“GUYS, KALIAN SEMUA HARUS LIHAT INI!” teriak seorang mahasiswi berambut blonde hair dengan bola mata berwarna abu-abu terang miliknya.
Setelah mendengar teriakan dari salah satu anggota FBG. FBG adalah sebutan geng untuk empat mahasiswi tercantik dan berpengaruh di kampus ini. Geng ini terdiri dari Michalina, sebagai ketua geng, Sara, Tania, dan Tanisa.
Spontan saja seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang berada di ruang makan kampus menatap Sara dengan tatapan yang berbeda-beda.
“Ada apa Sara?” tanya seorang mahasiswa yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam dengan datar.
Dia sudah tahu kalau Sara dan geng-nya akan menjelek-jelekkan mahasiswi yang tidak mereka sukai. Hal itu tidak hanya terjadi sekali saja. Di musim dingin tahun lalu, Sara dan geng-nya sudah membuat seorang mahasiswi yang mereka benci, pindah kampus ke Berlin. Dan kemungkinan besar, hal itu akan terulang untuk saat ini.
Tidak akan ada yang berani menegur geng FBG. Tidak akan!. Mana ada yang berani menegur mereka. Karena investor terbesar di kampus ini adalah ayah dari ketua geng FBG.
“Coba kalian lihat dia. Apakah dia pantas berkuliah di kampus elit ini?” tanya Tania yang berada di sebelah Sara, sambil menatap remeh pada mahasiswi berpenampilan cupu yang ada di depan geng-nya.
Setelah Tania berucap sesperti itu, seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruang makan kampus hanya terdiam. Hingga akhirnya, tawa menggelegar dari sang ketua geng, Michalina.
Michalina meredakan tawanya dan mulai mengeluarkan suaranya. “Dia akan membayar darimana, hah? Tidak mungkin kalau orangtuanya setara dengan orang tua kita. Kalau setara, tidak mungkin dia berpenampilan seperti ini. Tidak modis! Cupu!” maki Michalina habis-habisan pada mahasiswi yang kini berada disampingnya.
“Ucapan Michalina logis kan?” tanya Tanisa dengan maksud agar ruang makan kampus ini tidak sunyi.
“Sangat logis!” sahut mahasiswi yang baru saja datang di ruang makan kampus.
“Atau mungkin saja, dia adalah anak mafia yang sedang menyamar?” celetuk mahasiswi lainnya.
Michalina tertawa dengan kerasnya. “Tidak mungkin dia anak mafia. Kalaupun dia anak mafia, seharusnya ada data tentangnya yang menjelaskan kalau dia merupakan anak dari orang yang berpengaruh di benua ini.”
“Semua tidak perlu bukti Michalina. Bisa saja dia ditugaskan oleh ayahnya untuk melakukan suatu hal di kampus kita,” ujar mahasiswa sambil meminum jus jeruknya.
“DIAM KAU CALLUM!” bentak Michalina dengan penuh amarah.
“Jika kalian semua tidak setuju dengan yang kukatakan, aku akan melaporkan semua ini pada ayahku dan ayahku akan menghentikan investasinya di kampus ini. Setelah itu, dia akan menjelek-jelekan nama kampus ini dan dalam hitungan detik, kampus ini akan lenyap!” ucap Michalina dengan penuh ancaman.
Dengan spontan seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang ada di ruang makan ini menutup mulut mereka rapat-rapat. Jika Michalina sudah seperti ini, tidak akan ada lagi yang membantah ucapan Michalina. Apa yang diucapkan oleh Michalina bukan hanya sekedar ucapan diiringi ancaman belaka. Michalina tidak akan bermain-main dengan ucapannnya.
Tidak ada yang berani membantah Michalina. Bahkan pemilik dan ketua kampus ini tidak berani melakukan hal itu. Jika mereka sampai berani nembantah, maka kampus ini akan kehilangan reputasi sebagai sekolah elit terbaik di benua Amerika. Tidak hanya itu saja, bangunan megah yang sudah direnovasi puluhan kali pun akan rata dengan tanah.
