Shelley sedikit kaget karena tawaran yang diberiakan oleh Alana dan Lizzie. Dia tidak menyangka mereka akan dengan mudah menerimanya sebagai teman. Dan yang membuatnya lebih kaget lagi adalah saat Lizzie dan Alana menawarkannya untuk menjadi sahabat mereka.
Shelley masih menimang-nimang ajakan kedua mahasiswi cantik yang ada di hadapan mereka. Tawaran yang mereka berikan sngatlah tulus. Dia bisa melihat ketulusan dari manik berwarna cokelat gelap milik Lizzie dan manik berwarna cokelat terang milik Alana.
“Astaga, aku tidak menyangka mereka akan menawarkan hal ini padaku. Apa sebaiknya aku terima saja tawaran mereka? Tapi, apakah mungkin mereka serius menawarkan hal ini padaku,” batin Shelley dengan sangat bimbang.
“Bagaimana Shelley?” tanya Lizzie dengan tatapan penuh harapan agar Shelley mau menerima ajakannya.
“Terima lah Shelley. Kami memang tulus ingin berteman denganmu ... atau lebih baik lagi, kita bersahabat,” timpal Alana dengan pancaran memohon dari kedua manik berwarna cokelat terang miliknya.
“Eum ... baiklah, kita sahabat sekarang?”
Dengan cepat, Alana dan Lizzie menganggukkan kepala mereka. Shelley membelalakan mata saat Lizzie dan Alana memeluknya dengan begitu erat. Tanpa disuruh, Shelley membalas pelukan kedua sahabatnya dengan begitu bahagia. Ketiga sahabat itu saling berpelukan bahagia dan tanpa sadar ada empat pasang mata yang menatap mereka dengan tatapan datar, tetapi mereka juga merasakan kebahagiaan karena ketiga sahabat yang berada di ruang makan kampus.
“Sepertinya aku mulai mencintai Alana,” ujar mahasiswa dengan manik berwarna abu-abu terang.
“Apa kau serius, Dude?” tanya mahasiswa disebelahnya dengan hanya melirik sahabatnya dari sorot matanya.
“Serius! Lagipula hubunganku dengan Sara sudah berakhir.”
Sahabatnya langsung membelalakkan matanya. “Tidak mungkin kau mengakhiri hubungan kalian,” ucapnya tidak percaya.
“Dengar Edbert, untuk apa aku memperjuangakan hubungan kalau aku tidak cinta dan tidak merasa nyaman saat berada di dekatnya,” balasnya dengan serius.
“Tapi kan, kau sudah mengambil kesucian Sara.”
Brandon menghembuskan napas lelah. “Kata siapa, hah?”
“Aku melihat dari W******p story milik Sara dua hari lalu.”
“Dua hari lalu? Aku bahkan tidak pernah tidur di rumahnya. Aku juga tidak pernah tidur dalam satu ranjang yang sama,” timpal Brandon untuk membela dirinya sendiri.
“Tapi, saat itu Sara tidak berfoto sendirian, ada pria lain di balik selimut dan dia menuliskan caption 'Now i’m a woman',” ucap Edbert memberitahu Brandon.
“Mungkin pria itu sedang nge-date dengan Sara. Tidak hanya sekali ini saja Sara dekat dengan pria lain. Aku sudah sering melihat dia dekat dengan pria lain. Seperti saat dia sedang dinner romantis di restoran kelas atas bersama Recce,” ujar Brandon, dan tentu saja hal itu membuat Edbert menatapnya tak percaya.
“Kau tidak percaya?” tanya Brandon dengan malas.
“Tentu saja aku percaya dengamu,” jawab Edbert supaya topik tentang keburukan Sara berakhir.
Manik berwarna cokelat terang milik Edbert kembali menatap Shelley yang sedang tersenyum pada kedua sahabatnya. Dia menajamkan pendengarannya agar bisa mendengar apa yang sedang dibahas oleh ketiga mahasiswi itu.
Edbert merasa getaran dari dalam saku celana jeans miliknya. Dia meantap Brandon dengan pelan. Ternyata sahabatnya itu menatapanya dan memberi kode padanya agar segera bersembunyi dan menerima panggilan suara dari orang yang sudah menghubunginya.
“Lebih baik kita segera pergi ke belakang ruang makan. Lihatlah, mereka sepertinya akan segera keluar dari ruang makan,” saran Brandon.
Sebelum menyetujui saran dari Brandon, Edbert menyempatkan diri untuk mengambil ponselnya dan melihat siapa yang sudah menghubunginya.
“Shit,” umpat Edbert setelah melihat nama yang tertera pada layarnya.
