Halwa berdiri di haluan kapal pesiar milik Edzhar, pria itu memintanya untuk datang dan turut serta mencari Tita, tangan Halwa memegang erat tepian kapal hingga buku jarinya memutih, sementara pandangan Halwa terus terarahkan ke air laut di bawahnya, berharap salah satu penyelam menemukan tubuh Tita. .
Tim penyelamat sudah berkali-kali menyelam secara bergantian, tapi hasilnya nihil, Tita belum juga di temukan. "Tita ... Jangan becanda ini tidak lucu. Kamu di mana?" bisik Halwa lirih. "Apa kau senang Tita tidak dapat di temukan?" tanya Edzhar dengan suara dingin, yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingnya saat ini. Halwa mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Apa maksudmu?" tanyanya. "Kau yang menjebaknya, ya kan? Kau yang mengirim Tita ke para begundal itu!" tukas Edzhar. "Menjebak apa? Begundal apa? Tolong kamu jelaskan padaku Ed, kenapa Tita bisa bunuh diri? Kamu apakan dia?" cecar Halwa. "Seharusnya saya yang bertanya, kenapa kamu bisa sejahat itu dengan Tita?" "Aku tidak mengerti, Ed! Aku sungguh-sungguh tidak mengerti apa maksudmu itu, jadi tolong jelaskan padaku ... " Edzhar menatap sinis Halwa, "Oohh, jadi kau mau melihat hasil kejahatanmu itu? Yas bawa ke sini rekamannya! Dan perlihatkan padanya!" Dengan sigap Yas menyerahkan tabletnya ke Halwa, dan Halwa mulai memutar rekaman CCTV itu. Napasnya langsung tercekat saat melihat beberapa pria sedang mengerubungi Tita, sementara salah satu dari mereka memperkosanya. Lalu rekaman beralih ke rekaman lainnya, terlihat Tita berlari lalu menceburkan dirinya ke laut. "Ya Tuhan!" pekik Halwa sambil menangkup mulutnya, air mata kini mengalir deras di pipinya, melihat nasib tragis sahabat baiknya itu, ia langsung menyerahkan kembali tablet itu ke Yas, sebelum balik badan dan melihat ke perairan di bawahnya, "Titaaa!" teriak Halwa sambil terisak. Halwa memekik keras saat Edzhar dengan kasar menarik tangannya, "Jangan berpura-pura sedih, saya muak melihatnya!" geramnya. Edzhar menarik Halwa ke dalam kabin utama kapal pesiar itu, dan mendorongnya masuk dengan kasar hingga Halwa jatuh terduduk. "Aawww!" jerit Halwa. Tidak berhenti sampai disitu, Edzhar berderap maju dan menarik Halwa hingga berdiri, lalu melemparnya ke atas tempat tidurnya, "Kau harus membayarnya! Kau harus membayar apa yang sudah kau lakukan padanya! Kau menyakitinya dan saya akan menyakitimu hingga kau akan merasa menyesal karena sudah dilahirkan ke dunia ini!" desis Edzhar sambil mengunci Halwa di bawahnya. "Ed, dengarkan dulu penjelasanku, bukan aku yang mengajak Tita ke tempat itu, tapi ... " "Simpan alibimu untuk dirimu sendiri! Tita sendiri yang menelepon saya kalau kau mengajaknya ke kapal pesiar itu!" potong Edzhar dengan nada tajam. "Demi Tuhan! Aku tidak pernah mengajak Tita ke kapal pesiar, Ed. Bahkan kapal pesiar yang manapun aku tidak tahu!" jelas Halwa sambil terus berontak di bawah kungkungan Edzhar, yang terlihat seperti kesetanan itu. Ya, Edzhar terus saja merasakan kesedihan yang teramat sangat dalam saat kekasihnya Tita, yang juga sahabat Halwa menyeburkan diri ke lautan lepas, setelah seorang pria memperkosanya di atas kapal pesiar itu, pria yang hingga kini masih belum diketahui identitasnya. Dan yang membuat Edzhar juga Halwa semakin sedih adalah, hingga saat ini belum juga ditemukan jenazah Tita, meski Edzhar sudah menurunkan ribuan orang untuk mencarinya di sekitar lokasi. Dan pada akhirnya, Edzhar melampiaskan semuanya pada Halwa. "Saya tahu selama ini kau memendam perasaan pada