Mahasiwi yang menjadi objek bullying dari geng FBG hanya bisa diam tak berkutik. Dia tidak merasa sedih, marah, atau takut. Dia merasa biasa saja. Karena inilah jalan yang harus dia lewati untuk mencapai dua impian yang sudah dia nantikan sejak lulus sekolah menengah atas.
Mahasiswi yang menjadi objek bullying bernama Shelley Valiere. Mahasiswi yang baru saja masuk ke kampus elit ini beberapa menit lalu, langsung mendapat bullying dari geng FBG. Shelley hanya bisa melihat sepatunya yang lusuh yang berada di atas lantai marmer yang memiliki harga fantastis. Sepatu ini sangat tidak layak untuk menginjak lantai marmer ini. Tetapi, itulah fungsi dari lantai. Yaitu diinjak dan memberikan kenyamanan beserta keindahan.
“Astaga Michalina. Padahal mahasiswi itu adalah mahasiswi baru di kampus ini. Apakah Michalina tidak memiliki attitude yang baik?” bisik Alana pada sahabatnya.
“Apa kau adalah mahasiswi baru di kampus ini, hah? Kau terlihat seperti mahasiswi polos yang tidak mengenal bagaimana busuknya Michalina. Percuma saja kalau dia memiliki harta berlimpah dan kecantikan, tapi tidak memiliki attitude,” balas Lizzie.
“Aku merasa ada yang berbeda dari mahasiswi itu,” ujar Alana dengan sangat pelan.
Lizzie hanya mengangguk karena dia pun memiliki pendapat yang sama seperti sahabatnya, Alana.
“Coba kalian bayangkan, darimana dia bisa membayar uang bulanan kampus ini? Apakah dia akan mencuri atau berhutang pada bank?” tanya Sara dengan maksud menghidupkan suasana agar semua orang yang ada di ruang makan kampus ini kembali mem-bully mahasiswi cupu yang ada di depannya.
Dan ternyata benar saja. Suasana untuk mem-bully mahasiswi baru kembali hidup. Para mahasiswi dan mahasiswa tertawa karena ucapannya barusan. Bahkan tidak jarang juga, ada yang menimpali dengan kalimat merendahkan pada mahasiswi baru.
Michalina tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya seluruh orang yang ada di ruang makan kampus ini mendukungnya untuk memberi kalimat merendahkan pada mahasiswi yang dia ketahui bernama Shelley.
“Bagus, dengan begini, aku bisa semakin menjatuhkan Shelley dihadapan para orang di kampus ini. dan yang terpenting, hubunganku dengan my love Edbert tidak akan terancam,” batin Michalina dibalik senyum kemenangannya.
Itulah alasan Michalina selalu membully mahasiswi baru yang dia anggap sebagai ancaman untuk hubungan asmaranya dengan pria yang sangat dia cintai, Edbert Bravey. Sudah 6 tahun dia mencintai Edbert, tetapi Edbert selalu menganggapnya tidak ada. Sejak usia 16 tahun, dia dan Edbert dipertemukan di satu sekolah menengah atas. Dan mulai saat itu, dia mulai mencintai Edbert.
Tanpa Michalina sadari, dari gerombolan para mahasiswa, ada seorang pria yang sedang menatapnya dengan datar sambil berdesekap dada.
“Edbert, kenapa kau bisa dicintai oleh wanita licik sepertinya?” tanya Brandon pada Edbert yang sedang memberikan tatapan tanpa ekspresi pada Michalina.
“Entahlah, apa aku yang terlalu banyak dosa atau memang sudah takdirku,” jawab Edbert dengan malas.
Sorot manik berwarna cokelat terang milik Edbert beralih pada mahasiswi berpenampilan cupu dan mengenakan kacamata yang menjadi obejk bullying dari Michalina dan geng-nya. Dia merasa ada yang menarik dari mahasiswi baru itu. Padahal kalau dilihat-lihat, mahasisiwi itu terlihat sangat sederhana. Dia yakin kalau mahasisiwi itu adalah anak dari kalangan atas. Kalau dilihat dari kulit mahasiswi itu, terlihat sangat jelas kalau kulit itu selalu dirawat. Kulit berwarna putih bersih itu, terlihat pas dengan rambut hitam kecokelatan yang diikat kuda olehnya.
