Bab 4
"Astaghfirullah, sadar Sayang. Jangan punya pikiran seperti itu. Aku sayang dan cinta kamu itu tulus. Tak mungkin aku menodai cinta kita dengan hubungan haram itu." "Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana, Mas. Bapak begitu, sekarang Laila juga begitu, sementara aku ngga mau pisah sama kamu." Kutatap wajah laki-laki yang menjadi pemilik hati. Tak bisa kubayangkan jika aku harus melihatnya duduk di pelaminan bersama perempuan lain. "Sayang, kamu percaya takdir kan? Jika kita tidak ditakdirkan bersatu sekarang, mungkin suatu saat nanti kita bisa bersama. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri untuk mempersatukan kita. Kamu percaya sama Mas kan? Meskipun Mas menikahi Laila, tapi cinta Mas hanya buat kamu." "Mas yakin dengan jalan yang Mas ambil? Mas benar-benar akan menikahi Laila?" tanyaku dengan tatapan penuh buliran air. "Yakin tak yakin, suka tak suka, mau tak mau Mas harus melakukannya sebab membayar hutang itu secara cash pun Mas tak mampu," balas Mas Fandy dengan tatapan dalam yang sarat akan sebuah rasa nelangsa. Kuhela napas berat, sangat berat bahkan hampir sesak. Mas Fandy benar-benar akan menikahi Laila, lalu bagaimana denganku? "Kita jalani takdir kita masing-masing, Sayang. Kamu percaya kekuatan doa, kan? Sambil jalani takdir, sambil kita berdoa agar suatu saat ada kesempatan untuk kita kembali bersatu," ujar Mas Fandy dengan tatapan hangat padaku. Kuraih badan Mas Fandy yang tak terlalu besar itu untuk kudekap erat. Jika saja boleh, ingin kupeluk dan takkan kulepas lagi agar Mas Fandy tak pernah meninggalkanku. Setibanya di rumah, Bapak menyambutku dengan dahi mengerut. Tatapannya penuh tanya saat aku baru saja masuk ke ruang tamu. Namun, langkahku terhenti saat mataku tak sengaja melihat sesosok laki-laki yang sejak kemarin menjadi pembahasan Bapak dan Ibu. "Dari mana kamu?" tanya Bapak tegas. "Jam segini baru pulang kerja?" "Rani ada keperluan sebentar, Pak. Maaf tidak memberi kabar," jawabku takut-takut. "Sini, salaman dulu sama Nak Lana. Dia datang kemari ingin mendengar jawaban dari kamu secara langsung." Seketika pandanganku beralih pada sosok tampan yang sedang duduk di dekat Bapak. Ragu aku melangkah, sebab khawatir jika yang ingin didengar adalah kata "iya" sementara aku sedikitpun tak berniat untuk menjalin hubungan apapun dengannya. "Iya, Dik Rani. Apa Dik Rani menerima lamaran saya? Kalau diterima juga saya ngga akan buru-buru menikah. Dijalani dulu sambil pendekatan," jawab Mas Lana seraya mengumbar senyumnya. Tak dipungkiri wajah Mas Lana menang tampan, tapi kalau tak cinta juga buat apa. Lagi pula usia kami terpaut jauh, sepuluh tahun. Bapak menepuk halus bagian kosong yang ada di sampingnya, seolah ia mengisyaratkan untuk aku duduk di sampingnya. Tangan Mas Lana terulur di depanku saat aku sudah duduk sempurna. Seulas senyuman di wajahnya mengiringi tangan yang tergerak itu. Terpaksa kusambut tangan Mas Lana dan hanya ujung jariku saja yang menempel dengan tangan kekarnya itu. Sedikit saja aku tak mau memberi harapan pada lelaki itu. "Tapi kan tujuan Nak Lana mendekati Rani memang untuk menikah. Ya apa salahnya kalau hatinya ditata dulu untuk saling menerima sebagai pasangan suami istri. Bapak akan sangat senang sekali kalau kalian bisa cepat-cepat menikah, lebih cepat ya lebih baik biar Bapak tenang." Ucapan Bapak menambah gejolak