Seminggu setelah terakhir kali Jason mengunjungi Han, kini bocah itu sudah diperbolehkan pulang. Jason hendak menjemput anak tersebut dan membawanya ke rumah. Ia sebenarnya tidak ingin menambah orang menjadi keluarga. Ia sudah terbiasa hidup seorang diri. Walaupun ada keluarga, mereka bahkan enggan menoleh ke arah Jason.
Jason memasuki mobilnya yang terparkir indah di halaman rumah. Kemudian ia melajukan BMW kesayangannya tersebut membelah kota Chicago. Banyak pemandangan yang ia lihat di sepanjang jalan. Jason kembali melihat sekumpulan anak remaja tengah beradu pukul di sebuah gang sepi. Ia ingin bermain sebentar, namun waktu sudah menunjukan pukul 12 siang. Han pasti sudah menunggu nya disana.
"Tunggu aku anak anak manis." Gumam Jason.
Jason sedikit menaikan kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Tak perlu waktu lama, ia sudah berada di parkiran yang cukup luas. Bangunan berwarna coklat yang menjulang tinggi sudah ada di depan matanya. Jason segera keluar dari mobilnya dan berjalan memasuki rumah sakit tersebut. Tanpa berlama lama, Jason memasuki lift agar Han tak perlu menunggu. Sebenarnya Jason lebih menyukai tangga darurat, karena menurutnya menaiki tangga lebih lama. Lalu jika menaiki tangga, otak nya akan mulai memikirkan hal hal menyenangkan seperti menjahit tubuh manusia di dalam bantal atau boneka besar.
Begitu keluar dari lift, Jason dapat melihat Han berada di kursi rumah sakit depan kamarnya. Bocah itu nampaknya sudah jenuh berada di dalam rumah sakit. Jason pun menghampiri nya dengan langkah yang sedikit di percepat.
"Ini dia, Han."
Jason menghentikan langkahnya saat suara tak asing keluar dari arah ruang Han. Kemudian muncul dokter wanita dari arah pintu tersebut. Dokter tersebut nampak memberikan sekantung obat kepada Han.
"Terima kasih, dokter Lusiana" Ujar Han.
Dokter tersebut hanya membalas dengan senyuman. Jason pun melanjutkan kembali langkahnya, namun dalam kecepatan normal.
"Paman!" Seru Han.
Jason melambaikan tangannya ke arah bocah tersebut. Lusiana menoleh ke arahnya dengan tatapan penuh selidik. Jason membalas tatapan itu tanpa ekspresi.
"Ayo kita pulang, Han." Ujar Jason.
Jason mengamit tangan Han tanpa memperdulikan Lusiana yang berada di sampingnya. Jason menarik lengan bocah itu agar cepat pergi dari hadapan Lusiana. Melihat Han yang nampak tak bisa menyamakan langkahnya dengan Jason, Lusiana pun menyusul mereka.
"Pak, tolong bersikap baik kepada anak kecil." Ujar Lusiana sambil melepaskan tangan Han dari Jason.
Jason memicingkan matanya ke arah Lusiana. "Bukankah sudah ku peringatkan sebelumnya?"
Lusiana menarik sebelah sudut bibirnya "Ya? Lalu? Apa kau kira aku takut?"
Jason mengedikan bahunya tak peduli. Jason mengangkat tubuh Han dan menggendongnya seperti karung beras. Kemudian Jason menurunkan Han saat tiba di dalam lift. Dari kejauhan, Jason dapat melihat Lusiana masih menatap mereka.
"Manusia lemah memang sangat senang menangtang kematian." Ujar Jason.
~~~
Tepat pukul 1 siang Franco dan Tim SWAT tiba di Chicago Lakeshore Hospital. Mereka menatap gendung yang menjulang tinggi tersebut. Rumah sakit ini memang cukup besar di banding rumah sakit sekitarnya. Franco memberi komando kepada tim nya untuk mulai memasuki rumah sakit tersebut. Saat tiba di dalam, Franco menuju ke ruang receptionist sedangkan anggota tim nya menunggu di kursi rumah sakit. Franco di sambut ramah oleh wanita cantik dengan rambut sebahu
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya wanita tersebut.