saya, ya kan? Berkali-kali Tita memberitahukan hal itu pada saya! Tita meminta saya untuk menerima cintamu, dan Tita bersedia meninggalkan saya demi kau! Kau dengar itu? Tita rela berkorban demi kau! Sementara apa yang kau lakukan untuknya? Kau berusaha menyingkirkannya supaya bisa mendapatkan saya! Itu kan tujuan kau menjebaknya?" tukas Edzhar. Napas Halwa tercekat saat mendengar tuduhan tak berdasar Edzhar itu, ia memang mencintai Edzhar, tapi tidak untuk merebutnya dari sahabatnya sendiri, apalagi harus menyingkirkan sahabat terbaiknya itu demi memdapatkan Edzhar. Tidak sekalipun terlintas di dalam benak Halwa untuk melakukan itu semua. "Ya Tuhan, Ed. Jahat sekali tuduhanmu itu, apa kamu pikir aku wanita seperti itu?" tanya Halwa lirih. "Ya! Dan kau harus membayarnya sekarang!" Jawab Edzhar sambil menahan kedua tangan Halwa di atas kepalanya, sementara tangan lainnya berusaha menanggalkan satu persatu pakaian Halwa. "Apa yang kamu lakukan, Ed? Lepaskan! Tolong lepaskan aku!" jerit Halwa sambil terus berontak, tapi apa daya tenaga Edzhar jauh lebih kuat darinya. Hingga terjadilah hal yang tidak seharusnya terjadi, Edzhar memaksakan dirinya pada area pribadi Halwa yang tidak pernah tersentuh itu. Pria itu mengabaikan pekik kesakitan Halwa, dan terus melakukan keinginannya itu, keinginan menyakiti Halwa seperti halnya Tita yang tersakiti pria lain. Halwa menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa sakit yang teramat sangat, sementara air matanya tiada hentinya mengalir deras, membasahi pipi hingga meluncur turun ke bantal yang menopang kepalanya itu. Ya Tuhan, kenapa aku mendapat hukuman atas dosa yang tidak pernah aku lakukan? Halwa terus terisak dan merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus ikut Tita ke negara ini? Seandainya saja ia menolak, hal ini pasti tidak akan pernah terjadi. Edzhar menjatuhkan tubuhnya di atas Halwa saat pria itu mencapai pelepasannya, lalu langsung bangkit dan berdiri di sisi tempat tidur, matanya menatap tajam ke Halwa lalu turun ke bawahnya, ke noda merah yang mewarnai sprei berwarna putih itu. Bukti hilangnya mahkota Halwa, yang sudah ia jaga baik-baik selama hidupnya. "Bagaimana rasanya saat seseorang memperkosamu? Itulah yang di rasakan Tita saat itu! Berhentilah menangis! Baru saya yang melakukannya! Dan saya akan menyuruh kedua anak buah saya di luar sana untuk melakukannya juga padamu!" geram Edzhar sambil menaikkan resleting celananya. Halwa langsung terduduk sambil menarik selimut hingga ke batas dadanya, "Jangan, Ed. Kenapa kamu sejahat itu padaku? Jangan lakukan itu, please!" rintih Halwa tapi Edzhar tetap memberikan tatapan bengis padanya. "Kau pilih sekarang? Mau kedua pria itu melakukannya juga denganmu? Atau saya akan menjebloskanmu ke dalam penjara?" tanya Edzhar dengan wajah dingin dan tidak terbacanya itu. Halwa tertunduk lesu, tidak cukupkah Edzhar merusak masa depannya, dan sekarang meminta Halwa untuk memilih melakukan itu dengan kedua anak buah Edzhar, atau penjara. "Cepat pilih!" raung Edzhar membuat Halwa kembali tersentak kaget. Halwa mengarahkan pandangannya ke Edzhar, matanya bertemu mata dengan pria yang ia cintai itu, Halwa sama sekali tidak menyembunyikan kesedihannya di dalam tatapannya itu, ia sangat berharap pria itu mau mempercayainya. "Kamu begitu mempercayai, akulah penyebab hilangnya Tita, ya Kan?" tanya Halwa dengan suara parau. "Ya!" jawab Edzhar penuh keyakinan. Halwa menghela napas panjang sebelum menentukan pilihannya dan berkata dengan suara