Brandon memberikan tatapan bertanya pada Edbert setelah Edbert mengumpat.
“Ayahku,” ujar Edbert dengan kesal.
“Sepertinya ayahmu meminta kau untuk menemani Michalina ke pusat perbelanjaan,” tebak Brandon dengan sangat tepat.
Edbert hanya mengangguk dengan lesu.
Brandon tersenyum dan menepuk pundak Edbert dengan gentle. “Lebih baik kau turuti saja permintaan ayahmu daripada seluruh fasilitas ditarik olehnya,” saran bijak dari Brandon.
Tangan brandon berubah menjadi merangkul bahu lebar milik Edbert. Keduanya melangkahkan kaki bersamaan menuju parkiran. Jalan yang mereka pilih yaitu melewati lorong yang ada di belakang ruang makan. Karena itulah lorong terdekat menuju parkiran para mahasiswa.
“Iya Dad, ini aku mau kesana bersama Brandon. Tadi aku ada keperluan sebentar di kelas,” ucap Edbert setelah menerima panggilan suara dari sang ayah.
“...”
“Iya, Dad. Lain kali aku akan selalu ada di samping Michalina. Tapi aku juga tidak bisa janji untuk selalu ada untuknya.”
“...”
“Kami berbeda Dad. Aku harus berjuang lebih untuk mendapat nilai yang baik dalam projek kali ini. Sedangkan Michalina hanya tinggal bicara dengan ayahnya, maka nilai projeknya akan tinggi.”
“...”
“Bukan aku membandingkan Michalina dengan diriku sendiri, Dad. Tapi itulah faktanya.”
“...”
“Oke, aku akan berusaha untuk selalu ada didekat Michalina.”
***
“Baik Dad, aku akan berusaha untuk selalu ada didekat Michalina.”Shelley menoleh kearah lorong yang ada di sebelahnya.
“Sepertinya masih ada orang lain di kampus ini,” ujar Alana sambil menoleh kearah lorong yang dilihat oleh Shelley dan Lizzie.
“Aku pikir semuanya pergi dengan Michalina,” ucap Shelley sambil terus mengamati lorong itu.
“Suara itu mirip dengan suara Edbert,” timpal Lizzie.
“Edbert?” tanya balik Shelley sambil menatap Lizzie.
“Iya Edbert, anak dari mr. Bravey,” jawab Alana dengan cepat.
“Sepertinya kau tidak tahu siapa mr. Brayev,” tebak Alana setelah melihat Shelley yang sedang berpikir.
Shelley menggeleng dengan cepat. “Tidak! Tentu saja aku kenal dengan mr. Bravey. Dia sa-”
“Astaga Shelley, kenapa kau hampir keceplosan,” maki Shelley di dalam hatinya.
“Dia?” tanya Lizzie dengan penasaran karena Shelley tidak melanjutkan ucapannya.
“God, apa yang harus aku katakan,” panik Shelley di dalam hatinya.
“Dia ... dia merupakan orang terkaya keempat di benua Amerika, right?”
“Ya, dia memang sangat kaya,” timpal Alana.
“Edbert adalah pria yang tadi menatapmu saat yang lainnya sudah pergi. Atau jangan-jangan dia menyukaimu, Shelley,” celetuk Lizzie.
Shelley tersenyum kikuk. “Tidak mungkin dia yang sangat tampan itu menyukai aku yang cupu ini.” Shelley merendahkan dirinya.
“Aku tahu kau sangat cantik Shelley. Hanya saja, kau harus mengikuti trend fashion saat ini. Mungkin dengan cara ini, Edbert dan pria lainnya akan terpikat dengan kecantikan yang kau miliki,” elak Lizzie saat Shelley merendahkan dirinya sendiri.
“Dan aku memiliki feeling kalau kau lebih cantik daripada kami. Iya kan Zie?” lanjut Alana memuji kecantikan yang tersembunyi dari Shelley.
“Ya, aku juga merasakan hal yang sama,” balas Lizzie dengan yakin.
“Apakah mereka akan tetap bersamaku saat aku memperlihatkan siapa sebenarnya diriku?” batin Shelley dengan cemas.
“Tidak-tidak, aku tak ingin kehilangan kedua sahabatku ini. Aku tidak akan memperlihatkan siapa sebenarnya aku. Dan aku tidak ingin mereka menjauh dariku karena merasa dibohongi olehku,” batin Shelley menolak untuk memperlihatkan siapa sebenarnya dirinya.
“Shelley, lebih baik kita segera pergi ke lokerku dan mengambil pakaian untukmu. Aku tahu, kau pasti tidak nyaman dengan kuah kari yang sudah menembus pakaianmu,” ajak Lizzie.
