"Lagi nelpon sama siapa, Annisa?" Tanya Bu Ratih yang tepat di belakangku. Ya Allah apakah aku ketahuan?
"Ada apa, Dok." Dia datang membawa seperangkat alat operasi besok."Ini biasanya aku lakukan jika mau operasi, kamu bisa pakai belajar." Aku hanya tersenyum, dan segera mengambil alat yabg dibawa dokter Daniel."Terima kasih, Dok." Dia mengulum senyum, fix, dia sedang jatuh cinta. Hening sesaat.Dia masih mematung di depan pintu, bingung sepertinya unruk basa basi pamit."Mari, Dok. Saya belajar dulu untuk persiapan besok.""Eh, iya. Silahkan, Annisa." Aku segera menutup pintu. Hm, dokter Daniel harusnya cocoknya seusia Rachel. Sama-sama masih Fresh. Kuletakkan di meja peralatan operasi yang diberikan dokter Daniel, kurebahkan diriku di atas kasur yang empuk ini yang harusnya tempatku memadu kasih dengan Reyhan. Iya, karena ini adalah kamar pengantin kami.Rasanya ingin waktu terasa cepat, aku sangat merindukan Reyhan. Sosok laki-laki yang berjuang dan bertahan sampai saat ini harus aku pertahankan.
"Tuan Muda Reyhan ...." Ternyata salah satu direksi perusahaan."Pak Bowo ...?" Mereka berpelukan seperti rindu berat."Berarti info yang saya dengar apakah keliru?" Reyhan hanya diam.Untung aku menggunakan masker, jika tidak habis sudah bisa ketahuan rencana kami. Aku mundur teratur memberi ruang kepada Reyhan. Dari belakang kutatap punggung suamiku yang luar biasa itu."Han, aku sangat mencintaimu tak ingin ada lagi yang memisahkan kita. Kau tak akan terganti," ucapku membatin.Kenapa aku sesedih ini, seperti merasakan kali ini aku akan pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya di dunia ini. Tuhan, berilah waktu yang lama untukku mendampinginya. Jantung ini kurasa sangat lemah.
Ting, ponsel berdenting Reyhan mengirim pesan.[Sayang pasti bisa!] aku ingin segera menuju kamarnya Reyhan menumpahkan segala kegalauan ini.[Aku kesana sayang.] Send.Dengan langkah mengendap aku berangkat ke ruangan Reyhan, ternyata dia sudah berdiri di depan pintu dan langsung memelukku. Dia seperti paham bahwa aku sangat tidak percaya diri. Aku menceritakan semua hal yang kudengar hari ini kepada Reyhan.Reyhan justru mengelus kepalaku mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, mengatakan bahwa aku bisa melakukan operasi dengan baik karena ini sudah biasa aku lakukan. Operasi seperti ini sebenarnya sudah biasa aku lakukan. Menurut Reyhan Aku pasti bisa melakukan operasi dengan lancar. 
Tanganku gemetar, dadaku terasa nyeri. Keringatku bercucuran. Kulihat Reyhan panik melihat kondisiku. Suara- suara mulai meremehkanku. "Bagaimana, Dok. Kenapa tangannya gemetar? Apa benar isu yang kami dengar," ucap salah satu dokter yang sangat sinis. Bagaimana bisa aku operasi dengan kondisi seperti ini, justru aku yang harus diperiksa. Keringatku semakin mengalir. Nafasku naik turun, sebenarnya ada masalah apa dengan jantungku ini. Dan Andra? Apakah selama ini jantungnya juga tidak sehat sehingga seperti ini. Suara sumbang mulai keluar, terlihat heboh baik di dalam maupun di luar ruangan. Tidak mungkin Reyhan yang datang menyelamatkanku. Bisa-bisa rencana gagal jika kami ketahuan kalau Reyhan yang menghampiriku. Aku harus bisa sendiri.
