Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.
“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.
Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.
Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.
“Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.
Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.
Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa setengah coklat panas. Dia terus-menerus menanyanyakan pada dirinya apakah ini waktu yang tepat untuk menceritakan segalanya pada Shelley.
“Shelley, aku ingin memberitahu hal yang belum pernah aku beritahu kepada orang lain,” ujar Alana.
Shelley menaruh cangkir berwarna kuning tua disebelah cangkir bekas Alana.
“Silakan Alana. Aku akan berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.”
Alana menghembuskan napas berat. Jujur saja, ini pertama kalinya menceritakan masalah pribadi yang selalu menimpanya setiap berada di manison kedua orangtuanya.
“Aku selalu dibanding-bandingkan dengan Adward,” ucapnya menatap kaki putih pucatnya yang berada di atas karpet bulu yang hangat.
Shelley terdiam. Dia berusaha untuk mencerna ucapan Alana. Hal yang terjadi pada Alana mungkin sering dirasakan oleh orang-orang diluaran sana. Dibanding-bandingkan dengan saudara lebih menyakitkan daripada dibanding-bandingkan dengan anak tetangga. Memang benar kalau dia tidak pernah merasakan dibanding-bandingkan dengan saudara, karena dia tidak memiliki saudara dan orang tua. Namun, itulah yang selalu dikatakan oleh teman lamanya. Teman lama yang dulu sangat dekat dengannya, selalu ada disaat dia membutuhkan, dan kini, dia telah pergi. Entah kapan dia bisa bertemu dengan teman lamanya itu. Karena yang memisahkan mereka bukanlah daratan ataupun lautan, melainkan teman lamanya sudah berada di sisi Tuhan.
“Kenapa bisa?” tanya Shelley dengan bingung.
“Dia selalu lebih jauh berada di depan. Sedangkan aku, masih harus mengejarnya untuk bisa mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuaku.”
Flashback on...
“Selamat datang di manison Nona,” sapa seorang wanita yang berusia setengah abad dengan pakaian khas pelayan di manison milik keluarga Corda.
“Terima kasih. Ibu Julia, dimana ayah dan ibuku?” tanyanya sambil melangkahkan kakinya.
“Nyonya sedang membaca majalah di ruang tengah dan tuan sedang berada di ruang kerjanya, Nona Alana,” jawabnya dengan hormat.
“Hah, sore-sore begini ternyata ayah sedang mengurusi perusahaannya,” keluh Alana.
Sang pelayan hanya diam. Dia takut menimpali ucapan anak kedua dari majikannya. Dia sangat takut kalau salah berbicara dan membuat pekerjaannya sebagai kepala pelayan lenyap begitu saja.
Alana yang saat itu masih berusia 19 tahun, melihat sebuah figura besar yang terpajang di ruang tamu manison milik kedua orangtuanya. Sebuah foto berukuran besar yang dilindungi oleh kaca tebal dan bingkai berkualitas tinggi dengan warna silver. Didalam foto itu terdapat dirinya, kedua orangtuanya, dan saudra kembarnya, Adward. Didalam foto itu terlihat seperti keluarga yang harmonis dan saling menyayangi satu dan lainnya. Namun, tidak dengan kenyataan yang harus dia terima. Kedua orangtuanya lebih menyayangi dan perhatian dengan saudara kembarnya, ketimbang dirinya yang merupakan anak perempuan satu-satunya yang ada di keluarga Corda.
Tidak jarang Alana menanyakan pada Tuhan kenapa takdir yang harus dia jalani sesulit ini. Terkadang pula, Alana berpikiran untuk pergi jauh-jauh dari keluarganya dan tidak akan lagi berkomunikasi dengan seluruh keluarga Corda. Pikirannya itu, membuatnya selalu ingin pergi ke suatu negara yang berbeda dengan benua yang dia dan seluruh keluarga besarnya tinggali sekarang. Dia akan memulai hidup baru di negara yang entah sampai kapan dia akan tinggali. Dengan begitu, dia bisa hidup lebih tenang dan damai ketimbang berada didekat kedua orangtuanya.
Pandangan mata Alana tertuju pada seorang wanita yang menggunakan dress berwarna hijau gelap. Wanita berambut blonde yang sedang membaca majalah, hanya diam ketika Alana duduk disebelahnya. Pandangan wanita itu terus tertuju pada majalah mingguan yang sudah dia baca sejak beberapa menit lalu.
“Mom,” sapa Alana, berharap sang ibu menatapnya dan menanyakan kabarnya.
“Heem.” dehem ibunya tanpa melihat Alana sedikit pun.
