Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"
Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."
Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"
Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara.
"Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan."
"Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri.
"Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya."
"Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan.
"Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup menahan diri.
Lily yang tahu Jack sangat miskin dan berpikir sangatlah mustahil jika mantan kekasihnya bisa membeli sepatu yang dijual di Gray Mall itu pun berkata, "Jangan coba-coba bermimpi, Jack! Itu tidak mungkin."
"Oh, Sayang. Kenapa kau melarang orang bermimpi? Bermimpi itu gratis, Lily Sayang. Biarkan saja dia melakukannya," ujar Tobias sambil menyeringai.
Lily mendesah, "Kau terlalu baik. Ah, tapi kau benar, Toby. Aku setuju,."
Gadis cantik itu pun menoleh ke arah Jack dan melempar senyuman meremehkan, "Tidak masalah kau bermimpi, pada akhirnya kau sendiri yang akan kecewa karena tak mampu menggapai mimpi itu."
Jack mengepalkan tangan, tapi tak berkomentar apapun. Dalam hatinya, dia berpikir tak perlu meladeni omongan mantan kekasihnya itu sebab yang perlu dia lakukan hanyalah membuat keduanya terbungkam nanti.
Ya, dia akan benar-benar pergi ke Gray Mall nanti. Namun, saat ini ada hal penting lain yang harus dia lakukan sehingga dia berjalan melewati Lily dan Tobias tanpa berniat menjawab pertanyaan pertama dua orang itu kepadanya.
"Hei, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang membebaskanmu?" tanya Lily dengan setengah berteriak.
Akan tetapi, Jack hanya berjalan lurus ke depan dan tidak menoleh sekali pun.
Lily pun menggerutu dengan kesal. "Berani sekali dia mengabaikanku! Dasar kurang ajar!"
Gadis itu pun juga menyadari jika itu pertama kalinya Jack tidak memperdulikannya. "Hah, awas saja dia!"
"Sayang, tenanglah! Biarkan saja. Siapapun yang membantunya memang memiliki nyali yang besar, tapi kurasa mungkin itu teman-temannya," tebak Tobias.
Lily memang tidak mengenal teman-teman Jack tapi dia sering melihat Jack pergi bersama dengan teman-temannya dari kejauhan. Dan yang dia ingat memang ada beberapa teman Jack yang berasal dari kalangan kelas atas.
"Hm, bisa jadi. Tapi ... Toby, bagaimana kalau dia benar-benar pergi ke Gray Mall?"
Jack mengerutkan dahi, "Bukankah kau mengatakan dia tidak mungkin pergi ke sana?"
"Ya awalnya memang aku percaya begitu, tapi siapa yang tahu kalau dia meminjam uang dan kemudian membeli sesuatu di sana, Toby?" Lily membalas dengan dahi mengkerut.
Tobias pun mengerang tidak suka tapi dia kemudian dia tersenyum misterius, "Ah, itu tidak masalah. Kita bisa sedikit memberi sambutan kepadanya nanti."
"Sambutan apa, Sayang?" Lily terlihat ingin tahu.
"Kau akan tahu nanti, Sayang. Tenang saja. Dia pasti akan sangat menyukai sambutan dariku, percayalah kepadaku!" Tobias menyeringai senang.
Lily balas tersenyum manis, sudah tidak peduli akan Jack. Bagi dirinya, Jack saat ini benar-benar hanyalah seorang sampah tidak berguna. Dia telah memiliki Tobias Gray yang akan memberikan apapun untuknya.
Sementara itu, Jack baru saja memasuki asramanya yang ternyata masih dipenuhi oleh ketiga temannya itu.
"Astaga, kau dari mana saja, Jack? Kenapa kau tidak pulang semalam?" salah seorang teman baiknya bertanya dengan ekspresi cemas.
"Kami mencarimu di mana-mana. Ponselmu juga tidak aktif. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Seseorang bertubuh tinggi besar ikut bertanya, "Apa kau mengambil ekstra jam kerja sampai pagi dan akhirnya tidur di restoran?"
