"Selamat datang di rumah, Xenovia!"
Seorang wanita muda berdiri di depan pintu rumah Jason. Eliza dan Jason menyambut wanita tersebut dengan wajah gembira. Hanya Eliza, tidak dengan Jason yang menekuk wajahnya. Di belakang mereka berdiri Han yang tidak mendapat tempat untuk berbaris. Xenovia menatap keluarga tiri nya sambil tersenyum. Sudah lebih dari lima tahun mereka tidak bertemu, karena Xenovia harus menjalani kehidupan gandanya di Washington DC. Xenovia memasuki rumah yang cukup luas tersebut.
"Huh, bau nya tidak berubah." Ujar Xenovia sambil menutup hidungnya.
Jason berjalan mendahului kakak tirinya lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Apartemen mu berbau seperti bangkai."
"Aku memang senang menyimpan bangkai." Ujar Xenovia.
"Siapa anak itu, Nik?" Tanya Xenovia sambil menunjuk ke arah Han yang masih berdiri di depan pintu.
Jason menghampiri Han lalu menggiringnya ke depan Xenovia. Wanita itu meneliti Han dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hal tersebut membuat Han merasa kurang nyaman. Jason yang menyadari hal itu pun membawa Han menuju kamarnya. Jason meminta Han untuk tidak terlalu dekat dengan Xenovia, mengingat wanita itu memang terobsesi dengan anak kecil.
"Hei Nik, kau bawa kemana anak lugu itu?" Tanya Xenovia saat Jason sudah muncul di hadapannya.
"Aku membawanya ke kamar. Aku peringatkan kau untuk tidak mengganggu Han. Dia sangat spesial untuk ku." Ujar Jason.
Xenovia tertawa pelan. "Kau masih tidak berubah, Nik."
Tak lama kemudian Eliza datang dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan. Ia bahkan membawa sekantong daging segar yang entah di dapatkan dari mana. Eliza mengeluarkan sebotol soda dan menuangkannya ke dalam gelas. Jason yang tidak terlalu menyukai soda pun memutuskan untuk mengambil air putih. Sedangkan Xenovia memilih menenggak habis seisi botol soda tersebut. Eliza merasa heran karena kedua anaknya memiliki kepribadian yang berbeda.
"Bagaimana kabar Sherla?" Tanya Eliza pada putrinya.
Xenovia mengacungkan jempolnya. "Dia sudah tumbuh dewasa, bahkan ia sudah bisa bekerja di Departemen Kepolisian."
Jason sontak tersedak. "Benarkah? Bagaimana bisa ia bekerja dengan wajah tanpa ekspresi seperti itu?"
Xenovia mengeluarkan ponsel nya dan menunjukan sebuah aplikasi yang baru pertama kali Jason lihat. Xenovia mengetikan sesuatu di kotak pesan, lalu ia mendapatkan sebuah panggilan video dengan gambar yang seperti sedang menyorot sesuatu.
"Sherla, membunuh atau di bunuh?" Ujar Xenovia kepada seseorang di balik telepon.
Tak ada jawaban hanya muncul beberapa kode yang tak bisa di mengerti oleh Jason dan Ibu nya. Kode itu berkedip kedip kemudian berganti menjadi sebuah pesan suara.
"Mereka sedang mencari mu, nona."
Setelah mendengar pesan suara tersebut, Xenovia hanya bisa mendengus. Ia sengaja pergi ke Chicago untuk menghindari kepolisian Washington, namun ternyata para polisi Chicago sudah mencarinya.
"Aku merasa seperti selebriti." Ujar Xenovia.
Eliza memukul bahu putrinya tersebut. "Jangan hanya bersantai, cepat ubah identitasmu!"
Xenovia hanya terkekeh melihat ibu nya yang sudah berubah. Dahulu Eliza hanyalah seorang ibu berdarah dingin yang bahkan tidak peduli anaknya masih hidup atau tidak. Tapi kini Eliza mencemaskan dirinya. Sungguh luar biasa.
