Pemuda berpakaian dari kulit ular ini segera keluarkan dengusan begitu mengenali siapa perempuan berpakaian kuning cemerlang yang muncul. "Berabe! Kali ini aku benar-benar tak mengharapkan bertemu dengan orang-orang semacam Dewi Topeng Perak. Tetapi kalau sudah begini, tak mungkin aku menghindar lagi."
Habis membatin begitu, pemuda dari sungai ular ini berkata jemu, "Apa lagi yang harus diselesaikan? Apakah ini masih urusan Mata Dewa? Wah! Bagaimana sih kau ini? Kakek yang selalu memejamkan kedua matanya itu kan jelas-jelas menolakmu karena dia tetap mencintai Dewi Segala Impian? Kau seharusnya sadar akan hal itu, bukan? Jadi lebih baik kau lupakan segala persoalan...."
“Pemuda jahanam! Semua ini gara-gara ulahmu hingga aku gagal membunuhnya!" sengat Dewi Topeng Perak dengan sorot mata tajam dari balik topeng perak yang dikenakannya.
"Mengapa harus menyalahkan aku? Kalau nyawa Mata Dewa belum putus juga, ya dia memang belum ditakdirkan untuk mati. Tetapi,
MALAM menghampar dalam dengan menebarkan kecerahan yang mempesona. Di jalan setapak yang dihiasi oleh sinar rembulan, Si Buta dari Sungai Ular masih memandang tak berkedip ke depan, pada sosok tua yang duduk bersila tanpa pakaian. Kening pemuda dari Sungai Ular ini dikernyitkan berulangkali."Tak salah! Kakek berkulit hitam legam itu kini memang tak lagi menyentuh tanah. Tubuhnya yang selalu bersila, berada sejengkal di atas tanah!"Sementara itu perempuan berpakaian kuning cemerlang yang berdiri di samping si kakek, diam-diam membatin kagum, "Sejak semula kusadari kalau Buang Totang Samudero semakin tinggi ilmunya! Bagus! Keinginanku melihat pemuda dari Sungai Ular itu mampus, akan terlaksana!"Manggala menahan napas, tatkala dilihatnya tubuh si kakek yang selalu duduk bersila dengan kedua tangan bersedekap di dada ini, tahu-tahu telah naik sejengkal di atas tanah!Kejap berikutnya, mendadak saja tubuh Buang Totang Samudero melesat ke arah Manggala, teta
Jangankan untuk menyahuti kata-kata orang, bernapas saja sudah sulit dilakukan Manggala. Wajahnya kini memerah karena darah yang menggumpal di bagian kepala. Napasnya bertambah sesak dan seolah cepat menekan dilehernya.Tak mendapatkan jawaban yang diinginkannya, jepitan kedua kaki Buang Totang Samudero yang tetap bersila itu makin mengerat. Ibarat dua buah bukit yang menjadi satu dalam sentakan marahnya alam."Cepat katakan sebelum terlambat!"Napas Si Buta dari Sungai Ular semakin terputus. Tubuhnya mulai dirasakan lemas. Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu ternyata dia masih memiliki ketabahan dalam. Kendati agak jeri, dia tetap berusaha bertahan."Celaka! Aku tak mungkin bisa bertahan lebih lama dari jepitan kedua kaki kakek kurang asem ini!" maki Manggala dalam hati. Dikerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan jepitan kedua kaki Buang Totang Samudero. Akan tetapi, dalam keadaan sukar bernapas, siapa pun akan sulit untuk keluarkan tenaga dalam.
Saat itu pula ditekap buah dadanya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar menahan marah dan malu. Bola matanya mengerjap liar. Kejap berikutnya terdengar bentakan keras, "Kau akan mampus di tanganku, Si Buta dari Sungai Ular!"Tetapi dia tak lakukan apa yang dikatakannya. Rupanya perempuan ini juga memiliki rasa malu. Segera saja dia melompat ke balik ranggasan semak dengan hati dibuncah kemarahan dalam. Terutama melihat pandangan penuh nafsu dari Buang Totang Samudero!Lebih-lebih tatkala mendengar kata-kata Buang Totang Samudero, "Sangat menyenangkan! Sungguh menyenangkan! Tunggulah aku di sana, Sunarsasi! Karena sebentar lagi, pemuda ini akan mampus di tanganku!"Habis seruannya, Buang Totang Samudero menderu dengan lesatan cepat. Dari tubuhnya, mencelat dua buah sinar kuning dan merah!-o0o-Manggala yang memutuskan untuk memberi pelajaran pada Buang Totang Samudero, tegak kaku dengan kedua kaki terpancang di atas tanah. Tubuhnya semakin memanc