“Sepertinya kau sangat ahli dengan kondisi orang di sekitarmu, Lizzie,” celetuk Shelley.
“Hah, bukan hanya ahli. Tetapi dia sudah biasa membaca pikiran orang lain.” tambah Alana diiringi kekehan.
“Apa dia seorang cenayang?” tanya Shelley dengan sanagt penasaran.
“Bukan, aku hanya orang biasa. Tetapi aku bisa mendeteksi kondisi dan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain yang ada di dekatku.” Shelley mengangguk paham.
“Syukurlah dia bukan seorang cenayang. Kalau dia seorang cenayang, bisa-bisa aku akan gagal mewujudkan dua impianku itu,” batin Shelley dengan lega.
“Ayo kita pergi sekarang,” ajak Lizzie sambil menarik tangan Shelley dan Alana dengan pelan.
“Astaga Lizzie, aku bisa berjalan sendiri,” ujar Alana tidak terima.
“Cepatlah, apa kau tidak kasihan melihat pakaian Shelley yang sudah berubah warna dan bau itu?” balas Lizzie.
***
“Tadaaa,” ujar Lizzie setelah meminjamkan pakaiannya beserta rok di atas lutut miliknya.
“Bagaimana Na, sudah cocok?”
“Ini lebih baik daripada tadi,” jawab Alana sambil menilai penampilan Shelley.
“Apa ini lebih baik?” tanya Shelley dengan tidak percaya diri.
“Ya, ini lebih baik karena tidak bau kuah kari,” celetuk Alana sambil tertawa.
***
Saat ini, Alana, Lizzie, dan Shelley sedang mengelilingi kampus bisnis termahal di benua Amerika. Sambil berjalan, Lizzie dan Alana tidak henti-hentinya menjelaskan ruangan apa saja yang mereka lewati. Shelley pun mengingat-ingat apa yang sudah dijelaskan oleh kedua sahabat barunya tentang belasan ruangan yang sudah mereka lewati.
“Apa kau tahu, si tampan Aleix pindah dari kampus ini,” ucap mahasiwi lain yang berpapasan dengan ketiganya dengan heboh.
“Oh ya?” kaget mahasiswi yang ada di sebelahnya.
“Iya, dia pindah ke kampus terbaik yang ada di Paris,” balasnya.
“Itu lebih baik. Karena saingan aku untuk merebut hatimu kembali sudah berkurang,” ujar mahasiswa yang ada dibelakang kedua mahasiswi itu.
“Tidak semudah itu, Miguel,” elak mahasiswi yang ternyata masih dicintai oleh mantan kekasihnya.
“Masih ada Edbert, Brandon, Adward, dan Noah di hatiku.” lanjut mahasiswi itu dan mendapat helaan napas dari mahasiwa yang tak lain mantan kekasihnya.
Alana terdiam. “Apa kau menyukai kembaranku?” tanyanya pada mahasiswi itu.
“Astaga, ternyata ada adik kembaran dari pria yang aku sukai,” ucapnya dengan kaget.
“Tidak apa, itu lebih baik. Aku akan mengatakan hal ini pada kembaranku yang jelek itu.”
Setelah mengucapkan hal itu, Alana pergi meninggalkan dua orang mahasiswi dan seorang mahasiswa yang masih terdiam kaget karena keberadaan kembaran Adward ada di dekat mereka.
“Darimana saja kau Alana?” tanya Lizzie dengan kesal saat Alana kembali disebelah Shelley.
Alana mengatur napasnya dan mulai membuka suaranya. “Aku hanya berbicara pada mahasiswi tadi yang ternyata menyukai kakak kembaranku,” ujarnya setelah mengatur tempo pernapasannya yang tidak teratur.
“Kau ini seperti tidak tahu seberapa mempesonanya kakak kembaranmu,” timpal Lizzie sambil menjitak kepala Alana dengan pelan.
“Apa kau kata?!” pekik Alana.
“Kau barusan memuji kakak kembaranku? Oh God, sepertinya kau sudah mulai kehilangan akal.”
“Ya, itu memang faktanya. Dia memang mempesona untukku,” ucap Lizzie dengan jujur.
“Kakak kembaranku yang jelek dan menyebalkan itu kau bilang mempesona?” tanya balik Alana karena dia masih tidak percaya pada kejujuran Lizzie.
Lizzie hanya mengangguk.
“Jangan-jangan, Lizzie menyukai kakak kembaranku. Atau mungkin dia mencintai Adward?” batin Alana dengan penuh curiga.
