“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV.
Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin.
“Negara?”
Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.”
“Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana.
Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.”
Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar.
“Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?”
Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.”
“Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah masalah untukmu?”
Shelley mengangguk. “Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu. Jadi hal seperti itu bukanlah masalah besar untukku. Yang terpenting, aku tetap berbuat baik pada siapapun,” terang Shelley.
“Termasuk pada orang yang telah membullymu?” tanya Alana setelah mendengar ucapan Shelley.
“Tentu saja. Kalau aku membalas keburukan mereka, sama saja aku seperti mereka yang sudah membullyku,” jawab Shelley dengan tersenyum.
Alana terdiam karena jawaban Alana yang terdengar sangat jujur. Jujur saja, dia tidak pernah bertemu dengan orang seperti Shelley. Mungkin, dia bisa belajar banyak hal dari Shelley. Biarpun Shelley hanyalah seorang pelayan dan berkuliah di kampus bisnis ter-elit di benua Amerika karena dibiayai oleh majikannya, Shelley terlihat seperti orang yang sangat cerdas dan memiliki pemikiran yang berbeda dari orang kebanyakan. Hati yang dimiliki oleh Shelley pun jarang ditemukan di kota metripolitan ini. Hati yang tulus, otak yang cerdas, dan selalu memiliki pikiran yang baik, adalah ciri khas dari seorang Shelley.
Alana menatap wajah Shelley. Bibir tipis, rambut berwarna hitam kecokelatan yang dikuncir kuda, kulit putih bersih, bola mata berwarna biru terang, alis tipis, hidung mancung, dan kacamata baca. Dia yakin kalau Shelley melepas kuciran rambutnya dan melepas kacamata baca itu, Shelley akan terlihat lebih cantik. Andai saja dia bisa melihat saat Shelley tidak menggunakan kacamata baca dan mengurai rambut hitam kecokletan yang terlihat panjang. Dia yakin kalau Shelley sudah seperti itu, pasti Shelley akan terlihat sangat cantik.
“Shelley, apakah kau mau memakai bajuku? Aku khawatir kalau pakaian milik Lizzie sedikit basah karena terkena beberapa rintik hujan,” tawar Alana.
Shelley melihat pada pakaian milik Lizzie yang sedang dia kenakan. “Tidak perlu Alana. Pakaian ini tidak basah,” jawab Shelley setelah melihat pakaian Lizzie yang tidak basah sama sekali.
“Kalau begitu, aku akan berganti pakaian. Tunggu sebentar ya, Shelley,” ucap Alana sambil bangkit dari duduknya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan menonton TV-mu.”
“Jika kau ingin mengganti saluran TV-nya, gantilah. Jangan sungkan,” ucap Alana sebelum menutup pintu kamarnya.
***
Alana mengunci pintu kamarnya dan segera melangkahkan kakinya menuju lemari pakaiannya. Dia harus memilih pakaiannya dengan cepat. Bukan karena takut barangnya ada yang hilang karena Shelley. Tetapi dia tidak ingin Shelley menunggunya terlalu lama dan dia tidak mau kalau Shelley sampai bosan di apartemennya. Dia akan selalu memastikan Shelley merasa nyaman berada di apartemen mewahnya ini.
Alana telah berganti pakaian. Kini, dia menggunakan pakaian khas rumahan. Celana pendek di atas lutut dan kaos longgar kebesaran berwarna kuning telur dan terdapat tulisan ‘i’m okay MOM’ berwarna hitam.
Alana mengambil ponselnya yang tadi dia lempar sembarangan di kasur queen size miliknya. Ada beberapa notifikasi di layar kunci ponselnya. Dia mendudukkan tubuhnya dan melihat apa saja notifikasi yang masuk kedalam ponselnya.
Alana menghembuskan napas kala melihat-lihat notifikasi yang menurutnya tidak penting untuk dibahas sekarang. Dia menyempatkan diri untuk melihat story W******p dari Lizzie dan Adward. Lizzie hanya membagikan sebuah foto pemandangan dari atas gedung. Dia yakin kalau Lizzie berada disebuah gedung pencakar langit yang sedang populer akhir-akhir ini. pemandangan yang diberikan memang sangat indah. Tetapi yang membuatnya aneh, kenapa langitnya tidak gelap seperti langit yang ada dikawasan unit apartemennya?