**Aku langsung menuju ruanganku, membuang nafas yang tidak beraturan dari tadi. Setidaknya bisa kulalui.Ponselku berdering panggilan dari dokter Daniel."Assalamualaikum, Annisa.""Waalaikumsalam, Dok.""Saya sudah minta izin agar dokter Annisa pulang cepat. Saya tunggu di parkiran, ya." Hm, padahal ingin kencan terlebih dahulu sama si Abang, dokter Daniel sepertinya tidak main-main."Iya, Dok. Saya siap-siap dulu." Untuk mengindari fitnah lebih baik ikuti saja maunya dokter Daniel.Sedang asyik berjalan menuju parkiran, tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang ke ruangan. Siapa lagi kalau bukan si Abang tersayang."Mau kemana?" tanyanya yang langsung merangkulku. Aku lihat sekeliling terlebih dahulu takut ketahuan."Disini sepi, tak ada yang tahu," ucapnya sambil mengecup keningku."Aku sudah ditunggu dokter Daniel di luar, sayang.""Wah, ngajak
Semua mundur, kulakukan sentuhan pertama!Namun, gagal."Sekali lagi, Bersiap!"Ini adalah perasaan yang paling horor ketika menjadi dokter adalah mengembalikan pasien agar jantungnya berdetak kembali.Dug ...! Masih gagal!Perawat menggeleng pasien belum kembali, ibu pasien sudah menjerit-jerit menangis. Berkali-kali kutingkatkan do'a agar pasien kembali. Dua kali hasilnya nihil. Aku semakin tegang kesempatanku sekali lagi."Tingkatkan dosisnya, dok!" Reyhan ikut memberi saran. Kulakukan prosedur kedua dengan meningkatkan dosis. Keringatku bercucuran, perasaanku tidak menentu. Keselamatan pasien yan
"Dokter Annisa?!" Danang terlihat canggung berada di sampingku. "Maaf saya tidak tahu jika dokter ada di sebelahku," ucapku polos. "Saya duluan, ya, tadi ingin mengecek Pak Reyhan ternyata beliau ada tamu," ucapku berbohong. "Tunggu!" Reyhan keluar mengejarku. "Mana obat yang kuminta?" Tanyanya, aku bingung obat apa yang dimaksud. "Oh ... Hm." Aku melirik dokter Danang yang ada di sampingku. Reyhan berusaha mengedipkan mata agar aku ikut akting. Namun, Vivi datang mencekal tangan Reyhan tidak terima ditinggal begitu saja. "Mau kemana, Mas?" Tanya Vivi berurai air mata. Aku kadang kasihan melihatnya yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Reyhan. Entah apa motifnya. "Aku mau ambil obatku ya
"Sayang tunggu abang menjemputmu." Aku hanya mengangguk menikmati transfer cinta dari Reyhan. Kenapa aku jadi lemah begini padahal sebelumnya aku yang paling kuat dan semangat. Apakah terlalu mencintai rasanya seberat ini? Entahlah, aku merasa sangat rapuh dengan kondisiku yang seperti ini. Tuhan, berilah aku waktu bagaimana rasanya bahagia itu. Aku takut terlalu bahagia justru mematikanku secara perlahan. Bahkan jantungku yang berdetak pun menolak jika aku terlalu bahagia.Ponselku terus berdering sepertinya dokter Daniel sudah menunggu di luar. Dia terus menelponku."Siapa sayang?" tanya Reyhan."Dokter Daniel sepertinya sudah jemput," ucapku."Katanya mau nginap." Reyhan terlihat manyun."Besok pagi 'kan ketemu lagi." Aku sudah mengambil tas dan segera menuju lobi. Namun, Reyhan lagi-lagi menarikku dan langsung memelukku&
Masuk trimester ketiga kondisi Nadhine semakin berbeda. Bukan hanya kaki, tapi tangan dan wajahnya juga bengkak. Hari ini dia memintaku untuk mengajaknya ke pantai. Pantai dekat kampung halamannya. "Sayang, jika aku tiada nanti. Berjanjilah untuk selalu bahagia." Ucapan itu mungkin sudah sekian ratus kali Nadhine ucapkan ketika bersamaku. Di bibir pantai aku duduk dengannya. Kami bernostalgia tentang cinta kami dan kenangan di kedokteran. Sesekali dia tertawa, tapi justru aku yang terluka. Aku seperti bersama dengan orang yang akan pergi jauh. Pergi selama-lamanya. "Han, wasiat dokter Andra lebih baik dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Rumahnya kembalikan saja ke adik-adiknya yang lebih berhak. Kudengar mereka ngontrak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kalau uangnya mungkin bisa dibuatkan sebuah yayasan penderita jantung. Agar kebaikannya mengalir terus menerus." Aku hanya mengangguk, meski setiap kata yang terucap dari Nadhine membuatku hancur.***Aku bahkan tak tenang kerja
