Maha yang kesal maksimal. Ingin melakukan aksi akrobatik jika bisa. Tapi Pulung terlalu acuh dengan ekspresi mukanya yang alih-alih garang justru gemoy—bahasa gaulnya sekarang begitu. Sekarang siapa coba yang tidak kesal kalau di sandingkan dengan berbagai jenis trauma masa lalunya. Kalau gagal di yang terdahulu apakah menjudge kegagalan di masa yang sekarang wajib dilakukan? Agaknya Maha tersinggung berat dengan itu. Baiknya jika Pulung menolak saja. Tapi hati Maha yang bakal menye-menye semisal itu sampai terjadi.Duhhh! Sat! Urusan dengan hati kok seribet ini. Aturan Maha yang human anti ribet langsung saja ngegas tanpa peduli Pulung akan suka atau tidak.“Kamu tahu?” Menahan langkahan Pulung yang setelah terdiam lama berharap Maha mau mengerti keputusannya. “Kenangan bahagia tiap orang berbeda-beda. Kenangan yang berharga akan aku artikan sebagai awal dalam aku mengambil langkah. Bagiku, itu kenangan di mana aku bisa mengucapkan ‘papa’ kala memanggil beliau. Tapi bagi papa, kenan
Ayana merasakan gejolak pada perutnya. Pagi-pagi sekali sebelum matahari menyapa bumi. Bolak-balik kamar mandi menjadi aktivitasnya. Sayangnya, tak ada satupun yang keluar dari mulutnya kecuali cairan bening pahit. Dan usai dengan kondisi lemahnya, tak banyak yang Ayana lakukan selain membaringkan tubuh lemasnya. Tulang-tulangnya serasa terlolosi. Sekadar duduk menerima air putih dari Rambe, harus ada penyangga di belakang tubuhnya.“Kamu isi kali.” Rambe bukan bermaksud hendak menyinggung. Menduga-duga saja karena yang dirinya lihat pada tumpukan pembalut di lemari Ayana masih utuh.“Belum tanggalnya,” jawab Ayana. Tapi sudah lewat dua hari. Dan tidak ada yang menyadari itu. “Ini murni masuk angin. Aku kemarin kehujanan.”Aura gelap di wajah Rambe langsung terlukis. Padahal sinar mentari sangat terang benderang. Tapi Rambe mengeluarkan sensitifitasnya. Aigoo. Membuat Ayana berdecak saja. “Ada sesuatu yang mau kamu makan?” Meski demikian, Rambe tetaplah Rambe yang sangat perhatian te
Karena cerita ini tidak melulu fokus dengan kisah Ayana dan Rambe yang hanya pelengkap semata. Maka kita akan lengser ke jajaran lainnya yang masih kelabu. Akan kita kulik secara perlahan. Satu per satu. Bab per bab karena semuanya memiliki andil bagian masing-masing.Ya gitu. Kalau Ayana dan Rambe sudah mulai keliatan bucin-bucinnya. Maka Ardika sedang galau-galaunya. Gimana nggak galau kalau status duda buat ketiga kalinya bakal di sabet? Ini nih semisal ada ajang MTV Awards dan ada nominasi Duda terbanyak sepanjang tahun, tolong masukkan nama Ardika Aksara ke dalamnya.Lelaki berperawakan tinggi dengan khas rambut berantakan itu sungguh nggak punya tandingan. Label ‘Ampun Bang Jago’ sangat cocok melekat pada dirinya. Karena … ya Ardika itu magnet bagi para perempuan. Jadi nggak heran banyak yang nunggu buat di gilir masuk ke daftar bininya. Nggak peduli duda juga asal kaya dan mapan mah hayuk saja.Tapi kini ada yang berbeda dengan paras tampannya. Setelah kemarin cek-cok adu mulut
"Tumben nenek datang.”Eta mulut punya Maharaja memang nggak pernah punya rem! Sama orangtua saja mengajukan tanya yang selalu punya dua alasan: menjenguk kalau nggak kangen berarti sedang menaruhkan firasatnya apakah sang anak baik-baik saja atau tidak. Tapi memang dasarnya Maha itu selengekan, ya rasakan saja pukulan di punggungnya oleh sang nenek. Terbilang cukup keras. Karena Aira yang bertugas mengantarkan masuk ke dalam ruangan atasannya sembari membawakan barang bawaannya meringis ngilu.“Aigoo nenek!” Dumel Maha mengusapi punggungnya yang menjadi sasaran empuk amarah. “Nenek kalau kangen cuma perlu telepon Maha dan Maha datang ke sana.”Ya?Ini betul-betul Maharaja Askara bos besar perusahaan di mana Aira menumpukan kehidupannya, kan? Bukan jelmaan atau jelema kajajaden, kan? Aduh Aira yang baper maksimal ini. Maha dengan panggilannya yang manja begitu terasa menggelitik hatinya.“Nenek ke sini ngasih aku chicken,” bisik Maha terlampau pelan. Tubuhnya duduk di samping nenek ya
Sama halnya dengan harapan-harapan yang telah lalu. Naomi masih berada di tahap ‘ingin berdiri sendiri’ tanpa papanya dan menggenggam sejumput harapan dalam hatinya. Tidak ada yang tahu bagaimana angan sederhana dari seorang Naomi Aksara.Sekalipun sudah berada di rumah oma opanya dan kucuran kasih sayang dari pasangan tua itu tak pernah putus, tetap saja ada yang hilang dari jiwanya. Gairah untuk melanjutkan hidup yang semestinya menggebu layaknya anak seumurannya meredup. Yang Naomi lakukan hanyalah bersekolah, mengikuti les, ke sanggar tari dan setelahnya belajar. Ketika liburan menyapa, tak banyak yang bisa Naomi lakukan selain berada di rumah dengan kanvas dan alat-alat lukis lainnya. Atau paling banter Naomi akan bermalas-malasan menonton kartun seraya memakan cokelatnya.Dan itu, tidak ada pelarangan dari oma maupun opanya. Jelas rasanya hambar. Itu yang membuat kesedihan Naomi berkali-kali lipat tingkatannya. Bukan tentang kesendiriannya yang merenggut sebagian semangat hidup
Bangun-bangun dari tidurnya, yang Ardika rasakan pertama kali adalah hampa. Bersama hujan yang sejak sore mengguyur, menghadirkan kenangan masa lalu tanpa kata-kata dalam sekejap lantas menguap.Yang menarik kesadaran Ardika hanyalah satu: masih sangat mencintai Pulung. Masih sadar memiliki cinta untuk Pulung. Diam-diam merindukan Pulung. Begitu menginginkannya. Yang sayangnya, Ardika merasakan itu semua saat Pulung tak ada di sampingnya. Yang mana—mungkin saja—sudah Pulung dapatkan kebahagiaannya. Dan itu bukan dengan dirinya.Bukankah hidup dalam penyesalan itu amatlah tidak mengenakkan?Ya. Walaupun terlihat tidak menyenangkan. Ardika coba bangkit dari asanya. Yang terluka bukan hanya dirinya. Pulung juga. Yang sakit bukan hanya dirinya. Pulung juga. Kini bertambah daftarnya: Naomi.Bicara-bicara soal Naomi, Ardika merutuki kebodohannya. Belum habis dengan sesalnya—seperti sebuah kesialan yang memang di gariskan untuknya. Apa lagi yang bisa Ardika lakukan untuk putrinya sekarang?M
Sudah pernah Maharaja hentikan harapannya untuk bersama Pulung. Pikirnya, mungkin memang dirinya bukanlah yang terbaik sebagai pilihan untuk di sandingkan bersama Pulung. Dan Maha tidak marah. Tidak mengutuk sama sekali pada tiap-tiap keputusan Tuhan. Maha justru bersyukur. Dengan begitu, ada effort untuk dirinya berjuang. Membenahi dirinya, mengambil jeda waktu yang terbuang untuk menumpukan harapan atas nama cinta dan berhenti untuk mencari kebahagiaannya.Faktanya?Hasilnya?Benar. Tuhan tidak pernah ingkar perihal janji-janjinya. Tuhan tidak pernah keliru pada benang merah takdirnya yang sudah di ulurkan. Pada akhirnya, usaha yang Maha lakukan membuahkan hasil pada proses kematangan.Di mana kini Maha ceritakan teruntuk masa lalunya. Sebelum Maha lupakan secara benar kisah-kisah kelam yang tertuang di dalamnya. Sebelum Maha bersihkan seluruh sisanya untuk proses yang sebenar-benarnya. Untuk masa lalunya, izinkan Maha menyampaikan perasaannya lewat sebuah tulisan yang mana nantinya
Begitulah hidup. Ada satu sisi di mana kita merasakan hilang kendali. Tak bisa mengontrol segalanya dalam satu waktu. Tak bisa mengendalikan apa yang di kehendaki hati. Sehingga terkadang perlu untuk keluar dari jalur nyamannya.Sama halnya dengan hati yang telah mati. Sekadar melihat harapan yang sesungguhnya saja sudah tak mampu. Semuanya menghilang dalam satu kedipan mata. Semuanya lebur bersama kuasa Tuhan yang kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan menjalani. Mencoba bangun meski tahu tidak mudah bagaimana rasanya berjuang sendiri.Setidaknya sudah mencoba. Barangkali banyak para pemikir di luar sana yang mencetuskan ide ini. Dan akan berhenti kala porsi perubahan yang meski tidak signifikan sudah di rasakan membaik. Sudah terlalu bersyukur untuk semuanya. Sudah berjalan sampai sejauh ini pada sebuah perubahan, nikmat Tuhan memang tiada taranya.Barangkali itu yang sedang Ardika renungkan di tengah malam ini. Lelah dengan segala kesenduan yang dirinya ciptakan sendiri. Sesa