Alana mengedikkan bahu dan menaruh ponselnya di atas nakas sebelah tempat tidurnya. Dia melangkahkan kakinya menuju meja rias yang sangat simple dan berada di belakang tubuhnya. Tangannya terulur pada sebuah benda berwarna hitam pekat. Jari lentiknya mengambil benda itu dan langsung dilingkarkan pada pergelangan tangannya.
Alana melihat pantulan wajahnya sekilas pada cermin berbentukbundar yang ada dihadapannya. Wajahnya terlihat sangat kusut. Padahal dia sudah membasuh wajahnya dengan air tadi.
“Daripada aku pusing memikirkan tentang wajahku, lebih baik aku segera menghampiri Shelley dan meminta bantuannya,” gumam Alana sebelum meninggalkan cermin yang sudah membuatnya sedikit kesal.
Alana melangkahkan kakinya lagi untuk mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas kamarnya. Setelah ponselnya berada di dalam genggamannya, Alana segera melangkahkan kakinya menuju pintu keluar kamar.
Shelley mengulurkan tangannya untuk mengambil cangkir yang berisi coklat panas. Dia sengaja memiringkan cangkir itu dengan pelan. Tujuannya supaya mulutnya tidak kepanasan saat terkena coklat yang masih panas. Saat coklat itu mengenai lidahnya, Shelley langsung membatin.
“Astaga, ternyata sudah tidak panas,” gerutu Shelley di dalam hatinya.
“Apakah masih panas, Shelley?” tanya Alana dengan pelan agar Shelley tidak kaget. Namun, Shelley tetap saja kaget karena kehadiran Alana yang tiba-tiba.
“Astaga Alana, kau membuatku kaget,” ucap Shelley dengan sedikit kesal, setelah menjauhkan cangkir coklat panas dari mulutnya. Ralat, coklat yang diminum oleh Shelley sudah tidak panas lagi.
“Maafkan aku Shelley,” ujar Alana dengan tidak enak.
“Kalau sudah tidak panas, aku bisa memanaskannya lagi.” lanjut Alana.
Shelley menggeleng. “Tidak perlu, lagipula sebentar lagi aku akan pulang.”
Alana sedikit membulatkan kedua matanya. “Kenapa? Apa kau tidak merasa nyaman di apartemen ini?”
“Bukan seperti itu Alana, aku ... aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku,” ucap Shelley agar Alana tidak salah paham.
“Mungkin kalau ada waktu dan diperbolehkan oleh majikanku, aku akan menginap di apartemenmu Alana,” sambung Shelley supaya raut sedih Alana cepat menghilang.
Benar saja, raut wajah Alana kembali seperti sedia kala. Raut wajah bahagia telah menggantikan raut wajah sedihnya.
“Benarkah?” tanya Alana dengan raut wajah bahagia.
Shelley mengangguk. “Akan aku usahakan. Semoga saja majikanku mengizinkannya.”
Dengan spontan, Alana memeluk tubuh Shelley dengan sangat erat untuk menyalurkan rasa bahagia yang ada dalam dirinya.
“Aku sangat senang kau mau menginap di apartemenku, Shelley,” ucap Alana dengan snagat senang disela-sela pelukannya dengan Shelley.
Shelley yang berada di dalam pelukan Alana hanya tersenyum dan berucap ‘iya’ dengan kikuk. Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley melerai pelukan dengan perlahan.
“Eum Alana, sepertinya aku harus pergi sekarang,” ucapnya sambil melihat kearah jam dinding.
Alana mengikuti arah pandangan Shelley. Ternyata, hari sudah mulai malam. Alana kembali menatap Shelley dan mengangguk pelan.
“Baiklah Shee, akan aku antarkan kau ke rumahmu,” ujar Alana.
Shelley menganga. Apakah Alana memanggilnya dengan panggilan Shee? Wow, dia tidak menyangka Alana akan memberinya panggilan secantik itu. Baru kali ini Shelley mendapat nama panggilan. Sebelumnya tidak ada yang mau memberinya nama panggilan. Semua orang yang dikenal olehnya selalu memanggilnya dengan nama aslinya, Shelley. Kecuali mendiang neneknya. Mendiang neneknya selalu memanggilnya dengan sebutan Shelle. Hah, ketika mengingat tentang mendiang neneknya, Shelley merasa sangat ingin memeluk makam neneknya yang berada di Los Angeles sana.
