Bab 2
Urung melanjutkan pembicaraan dengan Bapak, aku masuk ke kamar tanpa permisi sambil menahan kesal. Bagaimana bisa permintaanku untuk membantu Mas Fandy berujung pada keputusannya menerima lamaran Maulana, yang usianya selisih sepuluh tahun dariku? Apa tidak ada wanita seusia dia yang mau menerimanya sebagai pasangan? Mengapa harus aku? Ibu menyusul ke kamar setelah aku membanting badan di atas ranjang. Tidak pernah sedikitpun terlintas di kepala akan menikah dengan orang lain selain Mas Fandy. Sementara bayang senyum bahagia kami di atas pelaminan tiap hari sudah menari di pelupuk mata, mengingat Mas Fandy selalu membicarakan itu padaku. "Nak," sapa Ibu sambil mengusap bahuku yang sedang bergetar karena tangis. "Bapak jahat sekali, Bu. Menikah itu sekali seumur hidup, kenapa Rani harus menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak Rani cintai?" omelku berusaha mengutarakan apa yang sedang mengganjal dalam hati. "Nak, Bapak dan Ibu itu lebih dulu makan asam garam kehidupan dari pada kamu. Hartono itu bukan orang sembarangan, yang akan menyerahkan Fandy begitu saja. Dia punya kuasa. Tak mungkin membiarkan Fandy lepas dari tangannya, meskipun hutang itu telah terbayar." Kuhentikan tangisku untuk mengutarakan apa yang mengganjal dalam hati. "Mengapa Bapak dan Ibu yakin sekali?" Ibu menatapku dengan tatapan tak biasa. Helaan napasnya tampak dalam dan seperti ada sesuatu yang berat untuk diceritakan padaku. "Suatu saat, kamu akan paham, Nak. Yang penting sebagai orang tua, kami mau memberikan yang terbaik untuk kamu. Kami ngga mau melihatmu terluka apalagi menderita, sekarang ataupun nanti." "Bahagia yang bagaimana jika calonnya lebih tua dari Rani, Bu? Mas Lana itu lebih pantas dipanggil Om dari pada dijadikan suami!" sungutku tak terima. "Lana baik, Nak. Dia lebih dewasa daripada Fandy. Pekerjaannya juga lebih mapan," sela Ibu seolah mencari pembenaran. "Mapan kalau tak cinta ya buat apa, Bu!" Aku mengalihkan pandangan, lalu kembali menunduk saat hati terasa perih. Pernikahan impian yang kerap kubayangkan sekarang hanya tinggal angan. "Pernikahan itu bukan hanya soal cinta. Menikah dengan lelaki dewasa itu akan membuat kamu merasa nyaman dan lebih tenang menjalani hidup. Percayalah, Ibu dan Bapak tak mungkin menjerumuskan kamu." "Tidak mau, Bu! Rani tidak mau!" teriakku tak peduli lagi pada Ibu, apalagi Bapak. Bagaimana mungkin mereka memaksaku disaat Mas Fandy sedang kesusahan mencari bantuan. Tak kupedulikan Ibu yang masih duduk di sampingku. Aku sibuk dengan perasaanku yang sedang tak menentu. Keesokan harinya setelah selesai bekerja, Mas Fandy kembali mengajakku berjumpa untuk membicarakan masalahnya. "Sayang, maafkan Mas ya?" Tatapan Mas Fandy sarat akan rasa bersalah. Semalam saat kami telepon, aku menceritakan semuanya. "Aku ngga mau kita pisah, Mas. Aku mau kita menikah. Jangan menikahi Laila," racauku sambil menangis. Seharian ini aku tak fokus bekerja karena masalah ini. "Mas juga ngga mau. Tapi kita ngga punya pilihan lainnya." Mas Fandy mengggenggam tanganku yang sudah basah karena air mata. "Apa ngga ada cara lainnya untuk menyelesaikan masalah ini, Mas? Kenapa jaminannya harus kamu menikahi Laila?" "Sebenarnya dari dulu Laila sudah sering chat Mas, Sayang. Tapi Mas ngga pernah tanggapi. Mungkin ini cara dia untuk bisa mengikat Mas agar mau mengikuti apa maunya." "Jahat sekali dia, Mas." Kusandarkan kepalaku pada dada bidang Mas Fandy. Nyaman dan tenang, sayangnya sebenar lagi momen seperti ini