Shelley hanya terdiam karena dia tidak tahu seperti apa wajah dari kakak kembaran Alana.
“Apakah Adward sangat tampan, sehingga para mahasiswi terpesona dengannya?” batin Shelley bertanya-tanya.
Lizzie mengajak kedua sahaabtnya untuk duduk di taman yang ada di sisi kiri mereka. Sepatu mahal milik Lizzie dan Alana menginjak rerumputan berwarna hijau yang sangat terawat. Begitupula dengan sepatu lusuh milik Shelley. Namun, Shelley tidak merasa minder ataupun malu karena sepatunya yang sangat berbeda jauh dengan milik kedua sahabat barunya. Dia malah sangat bersyukur karena masih memiliki sepatu yang layak untuk dipakai. Karena dia tahu, banyak orang diluaran sana yang tidak memiliki alas kaki dan sangat ingin untuk memilikinya.
“Aku akan mengambil minuman dulu,” pamit Alana setelah Lizzie dan Shelley mendudukkan tubuh mereka di atas rerumputan.
“Hari yang sangat indah,” puji Lizzie setelah melihat ke langit yang berwarna biru.
“Semoga saja cuaca tidak berubah dengan cepat,” harap Lizzie sambil menatap Shelley yang sedang terdiam.
Shelley yang ditatap seperti itu pun mengangguk kikuk dan tersenyum tipis.
“Oh ya Shelley, kau harus mengetahui para pria tampan yang menjadi idaman para mahasiswi di kampus ini,” ujar Lizzie sambil menegakkan tubuhnya dan mengeluarkan ponsel mahalnya dari dalam saku celananya.
“Sebentar, aku mencari foto para pria itu.” Tambahnya.
Shelley hanya terdiam dan mengamati Lizzie yang sedang sibuk mencari foto-foto para pria yang katanya idaman para mahasiswi di kampus ini. Sudut mata milik Shelley tertuju pada Alana yang kembali dengan membawa tiga kaleng soda.
“Nah, ini dia. Akhirnya aku mendapatkan foto mereka,” pekik Lizzie dengan gembira saat menemukan foto-foto pria idaman kampus ini.
Lizzie mendekatkan ponsel mahalnya pada Shelley. Dia mulai menunjukkan sebuah foto pada Shelley. Di dalam foto itu, ada seorang pria yang sangat tampan. Pria itu mengenakan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna putih. Pria itu memiliki rambut rapi berwarna hitam kecokelatan. Alis pria itu sangat tegas, begitupula rahang yang dimiliki pria itu. Tatapan mata pria itu sangat tajam, dan itu berhasil membuatnya meleleh seketika. Bibir tipis berwarna merah alami, kedua mata berwarna abu-abu terang kehijauan, dan hidung mancung membingkai indah di wajah pria itu.
“Dia adalah pria pertama yang selalu diidam-idamkan oleh para mahasiswi kampus ini. Namanya sangat indah, seperti wajah pria ini. Dia bernama Aleix Sevran. Tapi sayangnya, dia pindah ke kampus terbaik yang ada di Paris beberapa menit yang lalu,” terang Lizzie panjang lebar.
“Pria ini sangat tampan. Mungkin kalau aku menjadi model internasional seperti Casaandra Vallerry Maxllan akan dengan mudah menjadi kekasihnya,” batin Shelley berandai-andai.
“Di peringkat kedua, ada si tampan Edbert Bravey yang tadi menatapmu saat di ruang makan.” lanjut Lizzie sambil menunjukkan foto Edbert.
Di foto itu, Edbert sedang bersantai di sebuah pantai dan pandangannya tertuju pada kamera. Memang benar wajah dia tidak berekspresi saat difoto, tetapi hal itu sudah lebih dari cukup untuk membuat para wanita meleleh.
Kemeja berwarna soft blue bergambar pohon kelapa yang hanya memiliki panjang lengan setengah dari lengan atasnya, memperlihatkan sedikit tatto yang berada di lengan atasnya. Shelley berasumsi kalau tatto itu menjalar sampai ke bahu lebar seorang Edbert. Manik cokelat terang, hidung mancung, alis tebal, bibir tipis, dan rahang yang tidak terlalu tegas, membuat para wanita langsung memuji ciptaan Tuhan satu ini. Pandangan Shelley tertuju pada lengan atas Edbert yang kekar. Dia yakin kalau Edbert rutin gym dan menjaga bentuk tubuhnya.
“Di peringkat ketiga yaitu Adward, kakak kembaran Alana,” sambung Lizzie sambil menunjukkan wajah tampan milik Adward.