Wanita itu bernama April, Franco dapat mengetahuinya lewat Nametag yang terpasang rapih.
"Aku ingin bertemu dengan dokter Lusiana." Jawab Franco.
"Baik. Saya akan menghubunginya. Anda bisa menunggu disana." Ujar wanita tersebut sambil mengarahkan tangannya ke kursi tunggu.
Franco menganggukkan kepalanya lalu pergi ke kursi tunggu. Franco menyapukan pandangannya ke seluruh sudut rumah sakit tersebut. Ia dapat melihat banyaknya pasien yang tengah menunggu giliran untuk di periksa. Sebuah peta rumah sakit mampu menarik perhatiannya. Franco pun mendekati peta tersebut untuk melihatnya lebih dekat. Ia dapat melihat banyaknya ruangan dirumah sakit tersebut melalui peta di hadapannya.
"Siang, tuan Franco."
Franco reflek menolehkan kepalanya menuju sumber suara. Ternyata di sebelahnya sudah berdiri dokter cantik yang ia akan temui.
"Si..siang, dokter Lusiana." Ujar Franco.
Lusiana tersenyum, ia mengarahkan Franco untuk menuju ke kursi. Lalu mereka mulai berbincang mengenai tugas mereka. Setelah cukup banyak yang mereka bicarakan, Franco pun berinisiatif untuk mengajak Lusiana ke Departemen Kepolisian untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang tugas mereka.
Mereka pun segera bergegas dengan menggunakan mini bus yang mereka bawa dari San Fransisco. Selama di perjalanan, anggota tim SWAT mulai memperkenalkan diri masing masing. Mulai dari Hanes yang bertubuh besae, Roger yang gemar tidur, Marley sang koki, dan seorang wanita berwajah garang yang bernama Shella. Mereka semua ramah, Lusiana senang berada di antara mereka.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan kantor Departemen Kepolisian. Mereka di sambut oleh beberapa polisi yang langsung mengarahkan mereka ke ruangan kepala kepolisian. Di dalam ruangan tersebut sudah ada seorang pria lanjut usia yang tengah duduk di kursi kebesarannya.
"Selamat siang, tuan Holland." Ujar Franco saat sudah memasuki ruangan tersebut.
Pria bernama Holland itu hanya menganggukan kepalanya dan mempersilahkan mereka duduk di kursi yang sudah disiapkan.
"Apa kabarmu, nak?" Tanya Holland kepada putrinya yang mengenakan seragam berbeda.
Lusiana tersenyum. "Aku baik, ayah. Bagaimana kabar ayah?"
Holland membalas senyuman putrinya tersebut. "Aku selalu baik jika putri kesayanganku dalam kondisi yang baik."
Setelah selesai berbincang dengan putrinya, Holland melayangkan pandangannya kepada Franco. Ia harus segera memberitahukan tugas mereka selama satu bulan ke depan.
"Detectif, saya ingin selama menjalankan tugas, kamu tidak terlalu tenggelam di dalamnya." Ujar Holland.
Franco mengerutkan dahinya, ia tidak cukup mengerti dengan ucapan pria tersebut. "Ya, tuan?"
Holland bangun dari kursi kebesarannya. Ia melepaskan sebuah kain penutup yang berada di papan tulis. Disana terdapat beberapa tugas yang harus di kerjakan Franco, tim SWAT, maupun Lusiana.
"Detectif, tugasmu hanya menyelidiki dan mengintai target. Selebihnya tugasmu adalah melindungi Lusiana." Ujar Holland sambil menunjuk ke arah papan tulis.
Franco menggaruk tengkuknya. "Ya, mungkin aku sudah terbiasa dengan menyelidiki atau mengintai sesuatu. Namun jika harus menjadi pengawal, aku tidak yakin."