Dan begitu tubuhnya berada di balik ranggasan semak belukar di mana Dewi Topeng Perak tadi bersembunyi di sana, kedua mata si kakek terbeliak terkejut. Menyusul makiannya yang keras, "Keparat! Sungguh keparat!"Dewi Topeng Perak sudah tak berada di sana!Menggeram panjang pendek si kakek berkulit hitam legam ini. Dan mendadak saja dari tubuhnya melesat sinar kuning dan merah yang menghantam apa saja di sekitarnya. Dalam waktu dua tarikan napas, tempat itu makin porak poranda.Lalu dia terdiam dengan napas bergelombang. Sepasang matanya menyipit tajam. Menyusul suaranya dingin dan kejam, "Kau tak akan bisa menghindarkan diri dariku, Sunarsasi! Aku harus mendapatkan tubuhmu! Sekalipun kau sudah menjadi mayat!"Kejap kemudian, Buang Totang Samudero sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan cara yang aneh. Kedua kakinya tetap melipat bersila dengan kedua tangan bersedekap. Bergerak sungguh cepat dan mental ke depan setelah kakinya yang bersila menyentuh
Si Buta dari Sungai Ular tersenyum dan mendesis, "Bagus. Rasanya dia tak seperti mendapat halangan. Kendati demikian, aku tak bisa menebak secara pasti apakah dia sudah bertemu dengan Guru atau belum. Untuk lebih jelasnya, biar kutanyakan saja bila dia sudah mendekat...."Dilihatnya dua sosok tubuh yang berada di punggung Garaga. Yang duduk di sebelah depan nampak mencoba memanggil namanya, namun kabur akibat kencangnya gemuruh lesatan Garaga. Sementara yang seorang lagi hanya melambaikan tangan. Satu kejap berikutnya, sosok besar ular raksasa itu telah tiba dihadapan tempat Manggala berdiri. Masih keluarkan teriakan keras, "Ghraaagghhh!"Menyusul orang yang duduk di sebelah depan tadi melompat turun dan bergegas menghampiri Manggala disertai seruan, "Apa kabarmu, Kang Manggala!"Sementara yang seorang lagi, pemuda berpakaian abu-abu yang terbuka di bagian dada hingga memperlihatkan dadanya yang bidang, setelah meloncat segera mendekati Manggala dengan senyuman
Manggala yang sangat paham bahasa Garaga berkata lagi, "Mengapa kau sepertinya merahasiakan semua itu, Garaga?"Bola mata Garaga melirik. Manggala bisa merasakan kalau Garaga tak suka dia bertanya begitu. "Apakah Guru tak memperbolehkan kau mengatakannya kepadaku?" tanya Manggala berhati-hati. Karena dia tahu, Garaga bisa marah bila dia memaksa. Lagi Garaga tak keluarkan suara maupun isyarat. Manggala menarik napas pendek. "Aneh. Garaga seperti menyimpan rahasia yang dalam. Mungkin juga ini perintah Guru. Aku tahu, Garaga juga menghormati Guru. Dan bila dia sudah berjanji, tak akan mungkin diingkari. Kendati aku penasaran, aku tak bisa memaksa Garaga untuk mengatakan tentang misteri di Bulak Batu Bulan yang masih menggantung."Mendadak terdengar desisan Garaga. Manggala menganggukkan kepala, "Guru mengatakan aku harus selekasnya tiba di sana. Ya, ya... Wulung Seta tadi juga mengatakan seperti itu. Tetapi Garaga, kau tentunya masih ingat pada Ayu Wulan, bukan? Nah! Aku
"Sungguh saat yang tepat rasanya untuk menikmati kemontokan tubuh gadis bernama Ayu Wulan itu. Hmm... menurutnya, Si Buta dari Sungai Ular bukanlah kekasihnya. Tetapi jelas-jelas dalam beberapa hari ini Ayu Wulan menampakkan kecemasannya. Juga rasa rindu yang dalam pada Si Buta dari Sungai Ular. Sungguh, aku iri melihat cinta kasih tulus dari gadis ini pada Si Buta dari Sungai Ular pemuda yang sedang kucari untuk kudapatkan Kitab Pembangkit Mayat."Murid Iblis Tanpa Jiwa ini kembali arahkan pandangan lekat-lekat pada Ayu Wulan. Sejenak ingatannya kembali pada perintah gurunya yang membuatnya muak. Handaka yang telah menjuluki dirinya sebagai Pangeran Pencabut Nyawa, telah bertekad untuk membelot dari perintah Iblis Tanpa Jiwa. Yang dihendaki, dia akan mendapatkan Kitab Pamungkas untuk dirinya sendiri!Pemuda ini mendengus dan membuang ingatannya tadi jauh-jauh, "Setiap kali aku teringat pada kakek keparat itu, semakin muak hatiku padanya! Sayangnya aku yakin, kalau dia
"Untuk melakukan tindakan busuk kepadaku!" satu suara dari belakang menyambung kata-katanya dan membuat murid Iblis Tanpa Jiwa ini segera membalikkan tubuh. Berjarak delapan langkah dari hadapannya, dilihatnya satu sosok ramping berpakaian ringkas warna jingga telah berdiri dengan kedua kaki dibuka agak lebar dan pandangan mencorong tajam!"Hebat! Rupanya dia tahu kalau kubuntuti. Dugaanku tepat kalau dia bukan gadis sembarangan. Mengingat dia begitu cepat menyelinap dan lenyap dari pandangan. Bahkan, tadi tak kulihat sosoknya berada di sana. Hmm... aku tak ingin membuang tenaga banyak sekarang."Habis membatin demikian Handaka tersenyum, "Maafkan aku. Bukan maksudku untuk mengikutimu. Tetapi, sejak semula aku sedang mencari jalan keluar dari tempat ini.""Jangan bicara dusta bila masih sayang nyawa!" maki Dewi Awan Putih dengan suara keras.Handaka makin kembangkan senyumnya. Dengan suara dibuat sopan dia berkata, "Sudah tentu aku tak berani lancang bers