“P-pantas saja kau menyukai Adward. Ternyata dia setampan ini,” puji Shelley sekaligus membuka topik agar Lizzie bercerita lebih tentangnya.
“Ya, dia sangat tampan. Bahkan setiap malam, aku selalu berkhayal kalau dialah yang akan menjadi kekasih sekaligus suamiku,” harap Lizzie tanpa sadar kalau dia keceplosan.
“Akhirnya kau mengaku juga kalau mencintai kakak kembaranku,” celetuk Alana sambil tertawa.
Lizzie membelalakan mata saat suara Alana menyapa indra pendengarannya.
“Poor you Zie. Kau sudah keceplosan. Aduh, bagaimana ini?!” panik Lizzie di dalam batinnya.
“Aku akan memberitahu kabar bahagia ini pada kakak kembaranku,” ujar Alana memanas-manasi Lizzie.
“Please Alana, jangan beritahu kakakmu,” mohon Lizzie pada Alana.
Alana terus tertawa karena baginya ini adalah hal lucu. Dia tidak menyangka ternyata kakaknya yang jelek itu dicintai oleh sahabat adik kembarannya sendiri.
“Jujur saja, aku tidak menyangka kau mencintai kakakku yang jelek dan menyebalkan itu,” ucap Alana disela-sela tawanya.
***
“Zie, maafkan aku. Aku hanya bercanda saja tadi. Tidak mungkin kalau kakakku menganggap hal ini serius,” mohon Alana pada Lizzie.
Sekarang adalah keterbalikan dari yang tadi. Jika yang tadi Lizzie yang memohon pada Alana, maka sekarang Alana lah yang memohon pada Lizzie. Andai saja Alana tidak menelpon Adward dan mengatakan hal ini pada kakaknya, maka Lizzie tidak akan marah dalam diam seperti ini.
“Hai Lizzie, bisakah kau ikut denganku ke restoran? Aku ingin kau menemaniku makan siang,” ujar seorang pria setelah dia membungkukkan tubuhnya disebelah Lizzie yang sedang berdesekap dada dan memayunkan bibir tipisnya.
Lizzie terdiam membeku. Dengan spontan, dia menolehkan pandangannya kearah kiri dan tanpa disengaja dahi miliknya bertabrakan dengan dahi milik pria yang sudah mengajaknya makan siang.
Tangan sebelah kiri Lizzie menyentuh dahinya yang berdenyut karena bertabrakan dengan dahi keras milik pria didepannya.
“Apakah sakit?” tanya pria itu dengan cemas.
Tangan besar pria itu menyentuh dahi Lizzie dan mengusapnya dengan pelan.
“Apakah sudah lebih baik?” tanyanya setelah mengusap berulang kali dahi Lizzie dengan perlahan.
Lizzie hanya bisa mengangguk pelan dan menutup mulutnya rapat-rapat.
“Ayo ikut denganku,” ajak pria berambut blonde sambil menarik pergelangan kedua pergelangan tangan Lizzie dengan sangat lembut dan perlahan.
Lizzie yang diperlakukan seperti itu hanya bisa diam dan mengikuti segala yang dilakukan oleh pria tampan dihadapannya.“Alana dan ... Shelley, aku akan pergi bersama Lizzie. Kalian jaga diri baik-baik,” pesan pria itu sebelum pergi bersama Lizzie.“Dia kakak kembaranku,” ujar Alana setelah meneguk soda dingin miliknya.Shelley mengangguk kecil.Sambil membenarkan kacamata baca miliknya, Shelley mengucapkan pendapatnya tentang kembaran Alana. “Pantas saja dia menjadi idola kampus ketiga. Seharusnya kau bangga dengan kembaranmu, Alana,” pendapat Shelley.Alana memutar bola matanya malas. “Kuharap kau tidak keturalan virus dari Lizzie, Shelley. Huh, entah kenapa aku merasa tidak beruntung ketika mendapatkan kembaran seperti Adward.” Kesal Alana.“Tapi kenapa?”Jujur saja Shelley tidak paham dengan maksud Alana. Seharusnya Alana bangga dengan kakak kembarannya. Tetapi, kenapa in
Alana menatap pada dua cangkir coklat panas yang dia buat beberapa menit lalu. Alana mengambil satu cangkir berwarna kuning gelap yang ada di atas nampan kesayangannya. Dia memberikan cangkir itu pada Shelley dengan tersenyum.“Shelley, minumlah coklat panasmu,” ucap Alana.Shelley menerima cangkir itu dengan tersenyum, membalas senyuman Alana. “Terima kasih Alana.” Alana mengangguk.Setelah Shelley mengucapkan ucapan terima kasih padanya, Alana langsung mengambil satu cangkir yang tersisa dengan warna yang sama.“Hah, aku jadi teringat dengan Lizzie. Kira-kira, apa yang sdang dilakukan oleh Lizzie dan Adward, ya?” batin Alana bertanya-tanya.Coklat panas yang telah dibuatkan oleh Alana, mengaliri tenggorokan Shelley yang kering. Panas dari suhu coklat itu mulai menghangati tubuh Shelley yang sedikit kedinginan karena pakaian lengan pendek yang dia gunakan.Alana menaruh cangkir yang sudah tersisa