“Dia lebih menarik daripada Michalina,” batin Edbert memuji mahasiswi yang sedang dibully habis-habisan oleh Michalina dan geng-nya.
“Edbert.” “Edbert.” “Edbert.” “Edbert!” pekik Brandon dengan pelan, tepat di telinga kanan Edbert. Edbert sedikit terlonjak kaget karena pekikan Brandon di telinganya. “Fuck Brandon!” maki Edbert dengan kesal. “Apa yang sedang kau lihat, hah? Mahasiswi itu?” tebak Brandon dengan sangat penasaran. Edbert hanya bisa diam dan menutup mulutnya rapat-rapat. Brandon tersenyum dengan sangat tipis. Dia tahu apa arti dari diamnya seorang Edbert Bravey. Brandon mengalihkan pandangannya pada mahasiswi cupu yang sedag di-bully oleh Michalina dan geng-nya. Ada perasaan kasihan pada mahasiswi cupu itu. Padahal, ini adalah hari pertama bagi mahasiswi itu untuk menuntut ilmu di kampus bisnis ini. Brandon menyentuh airpods yang terpasang ditelinganya. Dengan perasaan malu dan kesal, Brandon berucap pada orang diseberang sana. “Sara, cepatlah pergi ke rooftop. Aku tunggu di sana,” ujar Brandon pada Sara melalui airpods.
Shelley sedikit kaget karena tawaran yang diberiakan oleh Alana dan Lizzie. Dia tidak menyangka mereka akan dengan mudah menerimanya sebagai teman. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi adalah saat Lizzie dan Alana menawarkannya untuk menjadi sahabat mereka.Shelley masih menimang-nimang ajakan kedua mahasiswi cantik yang ada di hadapan mereka. Tawaran yang mereka berikan sngatlah tulus. Dia bisa melihat ketulusan dari manik berwarna cokelat gelap milik Lizzie dan manik berwarna cokelat terang milik Alana.“Astaga, aku tidak menyangka mereka akan menawarkan hal ini padaku. Apa sebaiknya aku terima saja tawaran mereka? Tapi, apakah mungkin mereka serius menawarkan hal ini padaku,” batin Shelley dengan sangat bimbang.“Bagaimana Shelley?” tanya Lizzie dengan tatapan penuh harapan agar Shelley mau menerima ajakannya.“Terima lah Shelley. Kami memang tulus ingin berteman denganmu ... atau lebih baik lagi, kita bersahabat,” t
Lizzie yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam dan mengikuti segala yang dilakukan oleh pria tampan dihadapannya.“Alana dan ... Shelley, aku akan pergi bersama Lizzie. Kalian jaga diri baik-baik,” pesan pria itu sebelum pergi bersama Lizzie.“Dia kakak kembaranku,” ujar Alana setelah meneguk soda dingin miliknya.Shelley mengangguk kecil.Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley mengucapkan pendapatnya tentang kembaran Alana. “Pantas saja dia menjadi idola kampus ketiga. Seharusnya kau bangga dengan kembaranmu, Alana,” pendapat Shelley.Alana memutar bola matanya malas. “Kuharap kau tidak keturalan virus dari Lizzie, Shelley. Huh, entah kenapa aku merasa tidak beruntung ketika mendapatkan kembaran seperti Adward.” Kesal Alana.“Tapi kenapa?”Jujur saja Shelley tidak paham dengan maksud Alana. Seharusnya Alana bangga dengan kakak kembarannya. Tetapi, kenapa in
Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.“Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa
“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV. Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin. “Negara?” Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.” “Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana. Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.” Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar. “Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?” Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.” “Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s
