Begitulah hidup. Ada satu sisi di mana kita merasakan hilang kendali. Tak bisa mengontrol segalanya dalam satu waktu. Tak bisa mengendalikan apa yang di kehendaki hati. Sehingga terkadang perlu untuk keluar dari jalur nyamannya.Sama halnya dengan hati yang telah mati. Sekadar melihat harapan yang sesungguhnya saja sudah tak mampu. Semuanya menghilang dalam satu kedipan mata. Semuanya lebur bersama kuasa Tuhan yang kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan menjalani. Mencoba bangun meski tahu tidak mudah bagaimana rasanya berjuang sendiri.Setidaknya sudah mencoba. Barangkali banyak para pemikir di luar sana yang mencetuskan ide ini. Dan akan berhenti kala porsi perubahan yang meski tidak signifikan sudah di rasakan membaik. Sudah terlalu bersyukur untuk semuanya. Sudah berjalan sampai sejauh ini pada sebuah perubahan, nikmat Tuhan memang tiada taranya.Barangkali itu yang sedang Ardika renungkan di tengah malam ini. Lelah dengan segala kesenduan yang dirinya ciptakan sendiri. Sesa
Langsung Ardika peluk. Masuk ke dalam dekapannya. Menyatu dengan tubuhnya. Tidak peduli pekikan maupun protesan yang akan terlontar setelah ini. Bahkan jika ingin mengomel, akan Ardika dengarkan. Satu jam, satu hari bahkan satu minggu. Akan Ardika lakukan. Indera penciumannya menyerap banyak-banyak kuaran parfum lembut yang menusuk masuk. Sangat anggun terekam dalam otak Ardika. Memorinya penuh dengan harum tubuh yang teramat Ardika rindukan. Pertanyaannya: sudah berapa lama?Bertambah durasi waktunya, bertambah pula pelukan Ardika yang mengerat. Bisa di samakan dengan ular yang melilit korbannya. Yang tidak ada perlawanan. Justru balasan yang sama kuatnya. Ada tangis yang terdengar di rungunya. Ada basah yang merembes di kemejanya. Abaikan saja. Ini sesi penting. Ardika sedang menikmatinya.Sekarang Ardika tahu jawabannya. Bahwa inilah yang dirinya cari selama ini. Bahwa sebesar inilah cinta yang semestinya Ardika tunjukkan. Dan inilah kebenaran di mana hatinya terpeluk dengan cinta
Pertama-tama, harus bagaimana Maha bertindak? Harus dari mana Maha memulai?Sedang Pulung terlihat sangat anteng adem ayem, Maha yang belingsatan sendiri. Napasnya memburu. Jakunnya naik turun. Keringat dingin bercucuran keluar dari pori-porinya. Yang menjadi masalah adalah … ayolah! Jangan bikin Maha malu cuma karena adegan di dalam video. Yang mana, Maha itu cowok normal. Pasti terangsang birahinya melihat adegan demi adegan yang tersaji.Kecupan-kecupan basah yang dua pasangan itu lakukan menghempaskan Maha pada daratan untuk sadar. Namun otaknya mengawang di nirwana. Seolah hanya dengan melihat mereka melakukannya, Maha pun ingin ikut andil di dalamnya. Tidak adilnya hanyalah, dirinya harus menahan mati-matian tapi Pulung tenang maksimal.Kok bisa?Itu yang Maha misuhkan dalam hati. Kenapa bisa Pulung sesantai itu bahkan tidak ada ekspresi wajah jijik apalagi ingin muntah. Oh, Maha baru ingat. Apa memang begitu damage janda—mantan janda? Pulung akan official dengan dirinya sebenta
Pulung bisa duduk berjam-jam hanya untuk melamun dan berpikir. Pulung bisa duduk diam dengan kepala yang rungsing dan hati yang kemrungsung (berisik). Pulung bisa melakukan apa saja untuk mengingat perjalanan hidupnya hanya dengan duduk diam. Sendiri, entah di tengah keramaian atau di kala sendiri. Dalam lingkup sunyi dan sepi. Semuanya tidak menjadi pengaruh. Semuanya bisa berdesakan ingin masuk. Menempati masing-masing bagian yang Pulung daftarkan dalam kenangannya.Baik maupun buruk, bisa Pulung terima. Tidak ingin mencecar apapun kondisinya yang telah Tuhan berikan. Tiap manusia memiliki porsi masing-masing untuk kehidupannya. Milik Pulung … mungkin itu buruk. Tapi tanpa sebuah ucapan syukur, keburukan itu akan terus menghantui. Milik Pulung … mungkin tidak seindah milik orang lain. Berbuat demikian—membandingkan milik kita dengan orang lain—tidak akan merubah keadaan. Hasilnya yang akan membuat kita terus terongrong ketidakpuasan alih-alih menuju perubahan.Bersyukur menjadi sang