Holland nampak tidak memperdulikan ucapan Franco. Ia segera membahas tugas yang akan di jalankan oleh tim SWAT. Mereka diberikan tugas seperti biasa. Menyergap, menangkap, dan sebuah tugas tambahan untuk melindungi dokter Lusiana dan Detectif Franco. Sedangkan tugas yang akan di jalankan oleh Lusiana hanyalah memberikan perawatan kepada anggota yang terluka. Ia juga ikut serta dalam pengawasan terhadap publik bersama Franco.
"Jika kalian sudah mengerti, aku akan memperlihatkan sejumlah foto dan identitas target." Ujar Holland.
Kemudian Holland mengeluarkan sebuah map yang cukup tebal dari dalam lemari berkasnya. Disana terdapat beberapa foto wanita paruh baya bersama seorang anak perempuan. Ada juga foto seorang perempuan cantik yang di ambil secara diam diam. Lalu di susul oleh secarik kertas yang berisikan informasi mengenai orang yang ada di dalam foto tersebut. Tertulis bahwa target utama mereka adalah
"Xenovia Cornels."
~~~
Jason menuruni mobilnya dengan tergesa-gesa. Ia sangat terlambat untuk bermain dengan anak-anak yang ia lihat siang ini. Hal tersebut karena Han bersikeras meminta daging yang ada di dalam kulkasnya. Padahal daging itu milik ibu nya. Hari ini adalah ulang tahun kakak tirinya, daging itu sengaja disiapkan untuk kedatangan kakaknya ke Chicago. Namun daging itu sudah berada di dalam perut Han. Ibu nya pasti akan segera memotong lehernya saat tau hal tersebut.
Jason mengitari sekeliling gang itu, namun tak menemukan sosok yang ia cari. Dari kejauhan Jason melihat sosok yang sangat ia hindari. Jason segera bersembunyi di sebelah tempat sampah yang cukup besar. Sosok itu perlahan mendekat dan memuntahkan seluruh isi perutnya di tempat sampah. Jason yang sudah terbiasa dengan bau muntah pun sama sekali tak terganggu.
"Sial. Bagimana bisa ada kasus pembunuhan anak kecil di tempat ini!" Gumam sosok tersebut.
Jason sontak bangkit saat mendengar hal tersebut. Ia lupa bahwa saat ini ia sedang bersembunyi.
"Pembuhan?!" Tanya Jason untuk memastikan pendengarannya.
Sosok di hadapannya itu nampak sangat terkejut hingga ia tersungkur ke belakang.
"Wali Han?"
"Senang bertemu denganmu, dokter Lusiana."
Lusiana bangkit dan bergerak mundur. Kini ia hanya berdua dengan Jason yang menatapnya dengan senyuman. Namun senyuman itu memancarkan aura hitam seperti karakter pembunuh dalam komik yang ia baca. Lusiana diam diam mengambil sebuah botol spray yang sudah diisi air sabun. Biasanya ia menggunakan air itu untuk mencuci tangan, tapi ternyata bisa berguna saat kondisi yang merugikan dirinya.
Lusiana mengarahkan botol spray itu ke arah Jason dan menyemprotkannya.
"Mataku!" Pekik Jason.
Ia sontak terjatuh. Ia terus mengusap matanya yang terasa sangat perih. Sekiranya sudah terasa membaik, Jason membuka matanya. Tidak ada lagi sosok Lusiana yang sudah membuat matanya iritasi.
"Kau yang memulainya, kau juga yang harus mengakhirinya. Lu.si.a.na!"
To be continue..