"Atau kau jangan-jangan menginap di rumah pacar misteriusmu itu?" tanya Edward dengan senyum menggoda.
Jack hanya tertawa kecil menanggapi pertanyaan-pertanyaan temannya itu, "Aku sudah putus dengannya."
Semua orang tentu saja langsung terkejut. Darryl, teman baiknya yang telah banyak membantunya itu membelalakkan mata, "Wah! Apa ini? Kau saja belum mengenalkan dia kepada kami, tapi sekarang kau sudah putus?"
"Apa alasan kau putus?"
"Siapa yang meninggalkan siapa?"
Jack hanya menjawab pelan, "Tidak masalah siapa yang meninggalkan siapa, yang jelas sekarang aku tidak memiliki seorang kekasih lagi."
Darryl menatap heran pada teman baiknya itu, "Tapi, kau tak terlihat sedih. Memang kau tidak patah hati?"
"Aku tidak sempat patah hati di saat banyak ujian yang sedang menungguku," Jack membalas sambil tersenyum pada teman-temannya.
Mereka langsung menggerutu akibat diingatkan kembali akan kegiatan yang seperti sebuah siksaan bagi mereka saat ini.
Hari itu Jack menjalani hari-harinya seperti biasa hingga dia selesai menghadiri kelas terakhirnya.
"Apa kau akan langsung berangkat bekerja, Jack?" Darryl Spencer bertanya sambil merangkul sang sahabat.
"Ya, tapi aku akan mampir untuk membeli sepatu dulu."
Larry seketika melirik ke arah kaki Jack yang terbungkus sepatu kumal yang luar biasa jelek. "Apa kau punya uang?"
"Ya, aku punya."
"Berapa uang yang kau punya?" Darryl bertanya.
Jack ragu-ragu menjawabnya. Dia tidak mau berbohong pada Darryl, tapi dia juga belum bisa bercerita tentang jati dirinya. Maka, Jack pun memilih terdiam saja.
Darryl menghela napas kala melihat Jack yang tak kunjung menjawabnya. Dia lalu mengambil dompetnya tanpa ragu dan mengambil beberapa ratus dollar kemudian menyerahkannya pada Jack.
Jack menatap Darryl dengan ekspresi terkejut, "Kau tidak perlu melakukan ini. Aku punya uang."
Darryl berdecak kesal, "Aku tahu kau punya uang tapi kalau kau gunakan uangmu semuanya, dengan apa kau bisa hidup kemudian?"
Jack terdiam.
Darryl memaksa Jack untuk mengantongi uang itu, "Aku hanya ingin membantumu. Kupingku panas setiap kali mendengar orang-orang mengejekmu."
"Dengar, Jack. Aku tahu kalau aku membelikanmu sepatu, kau tidak akan mungkin menerimanya jadi ... kau gunakan saja itu sebagai tambahan dan beli sepatu sesuai dengan seleramu,” Darryl menambahkan.
Jack tidak bisa lebih terharu dari hal itu. Darryl Spencer memanglah teman yang baik. Dia berasal dari keluarga kaya tapi Darryl adalah sedikit dari orang kaya yang memiliki hati yang baik dan tidak sombong.
Darryl pula lah yang sangat sering membantunya hingga Jack merasa begitu banyak berhutang pada Darryl.
"Terima kasih, akan aku gunakan dengan baik." Jack tak mau membuat temannya merasa kesal sehingga memutuskan untuk menerimanya.
Akan tetapi, itu artinya rencananya harus diubah. Dia tidak mungkin membeli sepatu mewah dengan uang dari sang kakek. Dia akan membeli sepatu dengan harga yang sesuai dengan jumlah uang yang diberikan oleh Darryl.
Setelah berpisah dari Darryl, sore itu Jack berjalan kaki menuju Gray Mall. Saat sampai di gedung yang memiliki belasan lantai itu, Jack tidak bisa tidak kagum.