"Sherla, bisa kau bunuh orang berpakaian biru yang ada di depanmu?" Tanya Jason pada Sherla.
Sejak awal ia memang merasa terganggu pada sosok pria berpakaian biru yang tengah tidur dengan mata terbuka.
Panggilan tiba tiba saja dimatikan sepihak oleh Sherla. Jason menatap Xenovia yang memasukan ponselnya ke saku. Jason masih tidak mengerti mengapa Sherla mematikan panggilan tersebut.
"Apa itu salah satu pertanyaan yang sensitif?" Tanya Jason.
Xenovia memukul kepala Jason lalu berjalan masuk ke kamar tamu.
"Anak bodoh akan selalu menjadi bodoh! Otak mu bahkan lebih kecil dari bakteri!"
~~~
Matahari sudah tenggelam sedari tadi, tapi Lusiana masih berada di rumah sakit. Lusiana membuka plastik yang membungkus jasad anak kecil korban pembunuhan. Ia bersama tim nya berhasil menemukan bocah tersebut tergantung di belakang sebuah toko VinnyD's yang terletak di kode area 773 Kota Chicago. Saat itu Lusiana dan Franco tengah beristirahat di belakang toko tersebut. Namun tiba tiba cokelat menetes tepat di hidung Lusiana. Hal itu membuat Franco segera menengadahkan kepalanya dan menemukan seorang anak kecil yang sudah tak bernyawa.
Ia hampir saja memuntahkan seluruh isi perutnya saat melihat cokelat yang mencair dari dalam perut anak kecil tersebut. Perut anak itu nampak terbelah dengan sangat rapih seperti di lakukan oleh dokter ahli bedah. Lusiana mendorong Mortuary Table itu menuju ruang jenazah. Ia di sambut oleh penjaga ruang tersebut yang sudah menunggu di depan pintu.
"Lain kali cukup telepon saya dokter Lusiana. Jangan menyibukan diri sampai mengantar jenazah seperti ini." Ujar penjaga ruang jenazah tersebut
Lusiana hanya tersenyum. "Saya belum sempat melihat kondisi jenazah karena saya tidak di beri izin untuk melakukan autopsi. Jadi saat perjalanan menuju ke ruang jenazah, saya menyempatkan untuk melihat kondisinya."
Penjaga ruangan tersebut membukakan pintu dan Lusiana pun mendorong Mortuary Table tersebut. Ia melihat cukup banyak jenazah yang ada di dalam ruagan. Sebagian besar dari mereka adalah anak berusia 9-13 tahun.
"Terima kasih bantuannya, dokter Lusiana." Ujar penjaga ruang jenazah.
Lusiana tersenyum dan meninggalkan ruangan tersebut. Saat hendak masuk ke dalam lift, ia berpapasan dengan seorang wanita berpakaian serba mewah. Lusiana tak langsung masuk ke dalam lift. Ia masih sibuk memperhatikan wanita yang kini sudah melenggang masuk ke dalam ruang jenazah.
Setelah cukup lama berseteru dengan pikirannya, Lusiana pun memasuki lift untuk menuju ke lantai dasar. Ia harus segera pergi ke kantor polisi untuk memberi keterangan tentang kondisi jenazah tersebut. Pihak rumah sakit sangat menutupi kondisi jenazah itu hingga tak membiarkan dokter melakukan autopsi. Bahkan pihak rumah sakit akan segera mengkremasi jenazah tersebut.
Lusiana meraba saku nya saat sesuatu terasa bergetar. Ia mendapat sebuah telepon dari nomor tidak di kenal. Walau dengan ragu, ia tetap menerima panggilan tersebut.
"Selamat malam-"
"DOKTER LUSIANA!" Seru seseorang dari seberang.
Lusiana dapat mengenali pemilik suara tersebut adalah Franco.
"Ya?"
"XENOVIA BERADA DI RUMAH SAKIT."
