Share

Mari Berjuang

Bab 5

Selepas kepergian Mas Lana, aku segera masuk ke dalam kamar. Dadaku sudah tak sanggup lagi menahan rasa yang berkecamuk di hati.

Betapa takdir tak berpihak pada kami yang saling mencintai. Betapa Tuhan tidak berkenan mempersatukan kami menjadi sepasang halal dan berlayar bersama menuju mahligai bahagia.

[Aku sudah mengikuti perintahmu, Mas. Kita berjuang bersama dengan takdir kita masing-masing.]

Sebuah pesan kukirim pada Mas Fandy. Akan tetapi, pesanku hanya dibaca dan dibiarkan tanpa balasan.

Aku tahu, Mas Fandy pasti sama. Ia juga sedang sibuk menata hatinya yang juga sedang porak-poranda.

[Bismillah ya, Sayang. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita kelak.]

Sebuah pesan balasan baru masuk setelah sekian lama layar itu diam tak menyala.

Lihatlah, Tuhan. Lihat betapa kami sama-sama terluka karena takdir ini. Sungguh apakah tidak ada jalan lain agar kami tetap bersama?

Bahuku bergetar hebat sebab tangis yang sudah terbendung. Sakit yang sesungguhnya adalah ketika kami sama-sama berusaha legowo atas takdir yang tak berpihak pada kami padahal kami saling mencintai.

Tidakkah sedikit saja kami memiliki kesempatan untuk bisa hidup bersama dengan penuh cinta dan kebahagiaan bersama orang yang dicintai?

Sayangnya, apa yang terjadi pada kami jauh berbeda dari yang kami harapkan. Kami dipaksa menerima kenyataan yang begitu pahit di lidah, bahkan di hati.

Akhirnya, malam itu memelukku dalam tangis dan kepiluan. Akhirnya, aku terbuai oleh mimpi yang sejatinya aku tak mengharapkan kehadirannya. Aku hanya ingin bisa selalu bersama orang yang kucintai hingga ajal menjemput dengan penuh kesadaran.

Pagi sekali Ibu menyambutku dengan senyum yang terkembang di wajahnya. Senyum itu, berbanding terbalik dengan tangis yang semalam tak henti keluar dari mataku.

"Ibu mau masak apa? Kok sudah banyak sayuran di dapur?" tanyaku sambil memindai beberapa kantong yang ujungnya tampak sayuran menjuntai keluar.

"Eh kamu sudah bangun? Ini, semalam Nak Lana ngasih kabar kalau nanti malam orang tuanya mau datang. Silaturahmi sambil perkenalan, kan mereka belum tahu kamu. Jadi sekalian datang kemari biar saling kenal." Ibu menoleh ke arahku disela-sela aktivitasnya menggoreng. Senyum itu tertuju padaku, yang ujungnya malah membuatku makin merasa sakit sebab harus mengorbankan kebahagiaanku demi melihat senyum di wajahnya.

Aku menghela napas panjang. Pernikahan rupanya sudah diujung mata. Bukan persiapan pernikahan yang harus kulakukan, melainkan persiapan hati. Legowo menerima apapun yang ada di depan mata sekalipun itu terasa menyakitkan di dalam dada.

Kujatuhkan bobot tubuh di atas kursi yang berada tepat di samping Ibu, sambil memandangi sayuran dan aneka lauk yang tertata diatas tampah bambu.

"Kamu nanti jangan pulang terlambat ya? Bilang sama Bu Nanik, kalau di rumah mau ada acara."

"Rani kan kerja pulang jam empat sore, Bu. Tanpa bilang juga pasti habis Magrib sudah ada di rumah."

"Baguslah kalau gitu. Jangan sampai ngecewakan keluarga Nak Lana, mereka bersungguh-sungguh ingin meminangmu."

"Insya Allah, Bu. Doakan Rani biar bisa menerima semua ini," balasku lirih.

Ibu meletakkan alat penggorengan setelah mematikan kompornya. Lalu berdiri menghadapku sambil menatap mata ini dengan tatapan sungguh-sungguh.

"Percayalah, Nak. Ini adalah yang terbaik untuk kamu. Jangan berurusan sama keluarga Hartono, timbang kamu susah sendiri nantinya."