hati yang masih berkecamuk dalam dada. Cinta untuk Mas Fandy yang masih terlalu besar bercampur dengan rasa kehilangan membuatku tak lagi sanggup menahan lisan untuk tidak bersuara. Namun, ucapan Mas Fandy saat dalam perjalanan tadi membuatku urung berujar. "Sayang, Mas sungguh merasa bersalah pada Ibu dan Bapak. Aku pernah berjanji pada mereka akan segera datang melamarmu tapi kenyataannya sekarang aku ngga bisa berbuat apapun. Apa Mas boleh minta tolong padamu?" tanya Mas Fandy diiringi embusan angin yang menerpa wajahku. "Apa, Mas?" balasku tak bersemangat. "Terima apapun keputusan Bapak dan Ibu. Jangan buat mereka nunggu lagi sebab usia kamu memang sudah waktunya menikah. Disini Mas yang salah, Mas yang ngga bisa tepati janji sama mereka. Kalau Bapak minta kamu terima lamaran laki-laki itu, terima saja, demi aku." Mas Lana menghentikan laju motor kami. Ia memutar badannya menjadi berhadapan denganku. Mata Mas Fandy tampak merah. Tersirat rasa sesal bercampur rasa bersalah dalam sorot matanya yang selalu menjadi candu bagiku. "Aku tidak bisa, Mas," balasku dengan bahu bergetar karena tangis. "Demi aku, terima saja. Mas akan sangat bahagia sekali kalau melihat kamu bersama laki-laki yang tepat." "Aku ngga cinta dia, Mas!" "Mas juga ngga cinta Laila, tapi terpaksa demi bakti Mas pada almarhum Ibu. Sebagai anak, kita masih harus berbakti pada mereka, kamu ngga mau jadi anak durhaka kan?" Mas Fandy menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Kubalas tatapan laki-laki yang kucintai itu. Mata yang penuh luka, membuatku tak lagi sanggup berontak. "Demi Mas. Demi cinta kita," lirih Mas Fandy dengan mata yang dipenuhi serpihan kaca. Helaan napas panjang terembus dari bibirku. Sakit sekali di ulu hati. "Baiklah," ucapku akhirnya. Setelah mendengar jawabanku, Mas Fandy memelukku erat. Hangat badannya membuatku merasa nyaman. Seharusnya badan ini yang akan senantiasa menjadi penenang dikala sedih dan gelisah, sayangnya kami kalah dengan takdir. "Nak," panggil Bapak yang seketika membuatku tersadar dari lamunan. "Iya, Pak?" "Itu Nak Lana tanya, apa kamu menerima lamarannya?" jawab Bapak mengulang ucapan lelaki di sampingku itu. "Terserah Bapak saja. Rani manut sama Bapak," balasku sambil menahan sebak di dada. "Alhamdulillah," ucap Mas Lana diiringi senyum yang terkembang di wajahnya. "Jangan lama-lama kalau gitu. Bawa keluarga Nak Lana kemari, biar segera resmi melangkah ke jenjang yang lebih serius," sambung Bapak yang juga tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Kutatap dua lelaki di depan dan sampingku ini, senyum penuh rasa bahagia terkembang di wajah mereka. Pada akhirnya, aku kalah dengan takdir yang tak berpihak padaku.Bab 5Selepas kepergian Mas Lana, aku segera masuk ke dalam kamar. Dadaku sudah tak sanggup lagi menahan rasa yang berkecamuk di hati.Betapa takdir tak berpihak pada kami yang saling mencintai. Betapa Tuhan tidak berkenan mempersatukan kami menjadi sepasang halal dan berlayar bersama menuju mahligai bahagia.[Aku sudah mengikuti perintahmu, Mas. Kita berjuang bersama dengan takdir kita masing-masing.] Sebuah pesan kukirim pada Mas Fandy. Akan tetapi, pesanku hanya dibaca dan dibiarkan tanpa balasan.Aku tahu, Mas Fandy pasti sama. Ia juga sedang sibuk menata hatinya yang juga sedang porak-poranda.[Bismillah ya, Sayang. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita kelak.] Sebuah pesan balasan baru masuk setelah sekian lama layar itu diam tak menyala. Lihatlah, Tuhan. Lihat betapa kami sama-sama terluka karena takdir ini. Sungguh apakah tidak ada jalan lain agar kami tetap bersama?Bahuku bergetar hebat sebab tangis yang sudah terbendung. Sakit yang sesungguhnya adalah ketika kami sama