rendah, "Aku lebih baik membusuk di penjara, daripada harus menyerahkan tubuhku." "Hah! Baiklah kalau itu memang maumu! Membusuklah di penjara!" Seru Edzhar, lalu berteriak ke arah pintu, "Yas!" teriaknya. Tidak lama seseorang membuka pintu, lalu bergegas menghampiri Edzhar, Halwa langsung menggenggam erat selimutnya. "Ya, Tuan." "Jebloskan wanita itu ke dalam penjara! Dan pastikan dia bersenang-senang di dalamnya!" Perintah Edzhar sebelum beranjak keluar dari kamarnya. Punggung kaku Edzhar yang terakhir kali Halwa lihat, sebelum anak buahnya membawa Halwa ke dalam penjara. Kabut sunyi perlahan mulai merayap di hatinya, ia yang selama ini mencintai pria itu dalam diam, kini harus menanggung konsekuensinya. Ya, Halwa baru mulai menyadarinya sekarang, dosa yang sudah Halwa lakukan hanyalah mencintai pria yang menjadi kekasih sahabatnya itu, pria yang seharusnya terlarang untuknya. Ya, mungkin inilah hukuman yang diberikan Tuhan untuknya..Dua bulan kemudian ..."Tuan, wanita itu di rawat di rumah sakit!" seru Yas pada Edzhar, yang sedang fokus melihat layar laptopnya."Wanita mana?" tanya Edzhar tanpa mengalihkan perhatiannya."Nona Halwa," jawab Yas."Kenapa bisa masuk rumah sakit? Saya sudah bilang kasih wanita itu pelajaran, tapi tidak perlu sampai masuk rumah sakit!" geram Edzhar."Nona Halwa hamil, Tuan." jelas Yas."Hamil? Wanita sialan itu hamil?”"Ya, Tuan."Apa Halwa sedang mengandung anakku? Halwa masih suci saat itu, dan aku langsung menjebloskannya ke dalam penjara, jadi tidak mungkin dia bersama dengan pria lain."Perintahkan untuk menghentikan sementara menyiksa batin wanita itu, sampai saya benar-benar yakin anak yang dikandungnya itu adalah benar anak saya!""Baik, Tuan.""Segera siapkan mobil, sudah saatnya saya melihat wanita itu!”Sejurus kemudian mereka sudah sampai di bangsal rumah sakit, terlihat Halwa dengan wajah pucat dan di penuhi dengan memar itu tengah tertidur pulas. Sesekali terdengar rint
"Kenapa menamparku?!" tanya Halwa sambil memegang pipinya.Alih-alih menjawab wanita lainnya kembali menampar Halwa, kali ini mendarat di pipi kirinya."Apa salahku pada kalian?" tanya Halwa lagi, matanya sudah mulai kabur akibat dua tamparan keras di pipinya.Ketiga wanita itu hanya tertawa, Halwa berteriak minta tolong sambil memegang jeruji besi itu, tapi tidak ada satupun yang peduli dan menolongnya.Hingga pukulan demi pukulan ia terima dari ketiga wanita itu, hingga Halwa jatuh terduduk, ia menatap nanar ketiga wanita itu, wanita yang menyiksanya, yang ia yakini atas suruhan Edzhar.Hanya pria itulah yang mampu melakukan semua ini, tidak ada yang mampu melawan perintahnya, mau seperti apapun Halwa berteriak minta tolong, semua pasti akan tetap diam, bahkan anginpun akan ikut membisu.Air mata Halwa kembali mengalir, ia kembali terisak sambil menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Ia tidak pernah membayangkan akan berada di dalam situasi seperti ini.Merenggut kehormatannya s
"Ya, kalau butuh sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk meneleponku, kau lihat ponsel di atas meja itu ... "Halwa mengalihkan perhatiannya ke atas meja kecil di samping tempat tidurnya, terlihat di sana sebuah ponsel keluaran terbaru, dan Halwa langsung mengangguk sambil kembali menatap Victor."Ada nomor ponselku di sana. Jangan ragu-ragu untuk meneleponku, Ok?" "Iya, terima kasih, Vic.""Ah, ya. Jangan menghubungi orang tuamu dengan ponsel itu, takutnya Edzhar nanti akan melacaknya saat dia tahu kamu sudah bebas dan keluar dari Turki.""Iyaa ... ""Dan jangan khawatir, aku tidak akan memberitahu Edzhar," ujarnya seolah mengerti apa yang sedang di khawatirkan Halwa saat ini."Terima kasih," ucapnya lagi"Istirahatlah, aku tidak akan lama ... " Dan setelah Halwa mengangguk, Victor kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Halwa tidak dapat menghentikan air matanya, ia terharu dengan kebaikan Victor yang mau membebaskannya dari neraka itu, juga menyelamatkan nyawanya dan ju
Setahun yang laluHalwa dan Tita duduk di barisan kursi terdepan, mereka terpisah dari teman-teman satu fakultasnya, untuk memudahkan prosesi wisuda, karena mereka termasuk wisudawan berprestasi.Tepat pukul delapan, rektor dan jajaran rektorat masuk dan duduk di tempat yang sudah disiapkan untuk mereka.Setelah semua rektor dan jajarannya sudah menempati posisi mereka masing-masing, pemimpin paduan suara keluar dari barisannya, disusul dengan suara MC yang meminta seluruh peserta untuk menyanyikan lagu kebangsaan secara bersama-sama.Hingga akhirnya nama-nama wisudawan yang berprestasi dari tiap fakultas, dipanggil satu persatu untuk naik ke atas panggung, untuk menerima ijasah langsung dari rektor.Tempat duduk mereka yang berada di barisan terdepan dekat panggung, membantu prosesi berjalan sangat cepat dan mulus, hingga akhirnya MC menyebut nama Halwa."Aira Halwatuzahra!" "Semangat!" seru Tita sambil meremas tangan Halwa sebelum ia berdiri dan naik ke atas panggung.Dengan arahan
Turki, negara transkontinental, satu negara seribu rasa. Negara yang penuh dengan kekontrasan, tempat bertemunya tradisi Timur dan Barat, dimana pemandangan reruntuhan dan bangunan kuno bersanding dengan dunia modern, serta kehidupan sekuler dan religius yang berjalan berdampingan. Negara yang ingin sekali Halwa kunjungi, itu makanya ia tidak menolak saat Tita mengajaknya ke negara ini, untuk merayakan ulang tahun kekasihnya, Edzhar. Kini, nyaris tiga bulan Halwa berada di negara ini, dan sekarang adalah malam terakhirnya di negara ini.Halwa menatap ke luar jendela kamarnya, menatap nanar ke pemandangan kota Istanbul ini, yang pamornya tak kalah impresif dibandingkan dengan ibu kota Turi, Ankara. Satu-satunya kota di dunia yang berada di dua benua. Hanya dengan menaiki kapal ferry, kita sudah bisa berpindah dari Benua Asia ke Benua Eropa."Kamu sudah siap?" tanya Victor.Halwa balik badan menghadap pria yang sudah menyelamatkannya itu, "Ya," jawabnya, lalu melangkah mundur saat Vic
Halwa sudah membayangkan kalau pertemuannya dengan kedua orang tuanya akan mengharu biru. Tapi ternyata lebih dari itu.Kini Halwa terduduk di lantai, dengan kepalanya yang ia rebahkan di atas pangkuan mamanya, dengan papanya yang duduk di sebelahnya, yang tangan tuanya kini sedang mengusap lembut kepala Halwa.Segala kepahitan dan penderitaan hidupnya selama tiga bulan ini, Halwa curahkan semuanya kepada kedua orang tuanya itu, sambil sesengukan ia menceritakan semuanya, tidak ada satupun yang ia sembunyikan."Aku sudah hancur sekarang, Ma, Pa. Pria itu sudah menghancurkan masa depanku," isak Halwa, airmatanya masih terus membasahi celana pajang mamanya.Orang tua mana yang tidak akan bersedih mendengar nasib malang yang menimpa putrinya, tidak terkecuali dengan mama dan papanya Halwa.Halwa dapat merasakan tetesan air mata mamanya yang jatuh ke kepala Halwa, tapi Halwa tetap bergeming, ia tetap merebahkan kepalanya di atas pangkuan mama
