Turki, negara transkontinental, satu negara seribu rasa. Negara yang penuh dengan kekontrasan, tempat bertemunya tradisi Timur dan Barat, dimana pemandangan reruntuhan dan bangunan kuno bersanding dengan dunia modern, serta kehidupan sekuler dan religius yang berjalan berdampingan. Negara yang ingin sekali Halwa kunjungi, itu makanya ia tidak menolak saat Tita mengajaknya ke negara ini, untuk merayakan ulang tahun kekasihnya, Edzhar.
Kini, nyaris tiga bulan Halwa berada di negara ini, dan sekarang adalah malam terakhirnya di negara ini. Halwa menatap ke luar jendela kamarnya, menatap nanar ke pemandangan kota Istanbul ini, yang pamornya tak kalah impresif dibandingkan dengan ibu kota Turi, Ankara. Satu-satunya kota di dunia yang berada di dua benua. Hanya dengan menaiki kapal ferry, kita sudah bisa berpindah dari Benua Asia ke Benua Eropa. "Kamu sudah siap?" tanya Victor. Halwa balik badan menghadap pria yang sudah menyelamatkannya itu, "Ya," jawabnya, lalu melangkah mundur saat Victor melangkah maju mendekatinya. Sadar akan reaksi Halwa padanya, Victor langsung menghentikan langkahnya. Bukan maksud Halwa tidak sopan dan tidak tahu terima kasih pada pria yang sudah banyak membantunya itu. Tapi sejak malam itu, Halwa menjadi takut berdekatan dengan seorang pria, siapapun pria itu, tidak terkecuali Victor. "Sebaiknya kita jalan sekarang, Edzhar sudah mulai menyebar orang-orangnya untuk mencarimu. Dia sudah tahu kalau anak yang sedang kamu kandung sekarang adalah anaknya," ujar Victor. Halwa menganggukkan kepalanya. Ia memang ingin segera keluar dari negara ini, negara impiannya yang juga menjadi mimpi buruknya. "A... Apa dia juga sudah tahu, kalau aku tidak bersalah?" tanya Halwa. "Belum... Edzhar masih beranggapan kamulah yang sudah menjebak Tita. Dan masih belum bisa memaafkanmu untuk itu," jawab Victor. Halwa menundukkan kepalanya, apakah Edzhar memang menganggap dirinya serendah itu hingga mau mencelakai sahabat baiknya demi seorang pria? Mencintai pria itu dalam diam saja sudah berat, sekarang ditambah lagi dengan tuduhan kejamnya, serta siksaan yang Halwa hadapi setiap harinya selama di dalam tahanan itu. Untungnya siksaan demi siksaan dari orang bayarannya itu membuat cinta Halwa pada Edzhar terkikis sedikit demi sedikit, dan saat pria itu memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengembalikan Halwa ke sel, dan memerintahkan untuk terus menyiksa Halwa hingga anak yang Halwa kandung keguguran, cinta itu langsung menghilang sepenuhnya. "Apa aku bisa meninggalkan negara ini dengan selamat?" tanya Halwa lagi sambil menghapus air matanya. "Percaya saja padaku, Halwa," jawab Victor. Memangnya pilihan apalagi yang Halwa punya? Saat ini ia hanya bisa menggantungkan nasibnya pada Victor saja, semoga Victor benar-benar membawanya keluar dari negara ini dan menjauh dari Edzhar, alih-alih menyerahkan Halwa ke pria itu. "Boleh aku meminta sesuatu padamu, Vic?" "Ya." "Mulai hari ini jangan memanggilku Halwa lagi, Halwa sudah mati di rumah sakit itu," pinta Halwa pelan. "Lalu aku harus memanggilmu apa?" tanya Victor. "Kamu bisa memanggilku Aira. Itu panggilan kesayanganku untuk keluargaku. Atau terserah kamu mau memanggilku apa, selama bukan Halwa," jawab Halwa. "Baiklah kalau memang itu maumu. Orang tuamu sudah menunggumu di lombok, di kampung halaman Mamamu. Tadinya aku mau membawa kalian ke Albarracin, Spanyol. Tapi