Share

Setelah Melepasmu Pergi
Setelah Melepasmu Pergi
Author: Safiiaa

Seratus Juta

Bab 1

"Maafkan aku. Aku harus menikah dengan Laila," ucap Mas Fandy dengan pandangan takut-takut.

"Menikah? Lalu aku? Apa maksudmu, Mas?" selaku tak terima. Hubungan ini sudah jalan lebih dari lima tahun tapi dengan teganya dia berkata begitu padaku setelah janji yang kerap ia katakan saat kami bersama.

"A—aku ... Aku tak punya pilihan lain. Aku tak bisa menolak permintaan bapaknya," balas Mas Fandy dengan tergagap. Raut penuh sesal tergambar jelas di wajahnya yang selalu kudamba.

"Mengapa tak bisa menolak?" sergahku penuh penekanan.

"Ada satu hal yang membuatku terikat dengannya. Aku tak mungkin menyusahkanmu dengan menentang pernikahan itu. Percayalah, ini murni karena terpaksa, bukan karena hal lain." Mas Fandy menunduk, menyembunyikan wajahnya dari hadapanku.

"Katakan apa hal itu? Akan kubantu semampuku agar kita bisa tetap bersama," balasku penuh harap. Cinta ini sudah tumbuh subur dan bersemi dalam hati, tak mudah melupakannya begitu saja.

"Tidak, Sayang. Aku cinta kamu, aku tak mungkin menyusahkan wanita yang kucintai karena masalah keluargaku." Mas Fandy menatapku dengan penuh cinta. "Ini semua demi melindungimu. Aku tak mau kamu hidup susah karena aku. Tidak ada jalan yang bisa kutempuh selain melepasmu demi menikah dengannya karena aku tak mampu membayar hutang itu."

Aku terdiam, mencerna ucapan kekasih yang sudah lama berjanji menikahiku. Selama kami dekat, aku tahu banyak soal sifat dan karakter Mas Fandy. Dia tak mungkin menduakan apalagi menyakitiku. Jika memang dia sudah mengambil keputusan itu, maka itu adalah yang terbaik.

Namun, perasaan yang sudah tumbuh ini tak mungkin bisa mati begitu saja. Meskipun aku tahu keputusannya adalah jalan terbaik, tapi tetap tak mudah melepasnya pergi.

"Aku akan bantu, Mas. Kita coba dulu cari solusinya," rayuku agar dia tetap disisiku.

"Kamu yakin?" Bola mata berwarna hitam milik Mas Fandy itu menatapku tak berkedip. Tampak keraguan dalam sorot matanya.

Kepalaku mengangguk mantap. "Aku yakin, agar kita tetap bersama. Katakan padaku, masalah apa yang membuatmu sampai harus menikahinya?" tanyaku mantap.

"Tapi aku tak yakin kamu mampu. Aku tahu bagaimana kehidupanmu dan keluargamu."

"Katakan dulu apa masalahmu? Kita cari solusi bersama."

Mas Fandy diam tak berkedip. Ia seolah sedang berpikir keras. Akan tetapi aku harus tetap meyakinkan dia bahwa aku akan selalu di sisi apapun masalahnya.

"Kamu ingat Mas berhutang sama bapaknya Laila? Sekarang hutang itu makin bertambah, menjadi seratus juta. Tidak ada yang bisa dipakai untuk membayar hutang itu selain menuruti permintaannya untuk menikahi Laila."

"Seratus juta? Sebanyak itu?" pekikku kaget.

"Hutang berikut bunganya. Mas tak bisa bayar tepat waktu hingga hutang itu makin menumpuk menjadi banyak." Mas Fandy menghela napas berat. Seberat hutangnya yang sudah lama tak dibayar itu.

"Padahal Ibu sudah meninggal, tapi hutang itu makin bertambah banyak," lirihku ragu bisa membantu Mas Fandy atau tidak.

"Mas ngga bisa berbuat banyak sebab Mas hanya sopir. Apa kamu masih yakin bisa bantu Mas?" Mas Fandy menatapku tak berkedip, seolah ia tahu bahwa aku tidak mampu membantunya.

Kini, ganti aku yang ragu dengan ucapanku. Seratus juta untukku yang hanya seorang penjaga butik tentu adalah jumlah yang sangat besar. Tak mudah untukku mendapatkan uang itu dalam waktu dekat.

"Kita coba cari bantuan Bapak, gimana?" tawarku mencoba mencari solusi.

"Kamu yakin?" balas Mas Fandy ragu. "Apa kamu tahu Bapak punya uang sebanyak itu?"

"Kita coba saja. Dapat atau tidak itu urusan belakangan."

Mas Fandy terdiam sambil menatapku tak berkedip. Tangan kekar miliknya itu perlahan bergerak meraih tanganku. "Mas malu sama kamu, apalagi keluargamu. Bagaimana Mas tega merepotkan kamu sementara kita belum sah menjadi suami istri?"