"Kenapa aku harus ke Psikiater?" tanya Halwa keesokan harinya. Mama merangkul pundak Halwa, "Untuk membantumu supaya lebih cepat pulih dari trauma itu, Sayang. Dan bukan di sini, kamu akan memulai konsultasi saat sudah berada di Spanyol nanti," jawabnya. "Dimana Victor? Aku belum melihatnya pagi ini?" tanya Halwa. "Dia dan Papa sedang mengurus dokumen kepindahan kita. Beruntung kamu menemukan pria sebaik dia Aira," jawab mama sambil merapikan rambut Halwa, "Mau Mama kuncir?" tanyanya dan Halwa menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak bisa mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, bahkan hanya sekedar untuk mengikat rambutnya. Akibat dari tendangan keras di bahunya hingga menyebabkan tulang lengan atas bergeser dari soket bahunya. "Tunggu sebantar, Mama ambil sisir dan ikat rambut dulu," ujar mamanya sambil berdiri, lalu melangkah ke dalam kamar Halwa. Bosan hanya duduk-duduk saja sejak tadi, Halwa melangkahkan kakinya dengan pelan ke halaman rumahnya. Desanya ini berada d
Desa Albarracin, Spanyol. Salah satu desa terindah di dunia. Desa yang menyajikan panorama abad pertengahan yang sangat kental, rumah-rumah di desa ini rata-rata dibangun di atas bukit, dengan material-material yang ringan, begitu juga dengan rumah peristirahatan Victor ini. Dari jendela kamarnya Halwa dapat melihat ke sekeliling desa itu, dan ia merasa seperti tinggal di abad pertengahan, dengan banyaknya benteng batu yang menghiasi sudut kota, dan bukit-bukit tandus yang mengelilingi desa yang berada di wilayah tengah Aragon ini, meski demikian udaranya terasa sejuk. Di gang-gang sempit desa ini terdapat jalur-jalur yang berliku, yang mengarah ke menara-menara batu kuno, istana-istana dan juga kapel-kapel, serta situs bersejarah lainnya. "Kamu tidak istirahat, Aira?" tanya mama, "Tidurlah sebentar, kamu tidak tidur selama di pesawat." Halwa "Aku takut, Ma. Aku selalu merasa ketakutan saat akan beranjak tidur. Aku takut mimpi buruk lagi," jawab Halwa. "Besok Victor akan men
"Bagaimana terapinya?" tanya Edzhar ketika Halwa sudah keluar dari ruang konseling."Berjalan dengan lancar, Tuan." jawab Halwa pelan. Terapinya tidak jauh berbeda dengan yang pernah ia jalani saat di Spanyol bersama dengan Victor, entah terapi ini akan berhasil atau tidak? Secara ia sekarang tinggal dengan sumber dari segala ketakutannya itu, Edzhar.Tapi pria itu kini sudah sedikit berubah, dia tidak terlihat bengis lagi seperti biasanya, kini Edzhar terlihat seperti saat pertama kali Halwa melihatnya, tampan dengan aura yang terlihat berbeda dari yang lainnya."Berhenti memanggilku Tuan lagi! Mulai sekarang kau bisa memanggil namaku saja," ujar Edzhar sambil mengulurkan lengannya ke Halwa.Halwa tahu, itu merupakan kode darinya agar Halwa merangkul lengannya itu. Takut pria itu marah kalau Halwa menolaknya, ia langsung melingkarkan lengannya di lengan Edzhar."Apa kau menginginkan makanan tertentu?" tanya Edzhar."Maksudmu ngidam? Tidak, aku tidak merasakannya," jawab Halwa, ia me
"Günaydın!" sapa Edzhar ketika Halwa baru saja membuka matanya, dan mendapati Edzhar yang berdiri di sampingnya.Seketika itu juga Halwa langsung duduk, "Maaf, aku kesiangan!" ucapnya. Ia takut Edzhar akan marah karenanya.Alih-alih marah, Edzhar malah tersenyum lembut. Pria itu benar-benar tersenyum padanya, 'Apakah aku sedang bermimpi?'"Kau tidak perlu terburu-buru bangun seperti tadi, bagaimana kalau perutmu kram lagi?" nada lembut di dalam suara Edzhar itu membuat Halwa mengerutkan keningnya."A ... Aku sudah tidak merasakan kram itu lagi."Sambil terus tersenyum, Edzhar duduk dipinggir tempat tidur, refleks Halwa beringsut mundur saat tangan Edzhar terarah ke wajahnya, dengan kedua bola matanya yang melebar ketakutan, membuat tangan pria itu terhenti di udara.'Wanita ini masih takut padaku, aku harus bersabar. Bagaimanapun juga aku yang menyebabkan dia trauma.'"Mandilah, Anne sudah menunggu kita di bawah!" seru Edzhar sebelum berdiri dan duduk di sofa santainya, ia mengulurk
