"Selamat datang di rumah, Xenovia!"
Seorang wanita muda berdiri di depan pintu rumah Jason. Eliza dan Jason menyambut wanita tersebut dengan wajah gembira. Hanya Eliza, tidak dengan Jason yang menekuk wajahnya. Di belakang mereka berdiri Han yang tidak mendapat tempat untuk berbaris. Xenovia menatap keluarga tiri nya sambil tersenyum. Sudah lebih dari lima tahun mereka tidak bertemu, karena Xenovia harus menjalani kehidupan gandanya di Washington DC. Xenovia memasuki rumah yang cukup luas tersebut.
"Huh, bau nya tidak berubah." Ujar Xenovia sambil menutup hidungnya.
Jason berjalan mendahului kakak tirinya lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Apartemen mu berbau seperti bangkai."
"Aku memang senang menyimpan bangkai." Ujar Xenovia.
"Siapa anak itu, Nik?" Tanya Xenovia sambil menunjuk ke arah Han yang masih berdiri di depan pintu.
Jason menghampiri Han lalu menggiringnya ke depan Xenovia. Wanita itu meneliti Han dari ujung kepala hingga ujung kaki. Hal tersebut membuat Han merasa kurang nyaman. Jason yang menyadari hal itu pun membawa Han menuju kamarnya. Jason meminta Han untuk tidak terlalu dekat dengan Xenovia, mengingat wanita itu memang terobsesi dengan anak kecil.
"Hei Nik, kau bawa kemana anak lugu itu?" Tanya Xenovia saat Jason sudah muncul di hadapannya.
"Aku membawanya ke kamar. Aku peringatkan kau untuk tidak mengganggu Han. Dia sangat spesial untuk ku." Ujar Jason.
Xenovia tertawa pelan. "Kau masih tidak berubah, Nik."
Tak lama kemudian Eliza datang dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan. Ia bahkan membawa sekantong daging segar yang entah di dapatkan dari mana. Eliza mengeluarkan sebotol soda dan menuangkannya ke dalam gelas. Jason yang tidak terlalu menyukai soda pun memutuskan untuk mengambil air putih. Sedangkan Xenovia memilih menenggak habis seisi botol soda tersebut. Eliza merasa heran karena kedua anaknya memiliki kepribadian yang berbeda.
"Bagaimana kabar Sherla?" Tanya Eliza pada putrinya.
Xenovia mengacungkan jempolnya. "Dia sudah tumbuh dewasa, bahkan ia sudah bisa bekerja di Departemen Kepolisian."
Jason sontak tersedak. "Benarkah? Bagaimana bisa ia bekerja dengan wajah tanpa ekspresi seperti itu?"
Xenovia mengeluarkan ponsel nya dan menunjukan sebuah aplikasi yang baru pertama kali Jason lihat. Xenovia mengetikan sesuatu di kotak pesan, lalu ia mendapatkan sebuah panggilan video dengan gambar yang seperti sedang menyorot sesuatu.
"Sherla, membunuh atau di bunuh?" Ujar Xenovia kepada seseorang di balik telepon.
Tak ada jawaban hanya muncul beberapa kode yang tak bisa di mengerti oleh Jason dan Ibu nya. Kode itu berkedip kedip kemudian berganti menjadi sebuah pesan suara.
"Mereka sedang mencari mu, nona."
Setelah mendengar pesan suara tersebut, Xenovia hanya bisa mendengus. Ia sengaja pergi ke Chicago untuk menghindari kepolisian Washington, namun ternyata para polisi Chicago sudah mencarinya.
"Aku merasa seperti selebriti." Ujar Xenovia.
Eliza memukul bahu putrinya tersebut. "Jangan hanya bersantai, cepat ubah identitasmu!"
Xenovia hanya terkekeh melihat ibu nya yang sudah berubah. Dahulu Eliza hanyalah seorang ibu berdarah dingin yang bahkan tidak peduli anaknya masih hidup atau tidak. Tapi kini Eliza mencemaskan dirinya. Sungguh luar biasa.
"Sherla, bisa kau bunuh orang berpakaian biru yang ada di depanmu?" Tanya Jason pada Sherla.
Sejak awal ia memang merasa terganggu pada sosok pria berpakaian biru yang tengah tidur dengan mata terbuka.
Panggilan tiba tiba saja dimatikan sepihak oleh Sherla. Jason menatap Xenovia yang memasukan ponselnya ke saku. Jason masih tidak mengerti mengapa Sherla mematikan panggilan tersebut.
"Apa itu salah satu pertanyaan yang sensitif?" Tanya Jason.
Xenovia memukul kepala Jason lalu berjalan masuk ke kamar tamu.
"Anak bodoh akan selalu menjadi bodoh! Otak mu bahkan lebih kecil dari bakteri!"