"Segitu jahatnya Pak Hartono itu, Bu?" tanyaku penasaran sebab selama ini aku tak tahu menahu soal orang-orang di kampung ini.

"Begitulah. Dimata Pak Hartono semua orang harus mengikuti apa maunya dia. Lebih baik tidak berurusan dari pada kita yang susah sendiri. Seperti Nak Fandy kan? Saking aja dia butuh uang buat berobat. Mau tak mau memang jalannya harus begini, kamu yang akhirnya jadi korbannya."

Aku mengangguk paham. Sejak dulu memang Bapak dan Ibu selalu mewanti-wanti agar hidup sederhana dan tidak sampai terlilit hutang. Lebih baik makan seadanya dari pada mengikuti gaya hidup tapi berujung pada hutang yang menggunung.

Kondisi Mas Fandy memang tak bisa berbuat apapun. Sebagai seorang anak, tentu ia ingin memberikan yang terbaik untuk ibunya, meskipun dengan cara berhutang. Uang bisa dicari, tapi nyawa? Tidak ada tokonya.

"Bu, ini ayamnya. Buruan ke sini, biar Bapak sembelih sekalian!" teriak Bapak dari luar pintu dapur.

Seketika Ibu beranjak dari sisiku untuk menghampiri Bapak di belakang.

"Waah buesar, Pak? Ini nyembelih dua saja sudah banyak ayamnya," ucap Ibu sambil berlari mendekati Bapak untuk memegangi kepala ayam.

Aku mengekor di belakang Ibu. Hanya saja, aku berdiri di ambang pintu tanpa berniat mendekati mereka.

"Iya, Bu. Alhamdulillah ya, punya ayam begini, kita ngga perlu beli. Nanti tambahin satu yang utuh buat dikasih ke calon besan. Bilang kalau kita pelihara sendiri ayamnya."

"Iya, Pak. Mereka kan orang kota. Jarang-jarang bisa makan ayam peliharaan sendiri seperti ini."

"Iyo, Bu. Pasti senang mereka. Masakin yang lezat yo, Bu? Biar ngga kecewa datang ke rumah kita."

"Jelas lah, Pak. Masak calon besan dikasih makan seadanya. Ya ngga pantes."

Obrolan Bapak dan Ibu membuat hatiku terenyuh. Betapa mereka antusias dengan keluarga Mas Lana. Tak peduli padaku yang belum dekat dengan calon suami.

Aku hanya tahu bahwa Mas Lana adalah kerabat dekat tetangga kami, yang pernah tinggal di desa ini untuk magang di kantor desa. Beliau memang ramah dan sopan, termasuk pada Bapak dan Ibu.

Entah bagaimana dia bisa memilihku menjadi calon istrinya padahal aku sama sekali tak pernah berkomunikasi dengannya. Kami hanya sebatas saling senyum tanpa ada tegur sapa atau perkenalan layaknya anak muda jaman sekarang.

Tak lagi kupandangi Bapak dan Ibu yang masih sibuk di belakang. Lebih baik aku bersiap untuk bekerja agar bisa datang lebih awal dan bisa telepon Mas Fandy sebelum jam butik buka.

Saat aku hendak masuk kamar terdengar suara salam dari luar ruang tamu. Urung masuk kamar, aku segera keluar untuk melihat siapa yang datang pagi begini.

"Mas Lana?" sapaku setelah pintu terbuka lebar.

"Dik Rani. Ini saya bawa buah untuk persiapan nanti malam," balas Mas Lana sambil menyerahkan sebuah semangka dan jeruk di dalam satu kantong plastik.

"Repot-repot saja, Mas. Bapak dan Ibu sudah siapkan semuanya."

"Ngga apa-apa. Biar Bapak dan Ibu fokus di rumah. Ini biar saya yang belanja."

Terpaksa kuterima uluran tangan Mas Lana dengan senyum kecil yang kupasang di wajah. Tak elok jika kusambut dengan wajah datar sebab Bapak dan Ibu selalu berpesan untuk ramah pada siapapun sekalipun sedang dalam kondisi hati dongkol.

Namun saat tanganku dan tangan Mas Lana saling berdekatan, kulihat di jalan depan rumah ada seseorang yang sedang menatapku tak berkedip. Seketika kulepas tanganku hingga buah jeruk yang ada dalam kantong itu terjatuh berceceran di lantai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status