"Nona Halwa mengalami trauma berkepanjangan, yang biasa juga disebut dengan Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD," ujar psikiater itu."PTSD? Apa maksudnya?" tanya Edzhar."PTSD itu gangguan secara emosi berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, ketakutan, serta depresi akibat peristiwa traumatis yang dialami, yang biasanya telah terjadi selama lebih dari tiga puluh hari. Dalam hal ini, sepertinya Nona Halwa trauma terhadap berbagai peristiwa yang menakutkan di dalam hidupnya, yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini," jawab psikiater itu."Lalu apa yang akan kau lakukan untuk menghilangkan traumanya itu?""Saya akan melakukan terapi psikologis untuknya berupa manajemen ansietas, terapi kognitif, dan juga terapi exposure. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah dukungan dari keluarganya, untuk mendampinginya melewati masa trauma ini, terutama dari anda sebagai suaminya.""Kapan prosesnya bisa di mulai?"Sesegera mungkin Nona Halwa harus melakukan psiko
Edzhar duduk di sofa santainya, dengan kedua kaki yang saling tumpang tindih di atas meja. Jemari tangannya saling bertautan di atas perutnya yang rata, sementara kedua matanya menatap penuh wanita yang saat ini sedang tidur di atas tempat tidurnya.Sesekali Edzhar melihat kening Halwa yang mengernyit, seperti menahan sesuatu yang tengah menyiksanya. Mungkinkah wanita itu tengah bermimpi buruk?Mendapatkan luka sedalam itu, pasti sangat menyakitkan untuknya, dan entah kenapa ada reaksi primitif di dalam diri Edzhar saat pertama kali melihat bekas luka itu."Tuan, Nona Halwa terlibat pertengkaran lagi dengan Teman satu selnya!" lapor Yas, hampir setiap hari Yas melaporkan itu selama Halwa berada di dalam penjara.Saat itu Edzhar tidak mempedulikannya, ia menganggap itu hanyalah akting Halwa supaya ia merasa iba dan mengeluarkannya dari dalam penjara itu. Tapi alih-alih mengeluarkannya, Edzhar justru tetap menempatkan wanita itu di sel yang sama, dan tidak berniat sama sekali untuk memi
Siang harinya, Victor beserta yang lainnya pamit kembali ke Istanbul, sebelum melanjutkan kembali perjalanan mereka ke Jakarta. Kota yang sudah sangat Halwa rindukan itu, tempat ia menghabiskan hampir dari seluruh hidupnya di sana.Halwa tidak berani menatap Victor, selain takut membuat Edzhar murka, ia juga takut tidak akan bisa menahan dirinya untuk menghambur ke arah pria itu, lalu memohon padanya untuk menyelamatkan kembali dirinya dari neraka yang Edzhar ciptakan ini untuknya.Mereka melambaikan tangannya saat mobil yang mereka tumpangi bergerak keluar dari halaman rumah Anne. Dan Halwa seolah-olah merasa kehilangan sesuatu yang penting, yang tidak akan mungkin ia dapatkan kembali, dan itu membuat hatinya terasa sakit.Ia memang mencintai Edzhar. Ia tidak tahu kenapa ia masih saja mencintai Edzhar ketika pria itu telah berkali-kali membuatnya terluka, bahkan kenangan menyakitkan selama di dalam penjara saja belum hilang sepenuhnya dari dalam dirinya, mungkin inilah maksud dari ka
