itu sudah sangat cukup. Saya bisa mencari pekerjaan sendiri."Jack mengerti. Dia tahu gadis muda di depannya ini memang sebenarnya tidak terlalu percaya kepadanya, tapi dia senang Aletta berbicara dengan cara yang sangat sopan sehingga dia tidak mempermasalahkan hal itu."Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Nona. Tapi, jika Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa hubungi saya. Saya akan dengan senang hati memiliki pekerja seperti Anda." Pria itu berkata sambil meminta Aletta untuk menyimpan nomornya.Aletta mengerutkan kening tapi tetap mencatat nomor ponsel Jack di ponselnya. Ketika Jack pergi da
Ketika mendengar perintah sang tuan muda, Gideon langsung bersemangat. Tanpa bertanya akan tujuan dari Jack Morland ingin membeli restoran itu, pria itu menjawab dengan patuh, "Baik, Tuan Muda. Dalam beberapa menit, perusahaan itu akan segera menjadi milik Anda.""Oh, tak perlu tergesa-gesa, Gideon.""Mengapa, Tuan Muda?" Gideon bertanya dengan nada heran."Aku akan pergi ke mall terlebih dulu untuk mengajukan surat pengunduran diri sebagai pembersih toilet, jadi aku akan kembali ke Restoran Luxen sekitar dua jam lagi," jelas Jack cepat.Gideon pun dengan cepat mengerti, dia membalas, "Baik, Tuan Muda. Lalu, apakah Anda juga ingin membeli mall tempat Anda sebelumnya bekerja, Tuan Muda?"Jack berpikir sejenak tapi dengan segera dia berkata, "Tidak. Tapi ... aku ingin kau menyelidiki tentang mall yang lain. Gray Mall.""Gray Mall? Apa saja yang harus saya selidiki, Tuan Muda?" Gideon bertanya agar tidak salah mengerjakan tugasnya."Semuanya,” jawab Jack.Gideon dengan cepat berkata, "Gr
"Iya, Tuan Muda. Saya paham apa yang Anda inginkan." Gideon menjawab dari seberang sana.Jack Morland sungguh lega. Sepertinya apa yang kakeknya katakan memanglah benar. Gideon selalu bisa diandalkan.Maka, setelah memerintah Gideon untuk melakukan tugasnya, Jack segera menutup panggilan telepon itu lalu bergegas kembali menuju Restoran Luxen.Akan tetapi, saat dia akan masuk lewat pintu utama, dua penjaga yang melempar dirinya tadi menahannya."Hei, pecundang, apa lagi yang ingin kau lakukan di sini?" Salah satu penjaga berkata sambil menahan Jack agar tidak bisa masuk dengan menghadangnya tepat di hadapan Jack."Aku datang sebagai tamu." Jack berkata sembari mencoba melepaskan diri dari penjaga itu.Sang penjaga pun tertawa mengejek. "Tamu? Kau pikir kau siapa? Memang kau punya uang untuk membayar makanan di sini?"Teman sang penjaga pun ikut menambahkan, "Untuk membeli makanan termurah saja, aku sangat yakin dia tidak sanggup. Bagaimana bisa dia akan makan di sini?"Jack mengulas s
"Pulang saja, kau tak dibutuhkan di sini," kata seorang karyawan laki-laki yang duduk tak terlalu jauh dari Jack berdiri.Eve, gadis pertama yang Jack ingat telah memberitahunya mengenai tempat duduknya itu ikut berkomentar, "Ya, benar. Kalau kau memang tak sanggup, katakan saja sekarang.""Kau bisa pulang tanpa ditertawakan," tambah seseorang lainnya.Edward, yang menjadi salah satu orang agak penasaran dengan kemampuan sang pemuda yang belum lulus dari universitas itu hanya diam saja, memperhatikan.Di luar dugaan semua orang, Jack pun kembali menjawab, "Kalau memang begitu, saya terima Anda bertanya di hadapan semua karyawan."Betapa kagetnya Richard Foster kala mendengar balasan dari Jack itu. Dengan dipenuhi amarah pun dia membalas, "Kau yang meminta. Jangan salahkan aku kalau kau nanti menangis karena tak bisa menjawabnya."Jack tak merespon dan hanya menunggu pertanyaan dilontarkan kepadanya.Hal itu membuat Richard Foster kesal setengah mati dan dengan gigi bergemeletuk dia b