“Shee,” panggil Alana karena Shelley menganga.
“Shee,” panggil Alana lagi sambil menggerakan telapak tangannya tepat di depan mata Shelley.
“Shee,” panggil Alana lagi dan lagi sambil tetap menggerakan tangannya.
“SHEE!” panggil Alana sambil menaikan nada suaranya.
Shelley mengerjapkan kedua manik matanya saat Alana menaikan nada suaranya sambil terus melambaikan tangan padanya.
“Hah? Iya, ada apa Alana?” tanya Shelley dengan bingung.
Shelley yakin kalau Alana sedang berbicara tadi. Sialnya, dia malah melamun.
“Kenapa kau menganga sambil melamun?” tanya balik Alana.
“Aku? Melamun?” tanya balik Shelley dengan bingung.
“Iya, melamun. Sudah lebih dari tiga kali aku memanggil namamu, tapi kau terus saja diam dengan mulut menganga dan pandangan mata yang tertuju padaku,” ujar Alana panjang lebar.
“Hah—ti-tidak, aku sedang tidak memikirkan apapun,” alibi Shelley.
Sebenarnya Alana tahu kalau Shelley sedang berbohong padanya. Hanya saja, dia berusaha untuk percaya pada Shelley. Alana terus berpikir kalau Shelley melamun karena sedang memikirkan sesuatu yang bersifat pribadi dan belum saatnya dia mengetahui hal ini. Alana seperti itu karena dia percaya kalau Shelley akan menceritakan hal ini di waktu yang tepat.
“Alana, aku akan pulang sekarang. Terima kasih karena sudah mau berteman denganku dan menemaniku selama 2 jam,” ujar Shelley sambil bersiap untuk pergi.
“Itu sudah kewajibanku sebagai sahabat. Apakah kau lupa kalau kau, aku, dan Lizzie adalah sahabat?”
Shelley tersenyum malu. Jujur saja dia lupa tentang hal ini.
“Tidak perlu malu Shelley ... oh ya, kalau kau ingin masuk kedalam apartemenku, masuklah tanpa menunggu aku membuka pintu.” Shelley mengangguk dengan pelan.
“Jangan lupa untuk menyempatkan waktu untuk menginap di apartemenku.” tambah Alana dengan tatapan yang penuh dengan pengharapan.
“Aku akan usahakan. Eum, aku harus pergi sekarang dan hari juga sudah mulai gelap,” ucap Shelley sambil bangkit dari duduknya.
“Baiklah, hati-hati di jalan Shee dan jangan lupa jaga diri. Oh ya, jangan lewat jalan yang gelap dan sepi karena di daerah itu sangat rawan dengan penculikan dan berakhir pelecehan,” pesan Alana sebelum Shelley benar-benar melangkahkan kakinya menuju pintu keluar unit apartemnnya.
“Aku akan mengingat semua ucapanmu Alana,” balas Shelley dengan tersenyum sambil melangkahkan kakinya menuju pintu keluar unit apartemen milik sahabatnya.
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Edbert melepas pelukannya dan menatap khawatir pada Aleix yang sedang memejamkan kedua maniknya.“Ada apa Aleix? Jangan membuatku khawatir,” panik Edbert dengan melihat kanan-kiri tubuh Aleix.Aleix mendongakkan wajahnya. Ia memberi cengiran canggung pada Edbert.“Aku lapar,” keluh Aleix dengan wajah memerahnya.Edbert memutar bola mata. Ia pikir, Aleix akan mengatakan suatu hal yang penting. Ternyata ia salah.Edbert mengamati perubahan wajah Aleix. Wajah Aleix memerah. Ingin rasanya ia tertawa karena wajah Aleix yang begitu menggemaskan. Namun, ia tidak akan menertawakan Aleix kali ini. Ia akan menuruti setiap permintaan Aleix tuk terakhir kalinya.“Kau mau apa?” tanya Edbert dengan perhatian.“Aku mau Wild Alaskan Salmon Fish, Tater Tots, Chicago’s Deep Dish Pizza, Fajitas, Mac and Cheese, dan Meatloaf,” sahut Brandon.“Aku tidak bertanya padamu Brandon,” ujar