mereka bersikeras menunggumu di lombok." "Lombok tempat yang indah, mungkin Papa berpikir aku bisa menenangkan diriku di sana ... " "Tapi Edzhar akan dengan mudah menemukanmu di sana, kecuali kalau memang kamu ingin ditemukan." ujar Victor. Halwa menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Tidak, aku tidak ingin pria itu menemukanku. Aku takut dia akan mengambil anakku." "Ya, aku mengerti. Sebaiknya kamu rundingkan lagi nanti dengan orang tuamu sesampainya kita di Lombok nanti. Mereka belum tahu jelas duduk permasalahannya. Mungkin setelah kamu menjelaskannya nanti mereka akan mengerti." "Iya, nanti aku akan menceritakan semuanya," desah Halwa sambil memeluk dirinya sendiri. Victor melihat kerapuhan Halwa di sana, wanita cantik dan ceria itu kini berubah menjadi pendiam. beberapa luka lebam masih menghiasi wajah cantiknya. Sehari-harinya Halwa hanya merenung saja, memandang ke landscape kota Istanbul dengan tatapan mata kosongnya. "Apa kamu mau menceritakan kejadian sebenarnya padaku?" tanya Victor lembut sambil duduk di sofa santai kamar itu. "Malam sebelum Tita berangkat ke kapal pesiar itu, Tita memang mengajakku untuk turut serta, tapi aku menolaknya, karena aku sedang tidak enak badan saat itu," mulai Halwa. "Tita terus saja membujukku, dengan alasan Edzhar hanya mengizinkan ia pergi kalau bersama denganku. Entah kenapa di antara teman-teman Tita, Edzhar hanya percaya padaku. Pria itu akan mengizinkan kemanapun Tita pergi asal bersama denganku," lanjutnya. "Pada akhirnya Tita menyerah membujukku, tapi sebagai gantinya aku harus setuju Tita menggunakan namaku untuk izin ke Edzhar. Dan dia menelepon Edzhar tepat di depanku. Tita berkata aku yang mengajaknya wisata malam di kapal pesiar apa namanya akupun tidak dapat mengingatnya. Awalnya Edzhar melarangnya dengan berbagai macam alasan, meskipun pada akhirnya mengizinkannya." "Kenapa Edzhar tidak menemani Tita malam itu?" "Kata Tita Edzhar sedang sibuk di kantornya, karena baru saja memenangkan tender proyek besar. Tapi Edzhar janji akan mengajak kami ke Cappadocia, dan itu lumayan menenangkan Tita hingga tidak merajuk lagi padanya." "Hanya karena itu Edzhar menuduhmu sebagai dalang kematian Tita?" tanya Victor dengan nada tidak percaya. Ia sudah mendengar cerita versi Edzhar, dan kini versi Halwa, dan keduanya sama, telepon Tita lah yang menjadi pemucu utama tuduhan Edzhar pada Halwa. Halwa mendesah pelan sebelum menjawab, "Edzhar mengira aku mencelakai Tita hanya karena ingin mendapatkan dia, konyol sekali pikirannya itu." air mata yang sejak tadi Halwa tahan pada akhirnya mengalir juga, Halwa menghapus air matanya tapi justru air mata itu mengalir lebih deras lagi, hingga akhirnya ia mengabaikannya dan melanjutkan lagi ceritanya. "Aku dan Tita lebih dari sekedar sahabat. Kami sudah seperti saudara kandung, kami sama-sama anak tunggal, hanya saja orang tuanya tidak memberikan perhatian lebih padanya, kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan kantor mereka hingga mengabaikan Tita. Dan Tita justru mendapat perhatian dari orang tuaku yang sudah menganggapnya seperti anak kandung mereka sendiri. Tita sering menginap di rumahku, karena hanya berada di rumahku itu lah ia bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga." Sesaat Halwa terdiam, ia kembali sesengukan saat teringat masa-masa yang ia habiskan dengan sahabatnya itu. Halwa tidak menyangka