"Apa Kakek sedang bercanda? Bagaimana mungkin aku menggantikan Kakek?" Jack berkata dengan ekspresi terlihat luar biasa bingung.
Hugh tersenyum lembut. "Kenapa tidak mungkin? Harus berapa kali aku katakan? Kau satu-satunya pewaris kerajaan bisnis keluarga ini, tentu kau adalah pengganti Kakek." Setelah mempercayai statusnya, Jack malah semakin terlihat kebingungan. "Ta-tapi, Kek. Aku masih seorang mahasiswa." "Memang kenapa kalau kau masih mahasiswa? Kau tetap bisa menjalankan perusahaan keluarga sembari kau belajar di universitas." Hugh berhenti sejenak, mengamati ekspresi cucunya. "Dan lagi pula, kudengar kau mengambil jurusan bisnis manajemen. Bukankah itu sangat cocok?" Jack tidak pernah menduganya. "Aku mengambil jurusan itu dengan harapan setelah lulus nantinya bisa mengembangkan bisnisku sendiri." Hugh bertepuk tangan untuk sang cucu, "Itu luar biasa, Jack. Itu baru keturunan keluarga Morland." Jack meringis. "Tapi, tidakkah aku masih terlalu muda untuk menjalankan bisnis keluarga, Kek? Morland Group itu sangat besar." "Kau mampu, Jack. Kakek sangat yakin," balas Hugh dengan masih tersenyum penuh percaya pada Jack. Jack merasa tidak memiliki pilihan. Dia baru saja bertemu dengan salah satu anggota keluarganya. Saat ini dia tahu bila kesehatan kakeknya sedang tidak bagus. Mana mungkin dia tega menolak? "Baiklah, Kek. Aku akan menjalankan perusahaan itu." Hugh sungguh luar biasa gembira mendengarkan ucapan itu. Dia sampai mengangkat gelas dan bersulang untuk Jack, "Untuk cucuku yang hebat." Jack yang belum pernah menyentuh alkhohol pun hanya mengangkat gelas berisi air putih. "Tapi, Kek. Aku tidak ingin membuat kehebohan," Jack tiba-tiba berkata pada kakeknya usai makan malam selesai. "Kehebohan bagaimana?" Jack mendesah, "Aku ingin identitasku dirahasiakan dulu, Kek." "Kenapa begitu?" Hugh tentu saja keheranan, "Kakek bahkan berencana menggelar pesta besar-besaran saat pengangkatanmu." Jack dengan cepat berkata, "Jangan, Kek. Aku tidak akan nyaman dengan hal itu." "Terus? Bagaimana? Kau ingin melakukan apa?" Hugh bertanya sambil menatap anak muda itu. "Aku ingin memulai semuanya dari nol. Biarkan aku berpura-pura menjadi salah satu pegawai biasa di salah satu anak perusahaan Morland Group." Hugh melotot kaget. "Apa maksudmu? Kau sedang bercanda kan, Jack?" "Tidak, Kek. Aku ... hanya ingin mengetahui dan mempelajari perusahaan-perusahaan kita tapi jangan khawatir, aku akan tetap menjalankan perusahaan itu, Kek." Jack pun lalu memperjelas rencananya pada sang kakek dan Hugh pun menerimanya tanpa memprotes lagi. "Baiklah, kalau itu memang maumu. Tapi, Jack. Kau tetap harus menjaga kehormatanmu sebagai pewaris sah Morland Group." Hugh memerintahkan Gideon untuk mengirim sejumlah uang ke dalam rekening Jack yang lama. "Itu. Gunakanlah selama kau menjalankan misimu itu." Jack yang menerima notifikasi di ponselnya pun segera terbelalak kaget saat melihat nominal uang yang masuk ke dalam rekeningnya. "Satu miliar dollar? Astaga, Kek. Untuk apa uang sebanyak itu?" "Terserah kau, Jack. Anggaplah itu sebagai uang jajanmu selama satu bulan ini." Jack masih tak sanggup mempercayainya. "Ini sungguhan, Kek?" Hugh tahu sang cucu masih kesulitan menerima sehingga dia pun mencoba menjelaskan, "Jumlah itu tidak apa-apanya dibanding total kekayaan keluarga Morland, Jack. Gunakan saja sesuka hatimu. Kau bisa membeli apapun yang kau inginkan." "Jika kurang, kau bisa langsung berkata pada Kakek." "Ini tidak akan kurang, Kek." Hugh berkata lembut, "Jack, Kakek tahu tidak akan ada uang yang bisa menebus ataupun menggantikan apa yang telah kau alami selama ini. Tapi, Kakek