“Apa benar kau akan pindah ke negara lain?” tanya Shelley setelah Alana mengganti saluran TV. Alana menatap Shelley dan mengangguk. “Mungkin salah satu negara yang ada di benua Eropa,” ujar Alana dengan yakin. “Negara?” Alana menggeleng. “Entahlah, aku belum memikirkan negaranya.” “Sekarnag waktunya kau menceritakan tentang masalah hidupmu, Shelley,” pinta Alana. Shelley tersenyum tipis. “Aku tidak memiliki masalah apapun Alana. Kalaupun ada, sudah pasti aku akan berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.” Alana memayunkan bibirnya. “Kau harus berbagi masalah pribadimu denganku dan Lizzie. Kami pasti akan membantumu keluar dari masalah itu,” ucap Alana panjang lebar. “Terima kasih Alana, tapi tidak semua hal bisa diberitahukan pada orang lain. Benar kan?” Alana mengangguk. “Benar, tidak semua masalah bisa diberitahukan pada orang lain.” “Shelley, jangan bilang kalau kau dibully oleh gengnya Michalina itu bukanlah
Saat ini, Shelley sedang berada di trotoar depan gedung apartemen Alana. Pandangannya terus tertuju pada jalan raya yang sangat sepi karena cuaca yang lumayan dingin dan habis hujan. Shelley berniat untuk memesan taksi online, tetapi dia harus menghilangkan niatnya untuk memesan taksi online karena ponselnya yang tidak bisa digunakan untuk memesan taksi online.“Sabar Shee, kau tidak boleh mengeluh. Ini jalan satu-satunya agar impianmu terwujud,” batin Shelley sambil menyemangati dirinya sendiri.Shelley memutar sedikit tubuhnya dan melihat sebuah halte pemberhentian bus yang ada dibelakang tubuhnya. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Shelley menyadari kalau kedua kakinya sudah menggigil karena cuaca yang lumayan dingin. Kalau saja dia memakai celana yang tadi terkena kuah kari dan saus, mungkin kakinya tidak akan semenggigil ini.Shelley mendudukan tubuhnya dengan perlahan. Tidak lupa dia merapatkan kedua kakinya. Shelley berharap, dengan beg
“Kau ...”“APA YANG KAU LAKUKAN EDBERT?!” teriak wanita itu dengan mata melotot.Edbert melerai pelukan hangatnya dengan Shelley. Edbert menangkup kedua pipi Shelley dengan kedua telapak tangannya yang hangat. Edbert pun tak lupa memberikan senyum menenangkannya pada Shelley.Tentu saja hal itu membuat jantung Shelley berdegup kencang. Shelley mulai merasa ada kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya."Tuhan, kenapa aku merasakan hal ini?" batin Shelley.Ibu jari Edbert mengusap jejak air mata yang masih basah di salah satu pipi Shelley."Kau tetap di mobil saja. Biar aku menangani wanita gila itu," ucap Edbert dengan senyum yang tak luntur.Shelley yang gugup, hanya sanggup mengangguk kaku. Shelley merasa, suaranya tersekat di tenggorokannya. Oleh karena itu, Shelley hanya bisa mengangguk, meskipun mengangguk kaku.Edbert menjauhkan kedua telapak tangannya dari Shelley. Edbert me
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
Brak...Seluruh mata langsung tertuju pada Brandon. Sang empu yang ditatap oleh enam mata, malah menyengir tak bersalah.“Bukan salahku, salahkan pintunya yang cari perhatian,” ucap Brandon dengan langkah lebarnya menuju meja makan.Enam manik itu berotasi. Brandon memang seperti itu. Suka mencari-cari kesalahan benda mati dan terkadang sangat menjengkelkan. Namun, dua sifat itulah yang mampu membuat sahabat-sahabatnya terhibur.“Ayo cepat sarapan Brandon!” seru Noah dengan menghentak-hentakkan garpu pada meja makan.“Shutt, diam Flyta,” balas Brandon setelah ia mendudukkan bokongnya di kursi.Noah mematung. Ucapan Brandon, mampu mengacak-acak otaknya pagi ini. Bagaimana tidak, pertanyaan yang terus berputar dibenaknya hanya berporos pada apa yang diucapkan Brandon.Flyta. Nama itu kembali muncul kepermukaan. Sudah bertahun-tahun ia menenggelamkan dan menutup mata beserta telinga dari seorang
