***
Dokter Daniel sudah menunggu di luar, dia melambaikan tangan mengarahku. Nyeri ini sudah mulai berkurang. Apa aku harus bertanya banyak hal dengan dokter Daniel? Kalau seperti ini kondisiku aku juga bisa menjadi beban untuk orang yang aku cintai."Sudah lama, Dok?" tanyaku."Lumayan Annisa, Mommy cerewet sekali bertanya." Hm, ini yang aku khawatirkan bu Ratih akan memaksaku menjadi menantunya."Gimana hari ini, tak ada masalah?" tanya dokter Daniel."Tak ada masalah, Dok. Aku hanya keliling-keliling saja tadi biar kenal dengan rumah sakitnya." Dia hanya diam memandangku. Aku takut dia mulai curiga jika aku mulai sadar."Aku takut kamu ketahuan jika kurang profesional Annisa, besok mereka rencananya akan mengujimu di rung operasi ada yang harus kalian operasi." Aku hanya mendengar penuturan dokter Daniel."Jangan khawatir, Dok. Tekadku tetap sama ingin bersama dengan suamiku." Dokter Daniel"Lagi nelpon sama siapa, Annisa?" Tanya Bu Ratih yang tepat di belakangku. Ya Allah apakah aku ketahuan?"Ini bu, rekan kerja di rumah sakit, tadi kebetulan minta nomor ponsel.""Oh ...." Bu Ratih hanya ber oh ria saja mendengar penuturanku dan langsung pamit keluar.Aku segera mematikan ponsel di tanganku khawatir bu Ratih curiga dengan Rachel. waktu menunjukkan untuk salat maghrib, sekarang aku harus berfikir bagaimana agar mereka tidak tahu aku sudah sadar dari ingatanku.Ting ponsel berdenting satu notifikasi masuk.[Dok, besok bersiaplah untuk operasi]kiriman dari rumah sakit. Sesuai penuturan dari dokter Daniel besok mereka pasti akan mengujiku apakah aku layak atau tidak. Sebenarnya aku berharap Reyhan tidak dioperasi karena penyakit Reyhan masih diragukan.[Oke] send.
"Ada apa, Dok." Dia datang membawa seperangkat alat operasi besok."Ini biasanya aku lakukan jika mau operasi, kamu bisa pakai belajar." Aku hanya tersenyum, dan segera mengambil alat yabg dibawa dokter Daniel."Terima kasih, Dok." Dia mengulum senyum, fix, dia sedang jatuh cinta. Hening sesaat.Dia masih mematung di depan pintu, bingung sepertinya unruk basa basi pamit."Mari, Dok. Saya belajar dulu untuk persiapan besok.""Eh, iya. Silahkan, Annisa." Aku segera menutup pintu. Hm, dokter Daniel harusnya cocoknya seusia Rachel. Sama-sama masih Fresh. Kuletakkan di meja peralatan operasi yang diberikan dokter Daniel, kurebahkan diriku di atas kasur yang empuk ini yang harusnya tempatku memadu kasih dengan Reyhan. Iya, karena ini adalah kamar pengantin kami.Rasanya ingin waktu terasa cepat, aku sangat merindukan Reyhan. Sosok laki-laki yang berjuang dan bertahan sampai saat ini harus aku pertahankan.
"Tuan Muda Reyhan ...." Ternyata salah satu direksi perusahaan."Pak Bowo ...?" Mereka berpelukan seperti rindu berat."Berarti info yang saya dengar apakah keliru?" Reyhan hanya diam.Untung aku menggunakan masker, jika tidak habis sudah bisa ketahuan rencana kami. Aku mundur teratur memberi ruang kepada Reyhan. Dari belakang kutatap punggung suamiku yang luar biasa itu."Han, aku sangat mencintaimu tak ingin ada lagi yang memisahkan kita. Kau tak akan terganti," ucapku membatin.Kenapa aku sesedih ini, seperti merasakan kali ini aku akan pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya di dunia ini. Tuhan, berilah waktu yang lama untukku mendampinginya. Jantung ini kurasa sangat lemah.