"Selamat datang di rumah, Xenovia!"Seorang wanita muda berdiri di depan pintu rumah Jason. Eliza dan Jason menyambut wanita tersebut dengan wajah gembira. Hanya Eliza, tidak dengan Jason yang menekuk wajahnya. Di belakang mereka berdiri Han yang tidak mendapat tempat untuk berbaris. Xenovia menatap keluarga tiri nya sambil tersenyum. Sudah lebih dari lima tahun mereka tidak bertemu, karena Xenovia harus menjalani kehidupan gandanya di Washington DC. Xenovia memasuki rumah yang cukup luas tersebut."Huh, bau nya tidak berubah." Ujar Xenovia sambil menutup hidungnya.Jason berjalan mendahului kakak tirinya lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Apartemen mu berbau seperti bangkai.""Aku memang senang menyimpan bangkai." Ujar Xenovia."Siapa anak itu, Nik?" Tanya Xenovia sambil menunjuk ke arah Han yang masih berdiri di depan pintu.Jason menghampiri Han lalu menggiringnya ke depan Xenovia. Wanita itu meneliti Han dari ujung kepala hingga ujung kaki. H
Pagi ini kondisi Chicago Lakeshore Hospital dipadati oleh mobil polisi karena kejadian semalam. Lusiana masih tak bisa membuka mulutnya, bibirnya sangat sulit terbuka untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Franco mengantar Lusiana pulang agar ia bisa menenangkan dirinya. Selama di perjalanan, Lusiana tidak mengatakan apapun. Matanya terus menatap ke arah jalan dengan wajah ketakutan. Franco yang merasa khawatir pada Lusiana pun memutuskan untuk berbicara pada Holland mengenai Lusiana yang tidak perlu ikut dalam misi kali ini.Setiba nya mereka di depan rumah Lusiana, wanita itu menghambur masuk tanpa berkata apapun. Lusiana hanya menganggukan kepalanya entah bermaksud apa. Franco mengemudikan Mercedes-Benz ya menuju Departemen Kepolisian Chicago. Ia sedikit menambah kecepatannya saat waktu hampir menunjukan waktu patroli pertama nya di Chicago.Tak perlu waktu lama, ia sudah tiba di depan bangunan tersebut. Ia melihat Holland di luar gedung bersama Tim SWAT. Franco
Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat."Sudah ku bilang, anak itu bodoh."Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya."Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana."Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memeja
Hari telah berganti, namun Jason masih tetap berada diruang bawah tanah memandangi wajah teman lamanya, Ryan. Temannya itu mengalami hipotermia karena penghangat di dalam ruangan tersebut rusak. Lampu diruangan tersebut juga tiba tiba padam membuat suhu ruangan menjadi sangat dingin. Jason sudah memindahkan teman lamanya tersebut ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan untuk mengeksekusi korbannya. Di ruangan itu, Jason merendam tubuh Ryan di air hangat. Namun bukannya membaik, tubuh Ryan yang terbalut kostum naga tersebut mulai membengkak. Wajahnya semakin membiru, pada menit selanjutnya Jason tak bisa lagi merasakan denyut nadi dan detak jantung temannya tersebut.Jason tersenyum memandangi tubuh tak bernyawa di hadapannya itu. Jason pun mengangkat mayat temannya itu dan membaringkannya di meja operasi yang biasa ia gunakan untuk melakukan operasi pada semua korbannya. Jason menguliti wajah Ryan yang sudah tak bernyawa tersebut. Ia tak bisa henti hentinya tertawa, namun tanp
Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu."Han.." panggilnya.Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut."Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.Lagi-lagi nihil.Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya
"PAMAN!!!"Han berteriak histeris dari dalam mobil saat melihat tubuh Jason yang sudah terkapar di aspal. Darah tak henti hentinya mengalir dari luka di pinggang Jason. Sedangkan Lusiana hanya bisa membeku di tempatnya, menatap Jason layaknya orang yang baru pertama kali melihat darah."Dokter Lusiana.. tolong paman.." ujar Han lirih.Lusiana sontak menolehkan kepalanya ke arah Jason. Matanya masih terasa kosong, nyawa nya bagaikan terbang ke tempat lain."DOKTER!"Teriakan Han tersebut mampu menyatukan jiwa dan raga Lusiana. Ia segera keluar dari mobil dan memapah Jason ke dalam mobil dengan di bantu oleh bocah tersebut. Selanjutnya, Lusiana akan membawa nya pulang.Apa Lusiana tahu dimana tempat tinggal Jason?Tentu saja tidak.Pulang yang di maksud adalah ke rumah Lusiana. Han sedari tadi hanya menangis di sebelah Jason. Berulang kali Lusiana bertanya dimana alamat rumah mereka, Han hanya menangis. Satu-satunya tempat untuk pulang saat
Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han."Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya."Lima menit lagi."Jason menarik nafasnya."Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason."Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada
Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka