Bab 3
Dengan hati-hati Mas Fandy memboncengku menuju kafe tempat kami janjian. Laila, bukan gadis sembarangan sebab dia anak dari Tuan Tanah di kampung kami. Sedangkan aku, hanya anak seorang pensiunan guru yang hanya bekerja sebagai karyawan di butik tempat Ibu bekerja dulu. Mas Fandy juga demikian. Ia hanya sopir pribadi Pak Hartono yang sepertinya menjadi anak buah kesayangan bosnya itu. Rasanya sulit untuk kami mempertahankan hubungan ini mengingat mereka orang-orang yang berkuasa di kampung. Tapi, tidak ada salahnya kami berusaha. Bukankah diatas langit masih ada langit? "Waah, serasi sekali kalian," ucap Laila menyambut kedatangan kami. Senyum miring yang terukir di wajahnya itu menunjukkan keangkuhan dirinya. Perlahan aku menggandeng tangan Mas Fandy untuk mendekat. Meskipun aku tahu apa yang kulakukan ini bisa menambah murka hati Laila tapi aku tak peduli. Cinta kami suci dan utuh meskipun aku tak tahu akan bertahan seberapa lama lagi. "Sebaiknya lepas pegangan tangan kamu itu karena sebentar lagi dia bukan lagi kekasihmu," ucap Laila dengan tangan terlipat di depan dada. Tatapan matanya tajam, seolah sedang berusaha mencongkel tanganku yang melingkar di lengan Mas Fandy. "Tidak Laila. Kami datang untuk memohon kebesaran hatimu," ucapku memohon. Tak apa merendahkan diri di hadapan Laila asal kami bisa tetap bersama. Mata Laila memicing menatapku hingga di dahinya terbentuk banyak lipatan. "Kebesaran hati?" ulang Laila yang setelahnya diiringi senyum miring. "Kumohon, lihatlah cinta yang tumbuh diantara kami. Apakah kamu tak bisa melihat betapa kami saling mencintai?" "Aku tak peduli!" sentak Laila keras. Rahangnya mengeras. Tatapan yang semula tajam itu berubah menusuk, bahkan menguliti wajahku yang sedang memohon padanya. "Sudah sekian tahun aku memendam rasa ini pada Mas Fandy. Kubiarkan kalian bersenang-senang diatas perasaanku yang sedang tercabik-cabik atas perintah Bapak. Dan sekarang, tiba saatnya aku siap membina hubungan yang serius, beraninya kamu berkata seperti itu padaku?" "Bukankah kamu lulusan sarjana? Kamu bisa saja mencari lelaki yang lebih dari Mas Fandy, yang hanya seorang sopir pribadi," rayuku berusaha menunjukkan bahwa dirinya bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari Mas Fandy. "Mas Fandy itu punya daya tarik tersendiri. Dia lelaki cerdas dan berkharisma, terlebih dia menawan. Dia juga cocok menjadi penerus usaha Bapak yang sudah lama digelutinya. Apa urusanmu soal jodohku? Mau menikah dengan siapa itu urusanku," balas Laila dengan dagu yang terangkat. Astaghfirullah. Aku meremas ujung baju yang kupakai. Alasan yang diberikan Laila cukup masuk akal sebab Mas Fandy memang sudah lama bekerja pada keluarganya. Yang sedikit banyak tahu bagaimana aktivitas bapaknya. "Apa kamu tidak melihat betapa kami saling mencintai?" lirihku hati-hati. "Aku tidak peduli. Cinta itu bisa tumbuh di hati siapapun jika mereka sudah tinggal bersama. Begitu juga dengan kami nanti. Cinta Mas Fandy untukmu bisa saja mati perlahan ketika dia sudah berada dalam pelukanku," balas Laila dengan yakinnya. Seketika tangan Mas Fandy menggenggam tanganku dengan eratnya. Seolah ia sedang bicara bahwa hatinya hanya untukku. Akan tetapi, wanita di depan kami ini tak bisa dilawan. Dia punya segalanya, yang dapat memudahkan apapun yang ingin dia dapatkan. Memang benar uang bukan segalanya tapi bukankah segalanya terasa mudah jika memiliki uang? Aku kalah telak jika yang menjadi patokan adalah uang. "Bagaimana jika kami mencicil hutang itu?" tanyaku masih berusaha mencari jalan. Laila terkekeh. Ia membuang pandangannya dari hadapanku, lalu kembali ke arahku saat kekehannya itu terhenti. "Mencicil? Bapak memberi pinjaman itu secara cash. Bagaimana mungkin dikembalikan secara dicicil? Kami bukan bank kredit yang bisa memberikan pinjaman yang pengembaliannya dengan cara dicicil. Jika kami memberi pinjaman itu cash, seharusnya kembalinya juga cash." Seulas senyum miring mengakhiri kalimat Laila itu. Seketika aku menghela napas berat. Usapan tangan Mas Fandy di punggungku membuat dadaku terasa makin sesak. Aku tahu itu hanya akal-akalan bapaknya Laila untuk mempersulit Mas Fandy lepas dari jeratannya. Pandai sekali mereka. "Sudahlah, Sayang. Jangan begini," bisik Mas Fandy di dekat telingaku. "Mas makin sakit lihat kamu seperti ini." "Mas aja sakit, apalagi aku?" seruku masih belum bisa menerima. "Kita sama-sama sakit. Jangan menambah sakit dengan kamu seperti ini," sergah Mas Fandy lagi. "Lalu aku harus bagaimana, Mas? Aku ngga mau pisah sama kamu. Aku cinta kamu," rengekku tak lagi dapat menahan rasa takut dalam dada. "Kamu percaya jodoh di tangan Tuhan? Jika tidak sekarang, mungkin nanti." "Nanti bagaimana? Bapak sudah terang-terangan berkata padaku akan menerima lamaran Mas Lana, Mas!" "Sudah berdebatnya? Silahkan puas-puaskan sayang-sayangan dan saling menguatkan sebab sebentar lagi kalian harus menerima kenyataan pahit. Tapi, bisa kupastikan kalau kamu ngga akan nyesel nikah sama aku, Mas," ujar Laila dengan sombongnya. Tatapan menggoda dari mata Laila pada Mas Fandy membuatku tak lagi bisa menahan diri. "Jaga mulutmu! Jangan mentang-mentang kamu punya uang, lalu bisa berbuat seenaknya begini!" tegasku keras. "Kenyataannya memang begitu, kan? Kamu harus legowo menerima semua ini. Pacaran lima tahun tapi tak berjodoh, itu lebih baik dari pada sudah menikah tapi berujung perceraian." "Sudah Laila! Jangan banyak bicara! Kalau kamu tidak mau memberikan kelonggaran pada kami sebaiknya jangan mengumbar kesombongan." Mas Fandy tak lagi dapat menahan amarahnya pada wanita di depan kami itu. "Tidak ada maksud begitu, Mas. Bapak tidak memintamu membayar hutang kan? Bapak cuma minta kamu nikahin aku dan semua hutang dianggap lunas. Jadi kamu ngga perlu pusing mikir yang lainnya," balas Laila dengan nada manja. "Kalau begitu terima kasih atas kedatanganmu untuk berjumpa dengan kami. Sebaiknya kami pergi," balas Mas Fandy tegas. "Oke. Jangan lupa datang nanti malam di acara makan malam keluarga kami. Bapak akan umumkan acara pernikahan kita yang ngga akan lama lagi." Laila melenggang pergi meninggalkan meja tempat kami duduk. Dagunya terangkat dengan langkah yang anggun sambil menenteng tas jinjing di tangannya. Siapapun yang melihat pasti tahu bahwa dia wanita berada. "Apa tidak ada solusi lain, Mas? Kita kawin lari saja!" rengekku masih belum bisa menerima kenyataan. "Tidak, Sayang. Uang itu jumlahnya besar. Dibayar pun butuh bertahun-tahun untuk menabung dan Pak Hartono pasti tidak membiarkanku pergi begitu saja." "Kita kabur, Mas. Sembunyi-sembunyi biar mereka ngga tahu kita pergi." "Jangan begitu, Sayang. Hutang itu dibawa mati. Kalau ngga dibayar sekarang akan menyulitkan kita di alam Barzah nanti. Bagaimana pun Mas harus membayarnya meskipun itu mengorbankan cinta kita." "Hamili aku saja, Mas! Kalau mereka tahu aku hamil pasti tidak akan bisa berbuat apapun selain melihat kita menikah," ucapku spontan.Bab 4"Astaghfirullah, sadar Sayang. Jangan punya pikiran seperti itu. Aku sayang dan cinta kamu itu tulus. Tak mungkin aku menodai cinta kita dengan hubungan haram itu.""Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana, Mas. Bapak begitu, sekarang Laila juga begitu, sementara aku ngga mau pisah sama kamu." Kutatap wajah laki-laki yang menjadi pemilik hati. Tak bisa kubayangkan jika aku harus melihatnya duduk di pelaminan bersama perempuan lain."Sayang, kamu percaya takdir kan? Jika kita tidak ditakdirkan bersatu sekarang, mungkin suatu saat nanti kita bisa bersama. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri untuk mempersatukan kita. Kamu percaya sama Mas kan? Meskipun Mas menikahi Laila, tapi cinta Mas hanya buat kamu.""Mas yakin dengan jalan yang Mas ambil? Mas benar-benar akan menikahi Laila?" tanyaku dengan tatapan penuh buliran air."Yakin tak yakin, suka tak suka, mau tak mau Mas harus melakukannya sebab membayar hutang itu secara cash pun Mas tak mampu," balas Mas Fandy dengan tatapan da
Bab 5Selepas kepergian Mas Lana, aku segera masuk ke dalam kamar. Dadaku sudah tak sanggup lagi menahan rasa yang berkecamuk di hati.Betapa takdir tak berpihak pada kami yang saling mencintai. Betapa Tuhan tidak berkenan mempersatukan kami menjadi sepasang halal dan berlayar bersama menuju mahligai bahagia.[Aku sudah mengikuti perintahmu, Mas. Kita berjuang bersama dengan takdir kita masing-masing.] Sebuah pesan kukirim pada Mas Fandy. Akan tetapi, pesanku hanya dibaca dan dibiarkan tanpa balasan.Aku tahu, Mas Fandy pasti sama. Ia juga sedang sibuk menata hatinya yang juga sedang porak-poranda.[Bismillah ya, Sayang. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita kelak.] Sebuah pesan balasan baru masuk setelah sekian lama layar itu diam tak menyala. Lihatlah, Tuhan. Lihat betapa kami sama-sama terluka karena takdir ini. Sungguh apakah tidak ada jalan lain agar kami tetap bersama?Bahuku bergetar hebat sebab tangis yang sudah terbendung. Sakit yang sesungguhnya adalah ketika kami sama
Bab 6"Awas, Dik," pekik Mas Lana membuatku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kulihat jeruk dalam kantong itu berceceran di lantai."Maaf, Mas. Aku ngga sengaja." Refleks aku berjongkok, memunguti jeruk-jeruk itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantong.Mas Lana pun demikian. Ia turut memunguti jeruk yang berceceran karena ulahku.Tak sengaja pandangan kami bertemu. Sepersekian detik kami saling bertatapan, lalu aku menunduk, menatap jeruk-jeruk yang sedang menggelinding di sekitarku untuk mengalihkan rasa canggung yang menyelimuti kami."Ngga apa-apa. Kamu lihat apa? Sampai jatuh gini jeruknya," balas Mas Lana yang juga turut memunguti jeruk yang berceceran. Laki-laki di depanku itu tetap stay calm meskipun tahu bahwa aku sedang canggung.Seketika aku mengangkat kepalaku, mencari sosok yang membuatku tak fokus pada apa yang dilakukan Mas Lana.Kemana perginya Mas Fandy? Apa dia marah melihatku berdekatan dengan Mas Lana begini?"Dik?" panggil Mas Lana sambil mengikuti arah ma
Bab 7Pada akhirnya memang harus begitu, harus kulupakan laki-laki yang kucintai setelah memutuskan menerima pinangan laki-laki lain sekalipun aku tak cinta.Namun, aku bukan wanita tanpa hati yang bisa begitu saja melupakan dia yang selalu hadir dalam hari-hariku dalam sekejap. Aku butuh waktu untuk menata hati juga pikiranku."Semua tahu Nak Lana itu laki-laki yang baik. Dia pendatang di kampung ini, tapi berhasil meraih hati ibu-ibu dan berebut memintanya menjadi menantu. Beruntunglah kamu, dia datang tanpa diundang. Jangan sia-siakan kesempatan baik ini.""Beri Rani waktu, Bu. Rani janji setelah pernikahan itu digelar, hubungan kami akan benar-benar berakhir.""Setelah pernikahan itu digelar? Jangan ngawur kamu." Ibu mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tatapan tak setuju."Rani tidak akan berjumpa dengan Mas Fandy setelah ini. Hanya saja Rani meminta kelonggaran untuk tetap bisa berhubungan baik lewat telepon.""Ibu hanya mengingatkan agar kamu segera menyudahi hubunganmu s
Bab 8"Rani," panggil Mas Lana lagi. Nada suaranya lebih lembut dari yang sebelumnya, membuat mataku mengerjap seketika."Iya, Mas. Iya, aku mau," jawabku cepat."Alhamdulillah. Makasih ya, kamu sudah mau terima lamaran ini, Mas senang sekali.""Iya, tapi ada yang harus kubicarakan sama Mas," jawabku hati-hati."Apa? Soal pacarmu itu?""Mas tahu?" selaku kaget."Siapa yang tidak tahu hubunganmu dengan pacarmu. Mas tahu, Mas menerima masa lalumu dengan baik. Jangan khawatir.""Ada banyak yang ingin kubicarakan pada Mas, tapi tidak di telepon. Kalau ketemu saja kita bicara bersama.""Baiklah, kapanpun kamu siap saya akan jemput kamu. Ya sudah kamu siap-siap, saya juga mau siap-siap sebelum antar orang tua saya ke sana.""Baiklah, Mas. Makasih."Kututup panggilan dan kuembuskan napas lega sebab Mas Lana lebih dulu memahami kondisiku. Sedikit rasa syukur dalam hatiku karena aku tidak harus tertekan dengan perasaan ini. Paling tidak, Mas Lana cukup terbuka dengan apa yang sedang menimpaku.
Bab 9PoV Fandy NugrohoAku sedang menikmati secangkir kopi saat di dalam rumah Pak Hartono sedang terjadi keributan. Suara teriakan itu diiringi dengan suara benda pecah belah yang sepertinya sedang dibanting dengan penuh emosi. Urung menikmati kopi yang baru saja disuguhkan Mbok Nar, aku sibuk mencuri dengar apa yang sedang terjadi itu."Bagaimana bisa kamu melakukan itu hah? Apa kamu tidak berpikir bagaimana dampaknya??? Kalau sudah begini, kamu sama dengan menaburi muka bapakmu ini dengan kotoran!" Suara Pak Hartono terdengar menyeramkan. Jangan kan berteriak, dia diam saja wajahnya sudah membuat orang enggan berhadapan dengannya."Tenang, Pak. Sabar dulu, jangan emosi. Malu di dengar orang lain.""Biar Buk! Bapak sudah lelah mengikuti semua kemauan Laila. Dari dulu bisanya bikin Bapak emosi saja!"Tak terdengar balasan dari yang lainnya, hanya ada suara isak tangis dua perempuan yang ada di ruangan itu."Bagaimana bisa to Nduk? Kamu kok jadi kayak gini? Salah pergaulan kamu ini!!
Bab 10"Mas Lana?" sapaku kaget sebab ini terlalu awal dari jam yang ia janjikan akan datang ke rumah bersama keluarganya.Mas Lana turun dari dalam mobil. Ia membiarkan pintu itu terbuka lalu berdiri di sela-sela pintu dan badan mobil sambil menatapku khawatir."Iya. Saya harus cari sesuatu dulu sebelum menunggu keluarga yang lain datang kemari. Kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi sambil melihat sekitar.Ekor mataku bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasaan keluar rumah dijam seperti ini."Emm ... aku ... aku lagi cari sesuatu juga, disuruh Ibu," balasku beralasan sambil menahan nyeri di dada.Mas Lana menatapku tak berkedip, seolah ia bisa membaca kesedihan di rautku yang tak biasa ini. Terlebih wajah sembabku tak dapat kusembunyikan dari hadapannya.Mata Mas Lana menatap ke arah belakang badanku, seolah ia sedang melihat dari mana aku berasal. Setelah terdiam sesaat, Mas Lana kembali menatapku."Kamu habis nangis? Ada apa?" Mendengar pertanyaan
Bab11Aku mengerutkan dahi melihat apa yang terjadi itu. Sepertinya ada sesuatu antara mereka yang sengaja disembunyikan."Sebaiknya kita pergi," ajak Mas Lana setelah dirasa tak perlu lagi ada yang dikhawatirkan.Mataku yang sejak tadi memperhatikan tiga orang itu seketika menoleh ke arah lelaki dewasa di depanku. "Tunggu dulu. Aku mau dengar apa yang mereka bicarakan.""Jangan suka mendengar apa yang bukan menjadi urusanmu. Lebih baik kamu bersiap karena setelah ini kedua orang tuaku akan datang ke rumahmu," ucap Mas Lana yang membuatku seketika tersentak. Ah iya, acara silaturahmi itu akan segera digelar. Sementara mereka bertiga sepertinya sedang membicarakan hal yang serius.Namun, mengingat apa yang dilakukan Mas Fandy dan Laila tadi membuatku merasa tak perlu lagi mencampuri urusan mereka. Biarlah seperti ini, buat apa mempertahankan laki-laki yang sudah tega mengkhianatiku disaat aku sedang berjuang menerima dampak