"Hubungan kita sudah lama terjalin. Tak mungkin aku diam saja melihatmu kesusahan. Dapat atau tidak paling enggak aku udah berusaha."

"Makasih ya?" Mas Fandy mengusap pucuk kepalaku dengan lembutnya.

Aku tersenyum sambil mengangguk. Melihat senyum di wajah kekasihku itu membuat hatiku lega seketika. Setidaknya aku sudah melakukan sesuatu untuk mempertahankan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.

Setelah berjumpa dengan Mas Fandy, aku segera kembali ke rumah. Aku harus bicara pada bapak dan mendapatkan solusi dari semua ini.

"Pak," panggilku lembut. Bapak yang sedang membaca berita online di ponselnya seketika mendongak, menatapku setelah menurunkan kaca matanya.

"Apa?"

"Rani mau bicara," ucapku lirih. Perlahan kakiku melangkah menuju kursi panjang yang diduduki Bapak.

"Tumben? Mau bicara apa? Sepertinya penting." Bapak meletakkan ponselnya, lalu memasang wajah serius sambil menunggu aku bercerita.

"Mas Fandy, Pak." Aku menghentikan ucapanku sambil mengulur waktu untuk merangkai kata.

"Kapan dia datang melamar? Sudah lama kalian pacaran tapi hubungan kalian ngga ada kemajuan."

Ucapan Bapak itu membuatku tersentak, sempat membuatku ragu untuk bicara. Akan tetapi aku tak punya pilihan lain.

"Itu masalahnya, Pak. Mas Fandy terlilit hutang," selaku takut-takut. Jemariku memegang ujung baju sambil memilinnya untuk mengurai rasa cemas.

"Lalu?"

"Mas Fandy tak dapat membayar, yang punya uang minta ganti Mas Fandy menikahi putrinya. Rani tak bisa biarkan itu terjadi, Pak. Rani cinta sama Mas Fandy. Apa Bapak ngga bisa bantu biar Mas Fandy ngga perlu membayar hutangnya dengan pernikahan?"

Wajah yang semula penuh rasa penasaran kini berubah sedikit mengeras. Jemari Bapak yang sudah dipenuhi kerutan itu perlahan mengusap wajahnya, lalu beralih mengusap kepalaku dengan lembutnya.

"Nak, hutang itu dibawa mati dan wajib dibayar oleh yang bersangkutan. Sebagai orang lain, kamu tak harus memikirkan hal ini. Kalau pemilik uangnya minta dibayar dengan pernikahan ya biar saja, biar dibayar sama Fandy sesuai permintaannya. Toh hidupmu ngga akan selesai meskipun kamu tidak jadi menikah dengan dia."

"Mas Fandy bukan orang lain, Pak!" selaku tak terima dengan ucapan Bapak.

"Dia seorang laki-laki, bagaimana pun tetap berkewajiban membayar apa yang sudah diperbuatnya, sekalipun itu untuk keluarganya. Nak, kamu anak perempuan. Ngga perlu susah mikir urusan hutang seperti itu. Lebih baik kamu pikir dirimu sendiri. Kalau Fandy bisa cepat menikah kenapa kamu enggak?"

Aku terkejut dengan ucapan panjang Bapak yang selama ini terkesan tak banyak bicara. Ucapan Bapak kali ini bak bom yang meledak setelah tertahan sekian lama.

"Apa maksud Bapak?" Dahiku mengerut, tak paham dengan apa yang Bapak inginkan.

"Kalau dia bisa menikah, kenapa kamu enggak? Bapak bisa carikan calon untukmu."

"Calon?" pekikku kaget. "Pak, Rani maunya sama Mas Fandy! Ngga mau yang lainnya!" sentakku tak terima. Aku sampai lupa dengan adab, berani membentak Bapak tanpa ragu.

"Jangan membuat semua menjadi makin runyam. Dia ngga bisa menikahi kamu karena harus membayar hutangnya dengan pernikahan. Itu berarti mereka memang sengaja menjerat Fandy agar menjadi menantu mereka. Kalau kamu memaksa untuk bayar hutang itu, percayalah, hidupmu tak akan tenang."

"Apa maksud Bapak?" balasku tak paham.

"Hartono itu bukan orang sembarangan. Mereka punya kuasa atas segalanya. Percuma kamu bayar hutang itu, nanti yang ada dia akan tetap membuat Fandy terikat dengan mereka. Sudahlah, Nak. Jangan hanya bicara soal cinta dalam pernikahan. Yang penting lelakinya setia dan mau menerima kamu apa adanya. Maulana kemarin datang untuk meminangmu, lebih baik Bapak terima saja lamarannya dari pada hidupmu susah karena Fandy."

Mataku membulat tak percaya. Maulana? Dia datang melamar? Bagaimana bisa?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status