"Keluarga Gray ternyata cukup kaya. Sekarang dia tidak heran kalau Lily sampai tertarik pada Tobias."
Meskipun dia kecewa akan keputusan Lily, Jack tidak bisa berbuat apapun. Hubungan dia dan Lily sudah benar-benar berakhir, dia harus ingat benar akan hal itu.
Jack mendekat ke arah pintu masuk mall, tapi sebelum dia bisa masuk, dua orang penjaga berseragam hitam menghadangnya.
"Pengemis dilarang masuk." Salah satu pengawal itu berkata sambil memegang lengan Jack.
Jack mendesah, "Saya bukan seorang pengemis."
Sang penjaga melihat Jack dari atas sampai ujung kaki dan dia pun menggelengkan kepala, "Tolong jangan menambah pekerjaan kami!"
Jack pun berkata lagi, "Saya benar-benar bukan pengemis. Saya datang ke sini untuk membeli sepatu."
Salah satu penjaga tertawa mengejek, "Membeli sepatu? Kau bercanda, pengemis?"
"Apa kau pikir harga sepatu di sini itu satu dollar, huh?" penjaga bertubuh tinggi besar itu menatap Jack dengan tatapan menghina.
"Pergilah dan jangan buat masalah!" Penjaga lain mengusirnya tanpa peduli.
Jack yang kesal langsung saja merogoh sakunya dan menunjukkan uang yang telah diberikan Darryl tadi, "Lihat! Saya punya uang."
Kedua satpam itu saling berpandangan. Mereka melirik ke arah uang itu dengan tatapan curiga.
"Dari mana uang itu?" penjaga pertama bertanya dengan tatapan menuduh.
"Apa kau mencuri?" tanya penjaga kedua.
Jack hampir saja tidak tahan lagi tapi dia berusaha menjelaskan, "Mencuri? Sama sekali tidak. Itu uang dari temanku."
"Oh, kau mencuri dari temanmu?" penjaga pertama langsung menahan lengan Jack, sementara penjaga kedua segera menghubungi seseorang.
"Pak, ada seorang pengemis mencurigakan yang membawa uang sebanyak enam ratus dollar. Menurut kecurigaan kami, dia telah mencuri dari temannya."
Jack yang kedua tangannya telah dipegang oleh dua penjaga itu pun memprotes. "Saya tidak mencuri. Lepaskan saya!"
"Akan kami lepaskan ketika sudah berada di ruang keamanan."
Mata Jack melebar, "Ruang keamanan? Apa maksud kalian?"
"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh."Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby. "Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu."Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
Aletta Miller sontak segera menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Gadis itu kemudian mencoba untuk memberanikan diri menatap pada Tobias Gray, sang putra dari pemilik mall besar tempatnya bekerja itu. Pria muda itu kini sedang berdiri tidak jauh darinya. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter saja sehingga Aletta bisa melihat bagaimana Tobias terlihat begitu serius mengatakan hal itu. "Apa Anda sungguh-sungguh, Pak? Apa saya tidak akan dihukum?" Aletta bertanya dengan nada yang begitu sangat lirih.Siapapun yang mendengar suara gadis muda itu, mereka akan dengan mudah mengetahui jika gadis itu memang sedang sangat ketakutan.Lily Osborne semakin tidak sabar dan menjadi begitu kesal gadis yang tidak kalah cantik darinya itu. Dia juga mulai cemburu.Sementara itu Tobias masih terlihat tenang dan berwibawa. "Sejak kapan aku bercanda untuk masalah seperti ini, Nona ....?""Aletta Miller," ucap Kevin, sang manager ketika Tobias menoleh ke arahnya seolah-olah sedang bertanya k