tak akan terulang. "Mas juga merasa begitu, tapi kita ngga bisa berbuat apapun. Semua tahu bagaimana bapaknya Laila." Mas Fandy tampak frustasi. Aku melihat sebuah rasa tak nyaman yang tercipta di wajah Mas Fandy. "Kenapa Tuhan jahat sekali sama kita, Mas? Kita saling mencintai, hanya tinggal selangkah saja tapi Tuhan gagalkan dengan kelicikan Laila." "Sabar ya, Sayang?" "Apa aku temui dia saja?" "Jangan. Jangan mempersulit diri kamu sendiri. Kalau Bapak tahu, pasti aku yang kena marah nanti." "Lalu aku harus bagaimana, Mas? Bapak mengancamku akan menerima lamaran Mas Lana." "Terima saja," sahut Mas Fandy tegas. Spontan kuangkat kepalaku untuk menatap wajah kekasihku. "Mas! Bagaimana mungkin Mas memintaku menerima laki-laki yang sama sekali tak kucintai untuk dinikahi? Pernikahan hanya sekali, Mas. Tak mungkin kulakukan tanpa cinta!" "Setidaknya Mas tahu bagaimana Lana. Dia lelaki dewasa, kamu aman bersamanya." Mas Fandy menatapku dengan tatapan dalam dan hangat. "Mas lebih merasa tenang melihatmu bersama Lana dari pada kamu sendirian setelah pernikahan itu digelar. Yakinlah, kalau kita berjodoh, kelak akan menemukan jalannya." Aku termangu dengan ucapan Mas Fandy. Seyakin itu dia dengan keputusan ini, sementara aku masih berharap kami bisa bersatu. "Mas yakin dengan semua ini?" tanyaku sambil menahan butiran air agar tidak mengalir dengan deras. "Kita tak punya pilihan. Mas tak mampu membayar hutang itu, sementara mereka hanya memberi waktu dua hari untuk Mas berpikir. Malam nanti, Mas harus memberi jawaban pada mereka." Kupandangi jam di pergelangan tangan. Sekarang pukul lima sore, masih ada waktu tiga jam untuk berbicara dengan Laila agar mau mengubah keputusannya. "Aku mau ketemu Laila, Mas. Aku harus bicara dengannya." Kulepas pegangan tangan Mas Fandy di lenganku, lalu kuraih tas yang ada di atas meja di kafe ini. "Sayang, percuma. Ngga akan ada gunanya." Mas Fandy berusaha menghentikan langkahku. Akan tetapi tekadku sudah bulat. Aku tak bisa begitu saja menerima semua ini tanpa melakukan apapun untuk menjaga hubungan kami agar tetap bisa bersatu. "Tidak, Mas. Bagaimana hasilnya nanti tetap harus kucoba. Lima tahun kita menjalin hubungan dan aku tak terima jika harus berakhir sia-sia seperti ini." "Tidak, Sayang. Jangan korbankan dirimu." "Jangan cegah aku, Mas. Kalau pun pada akhirnya aku harus melepasmu, setidaknya aku pernah berjuang mati-matian untuk mempertahankanmu," balasku masih berusaha menepis tangannya yang melarangku pergi.Bab 3Dengan hati-hati Mas Fandy memboncengku menuju kafe tempat kami janjian. Laila, bukan gadis sembarangan sebab dia anak dari Tuan Tanah di kampung kami. Sedangkan aku, hanya anak seorang pensiunan guru yang hanya bekerja sebagai karyawan di butik tempat Ibu bekerja dulu.Mas Fandy juga demikian. Ia hanya sopir pribadi Pak Hartono yang sepertinya menjadi anak buah kesayangan bosnya itu.Rasanya sulit untuk kami mempertahankan hubungan ini mengingat mereka orang-orang yang berkuasa di kampung. Tapi, tidak ada salahnya kami berusaha. Bukankah diatas langit masih ada langit?"Waah, serasi sekali kalian," ucap Laila menyambut kedatangan kami. Senyum miring yang terukir di wajahnya itu menunjukkan keangkuhan dirinya.Perlahan aku menggandeng tangan Mas Fandy untuk mendekat. Meskipun aku tahu apa yang kulakukan ini bisa menambah murka hati Laila tapi aku tak peduli. Cinta kami suci dan utuh meskipun aku tak tahu akan bertahan seberapa lama lagi."Sebaiknya lepas pegangan tangan kamu itu