harap mulai sekarang kau bisa hidup sesukamu." Dengan kata lain, Hugh ingin memanjakan Jack dengan segala kekayaannya. Jack pun tidak akan menolaknya. Usai perbicangan yang lebih dekat itu, Jack segera kembali ke kamar tidurnya dan mulai memejamkan mata di tempat tidurnya yang mewah dan wangi, tidak seperti kamar asramanya di kampus yang pengap. Namun, sebelum dia menutup mata, pria muda itu pun bergumam, "Jika ini hanyalah sebuah mimpi, jangan biarkan aku bangun dari mimpi yang indah ini." Akan tetapi, ketika dia terbangun di esok paginya, Jack masih tetap berada di kamar super mewah itu. "Bukan mimpi." Dia menghela napas panjang dan bergegas membersihkan diri. Gideon sendiri telah menyiapkan pakaian lama Jack sesuai dengan permintaan sang tuan muda. "Apa Anda ingin saya siapkan mobil, Tuan Muda?" Gideon bertanya sambil berdiri di belakang Jack yang sedang mengancingkan kemejanya. "Panggilkan aku taksi saja." Mendengar hal itu seketika Gideon melebarkan mata. Jack pun mengulangi, "Aku tidak ingin terlihat mencolok, Gideon. Taksi tidak akan mengundang banyak perhatian." Tak ingin banyak bertanya, Gideon pun menuruti keinginan sang tuan muda dan segera memesankan taksi. Hugh Morland sendiri berangkat pagi-pagi ke luar negeri guna membereskan urusan bisnisnya sebelum dirinya benar-benar mundur dari dunia bisnis dan mempercayakan semua bisnisnya pada sang cucu. Jack hanya mengambil sandwich sebagai sarapan dan segera bergegas keluar rumah. "Tuan Muda, jika Anda memiliki kesulitan apapun, Anda bisa menghubungi saya," Gideon berkata sebelum Jack masuk ke dalam taksi. Jack pun mengangguk paham. Mobil berwarna kuning itu pun membawa Jack ke gedung asrama mahasiswa Universitas Rundall. Ketika dia sampai di depan gedung itu dan keluar dari taksi yang mengantarnya, secara bersamaan dia melihat sebuah mobil melintas tak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya Jack tak terlalu peduli tapi ketika dia melihat mobil mewah berwarna mewah menyala itu mundur ke belakang hingga berhenti tepat di sampingnya, pria muda itu pun menaikkan alis dengan ekspresi bingung. "Woi, pecundang. Bagaimana bisa kau sudah bebas? Siapa yang membebaskanmu?" Jack menghela napas ketika mengenali suara itu dan dia menoleh ke arah Tobias Gray yang baru saja keluar dari mobil itu bersama dengan Lily Osborne yang bergelayut manja di pelukan Tobias. Jack sungguh kesal memandangnya. "Katakan padaku! Dengan cara apa kau bisa bebas, Jack?" Sekarang Lily yang bertanya. Jack memutar arah pandangan ke arah mantan kekasihnya itu, "Tidak penting bagaimana aku bisa bebas." Lily pun tertawa mengejek. "Ah, apa kau jangan-jangan meminjam uang dari temanmu yang sama miskinnya denganmu?" "Benarkah begitu? Kau berhutang, Jack?" tanya Tobias. "Tentu saja begitu, Sayang. Uang dari mana dia kalau tidak mengemis atau meminjam uang? Apa kau tidak tahu kalau dia itu hidup sebatang kara." Lily berkata dengan nada merendahkan. Tobias tentu saja tahu, tapi dia berpura-pura tidak tahu demi membuat Jack semakin kesal. "Sebatang kara? Apa maksudmu, Sayangku?" Jack menahan napas, masih mencoba mengontrol emosi. "Ya dia itu tidak punya keluarga, dia dulu dibesarkan di panti asuhan." Gideon mengernyitkan dahi, seakan jijik. "Di panti asuhan? Berarti identitasnya tidak jelas? Begitu?" Lily mengangkat bahu dan memperlihat ekspresi malas saat menatap Jack yang menurutnya sangat dekil saat itu. "Astaga, Lilyku Sayang. Kalau begitu, mengapa kau dulu mau berpacaran dengannya? Bagaimana kalau dia ternyata anak dari seorang pembunuh? Apa kau-" "Itu bukan urusanmu," sela Jack yang sudah tidak tahan. Tobias tersenyum