Bab 6"Awas, Dik," pekik Mas Lana membuatku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kulihat jeruk dalam kantong itu berceceran di lantai."Maaf, Mas. Aku ngga sengaja." Refleks aku berjongkok, memunguti jeruk-jeruk itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantong.Mas Lana pun demikian. Ia turut memunguti jeruk yang berceceran karena ulahku.Tak sengaja pandangan kami bertemu. Sepersekian detik kami saling bertatapan, lalu aku menunduk, menatap jeruk-jeruk yang sedang menggelinding di sekitarku untuk mengalihkan rasa canggung yang menyelimuti kami."Ngga apa-apa. Kamu lihat apa? Sampai jatuh gini jeruknya," balas Mas Lana yang juga turut memunguti jeruk yang berceceran. Laki-laki di depanku itu tetap stay calm meskipun tahu bahwa aku sedang canggung.Seketika aku mengangkat kepalaku, mencari sosok yang membuatku tak fokus pada apa yang dilakukan Mas Lana.Kemana perginya Mas Fandy? Apa dia marah melihatku berdekatan dengan Mas Lana begini?"Dik?" panggil Mas Lana sambil mengikuti arah ma
Bab 7Pada akhirnya memang harus begitu, harus kulupakan laki-laki yang kucintai setelah memutuskan menerima pinangan laki-laki lain sekalipun aku tak cinta.Namun, aku bukan wanita tanpa hati yang bisa begitu saja melupakan dia yang selalu hadir dalam hari-hariku dalam sekejap. Aku butuh waktu untuk menata hati juga pikiranku."Semua tahu Nak Lana itu laki-laki yang baik. Dia pendatang di kampung ini, tapi berhasil meraih hati ibu-ibu dan berebut memintanya menjadi menantu. Beruntunglah kamu, dia datang tanpa diundang. Jangan sia-siakan kesempatan baik ini.""Beri Rani waktu, Bu. Rani janji setelah pernikahan itu digelar, hubungan kami akan benar-benar berakhir.""Setelah pernikahan itu digelar? Jangan ngawur kamu." Ibu mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tatapan tak setuju."Rani tidak akan berjumpa dengan Mas Fandy setelah ini. Hanya saja Rani meminta kelonggaran untuk tetap bisa berhubungan baik lewat telepon.""Ibu hanya mengingatkan agar kamu segera menyudahi hubunganmu s
Bab 8"Rani," panggil Mas Lana lagi. Nada suaranya lebih lembut dari yang sebelumnya, membuat mataku mengerjap seketika."Iya, Mas. Iya, aku mau," jawabku cepat."Alhamdulillah. Makasih ya, kamu sudah mau terima lamaran ini, Mas senang sekali.""Iya, tapi ada yang harus kubicarakan sama Mas," jawabku hati-hati."Apa? Soal pacarmu itu?""Mas tahu?" selaku kaget."Siapa yang tidak tahu hubunganmu dengan pacarmu. Mas tahu, Mas menerima masa lalumu dengan baik. Jangan khawatir.""Ada banyak yang ingin kubicarakan pada Mas, tapi tidak di telepon. Kalau ketemu saja kita bicara bersama.""Baiklah, kapanpun kamu siap saya akan jemput kamu. Ya sudah kamu siap-siap, saya juga mau siap-siap sebelum antar orang tua saya ke sana.""Baiklah, Mas. Makasih."Kututup panggilan dan kuembuskan napas lega sebab Mas Lana lebih dulu memahami kondisiku. Sedikit rasa syukur dalam hatiku karena aku tidak harus tertekan dengan perasaan ini. Paling tidak, Mas Lana cukup terbuka dengan apa yang sedang menimpaku.