Bab 4"Astaghfirullah, sadar Sayang. Jangan punya pikiran seperti itu. Aku sayang dan cinta kamu itu tulus. Tak mungkin aku menodai cinta kita dengan hubungan haram itu.""Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana, Mas. Bapak begitu, sekarang Laila juga begitu, sementara aku ngga mau pisah sama kamu." Kutatap wajah laki-laki yang menjadi pemilik hati. Tak bisa kubayangkan jika aku harus melihatnya duduk di pelaminan bersama perempuan lain."Sayang, kamu percaya takdir kan? Jika kita tidak ditakdirkan bersatu sekarang, mungkin suatu saat nanti kita bisa bersama. Biarkan cinta mencari jalannya sendiri untuk mempersatukan kita. Kamu percaya sama Mas kan? Meskipun Mas menikahi Laila, tapi cinta Mas hanya buat kamu.""Mas yakin dengan jalan yang Mas ambil? Mas benar-benar akan menikahi Laila?" tanyaku dengan tatapan penuh buliran air."Yakin tak yakin, suka tak suka, mau tak mau Mas harus melakukannya sebab membayar hutang itu secara cash pun Mas tak mampu," balas Mas Fandy dengan tatapan da
Bab 5Selepas kepergian Mas Lana, aku segera masuk ke dalam kamar. Dadaku sudah tak sanggup lagi menahan rasa yang berkecamuk di hati.Betapa takdir tak berpihak pada kami yang saling mencintai. Betapa Tuhan tidak berkenan mempersatukan kami menjadi sepasang halal dan berlayar bersama menuju mahligai bahagia.[Aku sudah mengikuti perintahmu, Mas. Kita berjuang bersama dengan takdir kita masing-masing.] Sebuah pesan kukirim pada Mas Fandy. Akan tetapi, pesanku hanya dibaca dan dibiarkan tanpa balasan.Aku tahu, Mas Fandy pasti sama. Ia juga sedang sibuk menata hatinya yang juga sedang porak-poranda.[Bismillah ya, Sayang. Semoga Allah berkenan mempersatukan kita kelak.] Sebuah pesan balasan baru masuk setelah sekian lama layar itu diam tak menyala. Lihatlah, Tuhan. Lihat betapa kami sama-sama terluka karena takdir ini. Sungguh apakah tidak ada jalan lain agar kami tetap bersama?Bahuku bergetar hebat sebab tangis yang sudah terbendung. Sakit yang sesungguhnya adalah ketika kami sama
Bab 6"Awas, Dik," pekik Mas Lana membuatku kembali mengarahkan pandangan padanya. Kulihat jeruk dalam kantong itu berceceran di lantai."Maaf, Mas. Aku ngga sengaja." Refleks aku berjongkok, memunguti jeruk-jeruk itu dan kembali memasukkannya ke dalam kantong.Mas Lana pun demikian. Ia turut memunguti jeruk yang berceceran karena ulahku.Tak sengaja pandangan kami bertemu. Sepersekian detik kami saling bertatapan, lalu aku menunduk, menatap jeruk-jeruk yang sedang menggelinding di sekitarku untuk mengalihkan rasa canggung yang menyelimuti kami."Ngga apa-apa. Kamu lihat apa? Sampai jatuh gini jeruknya," balas Mas Lana yang juga turut memunguti jeruk yang berceceran. Laki-laki di depanku itu tetap stay calm meskipun tahu bahwa aku sedang canggung.Seketika aku mengangkat kepalaku, mencari sosok yang membuatku tak fokus pada apa yang dilakukan Mas Lana.Kemana perginya Mas Fandy? Apa dia marah melihatku berdekatan dengan Mas Lana begini?"Dik?" panggil Mas Lana sambil mengikuti arah ma