***Menjelang melahirkan bahkan aku tak bisa tidur malam lagi. Kaki yang bengkak ini membuatku sulit untuk berjalan. Badanku mulai terasa berat, nafasku bahkan sudah tak beraturan. Namun, aku sadar diri sebisa mungkin tak ingin membuat Reyhan panik. Aku sudah berusaha seperti wanita hamil lainnya banyak gerak menjelang melahirkan."Sayang diam saja, jangan terlalu banyak gerak.""Harus banyak gerak sayang, biar dedek sehat dan bunda kuat." Reyhan hanya tersenyum. Namun, kutahu dia lebih panik dariku menjelang persalinan"Sehat-sehat ya, dedek dan bunda." Dia memegang dan mencium perutku."Sayang kenapa tidak kerja?" tanyaku heran melihatnya belum siap 
Hari semakin hari kehamilanku terasa berat. Aku sudah resign dari rumah sakit. Mudah lelah dan sering sesak nafas membuatku tidak nyaman. Namun, tak menyurutkanku untuk menghadirkan buah hati ini. Jika waktuku tiba ada anak yang menjadi penyemangat Reyhan nanti. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan berharap semua kebaikan bertumpu kepada kami.Reyhan terus memenuhi segala keinginanku. Aku bukannya tak mau dia merasakan apa yang kurasakan, tapi setiap melihatku Reyhan selalu menangis, entah apa yang ditakutkannya. Bahkan Reyhan tidak akan tidur jika aku belum tidur aku dibuat seperti bayi. Dijaga dan dirawat sebaik mungkin padahal aku tahu dia sangat capek bekerja dari pagi."Apanya yang sakit?""Gak ada, sayang. Bunda sama calon dedek sehat." Aku berusaha untuk selalu tersenyum, tapi guratan kesedihan dalam diri Reyhan tak bisa disembunyikan. Bahkan aku tak mengeluh sedikit pun di depannya. Ini kare
Satu tahun kemudian ....Entah mengapa hari ini badanku terasa lemas sekali, ingin rebahan saja. Ada rasa mual yang mendera. Apa aku magh? Setiap makanan yang masuk langsung aku muntahin."Sayang kenapa pucat?" tanya Reyhan yang panik baru pulang kerja. Aku hari ini tidak masuk kerja, biasanya kami selalu pulang bersamaan, Reyhan takut jika aku pulang sendiri."Iya, sayang, pusing.""Ayo tidur dulu." Aku menggeleng, tidur pun tak enak soalnya."Kenapa?""Capek tidur, rasanya mual." Aku berlari ke kamar mandi untuk muntah-muntah lagi.Oek ... oek ...oek Ya Allah capek sekali rasanya muntah-muntah terus dari pagi. Reyhan terlihat panik, karena dari pagi memang aku hanya lemas saja tidak sampai muntah-muntah."Sayang ....""Kenapa sayang?"Semua pelayan terlihat panik melihatku yang muntah-muntah. Bagaimana tidak? Aku pucat dari pagi tidak ada makanan yang bisa masuk, mual dan muntah menjadi satu."Sayang mau makan apa?" tanya Reyhan."Pengen mangga muda, sayang. Dari pagi mangga muda it
"Lagi buka apa, sayang?" Reyhan tiba-tiba masuk menanyakan amplop yang akan kubuka."Ini, sayang. Bukannya ini punyaku?" tanyaku yang penasaran."Iya, sayang itu punyamu." Reyhan nampak tenang, tidak ada gelagat yang mencurigakan. Aku membuka isi amplop itu, tapi semua hasil normal tak ada yang harus kukhawatirkan. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk hamil."Han ....""Iya, sayang, kenapa?""Aku khawatir rahimku bermasalah?" Reyhan mengenggam tanganku, dia duduk dibawah renjang sementara posisiku di atas ranjang. Dalam kelembutan dia menatapku seperti merasakan kegalauan yang kualami."Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Kita harus berprasangka baik agar semua yang kita harapkan berakhir baik. Abang bersyukur masih bisa melihatmu dan berada didekatmu, sayang." Aku seperti merasakan kode bahwa sebenarnya akan sulit bagi kami memiliki anak."Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Han.""Melihat senyummu saja sudah anugerah yang luar biasa bagiku, sayang. Tidak mudah bagi kit