mengejek, sungguh dia merasa begitu senang berhasil membuat Jack kesal. "Apa maksudmu ini bukan urusanku? Tentu saja ini urusanku. Apa kau lupa kalau aku ini salah satu anggota dewan kampus?" Jack menaikkan sebelah alis, "Apa hubungannya identitas keluargaku dengan dewan kampus?" Lily mendesah sebal, "Jack, kenapa kau bisa sebodoh ini? Bukankah kau juga tahu tugas dewan kampus itu adalah menjamin semua mahasiswa tidak bermasalah?" "Aku tidak bermasalah, Lily." Jack membela diri. Lily mencibir, "Tidak bermasalah? Kau yakin? Lalu, apa yang baru saja kau lakukan kemarin di rumahku, Jack?" Jack hampir saja membuka mulut tapi Tobias mendahului, "Ah, pantas saja kau berbuat nekad menerobos masuk ke dalam rumah Lily. Rupanya karena kau itu memang tidak memiliki keluarga yang identitasnya jelas. Masuk akal sekarang." Jack hampir naik pitam. Identitas yang tidak jelas? Kalau saja mereka tahu siapa sebenarnya Jack, sungguh dua orang itu akan diam membisu dan tak mungkin berani mengatakan hal semacam itu. Masih dipenuhi akan kekesalan, Jack tiba-tiba teringat akan sesuatu yang berhubungan dengan Tobias Gray. Laki-laki muda itu mendadak tersenyum. "Tobias Gray, bukankah ayahmu pemilik Gray Mall?" tanya Jack dengan sorot mata yang menurut Tobias aneh. "Kenapa kau menyebut perusahaan keluargaku?" Tobias menatap Jack dengan ekspresi mencibir. Jack luar biasa senang mengingat apa saja yang dijelaskan oleh kakeknya semalam. Menurut kakeknya, sebagian besar pengusaha di Ocean Hill bekerja sama dengan Morland Group, termasuk Gray Mall. Bahkan, Morland Group memiliki saham yang cukup besar di Gray Mall. Mengingat hal itu, entah bagaimana Jack merasa bila dia ingin sedikit memberi pelajaran pada si angkuh Tobias Gray yang sudah berani menyuruh dirinya untuk mencium kakinya tempo lalu. Lily mendesah jengkel, "Kenapa? Kau mau meminta voucher diskon pada Toby? Apa kau tidak tahu malu, Jack?"Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara."Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan.""Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri. "Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya.""Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan."Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup
"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh."Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby. "Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu."Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
Aletta Miller sontak segera menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Gadis itu kemudian mencoba untuk memberanikan diri menatap pada Tobias Gray, sang putra dari pemilik mall besar tempatnya bekerja itu. Pria muda itu kini sedang berdiri tidak jauh darinya. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter saja sehingga Aletta bisa melihat bagaimana Tobias terlihat begitu serius mengatakan hal itu. "Apa Anda sungguh-sungguh, Pak? Apa saya tidak akan dihukum?" Aletta bertanya dengan nada yang begitu sangat lirih.Siapapun yang mendengar suara gadis muda itu, mereka akan dengan mudah mengetahui jika gadis itu memang sedang sangat ketakutan.Lily Osborne semakin tidak sabar dan menjadi begitu kesal gadis yang tidak kalah cantik darinya itu. Dia juga mulai cemburu.Sementara itu Tobias masih terlihat tenang dan berwibawa. "Sejak kapan aku bercanda untuk masalah seperti ini, Nona ....?""Aletta Miller," ucap Kevin, sang manager ketika Tobias menoleh ke arahnya seolah-olah sedang bertanya k