"Kau boleh keluar sekarang! Dan jaga pintu itu dengan nyawamu!" perintah Edzhar pada Yas. Yas sedikit menundukkan kepalanya sebelum melangkah keluar kamar, lalu berjaga di depan pintu masuknya. Setelah mengunci pintu, Edzhar melangkahkan kakinya ke arah Halwa, yang tengah duduk di salah satu sofa sudutnya. Cahaya lampu kamarnya lumayan terang, hingga ia dapat melihat dengan jelas kedua mata Halwa yang membelalak ketakutan sejak ia memasuki kamar. "Apa kau sudah lupa dengan apa yang sudah pernah saya tegaskan?" tanya Edzhar dengan sikap dingin, dengan ekspresi wajah yang sama dinginnya. Halwa langsung beringsut di kursinya, "A ... Apa maksudmu?" tanyanya. Edzhar meletakkan kedua tangannya di sisi sofa, mengungkung Halwa di bawahnya, membuat wanita itu semakin terlihat ketakutan. "Saya dengan tegas sudah mengatakan untuk berpura-pura tidak mengenali Victor saat kau bertemu kembali dengannya! Tapi
"Ya, tapi aku ragu itu anakku. Bisa saja itu anak salah satu sipir penjara, Halwa sendiri yang mengakui itu padaku!"Jawabannya seperti menyiram minyak ke dalam api, karena amarah yang sejak tadi berusaha ditahan Victor, kini tidak bisa dibendung lagi.Sambil mengepalkan kedua tangannya, Victor langsung berderap ke arah Edzhar, dan baru akan kembali meninjunya kalau saja Ethan dan Levin tidak menahannya, dan mendudukkannya kembali di kursinya."Tahan dirimu, Vic! Apa kau mau meberikan Ed kepuasan dengan melihatmu kehilangan kendali diri seperti ini? Itu tujuan dia memprovokasimu!" bisik Ethan di telinga Victor."Kenapa tidak kalian biarkan saja dia meninjuku kembali? Kali ini aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja! Aku akan memastikannya meringkuk di balik jeruji besi walau hanya satu malam saja!" cibir Edzhar sambil tersenyum sinis."Aku tahu kau menekannya untuk bersedia menikah denganmu!" geram Victor."Tidak. Seperti
"Edzhar, ada apa ini? Cepat jelaskan kenapa pembantu itu bisa menjadi istrimu? Kenapa kau menikah tanpa izin dari Anne terlebih dahulu?" cecar anne, tapi Edzhar masih terus mengabaikannya."Aku akan tetap membawa Aya dari sini!' tegas Victor."Silahkan bawa wanita itu, kalau memang wanita itu bersedia pergi denganmu!" balas Edzhar."Edzhar!" tegur anne lagi, kali ini ia baru mendapatkan perhatian dari putranya itu,"Apa makan malam sudah siap, Anne?" tanyanya dengan nada lembut."Sudah, sekarang lebih baik kita segera memulai makan malam ini, sambil kamu menjelaskan kenapa bisa kamu diam-diam sudah menikah?""Baiklah kalau begitu. Silahkan nikmati makan malam kalian!' seru Edzhar sambil melenggang pergi."Kamu mau ke mana?" tanya anne saat melihat putranya itu melangkah ke arah yang berlawanan dengan ruang makan.Edzhar menghentikan langkahnya, lalu balik badan ke arah anne sambil merentangkan kedua tangannya,
Edzhar terus mengeluarkan sumpah serapahnya saat Victor memeluk Halwa, dan membisikkan kata-kata lembut di telinganya, "Ssttt! Tenanglah, Aya. Ini aku Victor," bujuknya sambil mengelus punggung Halwa. Halwa masih terlihat memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Victor, "Lepaskan aku! Tolong lepaskan aku," isaknya. Victor menangkup pipi Halwa, dan menatapnya dengan lembut, "Aya! Look, I'm here for you, no matter what! I'm here to protect you!" Perlahan kesadaran Halwa mulai kembali, awalnya ia mengira ini hanyalah mimpi, tidak mungkin kan Victor ada di sini? Di perkebunan Edzhar? Tapi suara lembut yang sangat dikenalnya itu mampu menyelusup masuk ke dalam dirinya, "Aya! Ini aku, Victor." Aya, hanya pria itu saja yang memanggilnya seperti itu. Dan kini Halwa sudah sepenuhnya sadar, meski tubuhnya teramat sangat letih, sebentar lagi ia pasti akan