Alana mengalihkan pandangannya pada sang kepala pelayan yang hendak pergi. Alana menyiratkan tatapan kesedihan pada sang kepala pelayan. Respon dari ibunya tadi, sudah membuat hati Alana seperti tersayat. Sang kepala pelayan hanya bisa tersenyum tipis. Dia menunduk hormat dan pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya yang belum terselesaikan.
“Mom, bisakakah kau bersikap padaku seperti sikap yang kau berikan pada kembaranku? Aku pulang ke manison karena rindu dengan Mommy dan daddy,” ucap Alana dengan air mata yang mulai menetes.
Wanita yang tak lain adalah ibu kandung Alana, menutup majalahnya dengan kasar dan menatap tajam pada sang anak. “Usiamu berapa, hah? 19 tahun kan? Kenapa kau masih saja menangis seperti anak kecil?” maki sang ibu.
“Jangan panggil aku Mommy, jangan panggil suamiku daddy, dan jangan panggil putraku dengan sebutan nama. Kau harus memanggilku dengan Nyonya Corda. Kau harus memanggil suamiku dengan sebutan tuan Corda. Dan kau harus memanggil putraku dengan sebutan tuan Adward Corda. Dan ... kau hanyalah parasit yang selalu merugikan kami bertiga.”
“Kau ingin aku bersikap padamu seperti aku bersikap pada putraku?” Alana mengangguk disela-sela tangisannya.
“Kau harus bisa melampaui prestasi yang dimiliki putraku. Apa kau bisa, Gadis Bodoh?!”
Alana langsung bangkit dari duduknya dan berlari menuju tangga yang melingkar. Sambil menaiki anak tangga yang berjumlah belasan, tangisan Alana tidak bisa dihentikan. Setelah tiba di anak tangga terakhir, Alana langsung berlari dengan cepat menuju kamar tidurnya yang berada disebelah kamar tidur milik saudara kembarnya.
Alana membuka pintu kamarnya dan menutup pintu itu kembali dengan cepat. Pandangannya tertuju pada sebuah figura yang berisi seorang gadis berusia 19 tahun dan seorang wanita yang sudah berusia setengah abad lebih. Langkah kakinya menuju ranjang queen size. Sambil tetap mengeluarkan air matanya yang sedari tadi belum berhenti, Alana menyenderkan punggungnya pada sandaran ranjang. Tangan kirinya terulur untuk mengambil figura itu dan tangisannya semakin deras tatkala melihat wajah wanita yang berada didalam pelukannya.
“Nenek,” gumam Alana disela-sela tangisannya.
“Kenapa mommy tidak berubah? Nenek pernah bekata kalau mommy akan berubah, tapi kenapa mommy tidak berubah juga? Kenapa Nek? Apa aku tidak pantas mendapat kasih sayang dan perhatian mommy? Apa aku memang ditakdirkan seperti ini?” tanya Alana pada sang nenek, seolah-olah neneknya mendengarkan ucapannya.
Tok ... tok ... tok
Alana menghapus sisa-sisa air matanya yang masih mengalir. Dia tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang penderitannya, terlebih kalau itu adalah sudara kembarnya. Kalau sampai saudara kembarnya tahu, bisa-bisa ibunya semakin membencinya. Oleh karena itu, ibunya dan dia selalu bersikap baik-baik saja saat ada saudara kembarnya.
“Ekhem.” Alana berdehem supaya tahu seperti apa suaranya. Apakah suaranya masih terdengar seperti orang menangis atau suarnya sudah kembali normal seperti Alana yang ceria.
“Ekhem.” Alana berdehem lagi supaya suaranya kembali seperti semula.
Setelah Alana yakin dengan suaranya, barulah dia mengeluarkan suaranya. “Masuk,” ujar Alana pada orang yang telah mengetok pintunya dari luar.
Pintu terbuka dengan perlahan. Tampaklah seorang wanita dengan pakaian khas pelayan yang melangkahkan kakinya dengan perlahan menuju kamar sang anak majikan.
“Selamat sore Nona Alana. Nyonya Solva meminta Nona untuk pergi ke manison-nya sekarang,” ucap sang pelayan dengan sopan.
Sebagai jawaban, Alana hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada sang pelayan.
“Kalau begitu Saya akan membantu Nona untuk mengambil pakaian,” ujar sang pelayan sambil berjalan kearah lemari pakaian dua pintu yang bewarna putih.
Alana tidak menolak. Dia membiarkan sang pelayan mengambilkan pakaian yang akan dia kenakan untuk mengunjungi neneknya. Sang pelayan membuka pintu lemarik dan memilah-milah pakaian yang cocok untuk dipakai oleh anak dari majikannya.
Pandangan Alana memang tertuju pada sang pelayan yang sedang sibuk memilihkan pakaian yang akan dia pakai, tetapi pikirannya tertuju pada alasan sang nenek menyuruhnya datang ke mansion. Tidak ada yang salah akan hal ini. Biasanya kalau dia berada di manison kedua orangtuanya, sang nenek pasti akan segera berangkat ke mansion kedua orangtuanya. Kira-kira apakah ada suatu hal yang disembunyikan oleh neneknya? Atau mungkin neneknya ingin memberitahukan suatu hal yang sangat penting? Atau ...
“Arghh, kenapa aku malah pusing begini?” batin Alana sambil menarik dengan pelan rambut blondenya.
“Ada apa Nona?” tanya sang pelayan dengan panik saat melihat anak dari majikannya menarik rambutnya.
Alana melepaskan tarikan rambutnya dan menyengir. “Ah, tak apa. Rambutku hanya gatal saja,” alibi Alana dengan harapan sang pelayan tidak khawatir padanya.
“Kalau rambut Nona gatal, kenapa Nona tidak menggaruknya dengan pelan? Kan kalau rambutnya ditarik, takutnya rambut asli dan indah milik Nona bisa rusak,” ucap pelayan dengan khawatir.
“Terima kasih karena sudah khawatir pada rambutku dan terima kasih juga sudah memuji rambut asliku ini. Aku hanya sedikit kesal saja, kenapa rambutku dari tadi masih saja gatal. Padahal sudah aku garuk dengan perlahan,” dusta Alana sambil menyengir.
“Apa perlu rambut Nona disemprot oleh-”
“Tidak perlu! Lagipula ini hanya gatal biasa dan aku yakin sebentar lagi akan hilang,” tolak Alana.
“Baiklah Nona, kalau begitu Saya akan mencarikan rok untuk Nona,” ucapnya sambil melangkahkan kakinya menuju lemari.
Alana telah mendapatkan kaos berwarna putih dan jaket jeans berwarna biru. Dia juga sudah mendapatkan sepatu kets berwarna putih yang sudah berada di atas karpet bulunya. Pandangan Alana tertuju pada celana jeans yang ada diantara lipatan celana lainnya.
“Aku akan memakai celana saja,” ujar Alana.
Sang pelayang mengikuti ucapan Alana dan mulai mencari celana yang cocok untuk dipakai oleh Alana.
“Mungkin celana jeans berwarna biru itu cocok,” saran Alana sambil menunjuk celana jeans yang sedari tadi sudah merebut perhatiannya.
***
Alana menuruni anak tangga dengan perlahan. Kini dia sudah siap untuk pergi ke manison neneknya yang menghabiskan waktu setengah jam dari manison kedua orangtuanya. Rencananya, dia akan mengendarai mobilnya sendiri, tetapi kata pelayannya tadi, neneknya sudah menyuruh sopir pribadinya untuk menjemputnya.
Saat di anak tangga terakhir, Alana bisa mendengar dengan jelas tawa dari tiga orang yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tanpa perlu melihat siapa, Alana sudah tahu siapa saja orang yang ada di ruang tengah.
“Pasti itu adalah mommy, daddy, dan Adward. Hah, beruntungnya Adward bisa mendapat kasih sayang dari mommy dan daddy,” batin Alana.
Pandangan Alana tertuju pada tiga orang yang sudah dia ketahui siapa. Sofa ruang tengah membelakangi dirinya, sehingga ketiga orang itu tidak tahu kalau dirinya akan pergi ke manison neneknya.
Adward berada ditengah-tengah kedua orangtuanya. Terkadang, Alana merasa iri dengan Adward. Hanya rasa iri yang hinggap saat Adward berkumpul dengan kedua orangtuanya. Ingin sekali dia mengubah takdir, tetapi itu mustahil untuk dia lakukan. Ingin rasanya dia pergi ke sisi Tuhan, tetapi ini belum saatnya untuk pergi. Entah kapan dia bisa merasakan berada diposisi Adward. Entah berapa lama itu bisa terwujud, yang pasti dia sangat ingin berada diposisi Adwrad.
Flashback off...
Alana tersenyum. Dari senyuman itu berkata kalau dirinya baik-baik saja. Namun, Shelley tidak mempercayai senyuman yang berusaha membohonginya.
“Alana, kau hebat bisa bertahan sampai saat ini. Kalau aku bearda menjadi dirimu, belum tentu aku ada sampai saat ini,” ucap Shelley dengan tersenyum.
Alana tersenyum kecil. “Terima kasih sudah memujiku Shelley. Tapi jujur saja, semua yang aku lalui tidaklah mudah. Dan kalau ditanya, apakah aku ingin segera berada diposisi Adward, jawabannya pasti aku ingin. Namun, aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat menurut takdir. Entah itu 10 tahun lagi, aku akan selalu menunggunya dengan sabar.”