Ledakan tawa seketika memenuhi di sekitar toko itu. Itu adalah suara tawa Tobias Gray dan juga Lily Osborne.Bagaimana tidak mereka berdua itu tertawa, sebab di mata mereka Jack Morland adalah mahasiswa paling miskin di kampus mereka. Lalu, mereka kemudian melihat dia membela karyawan perempuan itu dengan cara menawarkan sebuah pekerjaan.Siapa yang akan percaya kepadanya?"Jack, bangunlah dari mimpimu! Tolong jangan gila!" Tobias menggelengkan kepala dan masih sambil tertawa keras.Lily menyeka air mata yang jatuh menetes akibat menertawakan kekonyolan Jack. Gadis itu lalu menanggapi, "Jack, ayolah. Kau masih waras kan?"Jack tidak merespon dan dia malah mengambil sepatu milik Aletta yang ditinggal tak jauh di belakangnya. Aletta masih bingung bagaimana dia harus bertindak."Pak, Anda serius?" Aletta akhirnya bertanya."Saya selalu serius." Jack memberikan sepasang sepatu milik Aletta tersebut kepada sang pemilik.Lily memutar bola mata. Dulu Jack memang selalu bersikap manis kepada
"Pak, saya sungguh sangat meminta maaf pada Anda. Tapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya merasa ... tidak ingin membebani orang lain." Aletta berhenti berkata selama beberapa detik, seakan memikirkan kata-kata yang tepat yang tidak akan menyinggung Jack.Melihat Jack yang terlihat sedang menunggunya, dia segera melanjutkan, "Anda tadi sudah menolong saya, Pak. Saya rasa itu sudah sangat cukup. Saya bisa mencari pekerjaan sendiri."Jack mengerti. Dia tahu gadis muda di depannya ini memang sebenarnya tidak terlalu percaya kepadanya, tapi dia senang Aletta berbicara dengan cara yang sangat sopan sehingga dia tidak mempermasalahkan hal itu."Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Nona. Tapi, jika Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa hubungi saya. Saya akan dengan senang hati memiliki pekerja seperti Anda." Pria itu berkata sambil meminta Aletta untuk menyimpan nomornya.Aletta mengerutkan kening tapi tetap mencatat nomor ponsel Jack di ponselnya. Ketika Jack pergi da
"Pak, saya sungguh sangat meminta maaf pada Anda. Tapi, ini tidak seperti yang Anda pikirkan. Saya hanya merasa ... tidak ingin membebani orang lain." Aletta berhenti berkata selama beberapa detik, seakan memikirkan kata-kata yang tepat yang tidak akan menyinggung Jack.Melihat Jack yang terlihat sedang menunggunya, dia segera melanjutkan, "Anda tadi sudah menolong saya, Pak. Saya rasa itu sudah sangat cukup. Saya bisa mencari pekerjaan sendiri."Jack mengerti. Dia tahu gadis muda di depannya ini memang sebenarnya tidak terlalu percaya kepadanya, tapi dia senang Aletta berbicara dengan cara yang sangat sopan sehingga dia tidak mempermasalahkan hal itu."Baiklah, jika itu sudah menjadi keputusanmu, Nona. Tapi, jika Anda membutuhkan bantuan, Anda bisa hubungi saya. Saya akan dengan senang hati memiliki pekerja seperti Anda." Pria itu berkata sambil meminta Aletta untuk menyimpan nomornya.Aletta mengerutkan kening tapi tetap mencatat nomor ponsel Jack di ponselnya. Ketika Jack pergi da
Ledakan tawa seketika memenuhi di sekitar toko itu. Itu adalah suara tawa Tobias Gray dan juga Lily Osborne.Bagaimana tidak mereka berdua itu tertawa, sebab di mata mereka Jack Morland adalah mahasiswa paling miskin di kampus mereka. Lalu, mereka kemudian melihat dia membela karyawan perempuan itu dengan cara menawarkan sebuah pekerjaan.Siapa yang akan percaya kepadanya?"Jack, bangunlah dari mimpimu! Tolong jangan gila!" Tobias menggelengkan kepala dan masih sambil tertawa keras.Lily menyeka air mata yang jatuh menetes akibat menertawakan kekonyolan Jack. Gadis itu lalu menanggapi, "Jack, ayolah. Kau masih waras kan?"Jack tidak merespon dan dia malah mengambil sepatu milik Aletta yang ditinggal tak jauh di belakangnya. Aletta masih bingung bagaimana dia harus bertindak."Pak, Anda serius?" Aletta akhirnya bertanya."Saya selalu serius." Jack memberikan sepasang sepatu milik Aletta tersebut kepada sang pemilik.Lily memutar bola mata. Dulu Jack memang selalu bersikap manis kepada
Aletta Miller sontak segera menghapus air mata yang telah membasahi pipinya. Gadis itu kemudian mencoba untuk memberanikan diri menatap pada Tobias Gray, sang putra dari pemilik mall besar tempatnya bekerja itu. Pria muda itu kini sedang berdiri tidak jauh darinya. Jarak mereka tak kurang dari tiga meter saja sehingga Aletta bisa melihat bagaimana Tobias terlihat begitu serius mengatakan hal itu. "Apa Anda sungguh-sungguh, Pak? Apa saya tidak akan dihukum?" Aletta bertanya dengan nada yang begitu sangat lirih.Siapapun yang mendengar suara gadis muda itu, mereka akan dengan mudah mengetahui jika gadis itu memang sedang sangat ketakutan.Lily Osborne semakin tidak sabar dan menjadi begitu kesal gadis yang tidak kalah cantik darinya itu. Dia juga mulai cemburu.Sementara itu Tobias masih terlihat tenang dan berwibawa. "Sejak kapan aku bercanda untuk masalah seperti ini, Nona ....?""Aletta Miller," ucap Kevin, sang manager ketika Tobias menoleh ke arahnya seolah-olah sedang bertanya k
Badan Aletta Miller langsung bergetar hebat mendengar ancaman sang putra pemilik Gray Mall itu. Gadis muda itu tentu saja sangat takut. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jika dia tidak memiliki pekerjaan. Dia masih memiliki seorang adik laki-laki kecil yang masih membutuhkan banyak biaya. Usianya masih dua belas tahun. Tahun depan, Aletta harus mengirimkan sang adik ke sekolah lain setelah lulus dari sekolah dasar. Lalu, bagaimana dia bisa melakukan semua itu jika dia dipecat dari mall itu? Air matanya langsung terjatuh begitu dia memikirkan bagaimana menderita hidupnya dan adiknya bila dia menjadi seorang pengangguran."Mencari pekerjaan itu tidak mudah. Aku pikir kau juga tahu akan hal itu," Tobias terlihat menatap gadis itu dengan tatapan kesal."Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak mengerti mengapa sikap saya dikatakan salah. Saya benar-benar hanya mencoba melakukannya sesuai dengan peraturan perusahaan. Peraturan nomor 12, Pak." Meskipun Aletta sangat ketakutan, dia tak mau
"Mencuri bagaimana? Aku sama sekali tidak mencuri." Jack menggelengkan kepala dengan tegas.Tobias mendengus keras, "Kau pikir kau bisa menipuku? Mana mungkin tikus got sepertimu memiliki uang sebanyak itu?"Lily mendukung argumen Tobias, sang kekasih. Dia pun ikut menambahkan dengan nada mengejek, "Untuk membeli makanan saja terkadang kau tidak bisa. Lalu, bagaimana mungkin kau sekarang bisa membayar sepatu berharga $200.000. Jelas sekali ini tidak masuk akal."Jack menatap dua orang itu secara bergantian. Pria yang masih memegang ponselnya yang bermodel kuno itu pun menanggapi, "Kenapa tidak masuk akal? Kalian sendiri tadi melihat bagaimana aku membayarnya. Aku membayarnya sendiri.""Bohong. Kau pasti menghubungi seseorang kan? Iya kan? Dasar penipu!" tuduh Lily sambil tersenyum mengejek. Tobias Gray berkata cepat, "Tunggu dulu, Lily. Bukankah kau tadi bilang jika dia memiliki teman yang lumayan kaya? Yah, meskipun aku sangat yakin dia tidak lebih kaya dariku.""Siapa orang itu? Mu