Brak...Seluruh mata langsung tertuju pada Brandon. Sang empu yang ditatap oleh enam mata, malah menyengir tak bersalah.“Bukan salahku, salahkan pintunya yang cari perhatian,” ucap Brandon dengan langkah lebarnya menuju meja makan.Enam manik itu berotasi. Brandon memang seperti itu. Suka mencari-cari kesalahan benda mati dan terkadang sangat menjengkelkan. Namun, dua sifat itulah yang mampu membuat sahabat-sahabatnya terhibur.“Ayo cepat sarapan Brandon!” seru Noah dengan menghentak-hentakkan garpu pada meja makan.“Shutt, diam Flyta,” balas Brandon setelah ia mendudukkan bokongnya di kursi.Noah mematung. Ucapan Brandon, mampu mengacak-acak otaknya pagi ini. Bagaimana tidak, pertanyaan yang terus berputar dibenaknya hanya berporos pada apa yang diucapkan Brandon.Flyta. Nama itu kembali muncul kepermukaan. Sudah bertahun-tahun ia menenggelamkan dan menutup mata beserta telinga dari seorang
“Ish, Noah kakimu,” keluh Brandon saat kaki Noah menindihi kakinya.“Noah,” panggil Brandon dengan kedua mata tertutup.Tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan Noah sudah tidur?Brandon menghembuskan napas lelah bercampur kesal. Ia membuka paksa kedua maniknya. Sorot maniknya langsung tertuju pada Noah. Dilihatnya Noah sedang menutup kedua maniknya dengan sebelah tangan. Sebuah pikiran buruk mulai melintas di benak Brandon.“Pasti Noah sedang berpura-pura tidur,” tuduh Brandon di dalam batin.Brandon memajukan tangannya untuk menyentuh lengan kekar Noah. Ralat, Brandon ingin sekali memukuli sahabat rakus nan egoisnya itu. Namun saat mengingat kejadian tadi, ia mengurungkan niatnya.Brandon menoel-noel lengan kekar Noah. Berharap remaja itu terganggu dari tidurnya dan segera menyingkirkan sebelah kakinya. Bukan hanya itu yang menggangu kenyamanan Brandon. Ya, bukan hanya kaki saja. Melainkan ketiak Noah yang t
“Aleix, jadi, kau akan langsung memegang kendali perusahaan?” tanya Edbert setelah menelan pizza yang sudah dikunyah halus olehnya.Aleix menghabiskan sepotong pizza dan mengunyahnya secara perlahan. Setelah pizza itu tertelan dan mulutnya telah bersih dari pizza, ia mulai membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan Edbert.“Tidak, aku hanya akan belajar sedikit-sedikit tentang perusahaan. Lagipula, aku masih harus melanjutkan kuliahku,” jawab Aleix.“Hah, kalau aku menjadi Aleix, lebih baik gantung diri saja,” timpal Brandon dengan kedua tangan yang penuh dengan potongan pizza.“Itulah kenapa Tuhan tidak mengirimkan kau pada keluarga Sevran,” sahut Noah.Saat Noah menyahuti timpalan Brandon, ia menyempatkan diri untuk melempari potongan kecil daging sapi yang dijadikan toping pizza.Brandon yang sedang tidak ingin adu mulut pun memilih untuk bersikap biasa saja dan memasukkan potongan kecil dagin
Edbert melepas pelukannya dan menatap khawatir pada Aleix yang sedang memejamkan kedua maniknya.“Ada apa Aleix? Jangan membuatku khawatir,” panik Edbert dengan melihat kanan-kiri tubuh Aleix.Aleix mendongakkan wajahnya. Ia memberi cengiran canggung pada Edbert.“Aku lapar,” keluh Aleix dengan wajah memerahnya.Edbert memutar bola mata. Ia pikir, Aleix akan mengatakan suatu hal yang penting. Ternyata ia salah.Edbert mengamati perubahan wajah Aleix. Wajah Aleix memerah. Ingin rasanya ia tertawa karena wajah Aleix yang begitu menggemaskan. Namun, ia tidak akan menertawakan Aleix kali ini. Ia akan menuruti setiap permintaan Aleix tuk terakhir kalinya.“Kau mau apa?” tanya Edbert dengan perhatian.“Aku mau Wild Alaskan Salmon Fish, Tater Tots, Chicago’s Deep Dish Pizza, Fajitas, Mac and Cheese, dan Meatloaf,” sahut Brandon.“Aku tidak bertanya padamu Brandon,” ujar
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s