Ledakan tawa seketika memenuhi di sekitar toko itu. Itu adalah suara tawa Tobias Gray dan juga Lily Osborne.Bagaimana tidak mereka berdua itu tertawa, sebab di mata mereka Jack Morland adalah mahasiswa paling miskin di kampus mereka. Lalu, mereka kemudian melihat dia membela karyawan perempuan itu dengan cara menawarkan sebuah pekerjaan.Siapa yang akan percaya kepadanya?"Jack, bangunlah dari mimpimu! Tolong jangan gila!" Tobias menggelengkan kepala dan masih sambil tertawa keras.Lily menyeka air mata yang jatuh menetes akibat menertawakan kekonyolan Jack. Gadis itu lalu menanggapi, "Jack, ayolah. Kau masih waras kan?"Jack tidak merespon dan dia malah mengambil sepatu milik Aletta yang ditinggal tak jauh di belakangnya. Aletta masih bingung bagaimana dia harus bertindak."Pak, Anda serius?" Aletta akhirnya bertanya."Saya selalu serius." Jack memberikan sepasang sepatu milik Aletta tersebut kepada sang pemilik.Lily memutar bola mata. Dulu Jack memang selalu bersikap manis kepada
"Pak, saya sungguh sangat meminta maaf pada Anda. Tapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya merasa ... tidak ingin membebani orang lain." Aletta berhenti berkata selama beberapa detik, seakan memikirkan kata-kata yang tepat yang tidak akan menyinggung Jack.Melihat Jack yang terlihat sedang menunggunya, dia segera melanjutkan, "Anda tadi sudah menolong saya, Pak. Saya rasa itu sudah sangat cukup. Saya bisa mencari pekerjaan sendiri."Jack mengerti. Dia tahu gadis muda di depannya ini memang sebenarnya tidak terlalu percaya kepadanya, tapi dia senang Aletta berbicara dengan cara yang sangat sopan sehingga dia tidak mempermasalahkan hal itu."Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Nona. Tapi, jika Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa hubungi saya. Saya akan dengan senang hati memiliki pekerja seperti Anda." Pria itu berkata sambil meminta Aletta untuk menyimpan nomornya.Aletta mengerutkan kening tapi tetap mencatat nomor ponsel Jack di ponselnya. Ketika Jack pergi da
Di bagian depan Restoran Luxen terlihat begitu ramai dipadati oleh setidaknya puluhan wartawan yang sedang meliput sebuah berita ekslusif malam itu. Yang menarik perhatian mereka tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah Tobias Gray, seorang pemuda tampan berusia 20 tahun, yang juga merupakan putra tunggal dari salah satu pengusaha terkaya di Ocean Hill. Dia kini berada di dalam ruang VVIP restoran itu dan sedang menyatakan cinta pada seorang gadis cantik yang juga berasal dari kalangan yang sama dengannya, Lily Osborne.Restoran Luxen adalah salah satu restoran paling mewah di kota itu dan hanya orang-orang yang telah memiliki kartu dengan jenis tertentu saja yang bisa menikmati makananan di tempat megah itu.Selain tempatnya yang begitu luar biasa mengagumkan dengan sentuhan klasik bercampur gaya modern, restoran itu menyajikan aneka hidangan yang juga begitu mewah dan tentunya memiliki cita rasa yang sangat tinggi. Bahkan, konon kabarnya para chef di restoran itu adalah chef pi
"Pak, saya sungguh sangat meminta maaf pada Anda. Tapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya merasa ... tidak ingin membebani orang lain." Aletta berhenti berkata selama beberapa detik, seakan memikirkan kata-kata yang tepat yang tidak akan menyinggung Jack.Melihat Jack yang terlihat sedang menunggunya, dia segera melanjutkan, "Anda tadi sudah menolong saya, Pak. Saya rasa itu sudah sangat cukup. Saya bisa mencari pekerjaan sendiri."Jack mengerti. Dia tahu gadis muda di depannya ini memang sebenarnya tidak terlalu percaya kepadanya, tapi dia senang Aletta berbicara dengan cara yang sangat sopan sehingga dia tidak mempermasalahkan hal itu."Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Nona. Tapi, jika Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa hubungi saya. Saya akan dengan senang hati memiliki pekerja seperti Anda." Pria itu berkata sambil meminta Aletta untuk menyimpan nomornya.Aletta mengerutkan kening tapi tetap mencatat nomor ponsel Jack di ponselnya. Ketika Jack pergi da