Sebelum karyawan itu sempat membalas, Lily Osborne bergerak mendekat ke arah Jack lalu merebut sepatu mewah itu dari tangan Jack yang terkejut melihat Lily sudah berdiri di dekatnya. Gadis cantik itu meneliti bahan sepatu pilihan Jack tersebut dan juga harganya. Tidak salah. Sepatu memang berharga $200.000. Lily bahkan harus menghitung angka nol di bagian belakang angka dua itu demi memastikan harga sepatu memanglah sudah benar."Apa kau sedang bercanda, Jack? Harga sepatu ini bahkan lebih besar dari gajimu selama bertahun-tahun sebagai seorang pelayan. Jadi, bagaimana mungkin kamu bisa membelinya?"Tobias ikut berjalan mendekat ke arah sang kekasih. "Sudahlah, biarkan saja, Lily. Mana mungkin dia punya uang? Dia pasti hanya ingin menipu kita saja."Lily menyerahkan sepatu itu pada sang karyawan, "Kembalikan pada tempatnya saja. Dia tak akan bisa membayarnya. Dia ... hanya membohongi kalian saja. Pasti saat dia sampai di kasir, dia akan memberi alasan bila dia tak bisa membayar kare
"Kau akan diperiksa lebih lanjut di sana tentang uang yang kau bawa ini."Sang petugas menuntun Jack untuk menuju ke arah ruang keamanan. Akan tetapi, sebelum mereka berjalan lebih jauh, seseorang berkata, "Tunggu!"Dua petugas itu pun berhenti dan menoleh."Tuan Muda Gray." Mereka menyapa dengan membungkuk sopan.Jack tidak menduga akan bertemu dengan orang itu sekarang. Namun, saat dia ingat dia sedang berada di mall milik keluarga Gray, dia pun berpikir bila kemungkinan besar bertemu dengan pria muda yang telah mencuri kekasihnya itu sangatlah besar.Jack melihat Tobias Gray sedang berjalan bersama Lily dengan tangan tertaut pada lengan Toby. "Ada apa ini?" Toby bertanya pada dua satpam itu."Anak muda ini adalah pengemis yang mencuri uang, Pak." Salah satu dari penjaga itu menjawab.LIily melebarkan mata. "Mencuri? Uang milik siapa yang dia curi?"Jack menghela napas dengan lelah, "Aku tidak mencuri apapun. Uang itu bukan hasil curian."Tobias menatap Jack dengan tatapan menghina
Tobias Gray mengernyitkan dahi kembali, "Voucher? Buat apa?"Lily menatap Jack si mantan kekasih dengan pandangan meremehkan, "Astaga, Toby. Lihatlah sepatu bututnya itu! Mungkin dia ingin memiliki sepatu baru."Tebakan Lily itu membuat Tobias sontak tertawa terpingkal-pingkal. Dia memberikan tatapan mencibir pada Jack, "Sepatu? Jadi, kau mau membeli sepatu di mall milik keluargaku, pecundang?"Jack masih terdiam, menanti ucapan Tobias selanjutnya seolah dia tahu Tobias masih belum berhenti berbicara."Apa kau tidak tahu berapa harga minimum sepatu di Gray Mall?" ucap Tobias sambil menyeringai, "Ah, tidak. Kalau aku sebutkan, aku takut kau akan pingsan.""Katakan saja berapa harganya!" Jack membalas masih menahan diri. "Tidak usah, yang pasti kau tidak akan mampu membelinya.""Jangankan sepasang, sebelahnya saja kau tak akan sanggup," tambah Tobias dengan senyum mengejek yang semakin menyebalkan."Bagaimana kalau aku bisa membelinya?" balas Jack pada akhirnya yang sudah tidak sanggup
"Apa Kakek sedang bercanda? Bagaimana mungkin aku menggantikan Kakek?" Jack berkata dengan ekspresi terlihat luar biasa bingung. Hugh tersenyum lembut. "Kenapa tidak mungkin? Harus berapa kali aku katakan? Kau satu-satunya pewaris kerajaan bisnis keluarga ini, tentu kau adalah pengganti Kakek." Setelah mempercayai statusnya, Jack malah semakin terlihat kebingungan. "Ta-tapi, Kek. Aku masih seorang mahasiswa." "Memang kenapa kalau kau masih mahasiswa? Kau tetap bisa menjalankan perusahaan keluarga sembari kau belajar di universitas." Hugh berhenti sejenak, mengamati ekspresi cucunya. "Dan lagi pula, kudengar kau mengambil jurusan bisnis manajemen. Bukankah itu sangat cocok?" Jack tidak pernah menduganya. "Aku mengambil jurusan itu dengan harapan setelah lulus nantinya bisa mengembangkan bisnisku sendiri." Hugh bertepuk tangan untuk sang cucu, "Itu luar biasa, Jack. Itu baru keturunan keluarga Morland." Jack meringis. "Tapi, tidakkah aku masih terlalu muda untuk menjalankan bis