Panggilan diputus secara sepihak. Lusiana memencet tombol lift dengan sembarang. Namun lift tak kunjung terbuka. Mau tak mau ia harus menunggu sampai lift tiba di lantai dasar.
Tiba-tiba lampu lift berubah menjadi merah, menandakan adanya situasi yang darurat di rumah sakit tersebut. Lusiana segera menghubungi pusat keamanan untuk menutup semua jalur keluar masuk di rumah sakit tersebut. Ia juga memerintahkan petugas untuk mengevakuasi pasien dan semua orang yang ada.
Tak perlu menunggu lama, pelindung baja di turunkan pada setiap pintu masuk dan jendela hingga tak memungkinkan siapapun untuk keluar dari sana. Petugas juga mematikan lampu, hal ini bertujuan agar hanya orang yang menghafal lokasi rumah sakit yang bisa bergerak. Sedangkan orang yang tidak mengetahui setiap sudut rumah sakit tersebut tidak akan bisa bergerak.
Saat Lusiana tiba di lantai dasar, ia segera mengambil langkah seribu menuju tangga darurat. Ia menaiki tangga dengan sangat lincah tanpa takut tergelincir atau tersandung sesuatu. Kini ia sudah berada di lantai 3, ia hanya harus mencapai lantai 4 untuk tiba di ruang jenazah. Ia sangat mencurigai wanita yang berpapasan dengannya saat hendak memasuki lift. Tiba tiba terdengar suara teriakan yang sangat keras dari petugas ruang jenazah. Hal itu menambah kuat rasa curiga Lusiana terhadap wanita tersebut.
Brak!
Pintu tangga darurat tersebut terbuka dengan paksa menampakan sosok petugas ruang jenazah. Pria tua itu berjalan dengan tertatih. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Kondisinya begitu mengerikan saat Lusiana menyadari sebelah tangan pria tua itu sudah terpotong rapih seperti tertebas samurai.
"La..ri.." Ujar pria tua itu dengan sisa tenaga nya.
Kemudian muncul sosok berbaju serba putih dengan Cartwheel Hat ala Putri Diana sang bangsawan Inggris. Sosok itu mendekati pria tua yang sudah tersungkur di anak tangga. Ia menyeret tubuh pria tua tersebut dan menuruni anak tangga satu persatu hingga sosok wanita itu tiba di hadapan Lusiana.
Sosok wanita tersebut meletakan telunjuknya tepat di bibir Lusiana. Lalu Wanita itu mengedipkan sebelah matanya.
"Sstt.. Dont screaming."
To be continue..Pagi ini kondisi Chicago Lakeshore Hospital dipadati oleh mobil polisi karena kejadian semalam. Lusiana masih tak bisa membuka mulutnya, bibirnya sangat sulit terbuka untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Franco mengantar Lusiana pulang agar ia bisa menenangkan dirinya. Selama di perjalanan, Lusiana tidak mengatakan apapun. Matanya terus menatap ke arah jalan dengan wajah ketakutan. Franco yang merasa khawatir pada Lusiana pun memutuskan untuk berbicara pada Holland mengenai Lusiana yang tidak perlu ikut dalam misi kali ini.Setiba nya mereka di depan rumah Lusiana, wanita itu menghambur masuk tanpa berkata apapun. Lusiana hanya menganggukan kepalanya entah bermaksud apa. Franco mengemudikan Mercedes-Benz ya menuju Departemen Kepolisian Chicago. Ia sedikit menambah kecepatannya saat waktu hampir menunjukan waktu patroli pertama nya di Chicago.Tak perlu waktu lama, ia sudah tiba di depan bangunan tersebut. Ia melihat Holland di luar gedung bersama Tim SWAT. Franco
Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat."Sudah ku bilang, anak itu bodoh."Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya."Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana."Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memeja
Hari telah berganti, namun Jason masih tetap berada diruang bawah tanah memandangi wajah teman lamanya, Ryan. Temannya itu mengalami hipotermia karena penghangat di dalam ruangan tersebut rusak. Lampu diruangan tersebut juga tiba tiba padam membuat suhu ruangan menjadi sangat dingin. Jason sudah memindahkan teman lamanya tersebut ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan untuk mengeksekusi korbannya. Di ruangan itu, Jason merendam tubuh Ryan di air hangat. Namun bukannya membaik, tubuh Ryan yang terbalut kostum naga tersebut mulai membengkak. Wajahnya semakin membiru, pada menit selanjutnya Jason tak bisa lagi merasakan denyut nadi dan detak jantung temannya tersebut.Jason tersenyum memandangi tubuh tak bernyawa di hadapannya itu. Jason pun mengangkat mayat temannya itu dan membaringkannya di meja operasi yang biasa ia gunakan untuk melakukan operasi pada semua korbannya. Jason menguliti wajah Ryan yang sudah tak bernyawa tersebut. Ia tak bisa henti hentinya tertawa, namun tanp
Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu."Han.." panggilnya.Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut."Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.Lagi-lagi nihil.Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya
"PAMAN!!!"Han berteriak histeris dari dalam mobil saat melihat tubuh Jason yang sudah terkapar di aspal. Darah tak henti hentinya mengalir dari luka di pinggang Jason. Sedangkan Lusiana hanya bisa membeku di tempatnya, menatap Jason layaknya orang yang baru pertama kali melihat darah."Dokter Lusiana.. tolong paman.." ujar Han lirih.Lusiana sontak menolehkan kepalanya ke arah Jason. Matanya masih terasa kosong, nyawa nya bagaikan terbang ke tempat lain."DOKTER!"Teriakan Han tersebut mampu menyatukan jiwa dan raga Lusiana. Ia segera keluar dari mobil dan memapah Jason ke dalam mobil dengan di bantu oleh bocah tersebut. Selanjutnya, Lusiana akan membawa nya pulang.Apa Lusiana tahu dimana tempat tinggal Jason?Tentu saja tidak.Pulang yang di maksud adalah ke rumah Lusiana. Han sedari tadi hanya menangis di sebelah Jason. Berulang kali Lusiana bertanya dimana alamat rumah mereka, Han hanya menangis. Satu-satunya tempat untuk pulang saat
Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han."Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya."Lima menit lagi."Jason menarik nafasnya."Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason."Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada
Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Hari sudah berganti menjadi pagi. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean yang sudah tak bernyawa ke kabin yang dulunya laboratorium. Jean memang tak minta di makamkan disana, tapi Jason berinisiatif untuk memakamkannya disana. Jason juga sudah menyiapkan lubang di samping kabin untuk makam ayahnya. Jason membuka pintu kabin yang sudah rusak itu. Jason memasuki sebuah ruangan rahasia di dalam kabin tersebut. Lalu ia melihat sebuah peti yang sudah di siapkan oleh Jean bertahun-tahun lama nya. Rupanya peti itu yang pernah di ceritakan oleh Jean padanya. Jason ingin menggunakan peti itu, tapi terlalu berat untuk di angkat berdua dengan Lusiana. Akhirnya Jason dan Lusiana sepakat untuk mengubur Jean hanya menggunakan alas kain. Mereka tak bisa membiarkan siapapun tahu tentang kematian Jean. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean keluar dari mobil. Lalu mereka merebahkan tubuh Jean di atas sebuah kain. Jason menatap Jean yang sudah sangat pucat tersebut. Tubuh Jean
Jean tiba di depan rumah Jason dengan perasaan yang gelisah. Ia segera memasuki pekarangan rumah itu. Saat itu matahari sudah mulai berada cukup tinggi. Jean membuka pintu yang tak terkunci tersebut. Tapi ia sama sekali tak bisa menemukan Jason. Jean pun berkeliling di rumah itu sendirian untuk mencari keberadaan Jason. Tangan Kanan yang belakangan ini selalu mengikutinya itu sudah kembali ke rumahnya. Jean bahkan sudah berpamitan dengan Tangan Kanan. Mereka tidak akan bertemu lagi karena semua masalah sudah selesai, lalu Jean pun akan kembali ke San Francisco.Setelah cukup lama mencari, Jean pun mulai lelah. Ia sama sekali tak menemukan sosok Jason di rumah tersebut. Jean memilih bersantai di sofa ruang tamu yang begitu menggoda. Jean meraih ponsel Watt yang ada di sakunya. Kemudian ia membuka semua gambar di galeri nya yang berisi kenangan tersebut. Jean menghela nafasnya yang terasa berat saat melihat fotonya bersama Watt di taman Tangan Kanan. Saat it
Jason kembali ke lantai atas setelah bermalam di ruang bawah tanah. Ia bergegas menuju halaman rumahnya. Pagi ini Jason merasakan semua beban di tubuhnya menghilang. Ia bisa tersenyum lepas menatap matahari yang masih malu-malu menampakan dirinya. Jason memejamkan matanya, merasakan sensasi udara pagi yang begitu segar. Lalu Lusiana muncul dari pintu dengan kondisi yang masih berantakan. Nampaknya wanita itu baru saja bangun dari tidurnya.Jason menghampiri Lusiana yang tersenyum ke arahnya. Sebenarnya Lusiana sempat marah padanya sejak insiden penjagalan anggota tim alpha. Namun sepertinya Lusiana sudah bisa melupakan semuanya saat ini."Bagaimana tidur mu?" Tanya Jason.Lusiana melebarkan senyumnya. "Sangat tenang dan nyaman."Jason juga melebarkan senyumnya. "Bagus lah jika begitu."Jason berdeham pelan. "Bagaimana jika kita jalan-jalan hari ini?"
Setengah jam setelah Tangan Kanan mengusulkan ide nya, kini mereka berada di luar rumah Holland. Dari bola mata mereka terlihat kobaran api yang besar. Ternyata mereka lebih memilih membakar bangunan itu daripada mengebom nya. Jean dan Tangan Kanan terus menatap rumah yang terbakar tersebut. Jean sudah menghubungi pemadam kebakaran 5 menit yang lalu. Orang-orang di sekitar juga sudah mulai berkerumun melihat kebakaran tersebut."Kau sudah menghafal dialog nya?" Bisik Tangan Kanan."Belum. Kau cukup menyamakan jawaban dengan ku, kan?" Jawab Jean dengan pelan.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Lalu ia melanjutkan melihat pemandangan si jago merah yang begitu gagah melahap bangunan tersebut. Tak lama kemudian mobil pemadam kebakaran tiba disusul dengan mobil polisi beberapa menit kemudian. Tangan Kanan menatap Jean sekilas sambil mengacungkan ibu jarinya. Jean juga mengacungkan ibu jarinya. 