"Iya. Aku tidak akan memberitahu siapapun juga mengenai sang pimpinan baru itu," ujar Emily Davidson.Dan tanpa mendengarkan komentar apapun lagi dari teman-teman kerjanya, Emily memulai untuk mengerjakan lagi pekerjaannya yang sempat tertunda.David Weylman sendiri terlihat berjalan menuju ke dalam ruang kerjanya dan mulai mengambil semua barang-barangnya dengan raut wajah sedih. Sang manajer yang tidak lagi menjabat itu tidak memiliki pilihan lain selain menerima semua keputusan tersebut.Sementara itu, Jack Morland baru saja ke luar dari ruang Gideon."Tuan Muda, apa tidak apa-apa Anda tetap berada di divisi umum?" tanya Gideon dengan raut wajah cemas."Tidak masalah." Jack menjawab.Gideon tetap tidak bisa melepaskan sang tuan muda begitu saja, "Apa Anda yakin? Pengawal mengatakan Anda menemui beberapa kesulitan di sana. Apa saya perlu berbicara dengan Richard Foster?"Jack cepat-cepat menjawab, "Tidak perlu, Gideon. Aku bisa menyelesaikannya sendiri.""Tapi, Tuan Muda. Saya khawa
Emily Davidson membalas tanpa sedikitpun rasa sombong, "Maaf, Pak. Saya diminta untuk kembali ke divisi saya dan menunggu.""Menunggu apa maksudmu?" David bertanya dengan keheranan.Arthur yang tadi sempat membela Emily itu pun terlihat menatap gadis itu dengan penuh ingin tahu. Meja kerja Emily berada tepat di sampingnya dan keduanya memang cukup akrab meskipun Arthur tadi tak menyatakan secara terang-terangan bahwa dia berada di pihak gadis itu.Emily pun bisa memahami dengan sangat jelas akan sikap Arthur. Arthur kurang lebih sama seperti dirinya, sama-sama karyawan yang tidak terlalu diinginkan oleh divisi manapun di Morland Group, seakan mereka memang tak cocok di tempatkan di manapun.Emily hanya menjawab, "Anda akan segera mengetahuinya, Pak. Saya rasa tidak akan terlalu lama."David Weylman kini bisa tertawa sinis lagi. "Aku tahu sekarang, kau hanya sedang menunda-nunda waktu untuk pergi dari perusahaan ini kan? Benar-benar sangat menggelikan sekali."Para karyawan lain pun se
Jack hanya tersenyum misterius mendengarkan pertanyaan itu.Emily Davidson sontak semakin penasaran. Akan tetapi, bukannya mundur, Emily malah lebih bersemangat mengikuti pemuda yang tentu saja usianya lebih muda darinya itu. "Masuklah lebih dulu!" pinta Jack setelah dia memencet tombol di mana lift akan membawa Emily menuju lantai di mana dia harus meminta izin untuk bertemu dengan sang pimpinan perusahaan raksasa tersebut.Emily masuk ke dalam lift yang tidak ada orang lain di dalamnya itu. Dia mengerutkan kening dengan penuh tanda tanya, "Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tidak akan ikut bersama saya?""Ada hal yang harus aku lakukan. Tapi ... jangan khawatir, kau nanti tinggal berbicara dengan asisten di atas sana dan bilang saja kau berasal dari divisi keuangan. Mereka akan langsung memahaminya," ucap Jack.Emily mengangguk. Meskipun ada sedikit keraguan di dalam hatinya yang mulai muncul akibat perkataan Jack, akan tetapi Emily masih menaruh harapan pada pemuda itu. Dia yakin
David Weylman, si bos divisi keuangan itu menoleh ke arah sumber suara itu. Ketika dia melihat seorang pemuda yang tampak begitu asing di matanya, kening David pun mengerut, "Siapa kau?""Tidak penting siapa saya, Pak. Tapi, bisakah Anda menjawab pertanyaan saya tadi. Jika wanita muda ini berhasil bertemu dengan pemilik perusahaan ini, apakah Anda akan mengundurkan diri dari posisi Anda?" tanya Jack sekali lagi.David Weylman tidak langsung menjawab dan dia malah berjalan menuju ke arah Jack. Orang-orang di sekitar tempat itu terlihat tertarik pada Jack. Mereka pun mulai berbisik, bertanya-tanya siapa sosok pemuda yang telah begitu sangat berani menyela pembicaraan itu.Sedangkan wanita muda yang dibela Jack itu terlihat berdiri dengan bingung. Wanita bernama lengkap Emily Davidson itu jelas terkejut dan tidak menyangka ada seseorang yang berniat melakukan sesuatu untuknya.Dan hal ini adalah salah satu hal baru selama dia bekerja di Morland Group. Menurut pengalamannya, tidak ada s