Ledakan tawa seketika memenuhi di sekitar toko itu. Itu adalah suara tawa Tobias Gray dan juga Lily Osborne.Bagaimana tidak mereka berdua itu tertawa, sebab di mata mereka Jack Morland adalah mahasiswa paling miskin di kampus mereka. Lalu, mereka kemudian melihat dia membela karyawan perempuan itu dengan cara menawarkan sebuah pekerjaan.Siapa yang akan percaya kepadanya?"Jack, bangunlah dari mimpimu! Tolong jangan gila!" Tobias menggelengkan kepala dan masih sambil tertawa keras.Lily menyeka air mata yang jatuh menetes akibat menertawakan kekonyolan Jack. Gadis itu lalu menanggapi, "Jack, ayolah. Kau masih waras kan?"Jack tidak merespon dan dia malah mengambil sepatu milik Aletta yang ditinggal tak jauh di belakangnya. Aletta masih bingung bagaimana dia harus bertindak."Pak, Anda serius?" Aletta akhirnya bertanya."Saya selalu serius." Jack memberikan sepasang sepatu milik Aletta tersebut kepada sang pemilik.Lily memutar bola mata. Dulu Jack memang selalu bersikap manis kepada
Aletta Miller sontak segera menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Gadis itu kemudian mencoba untuk memberanikan diri menatap pada Tobias Gray, sang putra dari pemilik mall besar tempatnya bekerja itu. Pria muda itu kini sedang berdiri tidak jauh darinya. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter saja sehingga Aletta bisa melihat bagaimana Tobias terlihat begitu serius mengatakan hal itu. "Apa Anda sungguh-sungguh, Pak? Apa saya tidak akan dihukum?" Aletta bertanya dengan nada yang begitu sangat lirih.Siapapun yang mendengar suara gadis muda itu, mereka akan dengan mudah mengetahui jika gadis itu memang sedang sangat ketakutan.Lily Osborne semakin tidak sabar dan menjadi begitu kesal gadis yang tidak kalah cantik darinya itu. Dia juga mulai cemburu.Sementara itu Tobias masih terlihat tenang dan berwibawa. "Sejak kapan aku bercanda untuk masalah seperti ini, Nona ....?""Aletta Miller," ucap Kevin, sang manager ketika Tobias menoleh ke arahnya seolah-olah sedang bertanya k
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh."Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby. "Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu."Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina
Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara."Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan.""Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri. "Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya.""Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan."Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup
"Apa Kakek sedang bercanda? Bagaimana mungkin aku menggantikan Kakek?" Jack berkata dengan ekspresi terlihat luar biasa bingung. Hugh tersenyum lembut. "Kenapa tidak mungkin? Harus berapa kali aku katakan? Kau satu-satunya pewaris kerajaan bisnis keluarga ini, tentu kau adalah pengganti Kakek." Setelah mempercayai statusnya, Jack malah semakin terlihat kebingungan. "Ta-tapi, Kek. Aku masih seorang mahasiswa." "Memang kenapa kalau kau masih mahasiswa? Kau tetap bisa menjalankan perusahaan keluarga sembari kau belajar di universitas." Hugh berhenti sejenak, mengamati ekspresi cucunya. "Dan lagi pula, kudengar kau mengambil jurusan bisnis manajemen. Bukankah itu sangat cocok?" Jack tidak pernah menduganya. "Aku mengambil jurusan itu dengan harapan setelah lulus nantinya bisa mengembangkan bisnisku sendiri." Hugh bertepuk tangan untuk sang cucu, "Itu luar biasa, Jack. Itu baru keturunan keluarga Morland." Jack meringis. "Tapi, tidakkah aku masih terlalu muda untuk menjalankan bis