"Kenapa aku harus ke Psikiater?" tanya Halwa keesokan harinya.
Mama merangkul pundak Halwa, "Untuk membantumu supaya lebih cepat pulih dari trauma itu, Sayang. Dan bukan di sini, kamu akan memulai konsultasi saat sudah berada di Spanyol nanti," jawabnya. "Dimana Victor? Aku belum melihatnya pagi ini?" tanya Halwa. "Dia dan Papa sedang mengurus dokumen kepindahan kita. Beruntung kamu menemukan pria sebaik dia Aira," jawab mama sambil merapikan rambut Halwa, "Mau Mama kuncir?" tanyanya dan Halwa menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak bisa mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, bahkan hanya sekedar untuk mengikat rambutnya. Akibat dari tendangan keras di bahunya hingga menyebabkan tulang lengan atas bergeser dari soket bahunya. "Tunggu sebantar, Mama ambil sisir dan ikat rambut dulu," ujar mamanya sambil berdiri, lalu melangkah ke dalam kamar Halwa. Bosan hanya duduk-duduk saja sejak tadi, Halwa melangkahkan kakinya dengan pelan ke halaman rumahnya. Desanya ini berada di bawah gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Desa yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, berupa pemandangan Gunung Sangkareang dan Gunung Rinjani yang gagah. Halwa memanjakan matanya dengan hamparan sawah yang luas, lalu menghirup udara sejuk itu dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan pelan. Bahkan ketenangan dan kesejukan kampungnya ini, tidak mampu menenangkan hatinya, yang masih saja terus bergejolak dengan berbagai macam pikiran dan perasaan yang campur aduk menjadi satu. "Sepertinya baru kemarin Mama melihatmu bermain di sawah itu dan mengotori badan dan juga bajumu. Kamu tertawa riang saat Papa mencoreng wajahmu dengan tanah," gumam mama. "Kenapa aku bisa sesial ini, Ma?" tanya Halwa dengan suara lirih. Mama mulai menyisiri rambut panjang Halwa, "Semua sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan, Sayang. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Sambil terus berdoa semoga saja ada hikmah dibalik semua kejadian yang menimpamu ini." "Aku merindukan Tita. Aku merindukan kebersamaan kami," desah Halwa pelan. "Semoga Tita tenang di alamnya. Dan semoga dia segera memberikan petunjuk pada kekasih gilanya itu siapa pembunuh sebenarnya." Halwa balik badan dan memeluk mamanya, "Aku mau melakukan itu, Ma. Aku mau terapi ke psikiater manapun untuk menghilangkan semua ingatan burukku itu. Ya mungkin aku tidak akan bisa menghilangkan kenangan buruk itu dari ingatanku untuk selamanya, tapi setidaknya aku mau tegar meski ingatan itu terus datang, Ma. Aku tidak mau terus tersiksa setiap kali mengingatnya." Dengan lembut mama menepuk-nepuk punggung Halwa, "Victor sudah mengurusnya, Sayang. sesampainya kita di Spanyol nanti, kamu bisa langsung memulai konsultasinya." "Iya..." "Kamu mau makan apa? Biar Mama masakkan untukmu," tanya mama sambil menjauhkan sedikit badannya untuk menatap lembut putrinya itu. "Apapun masakan Mama aku menyukai semuanya," jawab Halwa. Biasanya ia akan menjawabnya sambil tersenyum lebar, tapi sejak saat itu, senyum seperti menghilang dari wajahnya. Yang bisa dengan mudah dilakukan wajahnya saat ini hanyalah meringis, atau mengerutkan keningnya. "Ya sudah, kamu mau menemani Mama masak?" Halwa menggelengkan kepalanya, "Aku di sini saja, Ma. Aku mau menikmati pemandangan indah ini, yang mungkin tidak bisa aku dapatkan di Eropa nanti." Mama menggeser bangku rotan ke sebelah Halwa, "Duduklah, jangan terlalu lelah dulu," serunya. Dengan patuh Halwa duduk di kursi itu, dan menyandarkan punggungnya yang rapuh ke sandaran kursi. Usianya belum genap dua puluh lima tahun, tapi tulang belulangnya tidak ada bedanya dengan para manula, semua terasa linu ketika digerakkan, akibat dari siksaan hebat di dalam penjara. "Mama masak dulu ya," ujarnya sambil mencium puncak kepala Halwa, dan Halwa hanya menganggukkan kepalanya. Semilir angin dingin pegunungan memainkan rambut panjangnya, seolah-olah sedang menina bobokan Halwa, hingga tidak lama kemudian Halwapun terbuai di alam mimpinya. "Patahkan saja tulang-tulangnya! Tuan Murat mengizinkan kita melakukan apapun, selama tidak membuatnya mati!" Seluruh tubuh Halwa bergetar hebat saat mendengar suara salah satu wanita dari sel yang sama dengannya itu berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih, ketika Halwa sedang berjongkok menyikat lantai. Murat? Edzhar Murat? Pria itu masih belum puas juga menyiksaku? tanya Halwa di dalam hatinya. Lalu seseorang menendang punggungnya hingga Halwa jatuh telungkup, belum sempat Halwa bangun kaki lainnya kembali menendangnya bertubi-tubi, mereka tidak menghiraukan pekik kesakitan Halwa, seolah-olah hati para wanita itu terbuat dari batu karena begitu hebatnya mereka menyiksa sesama wanita. "Aarrgghhh!" jerit kesakitan Halwa saat seseorang menendang bahunya sekencang mungkin, hingga Halwa dapat merasakan tulang bahunya yang bergeser. Tidak berhenti sampai disitu, Halwa kembali menjerit kesakitan ketika seseorang melukai pinggangnya dengan patahan sapu hingga menyebabkan luka sobek sepanjang lima centi meter yang memanjang dari pinggang ke perutnya. "Argghh! Sakit! Stop! Berhenti! Please!" teriak Halwa, tangan Halwa bergerak seolah-olah ingin menggapai sesuatu untuknya berpegangan untuknya terhindar dari siksaan itu, atau untuk meminta pertolongan seseorang. Dan Halwa berhasil meraih tangan seseorang, bersamaan dengan suara lembut yang berhasil menelusup masuk ke dalam telinganya disela-sela kebisingan dan tawa jahat narapidana lainnya, "Aira, bangun Aira. Kamu sudah aman sekarang. Keluarlah dari mimpi buruk itu!" seru suara itu. Halwa masih terus berontak, dan tangan itu tetap menggenggam tangannya dan tidak mau melepaskannya, "Tidak! Bukan aku. Aku tidak bersalah! Aku tidak tahu apa-apa!" teriaknya. "Aira, Aku tahu bukan kamu pelakunya. Sekarang buka matamu, dan kamu akan merasa aman," bisik suara lembut itu. Kelopak mata Halwa mulai bergerak, dan perlahan matanya terbuka, Victor sedang menunduk di atasnya, dengan kedua tangannya yang masih menggenggam erat tangan Halwa. "Apa aku mimpi buruk lagi? Apa aku teriak-teriak lagi seperti orang sakit jiwa?" tanyanya lirih. "Tidak apa-apa, tidak ada yang mendengarmu," jawab Victor menenangkan Halwa. Teringat dengan sesuatu Halwa langsung menarik lepas tangannya dari genggaman Victor, dan langsung mengangkat kaos hariannya hingga menampakkan kulit putihnya, dan napasnya tercekat saat melihat luka yang memanjang itu, yang dijahit secara asal di klinik penjara itu, seketika air matanya kembali mengalir. "Aku cacat, luka ini terlihat jelek sekali," isaknya. Victor menggeser kursi rotan ke samping kursi Halwa, "Jangan pikirkan bekas luka itu. Sekarang pikirkan pengobatanmu saja. Sesampainya di Spanyol nanti, kita mulai dari mengoperasi tulang bahumu yang geser itu, kamu pasti tersiksa karenanya. Semakin lama menunda pengobatan semakin lama juga sembuhnya. Sebagai seorang dokter kamu pasti tahu itu ... " Halwa menatap penuh mata Victor. "Kamu tahu tulang bahuku geser?" tanyanya. "Ya, dari caramu meringis setiap kali kamu menggerakkan tangan kirimu. Tapi aku tidak mau mengambil resiko dengan melakukan operasi itu di sini, Edzhar akan segera mengetahui keberadaanmu," jelas Victor. "Kenapa kamu baik sekali padaku, Vic?" tanya Halwa sambil menghapus air matanya. "Aku hanya tidak ingin bunga yang paling indah ini menjadi layu. Aku akan terus merawatnya hingga terus mekar selama-lamanya," jawab Victor.Desa Albarracin, Spanyol. Salah satu desa terindah di dunia. Desa yang menyajikan panorama abad pertengahan yang sangat kental, rumah-rumah di desa ini rata-rata dibangun di atas bukit, dengan material-material yang ringan, begitu juga dengan rumah peristirahatan Victor ini. Dari jendela kamarnya Halwa dapat melihat ke sekeliling desa itu, dan ia merasa seperti tinggal di abad pertengahan, dengan banyaknya benteng batu yang menghiasi sudut kota, dan bukit-bukit tandus yang mengelilingi desa yang berada di wilayah tengah Aragon ini, meski demikian udaranya terasa sejuk. Di gang-gang sempit desa ini terdapat jalur-jalur yang berliku, yang mengarah ke menara-menara batu kuno, istana-istana dan juga kapel-kapel, serta situs bersejarah lainnya. "Kamu tidak istirahat, Aira?" tanya mama, "Tidurlah sebentar, kamu tidak tidur selama di pesawat." Halwa "Aku takut, Ma. Aku selalu merasa ketakutan saat akan beranjak tidur. Aku takut mimpi buruk lagi," jawab Halwa. "Besok Victor akan men
Dengan kedua telapak tangan bersandar pada kaca besar ruang kerjanya, Edzhar terlihat seperti sedang menikmati pemandangan ibu kota, yang dipenuhi dengan gedung-gedung bertingkat, dan kendaraan yang padat merayap. Tapi sebenarnya pikirannya sedang tersita pada sosok wanita yang ia cari-cari selama ini. Sudah satu bulan lebih anak buah Edzhar belum bisa menemukan keberadaannya, Halwa. Wanita yang sudah menyebabkan kekasihnya bunuh diri. Kedua matanya masih menyala-nyala dengan api dendam. Ia belum puas memberi pelajaran pada wanita itu, tapi seseorang telah berhasil mengeluarkannya dari dalam penjara. Edzhar selalu bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa sosok yang sudah berani menantangnya itu? Dan sampai kini pun ia belum menemukan para pria yang sudah melecehkan kekasihnya itu. Semua yang terlibat di dalam insiden itu seperti menghilang di telan bumi, termasuk Halwa. "Sampai aku bisa menemukanmu, habis kau Halwa!!" geram Edzhar sambil mengepalkan kedua tangannya. Sesaat kemudian
Pria yang dipanggil Yas langsung menyerahkan tabletnya pada Halwa, dan Halwa merasa nyawanya tercabut dari raganya saat itu juga, saat ia melihat tayangan video orang tuanya yang tengah disekap entah dimana.Halwa menjatuhkan tablet itu dan langsung mencengkram lengan Edzhar,"Jangan sakiti mereka, please! Aku saja. Sakiti aku saja jangan mereka," isaknya."Mulai saat ini, turuti keinginan saya!" tegas Edzhar sambil menepis tangan Halwa."Ya, Aku akan menuruti apapun maumu." "Ingat! Kalau kau sampai mencoba untuk bunuh diri lagi, orang tuamu juga akan segera menyusulmu! Kalau kau mencoba kabur dari saya lagi, saya akan memotong bagian tubuh orang tuamu itu setiap harinya sampai kau kembali! Mengerti?" ancam Edzhar dan dengan cepat Halwa menganggukkan kepalanya."Sekarang katakan padaku, bagaimana Victor bisa membantumu?" "A ... Aku tidak tahu. Terakhir aku ingat aku memutus nadiku sendiri di kamar mandi, dan aku terba
"Jangan takut, Nona. Kami hanya akan merias wajahmu dan merapikan rambutmu," jawab salah satu dari mereka dengan lembut sambil mendudukkan Halwa di kursi meja riasnya. "Meriasku? Untuk apa?" Halwa melihat kedua wanita itu saling tatap dengan bingung dari cerminnya, sepertinya kedua wanita itupun tidak mengetahui apa tujuan dari pria iblis itu menyuruh mereka merias Halwa. 'Apa pria itu mau menjualku? Ya Tuhan! Aku takut sekali. Aku tidak bisa meminta bantuan pada siapapun, bahkan ponselpun aku tidak pegang, semua disita Edzhar.' desah Halwa dalam hati. Halwa membiarkan kedua wanita itu meriasnya, juga menata rambut panjangnya, protes pun akan percuma, karena sudah jelas kedua wanita itu pasti lebih takut pada Edzhar. Halwa menatap pantulan dirinya di cermin, ia bukanlah tipe wanita yang suka berhias diri, berbeda dengan sahabatnya Tita, yang selalu berhias dan berpakaian serba modis kemanapun wanita itu pergi
"Pe ... Pernikahan? Ke ... Kenapa kamu menikahiku?" tanya Halwa tergagap."Seperti yang sudah saya bilang tadi, kau harus membayar kesalahanmu seumur hidupmu! Kalau seseorang bisa membebaskanmu dari penjara, maka tidak akan ada yang bisa membebaskanmu dari penjaraku! Dan saya akan pastikan, kau akan mendapatkan nerakamu di dalam pernikahan ini!" jawab Edzhar dengan nada dingin yang menusuk.'Ya Tuhan! Sampai kapan pria itu akan sadar, kalau bukan aku lah yang mengajak Tita ke kapal pesiar itu?' tanya Halwa dalam hati.Edzhar turun terlebih dahulu, dan Yas membukakan pintu untuk Halwa. Ingin rasanya Halwa melarikan diri dari sana, ia tidak mau menikahi monster itu. Tapi Halwa segera mengurungkan niatnya itu ketika teringat, kalau kedua orang tuanya masih berada di dalam genggaman pria itu.Pernikahannya sendiri berjalan cepat, dan Halwa tidak terlalu mengikuti prosesnya, ia masih shock dengan kenyataan, kalau mulai hari ini ia sudah menja
"Ed, bangun Ed!" seru anne sambil menggoyang-goyangkan bahu Edzhar.Edzhar hanya bergumam pelan, sebelum menarik lagi selimut untuk menutupi dada terbukanya, dan kembali tertidur.Sambil mendesah kesal, anne kembali menyibak selimut Edzhar dan menggoyangkan bahu Edzhar lagi, kali ini dengan lebih kencang, "Ed!!""Ada apa? Kenapa membangunkanku? Aku masih ngantuk," tanya Edzhar sambil menghalau matanya yang silau karena cahaya lampu dengan telapak tangannya."Pembantumu itu kabur!" jawab anne.Sontak Edzhar langsung terduduk, "Kabur?" ulangnya."Iya! Kabur!"Edzhar menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin dia bisa kabur, Anne. Akses kendaraan umum dua puluh kilo meter jauhnya dari rumah ini! Belum lagi dengan banyaknya anak buahku, mereka tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja!" 'Wanita itu tidak akan berani kabur, karena aku masih menahan kedua orang tuanya. Dan wanita itu tidak bodoh dengan tidak
Victor sedang mendengarkan laporan keuangan yang terdiri atas laporan perubahan modal, neraca akhir tahun buku baru untuk dibandingkan dengan tahun buku sebelumnya, beserta laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan, dan juga laporan arus kas, serta catatan atas laporan keuangan dari data tersebut ketika ponselnya berbunyi. Satu kali berdering ia masih mengabaikannya, hingga deringan ketiga ia baru mengeluarkan ponselnya dari dalam saku jasnya, lalu mengarahkan tangannya untuk menghentikan sejenak rapat umum pemegang saham itu ketika melihat nama yang tertera di layarnya. Tanpa membuang waktu lagi, Victor segera menerima panggilan telepon dari Delon, salah satu bodyguardnya yang ia tugaskan untuk menjaga Halwa dan keluarganya itu, jantungnya mulai berdetak hebat, berbagai pikiran terburuk melintas silih berganti di benaknya, "Ada apa?" tanyanya dengan nada khawatir. "Nona
Edzhar terus mengeluarkan sumpah serapahnya saat Victor memeluk Halwa, dan membisikkan kata-kata lembut di telinganya, "Ssttt! Tenanglah, Aya. Ini aku Victor," bujuknya sambil mengelus punggung Halwa. Halwa masih terlihat memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Victor, "Lepaskan aku! Tolong lepaskan aku," isaknya. Victor menangkup pipi Halwa, dan menatapnya dengan lembut, "Aya! Look, I'm here for you, no matter what! I'm here to protect you!" Perlahan kesadaran Halwa mulai kembali, awalnya ia mengira ini hanyalah mimpi, tidak mungkin kan Victor ada di sini? Di perkebunan Edzhar? Tapi suara lembut yang sangat dikenalnya itu mampu menyelusup masuk ke dalam dirinya, "Aya! Ini aku, Victor." Aya, hanya pria itu saja yang memanggilnya seperti itu. Dan kini Halwa sudah sepenuhnya sadar, meski tubuhnya teramat sangat letih, sebentar lagi ia pasti akan
"Bagaimana terapinya?" tanya Edzhar ketika Halwa sudah keluar dari ruang konseling."Berjalan dengan lancar, Tuan." jawab Halwa pelan. Terapinya tidak jauh berbeda dengan yang pernah ia jalani saat di Spanyol bersama dengan Victor, entah terapi ini akan berhasil atau tidak? Secara ia sekarang tinggal dengan sumber dari segala ketakutannya itu, Edzhar.Tapi pria itu kini sudah sedikit berubah, dia tidak terlihat bengis lagi seperti biasanya, kini Edzhar terlihat seperti saat pertama kali Halwa melihatnya, tampan dengan aura yang terlihat berbeda dari yang lainnya."Berhenti memanggilku Tuan lagi! Mulai sekarang kau bisa memanggil namaku saja," ujar Edzhar sambil mengulurkan lengannya ke Halwa.Halwa tahu, itu merupakan kode darinya agar Halwa merangkul lengannya itu. Takut pria itu marah kalau Halwa menolaknya, ia langsung melingkarkan lengannya di lengan Edzhar."Apa kau menginginkan makanan tertentu?" tanya Edzhar."Maksudmu ngidam? Tidak, aku tidak merasakannya," jawab Halwa, ia me
"Günaydın!" sapa Edzhar ketika Halwa baru saja membuka matanya, dan mendapati Edzhar yang berdiri di sampingnya.Seketika itu juga Halwa langsung duduk, "Maaf, aku kesiangan!" ucapnya. Ia takut Edzhar akan marah karenanya.Alih-alih marah, Edzhar malah tersenyum lembut. Pria itu benar-benar tersenyum padanya, 'Apakah aku sedang bermimpi?'"Kau tidak perlu terburu-buru bangun seperti tadi, bagaimana kalau perutmu kram lagi?" nada lembut di dalam suara Edzhar itu membuat Halwa mengerutkan keningnya."A ... Aku sudah tidak merasakan kram itu lagi."Sambil terus tersenyum, Edzhar duduk dipinggir tempat tidur, refleks Halwa beringsut mundur saat tangan Edzhar terarah ke wajahnya, dengan kedua bola matanya yang melebar ketakutan, membuat tangan pria itu terhenti di udara.'Wanita ini masih takut padaku, aku harus bersabar. Bagaimanapun juga aku yang menyebabkan dia trauma.'"Mandilah, Anne sudah menunggu kita di bawah!" seru Edzhar sebelum berdiri dan duduk di sofa santainya, ia mengulurk
"Nona Halwa mengalami trauma berkepanjangan, yang biasa juga disebut dengan Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD," ujar psikiater itu."PTSD? Apa maksudnya?" tanya Edzhar."PTSD itu gangguan secara emosi berupa mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, ketakutan, serta depresi akibat peristiwa traumatis yang dialami, yang biasanya telah terjadi selama lebih dari tiga puluh hari. Dalam hal ini, sepertinya Nona Halwa trauma terhadap berbagai peristiwa yang menakutkan di dalam hidupnya, yang terjadi dalam beberapa bulan belakangan ini," jawab psikiater itu."Lalu apa yang akan kau lakukan untuk menghilangkan traumanya itu?""Saya akan melakukan terapi psikologis untuknya berupa manajemen ansietas, terapi kognitif, dan juga terapi exposure. Tapi yang jauh lebih penting dari itu adalah dukungan dari keluarganya, untuk mendampinginya melewati masa trauma ini, terutama dari anda sebagai suaminya.""Kapan prosesnya bisa di mulai?"Sesegera mungkin Nona Halwa harus melakukan psiko
Edzhar duduk di sofa santainya, dengan kedua kaki yang saling tumpang tindih di atas meja. Jemari tangannya saling bertautan di atas perutnya yang rata, sementara kedua matanya menatap penuh wanita yang saat ini sedang tidur di atas tempat tidurnya.Sesekali Edzhar melihat kening Halwa yang mengernyit, seperti menahan sesuatu yang tengah menyiksanya. Mungkinkah wanita itu tengah bermimpi buruk?Mendapatkan luka sedalam itu, pasti sangat menyakitkan untuknya, dan entah kenapa ada reaksi primitif di dalam diri Edzhar saat pertama kali melihat bekas luka itu."Tuan, Nona Halwa terlibat pertengkaran lagi dengan Teman satu selnya!" lapor Yas, hampir setiap hari Yas melaporkan itu selama Halwa berada di dalam penjara.Saat itu Edzhar tidak mempedulikannya, ia menganggap itu hanyalah akting Halwa supaya ia merasa iba dan mengeluarkannya dari dalam penjara itu. Tapi alih-alih mengeluarkannya, Edzhar justru tetap menempatkan wanita itu di sel yang sama, dan tidak berniat sama sekali untuk memi
Siang harinya, Victor beserta yang lainnya pamit kembali ke Istanbul, sebelum melanjutkan kembali perjalanan mereka ke Jakarta. Kota yang sudah sangat Halwa rindukan itu, tempat ia menghabiskan hampir dari seluruh hidupnya di sana.Halwa tidak berani menatap Victor, selain takut membuat Edzhar murka, ia juga takut tidak akan bisa menahan dirinya untuk menghambur ke arah pria itu, lalu memohon padanya untuk menyelamatkan kembali dirinya dari neraka yang Edzhar ciptakan ini untuknya.Mereka melambaikan tangannya saat mobil yang mereka tumpangi bergerak keluar dari halaman rumah Anne. Dan Halwa seolah-olah merasa kehilangan sesuatu yang penting, yang tidak akan mungkin ia dapatkan kembali, dan itu membuat hatinya terasa sakit.Ia memang mencintai Edzhar. Ia tidak tahu kenapa ia masih saja mencintai Edzhar ketika pria itu telah berkali-kali membuatnya terluka, bahkan kenangan menyakitkan selama di dalam penjara saja belum hilang sepenuhnya dari dalam dirinya, mungkin inilah maksud dari ka
"Kau boleh keluar sekarang! Dan jaga pintu itu dengan nyawamu!" perintah Edzhar pada Yas. Yas sedikit menundukkan kepalanya sebelum melangkah keluar kamar, lalu berjaga di depan pintu masuknya. Setelah mengunci pintu, Edzhar melangkahkan kakinya ke arah Halwa, yang tengah duduk di salah satu sofa sudutnya. Cahaya lampu kamarnya lumayan terang, hingga ia dapat melihat dengan jelas kedua mata Halwa yang membelalak ketakutan sejak ia memasuki kamar. "Apa kau sudah lupa dengan apa yang sudah pernah saya tegaskan?" tanya Edzhar dengan sikap dingin, dengan ekspresi wajah yang sama dinginnya. Halwa langsung beringsut di kursinya, "A ... Apa maksudmu?" tanyanya. Edzhar meletakkan kedua tangannya di sisi sofa, mengungkung Halwa di bawahnya, membuat wanita itu semakin terlihat ketakutan. "Saya dengan tegas sudah mengatakan untuk berpura-pura tidak mengenali Victor saat kau bertemu kembali dengannya! Tapi
"Ya, tapi aku ragu itu anakku. Bisa saja itu anak salah satu sipir penjara, Halwa sendiri yang mengakui itu padaku!"Jawabannya seperti menyiram minyak ke dalam api, karena amarah yang sejak tadi berusaha ditahan Victor, kini tidak bisa dibendung lagi.Sambil mengepalkan kedua tangannya, Victor langsung berderap ke arah Edzhar, dan baru akan kembali meninjunya kalau saja Ethan dan Levin tidak menahannya, dan mendudukkannya kembali di kursinya."Tahan dirimu, Vic! Apa kau mau meberikan Ed kepuasan dengan melihatmu kehilangan kendali diri seperti ini? Itu tujuan dia memprovokasimu!" bisik Ethan di telinga Victor."Kenapa tidak kalian biarkan saja dia meninjuku kembali? Kali ini aku tidak akan membiarkannya lolos begitu saja! Aku akan memastikannya meringkuk di balik jeruji besi walau hanya satu malam saja!" cibir Edzhar sambil tersenyum sinis."Aku tahu kau menekannya untuk bersedia menikah denganmu!" geram Victor."Tidak. Seperti
"Edzhar, ada apa ini? Cepat jelaskan kenapa pembantu itu bisa menjadi istrimu? Kenapa kau menikah tanpa izin dari Anne terlebih dahulu?" cecar anne, tapi Edzhar masih terus mengabaikannya."Aku akan tetap membawa Aya dari sini!' tegas Victor."Silahkan bawa wanita itu, kalau memang wanita itu bersedia pergi denganmu!" balas Edzhar."Edzhar!" tegur anne lagi, kali ini ia baru mendapatkan perhatian dari putranya itu,"Apa makan malam sudah siap, Anne?" tanyanya dengan nada lembut."Sudah, sekarang lebih baik kita segera memulai makan malam ini, sambil kamu menjelaskan kenapa bisa kamu diam-diam sudah menikah?""Baiklah kalau begitu. Silahkan nikmati makan malam kalian!' seru Edzhar sambil melenggang pergi."Kamu mau ke mana?" tanya anne saat melihat putranya itu melangkah ke arah yang berlawanan dengan ruang makan.Edzhar menghentikan langkahnya, lalu balik badan ke arah anne sambil merentangkan kedua tangannya,
Edzhar terus mengeluarkan sumpah serapahnya saat Victor memeluk Halwa, dan membisikkan kata-kata lembut di telinganya, "Ssttt! Tenanglah, Aya. Ini aku Victor," bujuknya sambil mengelus punggung Halwa. Halwa masih terlihat memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Victor, "Lepaskan aku! Tolong lepaskan aku," isaknya. Victor menangkup pipi Halwa, dan menatapnya dengan lembut, "Aya! Look, I'm here for you, no matter what! I'm here to protect you!" Perlahan kesadaran Halwa mulai kembali, awalnya ia mengira ini hanyalah mimpi, tidak mungkin kan Victor ada di sini? Di perkebunan Edzhar? Tapi suara lembut yang sangat dikenalnya itu mampu menyelusup masuk ke dalam dirinya, "Aya! Ini aku, Victor." Aya, hanya pria itu saja yang memanggilnya seperti itu. Dan kini Halwa sudah sepenuhnya sadar, meski tubuhnya teramat sangat letih, sebentar lagi ia pasti akan