“Oh ya Shelley, terima kasih karena sudah mau mendengarkanku.” Shelley mengangguk.
“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV. Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin. “Negara?” Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.” “Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana. Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.” Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar. “Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?” Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.” “Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Brak...Seluruh mata langsung tertuju pada Brandon. Sang empu yang ditatap oleh enam mata, malah menyengir tak bersalah.“Bukan salahku, salahkan pintunya yang cari perhatian,” ucap Brandon dengan langkah lebarnya menuju meja makan.Enam manik itu berotasi. Brandon memang seperti itu. Suka mencari-cari kesalahan benda mati dan terkadang sangat menjengkelkan. Namun, dua sifat itulah yang mampu membuat sahabat-sahabatnya terhibur.“Ayo cepat sarapan Brandon!” seru Noah dengan menghentak-hentakkan garpu pada meja makan.“Shutt, diam Flyta,” balas Brandon setelah ia mendudukkan bokongnya di kursi.Noah mematung. Ucapan Brandon, mampu mengacak-acak otaknya pagi ini. Bagaimana tidak, pertanyaan yang terus berputar dibenaknya hanya berporos pada apa yang diucapkan Brandon.Flyta. Nama itu kembali muncul kepermukaan. Sudah bertahun-tahun ia menenggelamkan dan menutup mata beserta telinga dari seorang
“Ish, Noah kakimu,” keluh Brandon saat kaki Noah menindihi kakinya.“Noah,” panggil Brandon dengan kedua mata tertutup.Tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan Noah sudah tidur?Brandon menghembuskan napas lelah bercampur kesal. Ia membuka paksa kedua maniknya. Sorot maniknya langsung tertuju pada Noah. Dilihatnya Noah sedang menutup kedua maniknya dengan sebelah tangan. Sebuah pikiran buruk mulai melintas di benak Brandon.“Pasti Noah sedang berpura-pura tidur,” tuduh Brandon di dalam batin.Brandon memajukan tangannya untuk menyentuh lengan kekar Noah. Ralat, Brandon ingin sekali memukuli sahabat rakus nan egoisnya itu. Namun saat mengingat kejadian tadi, ia mengurungkan niatnya.Brandon menoel-noel lengan kekar Noah. Berharap remaja itu terganggu dari tidurnya dan segera menyingkirkan sebelah kakinya. Bukan hanya itu yang menggangu kenyamanan Brandon. Ya, bukan hanya kaki saja. Melainkan ketiak Noah yang t
“Aleix, jadi, kau akan langsung memegang kendali perusahaan?” tanya Edbert setelah menelan pizza yang sudah dikunyah halus olehnya.Aleix menghabiskan sepotong pizza dan mengunyahnya secara perlahan. Setelah pizza itu tertelan dan mulutnya telah bersih dari pizza, ia mulai membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan Edbert.“Tidak, aku hanya akan belajar sedikit-sedikit tentang perusahaan. Lagipula, aku masih harus melanjutkan kuliahku,” jawab Aleix.“Hah, kalau aku menjadi Aleix, lebih baik gantung diri saja,” timpal Brandon dengan kedua tangan yang penuh dengan potongan pizza.“Itulah kenapa Tuhan tidak mengirimkan kau pada keluarga Sevran,” sahut Noah.Saat Noah menyahuti timpalan Brandon, ia menyempatkan diri untuk melempari potongan kecil daging sapi yang dijadikan toping pizza.Brandon yang sedang tidak ingin adu mulut pun memilih untuk bersikap biasa saja dan memasukkan potongan kecil dagin
Edbert melepas pelukannya dan menatap khawatir pada Aleix yang sedang memejamkan kedua maniknya.“Ada apa Aleix? Jangan membuatku khawatir,” panik Edbert dengan melihat kanan-kiri tubuh Aleix.Aleix mendongakkan wajahnya. Ia memberi cengiran canggung pada Edbert.“Aku lapar,” keluh Aleix dengan wajah memerahnya.Edbert memutar bola mata. Ia pikir, Aleix akan mengatakan suatu hal yang penting. Ternyata ia salah.Edbert mengamati perubahan wajah Aleix. Wajah Aleix memerah. Ingin rasanya ia tertawa karena wajah Aleix yang begitu menggemaskan. Namun, ia tidak akan menertawakan Aleix kali ini. Ia akan menuruti setiap permintaan Aleix tuk terakhir kalinya.“Kau mau apa?” tanya Edbert dengan perhatian.“Aku mau Wild Alaskan Salmon Fish, Tater Tots, Chicago’s Deep Dish Pizza, Fajitas, Mac and Cheese, dan Meatloaf,” sahut Brandon.“Aku tidak bertanya padamu Brandon,” ujar
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s