Tita akan pergi dengan cara seperti ini, dengan cara yang tragis, bahkan jasadnya saja tidak dapat ditemukan. "Aku sedih, Vic. Aku sangat kehilangan sahabatku itu, aku juga terpuruk saat itu. Tapi Edzhar dengan kejamnya memfitnahku sebagai dalang dari nasib naas Tita. Dia bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanku sedikitpun. Dia bahkan ... Memperkosaku, merenggut paksa kehormatanku. Kehormatan yang seharusnya aku berikan kepada suamiku itu. Impianku untuk menikah dengan pria baik-baik kini pupus sudah," isak Halwa. Halwa tidak menceritakan siksaan yang ia alami di tahanan, karena ia sudah tidak sanggup melanjutkannya lagi. Dan sepertinya Victorpun mengerti, karena pria itu tidak bertanya lagi, ia hanya menatap penuh Halwa, seperti dapat merasakan kesedihan yang tengah Halwa rasakan.Halwa sudah membayangkan kalau pertemuannya dengan kedua orang tuanya akan mengharu biru. Tapi ternyata lebih dari itu.Kini Halwa terduduk di lantai, dengan kepalanya yang ia rebahkan di atas pangkuan mamanya, dengan papanya yang duduk di sebelahnya, yang tangan tuanya kini sedang mengusap lembut kepala Halwa.Segala kepahitan dan penderitaan hidupnya selama tiga bulan ini, Halwa curahkan semuanya kepada kedua orang tuanya itu, sambil sesengukan ia menceritakan semuanya, tidak ada satupun yang ia sembunyikan."Aku sudah hancur sekarang, Ma, Pa. Pria itu sudah menghancurkan masa depanku," isak Halwa, airmatanya masih terus membasahi celana pajang mamanya.Orang tua mana yang tidak akan bersedih mendengar nasib malang yang menimpa putrinya, tidak terkecuali dengan mama dan papanya Halwa.Halwa dapat merasakan tetesan air mata mamanya yang jatuh ke kepala Halwa, tapi Halwa tetap bergeming, ia tetap merebahkan kepalanya di atas pangkuan mama
"Kenapa aku harus ke Psikiater?" tanya Halwa keesokan harinya. Mama merangkul pundak Halwa, "Untuk membantumu supaya lebih cepat pulih dari trauma itu, Sayang. Dan bukan di sini, kamu akan memulai konsultasi saat sudah berada di Spanyol nanti," jawabnya. "Dimana Victor? Aku belum melihatnya pagi ini?" tanya Halwa. "Dia dan Papa sedang mengurus dokumen kepindahan kita. Beruntung kamu menemukan pria sebaik dia Aira," jawab mama sambil merapikan rambut Halwa, "Mau Mama kuncir?" tanyanya dan Halwa menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak bisa mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, bahkan hanya sekedar untuk mengikat rambutnya. Akibat dari tendangan keras di bahunya hingga menyebabkan tulang lengan atas bergeser dari soket bahunya. "Tunggu sebantar, Mama ambil sisir dan ikat rambut dulu," ujar mamanya sambil berdiri, lalu melangkah ke dalam kamar Halwa. Bosan hanya duduk-duduk saja sejak tadi, Halwa melangkahkan kakinya dengan pelan ke halaman rumahnya. Desanya ini berada d
Desa Albarracin, Spanyol. Salah satu desa terindah di dunia. Desa yang menyajikan panorama abad pertengahan yang sangat kental, rumah-rumah di desa ini rata-rata dibangun di atas bukit, dengan material-material yang ringan, begitu juga dengan rumah peristirahatan Victor ini. Dari jendela kamarnya Halwa dapat melihat ke sekeliling desa itu, dan ia merasa seperti tinggal di abad pertengahan, dengan banyaknya benteng batu yang menghiasi sudut kota, dan bukit-bukit tandus yang mengelilingi desa yang berada di wilayah tengah Aragon ini, meski demikian udaranya terasa sejuk. Di gang-gang sempit desa ini terdapat jalur-jalur yang berliku, yang mengarah ke menara-menara batu kuno, istana-istana dan juga kapel-kapel, serta situs bersejarah lainnya. "Kamu tidak istirahat, Aira?" tanya mama, "Tidurlah sebentar, kamu tidak tidur selama di pesawat." Halwa "Aku takut, Ma. Aku selalu merasa ketakutan saat akan beranjak tidur. Aku takut mimpi buruk lagi," jawab Halwa. "Besok Victor akan men
Dengan kedua telapak tangan bersandar pada kaca besar ruang kerjanya, Edzhar terlihat seperti sedang menikmati pemandangan ibu kota, yang dipenuhi dengan gedung-gedung bertingkat, dan kendaraan yang padat merayap. Tapi sebenarnya pikirannya sedang tersita pada sosok wanita yang ia cari-cari selama ini. Sudah satu bulan lebih anak buah Edzhar belum bisa menemukan keberadaannya, Halwa. Wanita yang sudah menyebabkan kekasihnya bunuh diri. Kedua matanya masih menyala-nyala dengan api dendam. Ia belum puas memberi pelajaran pada wanita itu, tapi seseorang telah berhasil mengeluarkannya dari dalam penjara. Edzhar selalu bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa sosok yang sudah berani menantangnya itu? Dan sampai kini pun ia belum menemukan para pria yang sudah melecehkan kekasihnya itu. Semua yang terlibat di dalam insiden itu seperti menghilang di telan bumi, termasuk Halwa. "Sampai aku bisa menemukanmu, habis kau Halwa!!" geram Edzhar sambil mengepalkan kedua tangannya. Sesaat kemudian
Pria yang dipanggil Yas langsung menyerahkan tabletnya pada Halwa, dan Halwa merasa nyawanya tercabut dari raganya saat itu juga, saat ia melihat tayangan video orang tuanya yang tengah disekap entah dimana.Halwa menjatuhkan tablet itu dan langsung mencengkram lengan Edzhar,"Jangan sakiti mereka, please! Aku saja. Sakiti aku saja jangan mereka," isaknya."Mulai saat ini, turuti keinginan saya!" tegas Edzhar sambil menepis tangan Halwa."Ya, Aku akan menuruti apapun maumu." "Ingat! Kalau kau sampai mencoba untuk bunuh diri lagi, orang tuamu juga akan segera menyusulmu! Kalau kau mencoba kabur dari saya lagi, saya akan memotong bagian tubuh orang tuamu itu setiap harinya sampai kau kembali! Mengerti?" ancam Edzhar dan dengan cepat Halwa menganggukkan kepalanya."Sekarang katakan padaku, bagaimana Victor bisa membantumu?" "A ... Aku tidak tahu. Terakhir aku ingat aku memutus nadiku sendiri di kamar mandi, dan aku terba
"Jangan takut, Nona. Kami hanya akan merias wajahmu dan merapikan rambutmu," jawab salah satu dari mereka dengan lembut sambil mendudukkan Halwa di kursi meja riasnya. "Meriasku? Untuk apa?" Halwa melihat kedua wanita itu saling tatap dengan bingung dari cerminnya, sepertinya kedua wanita itupun tidak mengetahui apa tujuan dari pria iblis itu menyuruh mereka merias Halwa. 'Apa pria itu mau menjualku? Ya Tuhan! Aku takut sekali. Aku tidak bisa meminta bantuan pada siapapun, bahkan ponselpun aku tidak pegang, semua disita Edzhar.' desah Halwa dalam hati. Halwa membiarkan kedua wanita itu meriasnya, juga menata rambut panjangnya, protes pun akan percuma, karena sudah jelas kedua wanita itu pasti lebih takut pada Edzhar. Halwa menatap pantulan dirinya di cermin, ia bukanlah tipe wanita yang suka berhias diri, berbeda dengan sahabatnya Tita, yang selalu berhias dan berpakaian serba modis kemanapun wanita itu pergi
"Pe ... Pernikahan? Ke ... Kenapa kamu menikahiku?" tanya Halwa tergagap."Seperti yang sudah saya bilang tadi, kau harus membayar kesalahanmu seumur hidupmu! Kalau seseorang bisa membebaskanmu dari penjara, maka tidak akan ada yang bisa membebaskanmu dari penjaraku! Dan saya akan pastikan, kau akan mendapatkan nerakamu di dalam pernikahan ini!" jawab Edzhar dengan nada dingin yang menusuk.'Ya Tuhan! Sampai kapan pria itu akan sadar, kalau bukan aku lah yang mengajak Tita ke kapal pesiar itu?' tanya Halwa dalam hati.Edzhar turun terlebih dahulu, dan Yas membukakan pintu untuk Halwa. Ingin rasanya Halwa melarikan diri dari sana, ia tidak mau menikahi monster itu. Tapi Halwa segera mengurungkan niatnya itu ketika teringat, kalau kedua orang tuanya masih berada di dalam genggaman pria itu.Pernikahannya sendiri berjalan cepat, dan Halwa tidak terlalu mengikuti prosesnya, ia masih shock dengan kenyataan, kalau mulai hari ini ia sudah menja
"Ed, bangun Ed!" seru anne sambil menggoyang-goyangkan bahu Edzhar.Edzhar hanya bergumam pelan, sebelum menarik lagi selimut untuk menutupi dada terbukanya, dan kembali tertidur.Sambil mendesah kesal, anne kembali menyibak selimut Edzhar dan menggoyangkan bahu Edzhar lagi, kali ini dengan lebih kencang, "Ed!!""Ada apa? Kenapa membangunkanku? Aku masih ngantuk," tanya Edzhar sambil menghalau matanya yang silau karena cahaya lampu dengan telapak tangannya."Pembantumu itu kabur!" jawab anne.Sontak Edzhar langsung terduduk, "Kabur?" ulangnya."Iya! Kabur!"Edzhar menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin dia bisa kabur, Anne. Akses kendaraan umum dua puluh kilo meter jauhnya dari rumah ini! Belum lagi dengan banyaknya anak buahku, mereka tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja!" 'Wanita itu tidak akan berani kabur, karena aku masih menahan kedua orang tuanya. Dan wanita itu tidak bodoh dengan tidak
"Kontraksiku sudah mulai sering, sebentar lagi anak ini akan segera lahir. Cepat suruh orangmu itu ke rumah Edzhar sekarang!" seru Tita pada Marcus.Itulah rencana mereka saat Tita akan melahirkan, mereka akan membuat Edzhar percaya kalau anak yang tengah dikandung Halwa bukanlah anaknya, melainkan anak dari sipir penjara. Marcus bahkan sudah membayar seseorang untuk mengedit foto Halwa dan juga sipir penjara itu, sebagai bukti kuat kalau pria itu benar ayah biologis dari sikembar.Saat Halwa keluar dari rumah Edzhar, Marcus dan anak buahnya akan memukuli Halwa hingga cukup sabagai alasan segera dilakukannya operasi caesar untuk mengeluarkan anak-anaknya, yang akan Tita ambil salah satunya.Rencana yang sudah tersusun rapi melalui pesan singkat Tita dan Marcus."Tenang saja, kami sedang dalam perjalanan ke rumah itu," sahut Marcus."Ingat, setelah kamu menukar bayi kita dengan putri Halwa, segera singkirkan wanita itu dan putran
Hari-hari berikutnya Edzhar lewati dengan menyibukkan dirinya di kantor. Ia terus bekerja seolah-olah akan mati kelaparan esok harinya kalau ia tidak melakukan itu.Semua semata-mata hanya sebagai pelarian dirinya saja dari masalah hidupnya, juga rasa bersalahnya pada Halwa yang terus saja datang menghantuinya. Dan di atas semua itu, ucapan Halwa yang selalu terngiang di telinganya itulah yang membuatnya semakin terjatuh ke lubang penyesalan yang terdalam.'Seandainya ada reinkarnasi di dunia ini, aku hanya berharap aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi. Beribu kali siklus kehidupan pun berulang, aku akan tetap memanjatkan permohonan yang sama, semoga aku tidak bertemu kamu lagi!"Kata-kata itulah yang selalu terngiang di telinganya, tiap kali Edzhar sedang sendiri seperti saat ini.Edzhar meletakkan penanya, lalu bersandar pada kursi kebesarannya sambil menekan pelipisnya dengan jari telunjuk dan juga ibu jarinya,"Ya, kamu memang
"Tuan, bangun Tuan!" seru Yas sambil mengguncang bahu Edzhar yang tertidur di sofa panjangnya."Hmmm, ada apa Yas? Apa wanita sialan itu sudah pergi?" tanya Edzhar setengah mengantuk."Belum, Tuan. Tapi di bawah ada pihak berwajib, mereka meminta izin Tuan untuk menangkap Nona Tita." jawab Yas, membuat rasa kantuk Edzhar seketika menghilang."Atas dasar apa?" tanyanya lagi sambil melesat berdiri."Maaf, seharusnya saya memberitahu anda terlebih dahulu sebelum menyampaikan laporan ini pada Anne anda. Saya hanya tidak menyangka kalau Anne anda akan langsung memanggil pihak berwajib.""Katakan saja intinya, Yas. Tuduhan apa yang telah dijatuhkan pada wanita itu? Dan kenapa Anne yang melaporkannya ke pihak berwajib?""Biar pihak berwajib saja yang akan menerangkannya pada anda nanti, Tuan. Saya takut, jika anda tidak muncul juga di bawah, Anne anda akan bersikap kalap pada Nona Tita.""Kenapa rumah ini tidak pernah tenang?"
"Karena aku cemburu padanya, Ed! Dia selalu mendapatkan apa yang dia mau! Bahkan termasuk mendapatkanmu!""Hanya karena itu kau berniat jahat padanya?" tanya Edzhar lagi."Halwa telah merebut pria yang aku cintai!" jawab Tita sebelum tangisnya kembali pecah."Lebih baik kau simpan saja air matamu itu, Ta! Aku tidak akan tersentuh dengan air matamu itu! Dan kau tidak mencintaiku, tapi Marcus! Kau telah selingkuh dengannya!""Memangnya kenapa kalau aku selingkuh dengannya? Toh aku hanya jalan saja tanpa melakukan apapun! Kau tahu sendiri siapa yang telah mengambil mahkotaku! Dan jangan sok suci, kaupun selingkuh dengan Halwa, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau kalian berc1uman di pertunjukan laser show!""Kami tidak c1uman, sialan!" geram Edzhar."Mana aku tahu selanjutnya kalian kemana lagi! Aku sudah terlanjur kecewa dengan kalian! Jadi aku langsung pergi saat itu juga."Edzhar nampak menyipitkan kedua matany
"Berita apa yang ingin kau sampaikan tadi, Yas?" tanya edzhar setelah sampai di Apartmentnya sambil melepas dan melempar asal jasnya. Tapi Edzhar yakin, apapun yang ingin disampaikan Yas, pasti sama dengan apa yang menjadi kecurigaan Edzhar saat ini. "Saya sudah berhasil mendapatkan track record dari nomor ponsel Nona Tita yang lama, Tuan. Dan banyak pesan singkat untuk Marcus, dengan kata-kata vul9ar. Yang berarti Nona Tita telah menyelingkuhi anda," jawab Yas. Ya, Edzhar memang sudah menduganya, itu makanya ia tidak terlihat kaget lagi dengan berita yang asisten pribadinya itu sampaikan. Atau memang selama ini tanpa sadar ia percaya dengan apa yang pernah diceritakan Halwa tentang perselingkuhan Tita itu? Hanya saja logikanya yang selalu ia kedepankan. Logika yang telah menyesatkan dan menghancurkan pernikahannya dengan wanita yang paling ia cintai itu. Edzhar menghempaskan dirinya di atas sofa panjanga, la