Jack pun akhirnya memaksa diri untuk memakan makanannya. Ketika dia sudah menyelesaikannya, Jose Collins pun berkata, "Jack, apa kau sebelumnya tak pernah mencari tahu dulu seperti apa tempatmu bekerja?"Oh, tentu Jack mencari sudah mencari tahu. Bahkan, pendiri perusahaan itu sendiri yang memberitahunya. Bahkan, dia juga mengakses tentang hal apapun mengenai Morland Group.Hanya saja pengetahuan semacam itu hanya berdasarkan data dan laporan. Hal itu tentu saja berbeda dari kondisi di lapangan. Kakeknya bisa jadi tidak tahu mengenai ketidakadilan yang terjadi di dalam perusahaannya. Hal ini tentu saja karena pada dasarnya, sang pemilik perusahaan tidak mungkin memiliki cukup banyak waktu untuk melihat sendiri realitas yang terjadi. Semua hanya berdasarkan laporan dan jika anak buahnya mengatakan segalanya baik-baik saja, maka dia pun pasti tidak akan berpikir terlalu banyak.Jack sendiri juga baru mengetahuinya sejak dia masuk dan menjadi karyawan di Morland Group."Jose, apa yang
"Uh, kau hanya membuang-buang waktu saja." Seorang gadis pertama yang tadi ditanya oleh Jack berkata sembari mengambil segelas air minum di depan mesin.Edward menyahut, "Aku melihat dia sedikit agak berbeda dari para karyawan magang yang pernah bekerja di sini.""Oh, ayolah. Seberapa banyak ada karyawan magang di divisi kita? Aku bahkan sudah lupa dikarenakan terlalu jarang divisi kita menerima karyawan magang." Gadis bernama Eve itu membalas perkataan Edward setelah meminum air mineralnya.Edward menggaruk kepalanya. "Ah, kau benar. Hanya saja aku tetap merasa dia berbeda. Entahlah."Eve mendecakkan lidah, "Oh, mungkin karena dia terlihat masih sangat muda jadi kau merasa dia sedikit agak berbeda."Tiba-tiba Edward melebarkan matanya, "Uh, mungkin itu salah satunya. Dia masih sangat muda. Biar aku tebak, dia pasti baru lulus kuliah."Eve mengangguk setuju, "Itu mungkin saja. Dan bisa jadi karena hal itulah Pak Richard tidak menginginkannya berada di divisi kita sehingga memberinya f
Jack jelas mendengar nada sinis Richard sehingga pemuda itu pun segera membalas, "Tidak, Pak. Saya akan mengerjakannya."Richard menganggukkan kepala meskipun Jack juga bisa melihat bagaimana tatapan tidak percaya di matanya."Laporkan padaku sebelum kau pulang. Paham?" ucap Richard.Jack hampir tak mempercayai apa yang baru saja dia dengar. "Hari ini, Pak?""Ya. Kenapa? Mau mundur sekarang?" Richard berkata dengan sambil menatap lurus-lurus ke arah Jack.Jack menghela napas, "Tidak. Tentu saja tidak.""Baiklah, silakan kerjakan dan laporkan padaku sebelum jam kerja berakhir!" perintah Richard.Jack menjawab cepat dan segera mengambil setumpuk file-file besar itu lalu keluar dari ruangan Richard Foster.Saat Jack keluar dari sana, dia merasa semua orang langsung menatapnya."Oh, Pak Richard pasti tidak menyukainya," celetuk salah seorang pekerja."Hm, itu sudah sangat jelas," sahut pekerja lainnya.Jack mendesah pelan lalu berjalan sambil melihat-lihat bangku yang kosong. Karena takut
Tentu saja Jack tidak mungkin bisa berbohong pada rekan kerja yang baru ditemuinya itu, sehingga dia pun menjawab, "Aku belum lulus. Aku masih seorang mahasiswa."Jawaban Jack membuat Jose melebarkan mata, mulutnya pun juga terbuka, "Apa? Kau sedang bercanda kan?"Jack tahu pertanyaan itu bukan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban sehingga dia hanya membalasnya dengan tersenyum samar. Dan benar saja karena setelah itu, Jose bertanya kepadanya, "Lalu, bagaimana caranya kau bisa masuk ke perusahaan ini? Bagaimana dengan statusmu? Kau tidak mungkin menjadi pegawai tetap kan?"Jack pun membenarkan dengan sebuah anggukkan. Tapi tentu saja itu belum cukup, sehingga dia menambahkan, "Aku hanya seorang karyawan magang. Tidak lama. Hanya beberapa bulan."Jose masih sulit mempercayainya. "Aku masih tidak menyangka. Divisi umum biasanya tidak menerima pegawai dengan status mahasiswa. Biasanya divisi yang lain yang masih menerimanya. Luar biasa!"Pria itu pun kini menatap Jack dengan lebih