Bab 9PoV Fandy NugrohoAku sedang menikmati secangkir kopi saat di dalam rumah Pak Hartono sedang terjadi keributan. Suara teriakan itu diiringi dengan suara benda pecah belah yang sepertinya sedang dibanting dengan penuh emosi. Urung menikmati kopi yang baru saja disuguhkan Mbok Nar, aku sibuk mencuri dengar apa yang sedang terjadi itu."Bagaimana bisa kamu melakukan itu hah? Apa kamu tidak berpikir bagaimana dampaknya??? Kalau sudah begini, kamu sama dengan menaburi muka bapakmu ini dengan kotoran!" Suara Pak Hartono terdengar menyeramkan. Jangan kan berteriak, dia diam saja wajahnya sudah membuat orang enggan berhadapan dengannya."Tenang, Pak. Sabar dulu, jangan emosi. Malu di dengar orang lain.""Biar Buk! Bapak sudah lelah mengikuti semua kemauan Laila. Dari dulu bisanya bikin Bapak emosi saja!"Tak terdengar balasan dari yang lainnya, hanya ada suara isak tangis dua perempuan yang ada di ruangan itu."Bagaimana bisa to Nduk? Kamu kok jadi kayak gini? Salah pergaulan kamu ini!!
Bab 10"Mas Lana?" sapaku kaget sebab ini terlalu awal dari jam yang ia janjikan akan datang ke rumah bersama keluarganya.Mas Lana turun dari dalam mobil. Ia membiarkan pintu itu terbuka lalu berdiri di sela-sela pintu dan badan mobil sambil menatapku khawatir."Iya. Saya harus cari sesuatu dulu sebelum menunggu keluarga yang lain datang kemari. Kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi sambil melihat sekitar.Ekor mataku bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasaan keluar rumah dijam seperti ini."Emm ... aku ... aku lagi cari sesuatu juga, disuruh Ibu," balasku beralasan sambil menahan nyeri di dada.Mas Lana menatapku tak berkedip, seolah ia bisa membaca kesedihan di rautku yang tak biasa ini. Terlebih wajah sembabku tak dapat kusembunyikan dari hadapannya.Mata Mas Lana menatap ke arah belakang badanku, seolah ia sedang melihat dari mana aku berasal. Setelah terdiam sesaat, Mas Lana kembali menatapku."Kamu habis nangis? Ada apa?" Mendengar pertanyaan
Bab11Aku mengerutkan dahi melihat apa yang terjadi itu. Sepertinya ada sesuatu antara mereka yang sengaja disembunyikan."Sebaiknya kita pergi," ajak Mas Lana setelah dirasa tak perlu lagi ada yang dikhawatirkan.Mataku yang sejak tadi memperhatikan tiga orang itu seketika menoleh ke arah lelaki dewasa di depanku. "Tunggu dulu. Aku mau dengar apa yang mereka bicarakan.""Jangan suka mendengar apa yang bukan menjadi urusanmu. Lebih baik kamu bersiap karena setelah ini kedua orang tuaku akan datang ke rumahmu," ucap Mas Lana yang membuatku seketika tersentak. Ah iya, acara silaturahmi itu akan segera digelar. Sementara mereka bertiga sepertinya sedang membicarakan hal yang serius.Namun, mengingat apa yang dilakukan Mas Fandy dan Laila tadi membuatku merasa tak perlu lagi mencampuri urusan mereka. Biarlah seperti ini, buat apa mempertahankan laki-laki yang sudah tega mengkhianatiku disaat aku sedang berjuang menerima dampak
Bab12Setelah kepergian keluarga Mas Lana, ada yang terasa berbeda dalam diriku. Status baru, tentunya tak pernah terpikirkan akan secepat ini berubah.Antara luka dan bahagia, sungguh aku tak dapat berkata-kata merasai hatiku saat ini. Antara senang dan sedih, aku seperti berada di dalam sebuah taman yang ditumbuhi banyak kembang berduri. Cantik sekaligus mengerikan jika duri itu terkena badan.Takdir, tak pernah ada yang bisa menebaknya."Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah resmi jadi istri Nak Lana," ucap Ibu penuh binar haru di matanya. Urung masuk ke kamar, aku terpaksa duduk di samping Ibu."Apa kamu tahu kenapa Bapak minta hal seperti ini?" tanya Bapak dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Tak biasanya pandangan Bapak seperti itu padaku.Enggan membalas tatapan Bapak, aku menunduk takut, teringat kembali apa yang terjadi padaku sebelum acara ini digelar."Katakan, Ran! Apa kamu tahu kenapa Bapak sampai s