Sudah lebih dari 5 menit tapi Franco masih terlalu jauh untuk mencapai tangga. Waktu sudah menunjukan pukul 3 p.m. Jason merasakan perutnya terasa sakit. Ia sama sekali belum memakan apapun selama pulang dari rumah sakit. Jason pun berjalan melewati Franco yang masih berusaha melarikan diri dengan cara melata seperti ular. Jason menghembuskan nafasnya pelan saat berada di samping Franco. Kemudian ia segera menaiki anak tangga itu dengan cepat meninggalkan Franco di ruang bawah tanah itu bersama anggota tim alpha yang sudah tewas.Jason keluar dari pintu yang ada di belakang kulkas. Ia segera menghampiri Lusiana yang sedang berdiri memandangi lantai yang bolong. Jason tersenyum manis pada Lusiana, namun Lusiana hanya menatapnya sekilas."Maafkan aku." Ujar Jason.Lusiana mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?"Jason menarik sudut bibirnya. "Aku tak menjawab pertanyaan itu. Sekarang
Franco dan tim alpha yang baru masuk ke rumah Holland itu pun terkejut setelah menonton siaran ulang. Mereka yang mengira Walikota berada disini pun akhirnya memilih untuk segera pergi ke rumah Jason. Tujuan utama mereka hanyalah menyelamatkan Walikota. Jean dan Tangan Kanan yang semula panik kini mulai bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Franco dan tim alpha itu sudah pergi dari rumah tersebut. Seandainya tidak ada siaran langsung itu, mungkin Franco dan tim alpha akan memeriksa bangunan tersebut. Lalu mereka akan menemukan ketiga orang yang sudah di bunuh oleh Jason.Diluar gedung, Franco bersama tim alpha itu sedang menyusun strategi. Mereka harus menyelamatkan Walikota dan menangkap Jason. Franco mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari sakunya. Lalu Franco menggambarkan sesuatu."Kita semua ada 8 orang, kita akan bagi menjadi 4 kelompok. Aku akan datang dari arah gerbang depan. Lalu kelompok 2 dan 3 akan masuk lewat
Jason mengambil ponselnya, lalu ia beranjak ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia melihat walikota yang sedang meringsut di kasurnya. Jason masuk ke kamarnya, lalu mengunci pinter tersebut. Walikota itu sangat panik saat melihat Jason sudah ada di dalam bersama nya. Jason meletakan ponselnya di atas meja yang bisa menangkap seluruh kamarnya. Kemudian Jason mengenakan topeng yang pernah di beli nya sewaktu kecil. Setelah menggunakan topeng, Jason menekan layar ponselnya. Jason melambaikan tangannya ke kamera saat siaran langsung di mulai."Selamat siang semuanya." Sapa Jason sambil melambaikan tangannya.Jason dapat melihat banyak sekali komentar, tapi ia tak bisa membacanya karena jarak yang cukup jauh. Jason sedikit menggeser tubuhnya agar para penonton bisa melihat walikota yang sedang ketakutan."Aku tidak akan menyakiti pak walikota. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal padanya." Ujar Jason.
Jean merasa sangat resah saat ini. Sudah lebih dari 2 jam saat Jason memutuskan untuk menjemput Franco dan Walikota. Seharusnya ia menembak mati Jason saat diminta. Namun rupanya ia sama sekali tak bisa menyingkirkan iblise kecil itu. Jadilah kini ia yang sangat resah karena Jason tak kunjung kembali. Hanya ada dua kemungkinan saat ini. Kemungkinan pertama Jason tertangkap, lalu kemungkinan kedua Jason mati di tempat. Jean menghela nafasnya dengan kasar. Ia menatap Tangan Kanan yang tengah fokus memakan sesuatu di mangkuk. Jean pun menarik mangkuk itu dan mengambil alihnya."Itu punya ku." Ujar Tangan Kanan.Jean mengedikan bahunya. "Mengalah dengan yang lebih tua."Tangan Kanan hanya bisa mendengus pelan menatap mie instan nya yang sudah habis tak tersisa di makan oleh seniornya tersebut. Tangan Kanan bangkit dari kursi nya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Ia lupa jika d
"Kau pernah menjadi sopir Holland?" Tanya Jason.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Ia baru saja memberitahu Jason tentang masa lalunya. Asal usul keluarga nya dan bagaimana dia bisa mengenal Jean. Sebenarnya pertemuannya dengan Jason saat itu memang sudah di rencanakan bersama Jean. Tangan Kanan sengaja menemui Jason yang masih kecil itu untuk berteman dengannya."Lalu mengapa kau di undang ke permainan?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengedikan bahunya. "Mungkin dia takut rahasianya terbongkar."Jason menganggukan kepalanya, itu bisa jadi alasan yang sangat masuk akal. Pasti Holland sangat takut rahasia besarnya terbongkar oleh Tangan Kanan."Apa Holland pernah membunuh seseorang?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengangguk. "Aku pernah di perintahkan untuk mengubur seorang wanita yang di jadikan eksperimen olehnya."