Brak...Seluruh mata langsung tertuju pada Brandon. Sang empu yang ditatap oleh enam mata, malah menyengir tak bersalah.“Bukan salahku, salahkan pintunya yang cari perhatian,” ucap Brandon dengan langkah lebarnya menuju meja makan.Enam manik itu berotasi. Brandon memang seperti itu. Suka mencari-cari kesalahan benda mati dan terkadang sangat menjengkelkan. Namun, dua sifat itulah yang mampu membuat sahabat-sahabatnya terhibur.“Ayo cepat sarapan Brandon!” seru Noah dengan menghentak-hentakkan garpu pada meja makan.“Shutt, diam Flyta,” balas Brandon setelah ia mendudukkan bokongnya di kursi.Noah mematung. Ucapan Brandon, mampu mengacak-acak otaknya pagi ini. Bagaimana tidak, pertanyaan yang terus berputar dibenaknya hanya berporos pada apa yang diucapkan Brandon.Flyta. Nama itu kembali muncul kepermukaan. Sudah bertahun-tahun ia menenggelamkan dan menutup mata beserta telinga dari seorang
“Ish, Noah kakimu,” keluh Brandon saat kaki Noah menindihi kakinya.“Noah,” panggil Brandon dengan kedua mata tertutup.Tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan Noah sudah tidur?Brandon menghembuskan napas lelah bercampur kesal. Ia membuka paksa kedua maniknya. Sorot maniknya langsung tertuju pada Noah. Dilihatnya Noah sedang menutup kedua maniknya dengan sebelah tangan. Sebuah pikiran buruk mulai melintas di benak Brandon.“Pasti Noah sedang berpura-pura tidur,” tuduh Brandon di dalam batin.Brandon memajukan tangannya untuk menyentuh lengan kekar Noah. Ralat, Brandon ingin sekali memukuli sahabat rakus nan egoisnya itu. Namun saat mengingat kejadian tadi, ia mengurungkan niatnya.Brandon menoel-noel lengan kekar Noah. Berharap remaja itu terganggu dari tidurnya dan segera menyingkirkan sebelah kakinya. Bukan hanya itu yang menggangu kenyamanan Brandon. Ya, bukan hanya kaki saja. Melainkan ketiak Noah yang t
“Aleix, jadi, kau akan langsung memegang kendali perusahaan?” tanya Edbert setelah menelan pizza yang sudah dikunyah halus olehnya.Aleix menghabiskan sepotong pizza dan mengunyahnya secara perlahan. Setelah pizza itu tertelan dan mulutnya telah bersih dari pizza, ia mulai membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan Edbert.“Tidak, aku hanya akan belajar sedikit-sedikit tentang perusahaan. Lagipula, aku masih harus melanjutkan kuliahku,” jawab Aleix.“Hah, kalau aku menjadi Aleix, lebih baik gantung diri saja,” timpal Brandon dengan kedua tangan yang penuh dengan potongan pizza.“Itulah kenapa Tuhan tidak mengirimkan kau pada keluarga Sevran,” sahut Noah.Saat Noah menyahuti timpalan Brandon, ia menyempatkan diri untuk melempari potongan kecil daging sapi yang dijadikan toping pizza.Brandon yang sedang tidak ingin adu mulut pun memilih untuk bersikap biasa saja dan memasukkan potongan kecil dagin
Edbert melepas pelukannya dan menatap khawatir pada Aleix yang sedang memejamkan kedua maniknya.“Ada apa Aleix? Jangan membuatku khawatir,” panik Edbert dengan melihat kanan-kiri tubuh Aleix.Aleix mendongakkan wajahnya. Ia memberi cengiran canggung pada Edbert.“Aku lapar,” keluh Aleix dengan wajah memerahnya.Edbert memutar bola mata. Ia pikir, Aleix akan mengatakan suatu hal yang penting. Ternyata ia salah.Edbert mengamati perubahan wajah Aleix. Wajah Aleix memerah. Ingin rasanya ia tertawa karena wajah Aleix yang begitu menggemaskan. Namun, ia tidak akan menertawakan Aleix kali ini. Ia akan menuruti setiap permintaan Aleix tuk terakhir kalinya.“Kau mau apa?” tanya Edbert dengan perhatian.“Aku mau Wild Alaskan Salmon Fish, Tater Tots, Chicago’s Deep Dish Pizza, Fajitas, Mac and Cheese, dan Meatloaf,” sahut Brandon.“Aku tidak bertanya padamu Brandon,” ujar
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s