Tak terasa sudah sampai di rumah, mami sudah siap salat magrib. Sementara Rachel belum pulang dari rumah sakit, pasti sangat macet di jalan. "Alhamdulillah kalian sudah sampai," ucap mami. "Mana Rachel, Mi? Apa dia balik lagi ke rumah sakit setelah makan siang tadi?" tanya Reyhan yang belum melihat adik manisnya. "Belum pulang, paling macet di jalan. Iya tadi adikmu balik, dia menggerutu tidak kuat jadi direktur di rumah sakit." Aku hanya senyum-senyum mendengar mami cerita. "Bawa apa, Nak?" tanya mami yang melihatku membawa amplop besar. Reyhan menjelaskan ke mami, hasil pertemuanku dengan Jihan dan Laras. "Ujian dan musibah terkadang membuat orang semakin dewasa, ya, Rey." Ayah ikut bergabung bersama kami. "Kalian mandi, ya, udah mau magrib," ucap mami. Kami mengangguk dan bersiap ke kamar, suara deru mobil Rachel memasuki halaman rumah. Dia pasti belum tahu akan dipinang oleh dok
"Boleh kami berbicara, Nad?" tanya Laras. Aku menoleh ke Reyhan menanyakan kode apakah aku boleh atau tidak. Reyhan mengangguk. Kami sepakat untuk berbicara sebentar mengingat ada acara di rumah. Penampilan Laras dan Jihan saat ini sangat jauh sebelum aku kecelakaan. Tidak tahu bagaimana nasib mantan mama mertua. "Maafkan kami, Nad." Laras memulai pembicaraan. "Mama sudah meninggal dunia," sambung Jihan. "Innalillahiwainnailaihi roji'un." "Kami tidak memiliki biaya untuk pengobatan mama, setelah mas Andra meninggal mama depresi, kami mencoba untuk membawanya keluar negeri. Ternyata mama mengalami kanker rahim stadium akhir. Nyawanya tidak tertolong hingga meninggal satu bulan yang lalu." Jihan dengan detail menceritakan kejadian yang menimpanya. Aku dan Reyhan hanya menjadi pendengar setia.
"Nak, laki-laki dewasa itu biasnya belajar dari pengalaman. Asal Nadhine tahu saja Ayah itu sangat mencintai mami sampai pernah menjadi orang jahat, ternyata setelah enam tahun kemudian, kami dipertemukan dengan ayah kalian yang begitu dewasa dalam kondisi mami janda. Bahkan dia rela mengambil spesialis bedah agar bisa bersama mami. Jodoh selalu datang di waktu yang tepat meski butuh waktu yang lama. Makanya kalau lihat Reyhan seperti melihat ayah waktu muda dulu mencintai mami sampai waktu yang tak terbatas." Mami sangat menghayati sekali menceritakan masa lalunya sambil meneteskan air mata."Saat ini nak Nadhine harus percaya bahwa Reyhan tulus menyanyangimu agar transfer cinta kalian menyatu. Hindari pikiran yang dapat merusak hubungan dan perasaan kalian. Apalagi penyakit jantung tidak boleh stress." Aku mengangguk dan membalas pelukan mami. Mami mertua yang luar biasa dihatiku.Kalimat terakhir yang membuatku terenyuh adalah pernyataan mami bahwa yang
Reyhan sangat setia merawatku di rumah. Tiga hari ini dia minta cuti untuk tidak bekerja. Dia bahkan membuat jadwal untukku mengkonsumsi obat. Dia tak ingin waktu hilang bersamaku walau sedetik pun. Makanan pun semuanya di steril dulu olehnya. Ada beberapa makanan yang tidak dianjurkan untuk penderita jantung. Reyhan sangat hati-hati. Semua pelayan bahkan di berikan pengarahan dulu agar makanan yang kumakan harus benar-benar sesuai. Kami hanya senyum-senyum melihat tingkah Reyhan yang mengalahkan perawat rumah sakit."Abang, kak Nadhine udah sembuh. Dibuat kayak gitu bikin sakit beneran." Seperti biasa Rachel menganggu Reyhan yang sedang menyuapiku. Bahkan Reyhan tak pernah absen menyuapiku makan selama di rumah."Kalau jomlo mana tahu hal demikian." Rachel justru tertawa, aku hanya senyum-senyum melihat si abang yang memang berlebihan bapernya.Kondisiku memang masih lemah meski badan terasa segar.