“Ish, Noah kakimu,” keluh Brandon saat kaki Noah menindihi kakinya.“Noah,” panggil Brandon dengan kedua mata tertutup.Tidak ada sahutan. Apa jangan-jangan Noah sudah tidur?Brandon menghembuskan napas lelah bercampur kesal. Ia membuka paksa kedua maniknya. Sorot maniknya langsung tertuju pada Noah. Dilihatnya Noah sedang menutup kedua maniknya dengan sebelah tangan. Sebuah pikiran buruk mulai melintas di benak Brandon.“Pasti Noah sedang berpura-pura tidur,” tuduh Brandon di dalam batin.Brandon memajukan tangannya untuk menyentuh lengan kekar Noah. Ralat, Brandon ingin sekali memukuli sahabat rakus nan egoisnya itu. Namun saat mengingat kejadian tadi, ia mengurungkan niatnya.Brandon menoel-noel lengan kekar Noah. Berharap remaja itu terganggu dari tidurnya dan segera menyingkirkan sebelah kakinya. Bukan hanya itu yang menggangu kenyamanan Brandon. Ya, bukan hanya kaki saja. Melainkan ketiak Noah yang t
“Aleix, jadi, kau akan langsung memegang kendali perusahaan?” tanya Edbert setelah menelan pizza yang sudah dikunyah halus olehnya.Aleix menghabiskan sepotong pizza dan mengunyahnya secara perlahan. Setelah pizza itu tertelan dan mulutnya telah bersih dari pizza, ia mulai membuka mulutnya dan menjawab pertanyaan Edbert.“Tidak, aku hanya akan belajar sedikit-sedikit tentang perusahaan. Lagipula, aku masih harus melanjutkan kuliahku,” jawab Aleix.“Hah, kalau aku menjadi Aleix, lebih baik gantung diri saja,” timpal Brandon dengan kedua tangan yang penuh dengan potongan pizza.“Itulah kenapa Tuhan tidak mengirimkan kau pada keluarga Sevran,” sahut Noah.Saat Noah menyahuti timpalan Brandon, ia menyempatkan diri untuk melempari potongan kecil daging sapi yang dijadikan toping pizza.Brandon yang sedang tidak ingin adu mulut pun memilih untuk bersikap biasa saja dan memasukkan potongan kecil dagin
Edbert melepas pelukannya dan menatap khawatir pada Aleix yang sedang memejamkan kedua maniknya.“Ada apa Aleix? Jangan membuatku khawatir,” panik Edbert dengan melihat kanan-kiri tubuh Aleix.Aleix mendongakkan wajahnya. Ia memberi cengiran canggung pada Edbert.“Aku lapar,” keluh Aleix dengan wajah memerahnya.Edbert memutar bola mata. Ia pikir, Aleix akan mengatakan suatu hal yang penting. Ternyata ia salah.Edbert mengamati perubahan wajah Aleix. Wajah Aleix memerah. Ingin rasanya ia tertawa karena wajah Aleix yang begitu menggemaskan. Namun, ia tidak akan menertawakan Aleix kali ini. Ia akan menuruti setiap permintaan Aleix tuk terakhir kalinya.“Kau mau apa?” tanya Edbert dengan perhatian.“Aku mau Wild Alaskan Salmon Fish, Tater Tots, Chicago’s Deep Dish Pizza, Fajitas, Mac and Cheese, dan Meatloaf,” sahut Brandon.“Aku tidak bertanya padamu Brandon,” ujar
Brandon mengambil sebotol bir yang ada di atas meja. Ia menuangkan isinya pada gelas tinggi. Tanpa menunggu lama, Brandon meminumnya. Namun belum sempat ia meminumnya, sebuah suara sorak ria dari seseorang menghentikan aksinya. Brandon menatap kesal pada remaja dihadapannya. Siapa lagi kalau bukan Noah Wildson.“Wow, akhirnya kau membeli bir yang kau incar sejak kemarin,” seru Noah sambil memberikan tepuk tangan pada Brandon.Aleix menyernyitkan dahinya. “Bukankah bir ini berasal dari Australia?”Noah menatap semangat pada Aleix. “Itu sangat benar Bro. Apa kau tahu, bir dengan merk ini masuk dalam bir termahal yang berasal dari Australia,” terang Noah.“Kau membeli bir ini berapa?” tanya Noah dengan tatapan tertuju pada Brandon yang sedang menikmati bir incarannya.“6 botol,” sahut Brandon tanpa membuka kedua maniknya.“Ish, maksudku, kau membeli satu botol bir ini berapa?&rdq