~~~
Matahari sudah tenggelam sedari tadi, tapi Lusiana masih berada di rumah sakit. Lusiana membuka plastik yang membungkus jasad anak kecil korban pembunuhan. Ia bersama tim nya berhasil menemukan bocah tersebut tergantung di belakang sebuah toko VinnyD's yang terletak di kode area 773 Kota Chicago. Saat itu Lusiana dan Franco tengah beristirahat di belakang toko tersebut. Namun tiba tiba cokelat menetes tepat di hidung Lusiana. Hal itu membuat Franco segera menengadahkan kepalanya dan menemukan seorang anak kecil yang sudah tak bernyawa.
Ia hampir saja memuntahkan seluruh isi perutnya saat melihat cokelat yang mencair dari dalam perut anak kecil tersebut. Perut anak itu nampak terbelah dengan sangat rapih seperti di lakukan oleh dokter ahli bedah. Lusiana mendorong Mortuary Table itu menuju ruang jenazah. Ia di sambut oleh penjaga ruang tersebut yang sudah menunggu di depan pintu.
"Lain kali cukup telepon saya dokter Lusiana. Jangan menyibukan diri sampai mengantar jenazah seperti ini." Ujar penjaga ruang jenazah tersebut
Lusiana hanya tersenyum. "Saya belum sempat melihat kondisi jenazah karena saya tidak di beri izin untuk melakukan autopsi. Jadi saat perjalanan menuju ke ruang jenazah, saya menyempatkan untuk melihat kondisinya."
Penjaga ruangan tersebut membukakan pintu dan Lusiana pun mendorong Mortuary Table tersebut. Ia melihat cukup banyak jenazah yang ada di dalam ruagan. Sebagian besar dari mereka adalah anak berusia 9-13 tahun.
"Terima kasih bantuannya, dokter Lusiana." Ujar penjaga ruang jenazah.
Lusiana tersenyum dan meninggalkan ruangan tersebut. Saat hendak masuk ke dalam lift, ia berpapasan dengan seorang wanita berpakaian serba mewah. Lusiana tak langsung masuk ke dalam lift. Ia masih sibuk memperhatikan wanita yang kini sudah melenggang masuk ke dalam ruang jenazah.
Setelah cukup lama berseteru dengan pikirannya, Lusiana pun memasuki lift untuk menuju ke lantai dasar. Ia harus segera pergi ke kantor polisi untuk memberi keterangan tentang kondisi jenazah tersebut. Pihak rumah sakit sangat menutupi kondisi jenazah itu hingga tak membiarkan dokter melakukan autopsi. Bahkan pihak rumah sakit akan segera mengkremasi jenazah tersebut.
Lusiana meraba saku nya saat sesuatu terasa bergetar. Ia mendapat sebuah telepon dari nomor tidak di kenal. Walau dengan ragu, ia tetap menerima panggilan tersebut.
"Selamat malam-"
"DOKTER LUSIANA!" Seru seseorang dari seberang.
Lusiana dapat mengenali pemilik suara tersebut adalah Franco.
"Ya?"
"XENOVIA BERADA DI RUMAH SAKIT."
Panggilan diputus secara sepihak. Lusiana memencet tombol lift dengan sembarang. Namun lift tak kunjung terbuka. Mau tak mau ia harus menunggu sampai lift tiba di lantai dasar.
Tiba-tiba lampu lift berubah menjadi merah, menandakan adanya situasi yang darurat di rumah sakit tersebut. Lusiana segera menghubungi pusat keamanan untuk menutup semua jalur keluar masuk di rumah sakit tersebut. Ia juga memerintahkan petugas untuk mengevakuasi pasien dan semua orang yang ada.
Tak perlu menunggu lama, pelindung baja di turunkan pada setiap pintu masuk dan jendela hingga tak memungkinkan siapapun untuk keluar dari sana. Petugas juga mematikan lampu, hal ini bertujuan agar hanya orang yang menghafal lokasi rumah sakit yang bisa bergerak. Sedangkan orang yang tidak mengetahui setiap sudut rumah sakit tersebut tidak akan bisa bergerak.
Saat Lusiana tiba di lantai dasar, ia segera mengambil langkah seribu menuju tangga darurat. Ia menaiki tangga dengan sangat lincah tanpa takut tergelincir atau tersandung sesuatu. Kini ia sudah berada di lantai 3, ia hanya harus mencapai lantai 4 untuk tiba di ruang jenazah. Ia sangat mencurigai wanita yang berpapasan dengannya saat hendak memasuki lift. Tiba tiba terdengar suara teriakan yang sangat keras dari petugas ruang jenazah. Hal itu menambah kuat rasa curiga Lusiana terhadap wanita tersebut.
Brak!