Dengan kasar Victor mendorong Edzhar hingga pria itu kembali terduduk di sofanya,"Kalau kau tidak mengusirnya malam itu, kejadian buruk itu tidak akan pernah terjadi ... ""Kau tadi bilang padaku kalau kau belum pernah melihat Edson, tapi kau ada bersamanya saat setelah Halwa melahirkan, bagian mana yang merupakan kebohonganmu, Vic?" tanya Edzhar sambil menyipitkan kedua matanya.'Sial! Aku memang tidak pandai berbohong!' umpat Victor dalam hati.Sambil terus memasang wajah tak terbacanya, Victor duduk di kursi tepat di depan Edzhar, yang masih terus saja menatapnya dengan tatapan penuh selidik."Vic ... ""Ok, baiklah! Seseorang mengirimkan pesan singkat padaku beserta dengan foto-foto Aira yang tengah terluka parah, Max!"Max yang sedari tadi hanya bisa berdiri diam saat melihat dua sahabat itu ribut, kini bergerak mendekati Edzhar, dan menyerahkan tabletnya pada pria itu.Edzhar nampak tidak tercengang saat
"Tuan Edzhar sudah sampai, Tuan!" seru Max."Biarkan dia masuk!" perintah Victor sambil berdiri dari kursi kebesarannya, lalu pindah duduk ke sofa kulit warna putih, tempat biasa ia menyambut tamu-tamunya.Max berbicara sebentar dengan anak buahnya di earphonenya, hingga pintu ruang kamar kerjanya mengayun terbuka, dan edzhar berderap maju mendekati Victor."Di mana kamu sembunyikan istriku?" tanyanya tanpa mau berbasa-basi terlebih dahulu."Istri? Memang kau masih punya istri?" ledek Victor sambil bersandar pada sofanya dan melipat kedua tangannya di atas dadanya. Ia menatap sahabatnya itu dengan tatapan mencemooh."Jangan main-main denganku, Vic!" geram Edzhar."Aku tidak ada waktu main-main denganmu, Ed. Kalau kedatanganmu ke kantorku hanya untuk menanyakan Aira, aku tidak bisa menjawabnya, karena aku juga tidak tahu di mana dia berada saat ini!"Edzhar kembali berderap maju mendekati Victor, ia berdiri menjulang di d
Halwa memutar bahu kanan dan kirinya secara bergantian untuk merenggangkan otot-ototnya, dan saat ia tengah merenggangkan lehernya, seseorang mengulurkan minuman dingin dari arah belakangnya, membuat Halwa seketika itu juga balik badab ke arah orang itu,"Victor ... ""Ambillah, kamu pasti lelah," ujarnya sambil tersenyum lembut.Halwa mengulurkan tangannya untuk mengambil minuman itu, "Apa kamu sudah lama menunggu?" tanyanya. Ia telah terbiasa dijemput Victor setelah jam tugasnya selesai."Euummm lumayan lama hingga aku bisa melihat kelihaianmu dalam menangani lonjakan pasien tadi," jawabnya sambil menyusuri jas snelli halwa yang terdapat banyak noda darah.Halwa melihat sekilas jas kebesarannya sebelum kedua bahunya terkulai lemah, ada kecelakaan yang membuat sebagian korban dilarikan ke rumah sakitnya. Untungnya tidak ada yang meninggal."Ya, hari yang melelahkan ... " desahnya sebelum menenggak minuman itu."Masih ja
"Stop! Jangan cari Halwa lagi! Apa kamu masih punya muka untuk bertemu dengannya? Kamu telah mengusir dan menceraikannya, Ed! Kamu telah menyebabkan kedukaan yang begitu besar padanya! Apa kamu pikir Halwa masih mau bertemu denganmu lagi?"Edzhar mengeratkan pelukannya pada Annenya itu, isakan tangisnya semakin hebat. Hanya dengan Anne Neya saja ia bisa mencurahkan segala isi hatinya, menangis seperti seorang anak kecil yang tengah mengadu pada ibunya. Annenya yang selalu ada untuknya."Itulah yang sangat aku sesali saat ini, Enne. Ingin sekali aku menarik kembali kata-kata impulsifku itu! Kalau bisa aku bersedia menukar nyawaku dengan nyawa Vanessa!" isaknya."Ed, jaga bicaramu. Kamu satu-satunya putra yang Anne punya. Apa kamu tega meninggalkan Anne?" tanya Anne sambil memukuli punggung Edzhar."Aku hanya merasa gagal, Anne. Gagal menyelamatkan pernikahanku, dan gagal menjaga anak-anakku! Aku tidak dapat membayangkan bagaimana perasaan Halwa saa