Bab 7Pada akhirnya memang harus begitu, harus kulupakan laki-laki yang kucintai setelah memutuskan menerima pinangan laki-laki lain sekalipun aku tak cinta.Namun, aku bukan wanita tanpa hati yang bisa begitu saja melupakan dia yang selalu hadir dalam hari-hariku dalam sekejap. Aku butuh waktu untuk menata hati juga pikiranku."Semua tahu Nak Lana itu laki-laki yang baik. Dia pendatang di kampung ini, tapi berhasil meraih hati ibu-ibu dan berebut memintanya menjadi menantu. Beruntunglah kamu, dia datang tanpa diundang. Jangan sia-siakan kesempatan baik ini.""Beri Rani waktu, Bu. Rani janji setelah pernikahan itu digelar, hubungan kami akan benar-benar berakhir.""Setelah pernikahan itu digelar? Jangan ngawur kamu." Ibu mengangkat wajahnya, lalu menatapku dengan tatapan tak setuju."Rani tidak akan berjumpa dengan Mas Fandy setelah ini. Hanya saja Rani meminta kelonggaran untuk tetap bisa berhubungan baik lewat telepon.""Ibu hanya mengingatkan agar kamu segera menyudahi hubunganmu s
Bab 8"Rani," panggil Mas Lana lagi. Nada suaranya lebih lembut dari yang sebelumnya, membuat mataku mengerjap seketika."Iya, Mas. Iya, aku mau," jawabku cepat."Alhamdulillah. Makasih ya, kamu sudah mau terima lamaran ini, Mas senang sekali.""Iya, tapi ada yang harus kubicarakan sama Mas," jawabku hati-hati."Apa? Soal pacarmu itu?""Mas tahu?" selaku kaget."Siapa yang tidak tahu hubunganmu dengan pacarmu. Mas tahu, Mas menerima masa lalumu dengan baik. Jangan khawatir.""Ada banyak yang ingin kubicarakan pada Mas, tapi tidak di telepon. Kalau ketemu saja kita bicara bersama.""Baiklah, kapanpun kamu siap saya akan jemput kamu. Ya sudah kamu siap-siap, saya juga mau siap-siap sebelum antar orang tua saya ke sana.""Baiklah, Mas. Makasih."Kututup panggilan dan kuembuskan napas lega sebab Mas Lana lebih dulu memahami kondisiku. Sedikit rasa syukur dalam hatiku karena aku tidak harus tertekan dengan perasaan ini. Paling tidak, Mas Lana cukup terbuka dengan apa yang sedang menimpaku.
Bab 9PoV Fandy NugrohoAku sedang menikmati secangkir kopi saat di dalam rumah Pak Hartono sedang terjadi keributan. Suara teriakan itu diiringi dengan suara benda pecah belah yang sepertinya sedang dibanting dengan penuh emosi. Urung menikmati kopi yang baru saja disuguhkan Mbok Nar, aku sibuk mencuri dengar apa yang sedang terjadi itu."Bagaimana bisa kamu melakukan itu hah? Apa kamu tidak berpikir bagaimana dampaknya??? Kalau sudah begini, kamu sama dengan menaburi muka bapakmu ini dengan kotoran!" Suara Pak Hartono terdengar menyeramkan. Jangan kan berteriak, dia diam saja wajahnya sudah membuat orang enggan berhadapan dengannya."Tenang, Pak. Sabar dulu, jangan emosi. Malu di dengar orang lain.""Biar Buk! Bapak sudah lelah mengikuti semua kemauan Laila. Dari dulu bisanya bikin Bapak emosi saja!"Tak terdengar balasan dari yang lainnya, hanya ada suara isak tangis dua perempuan yang ada di ruangan itu."Bagaimana bisa to Nduk? Kamu kok jadi kayak gini? Salah pergaulan kamu ini!!
Bab 10"Mas Lana?" sapaku kaget sebab ini terlalu awal dari jam yang ia janjikan akan datang ke rumah bersama keluarganya.Mas Lana turun dari dalam mobil. Ia membiarkan pintu itu terbuka lalu berdiri di sela-sela pintu dan badan mobil sambil menatapku khawatir."Iya. Saya harus cari sesuatu dulu sebelum menunggu keluarga yang lain datang kemari. Kamu sedang apa di sini?" tanyanya lagi sambil melihat sekitar.Ekor mataku bergerak ke kanan dan ke kiri, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alasaan keluar rumah dijam seperti ini."Emm ... aku ... aku lagi cari sesuatu juga, disuruh Ibu," balasku beralasan sambil menahan nyeri di dada.Mas Lana menatapku tak berkedip, seolah ia bisa membaca kesedihan di rautku yang tak biasa ini. Terlebih wajah sembabku tak dapat kusembunyikan dari hadapannya.Mata Mas Lana menatap ke arah belakang badanku, seolah ia sedang melihat dari mana aku berasal. Setelah terdiam sesaat, Mas Lana kembali menatapku."Kamu habis nangis? Ada apa?" Mendengar pertanyaan