Pintu tangga darurat tersebut terbuka dengan paksa menampakan sosok petugas ruang jenazah. Pria tua itu berjalan dengan tertatih. Darah segar mengalir dari pelipisnya. Kondisinya begitu mengerikan saat Lusiana menyadari sebelah tangan pria tua itu sudah terpotong rapih seperti tertebas samurai.
"La..ri.." Ujar pria tua itu dengan sisa tenaga nya.
Kemudian muncul sosok berbaju serba putih dengan Cartwheel Hat ala Putri Diana sang bangsawan Inggris. Sosok itu mendekati pria tua yang sudah tersungkur di anak tangga. Ia menyeret tubuh pria tua tersebut dan menuruni anak tangga satu persatu hingga sosok wanita itu tiba di hadapan Lusiana.
Sosok wanita tersebut meletakan telunjuknya tepat di bibir Lusiana. Lalu Wanita itu mengedipkan sebelah matanya.
"Sstt.. Dont screaming."
To be continue..Pagi ini kondisi Chicago Lakeshore Hospital dipadati oleh mobil polisi karena kejadian semalam. Lusiana masih tak bisa membuka mulutnya, bibirnya sangat sulit terbuka untuk menceritakan apa yang terjadi semalam. Franco mengantar Lusiana pulang agar ia bisa menenangkan dirinya. Selama di perjalanan, Lusiana tidak mengatakan apapun. Matanya terus menatap ke arah jalan dengan wajah ketakutan. Franco yang merasa khawatir pada Lusiana pun memutuskan untuk berbicara pada Holland mengenai Lusiana yang tidak perlu ikut dalam misi kali ini.Setiba nya mereka di depan rumah Lusiana, wanita itu menghambur masuk tanpa berkata apapun. Lusiana hanya menganggukan kepalanya entah bermaksud apa. Franco mengemudikan Mercedes-Benz ya menuju Departemen Kepolisian Chicago. Ia sedikit menambah kecepatannya saat waktu hampir menunjukan waktu patroli pertama nya di Chicago.Tak perlu waktu lama, ia sudah tiba di depan bangunan tersebut. Ia melihat Holland di luar gedung bersama Tim SWAT. Franco
Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat."Sudah ku bilang, anak itu bodoh."Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya."Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana."Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memeja
Hari telah berganti, namun Jason masih tetap berada diruang bawah tanah memandangi wajah teman lamanya, Ryan. Temannya itu mengalami hipotermia karena penghangat di dalam ruangan tersebut rusak. Lampu diruangan tersebut juga tiba tiba padam membuat suhu ruangan menjadi sangat dingin. Jason sudah memindahkan teman lamanya tersebut ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan untuk mengeksekusi korbannya. Di ruangan itu, Jason merendam tubuh Ryan di air hangat. Namun bukannya membaik, tubuh Ryan yang terbalut kostum naga tersebut mulai membengkak. Wajahnya semakin membiru, pada menit selanjutnya Jason tak bisa lagi merasakan denyut nadi dan detak jantung temannya tersebut.Jason tersenyum memandangi tubuh tak bernyawa di hadapannya itu. Jason pun mengangkat mayat temannya itu dan membaringkannya di meja operasi yang biasa ia gunakan untuk melakukan operasi pada semua korbannya. Jason menguliti wajah Ryan yang sudah tak bernyawa tersebut. Ia tak bisa henti hentinya tertawa, namun tanp
Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu."Han.." panggilnya.Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut."Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.Lagi-lagi nihil.Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya
"PAMAN!!!"Han berteriak histeris dari dalam mobil saat melihat tubuh Jason yang sudah terkapar di aspal. Darah tak henti hentinya mengalir dari luka di pinggang Jason. Sedangkan Lusiana hanya bisa membeku di tempatnya, menatap Jason layaknya orang yang baru pertama kali melihat darah."Dokter Lusiana.. tolong paman.." ujar Han lirih.Lusiana sontak menolehkan kepalanya ke arah Jason. Matanya masih terasa kosong, nyawa nya bagaikan terbang ke tempat lain."DOKTER!"Teriakan Han tersebut mampu menyatukan jiwa dan raga Lusiana. Ia segera keluar dari mobil dan memapah Jason ke dalam mobil dengan di bantu oleh bocah tersebut. Selanjutnya, Lusiana akan membawa nya pulang.Apa Lusiana tahu dimana tempat tinggal Jason?Tentu saja tidak.Pulang yang di maksud adalah ke rumah Lusiana. Han sedari tadi hanya menangis di sebelah Jason. Berulang kali Lusiana bertanya dimana alamat rumah mereka, Han hanya menangis. Satu-satunya tempat untuk pulang saat
Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han."Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya."Lima menit lagi."Jason menarik nafasnya."Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason."Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada
Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,