Ting, ponsel berdenting Reyhan mengirim pesan.[Sayang pasti bisa!] aku ingin segera menuju kamarnya Reyhan menumpahkan segala kegalauan ini.[Aku kesana sayang.] Send.Dengan langkah mengendap aku berangkat ke ruangan Reyhan, ternyata dia sudah berdiri di depan pintu dan langsung memelukku. Dia seperti paham bahwa aku sangat tidak percaya diri. Aku menceritakan semua hal yang kudengar hari ini kepada Reyhan.Reyhan justru mengelus kepalaku mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, mengatakan bahwa aku bisa melakukan operasi dengan baik karena ini sudah biasa aku lakukan. Operasi seperti ini sebenarnya sudah biasa aku lakukan. Menurut Reyhan Aku pasti bisa melakukan operasi dengan lancar. 
Tanganku gemetar, dadaku terasa nyeri. Keringatku bercucuran. Kulihat Reyhan panik melihat kondisiku. Suara- suara mulai meremehkanku. "Bagaimana, Dok. Kenapa tangannya gemetar? Apa benar isu yang kami dengar," ucap salah satu dokter yang sangat sinis. Bagaimana bisa aku operasi dengan kondisi seperti ini, justru aku yang harus diperiksa. Keringatku semakin mengalir. Nafasku naik turun, sebenarnya ada masalah apa dengan jantungku ini. Dan Andra? Apakah selama ini jantungnya juga tidak sehat sehingga seperti ini. Suara sumbang mulai keluar, terlihat heboh baik di dalam maupun di luar ruangan. Tidak mungkin Reyhan yang datang menyelamatkanku. Bisa-bisa rencana gagal jika kami ketahuan kalau Reyhan yang menghampiriku. Aku harus bisa sendiri.
**Aku langsung menuju ruanganku, membuang nafas yang tidak beraturan dari tadi. Setidaknya bisa kulalui.Ponselku berdering panggilan dari dokter Daniel."Assalamualaikum, Annisa.""Waalaikumsalam, Dok.""Saya sudah minta izin agar dokter Annisa pulang cepat. Saya tunggu di parkiran, ya." Hm, padahal ingin kencan terlebih dahulu sama si Abang, dokter Daniel sepertinya tidak main-main."Iya, Dok. Saya siap-siap dulu." Untuk mengindari fitnah lebih baik ikuti saja maunya dokter Daniel.Sedang asyik berjalan menuju parkiran, tanganku tiba-tiba ditarik oleh seseorang ke ruangan. Siapa lagi kalau bukan si Abang tersayang."Mau kemana?" tanyanya yang langsung merangkulku. Aku lihat sekeliling terlebih dahulu takut ketahuan."Disini sepi, tak ada yang tahu," ucapnya sambil mengecup keningku."Aku sudah ditunggu dokter Daniel di luar, sayang.""Wah, ngajak
Semua mundur, kulakukan sentuhan pertama!Namun, gagal."Sekali lagi, Bersiap!"Ini adalah perasaan yang paling horor ketika menjadi dokter adalah mengembalikan pasien agar jantungnya berdetak kembali.Dug ...! Masih gagal!Perawat menggeleng pasien belum kembali, ibu pasien sudah menjerit-jerit menangis. Berkali-kali kutingkatkan do'a agar pasien kembali. Dua kali hasilnya nihil. Aku semakin tegang kesempatanku sekali lagi."Tingkatkan dosisnya, dok!" Reyhan ikut memberi saran. Kulakukan prosedur kedua dengan meningkatkan dosis. Keringatku bercucuran, perasaanku tidak menentu. Keselamatan pasien yan
"Dokter Annisa?!" Danang terlihat canggung berada di sampingku. "Maaf saya tidak tahu jika dokter ada di sebelahku," ucapku polos. "Saya duluan, ya, tadi ingin mengecek Pak Reyhan ternyata beliau ada tamu," ucapku berbohong. "Tunggu!" Reyhan keluar mengejarku. "Mana obat yang kuminta?" Tanyanya, aku bingung obat apa yang dimaksud. "Oh ... Hm." Aku melirik dokter Danang yang ada di sampingku. Reyhan berusaha mengedipkan mata agar aku ikut akting. Namun, Vivi datang mencekal tangan Reyhan tidak terima ditinggal begitu saja. "Mau kemana, Mas?" Tanya Vivi berurai air mata. Aku kadang kasihan melihatnya yang berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan Reyhan. Entah apa motifnya. "Aku mau ambil obatku ya