Dengan malas, Edbert menerima panggilan suara dari Brandon.“Edbert!”“Hm.”“Aleix akan pergi dari New York.”Edbert membulatkan kedua maniknya. “Apa?! Jangan bercanda Brandon!”“Aku tidak bercanda, Edbert.”“Sekarang Aleix ada dimana?” tanya Edbert dengan panik.“Aleix masih berada di apartemennya. Cepatlah ke apartemen Aleix. Sudah ada Noah di sana.”“Kau sedang dimana?” tanya Edbert sambil melangkahkan kakinya menuju jaket kulit berwarna hitam yang terdampar di kursi.“Aku sedang diperjalanan menuju manison-mu,” terang Brandon.“Baiklah, aku akan tunggu di gerbang manison. Cepat Brandon! Kita tak punya banyak waktu.”“Aku sudah cepat!”Tut...Edbert langsung menyambar dan memakai jaket kulit di tubuhnya. Saat ia merasa ada yang aneh, Edbert melihat ke jaket kul
Plak...Bugh...Bugh...“Dasar anak tak berguna!”Prang...“ARGH!” teriak seorang pria sambil menarik-narik rambutnya yang mulai memutih.“KENAPA KAU SELALU MEMPERMALUKAN DADDY?!”“SELAMA INI DADDY KURANG APA, HAH?!”Seorang wanita dengan dress berwarna pastel, mulai melangkahkan kakinya dan mengusap-usap bahu seorang pria yang berada beberapa langkah di depannya.“Tenanglah Sebastian. Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” ucap wanita itu agar pria yang bernama Sebastian, meredam emosinya.“Bagaimana aku bisa tenang Flory?” tanya balik Sebastian dengan nada merendah.Flory tersenyum. “Kendalikan emosimu. Edbert masih labil. Cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini adalah berbicara dengan kepala dingin.”Sebastian mengusap kasar wajahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Sebastian akan menuruti ucapan istri tercintanya.
“Shelley, kenapa kau diam?” tanya Edbert dengan pelan.Shelley masih saja terdiam. Edbert yakin kalau Shelley sedang memikirkan suatu hal, hingga dia tidak mendengar pertanyaannya. Dibalik keterdiaman Shelley, Edbert bertanya-tanya di dalam hatinya. Apakah mungkin ada yang sedang ditutup-tutupi oleh Shelley?“Shelley,” panggil Edbert.“Iya, tentu saja aku mengenalnya,” jawab Shelley dengan sangat cepat.Edbert tidak menanggapi jawaban Shelley yang sangat cepat. Edbert memilih untuk mengalihkan pandangannya kedepan dan fokus pada jalan raya yang sangat sepi. Edbert berusaha untuk melupakan sikap aneh Shelley. Namun nihil. Dia tidak bisa menghilangkan sikap aneh Shelley dari benaknya.“Sepertinya ada yang sedang disembunyikan Shelley,” batin Edbert dengan pandangan fokus pada jalanan.Sama seperti Edbert yang sedang memikirkan sikap aneh Shelley, Shelley pun juga merasa bingung dengan sikapnya. T
“Dia tidak ingin hal ini diketahui oleh orang lain,” jawab Edbert tanpa menatap sedikitpun pada Shelley.Shelley mengalihkan pandangannya keluar jendela. Dia tahu pasti kenapa Michalina tidak memberitahukan hal ini pada ketiga sahabatnya, Sara, Tania, dan Tanisa. Pasti Michalina tidak ingin kalau ketiga sahabatnya berpikiran kalau ayahnya sudah bangkrut dan ketiga sahabatnya itu akan menjauhi dirinya karena ayahnya sudah bangkrut.Drt ... drt ...Shelley merasa ada getaran dari dalam genggaman tangan kanannya. Dia menurunkan pandangannya pada ponsel jadul miliknya. Sebuah nomor asing sedang menghubunginya. Shelley mengingat-ingat apakah dia sudah memberi nomornya pada orang lain. Dia ingat betul kalau belum memberi nomor ponselnya pada orang lain, termasuk Alana.“Kalau aku belum memberi nomorku pada siapapun, lantas siapa yang sedang berusaha menghubungiku?” batin Shelley bertanya-tanya.Edbert menoleh pada Shelley karena s