Baraja dan Maha tertawa terpingkal-pingkal. Melihat satu adegan di mana Spongebob dan Patrick melakukan hal konyol. Di sertai kehadiran si gurita abu-abu—Squidward—yang selalu siap meledakkan lahar emosinya. Tawa keduanya tak kunjung surut. Terlebih ini hari minggu. Calon papa dan anak itu bisa bersantai seenak jidat. Tidak peduli pada geraman Pulung yang tertahan, perempuan yang sedang memasak di dapur itu hanya melirik-lirik terus sejak tadi.Bukan apa-apa. Pulung sudah pernah memperingati Maha untuk jangan membawa Bara menonton kartun itu. Meski bagus dan ada pesan moral yang bisa di petik, tetap saja, kejahilan si spon dan bintang laut merah jambu itu meresahkan.Jawaban Maha waktu itu begini: kadang aku bertingkah bodoh hanya karena ingin membuatmu tersenyum. Dan di sambung dengan: meskipun aku tahu senyummu bukan untuk aku.Kata Spongebob begitu. Yang demi kerang ajaib tuan Krabs, Pulung tidak peduli. Terpenting di sini, jangan bawa putranya menonton kartun macam itu. Titik. Pa
Ini hari libur. Tapi Pulung mendapat panggilan untuk datang ke sanggar. Katanya, ada beberapa anak yang meminta di ajarkan menari di hari-hari tertentu. Itu bukan jadwal milik Pulung. Lantaran guru yang biasa mengajar berhalangan hadir, Pulung yang di minta untuk menggantikan. Mau tidak mau karena ini sudah risiko dari tanggungjawabnya sejak awal, maka apa boleh buat selain menerima.Berangkat dalam keadaan yang masih terang benderang. Setelah dua hari dua malam di guyur hujan, di pukul dua siang ini langit sedikit menampilkan corak biru cerahnya. Udara sejuk yang sejak pagi tadi masih terasa dingin berganti sedikit menghangat.Maha yang mengantar nampak anteng di tempatnya. Baraja juga melakukan hal yang sama. Seolah keduanya sudah sepakat untuk kompak. Alunan musik terdengar dari saluran radio dalam mobil. Lagu-lagu terbaru dari penyanyi Indonesia yang sedang booming di putar. Request demi request yang di kirimkan lekas terlaksana. Dan lalu lalang di luar sana jelas berbeda dari har
Jadi kisah tentang Ayana juga masih berlanjut. Meski bukan tokoh utama namun karena pernah terlibat dengan si aktor dan aktris, nama Ayana terus terseret. Hingga beberapa bab ke depan dan melanjutkan jalannya sendiri.Seperti pagi ini misalnya. Di balkon apartemennya yang bersinggungan dengan mentari pagi, hiruk-pikuk Jakarta tak pernah berubah. Waktu baru menunjukkan pukul enam pagi. Dan bisingnya klakson sudah memekakkan rungunya. Sembari menunggu semburat orange kian meninggi, Ayana usapi perut buncitnya. Ah, sudah berapa lama, ya?“Kamu nggak mau mandi?” Rambe melingkarkan tangan kokohnya di atas lengan mungil Ayana. Menggetarkan gelenyar aneh yang akhir-akhir ini membuat Ayana kebingungan. Pasalnya, hormon miliknya tidak stabil. Kadang, jenis sentuhan model apa pun yang Rambe salurkan menjadi sangat sensasional di darah Ayana yang berdesir. Namun tak jarang membuatnya uring-uringan. Layaknya keinginan lebih untuk di sentuh tanpa mau berhenti.“Malas,” jawabnya singkat. Bibirnya m
Wajah Naomi yang semringah mendadak suram. Hilang tak berbekas begitu matanya bersinggungan dengan sosok papa dan mama tirinya. Terlebih ada bayi dua tahun dalam dekapan Ardika. Rasanya Naomi ingin menangis dan meluapkan segala amarahnya. Namun alih-alih mewujudkan apa yang ada dalam pikirannya, datar maksimal yang Naomi pilih untuk menutupi sakit di hatinya.Katanya: ‘bahagia itu kita yang ciptakan.’Pernah Naomi dengar kalimat itu lewat serial televisi. Entah apa judulnya, lupa adalah jalan paling tepat untuk dirinya sematkan.“Papa kangen Omi.” Bisikan Ardika lirih. Ada cekatan suara di tenggorokannya bersamaan dengan kedua kakinya yang bertumpu pada lantai dan air matanya meluruh sembari memeluk Naomi. “Kangen banget.” Dan Naomi memilih bungkam. Kedua tangannya terkepal di sisi kanan dan kiri. Tusukan jarum tak kasat mata sedang mengucurkan darah di jantungnya. Rasanya sakit namun juga bahagia. Rasanya pedih namun juga bersyukur. Setidaknya papanya tidak melupakan keberadaan diri
Tiap orang punya rahasia yang tak bisa di ungkapkan secara gamblang. Dan tiap orang juga punya sisi lain yang disebut topeng untuk menutupi wujud keasliannya alih-alih yang terlihat di hari-harinya. Begitu juga dengan Pulung yang paham betul akan makna itu. Bahkan mungkin keberadaan dirinya yang ada di rumah ini selama hampir sepuluh tahun belum mengetahui sampai bagian terdalamnya. Karena memang ada tempat lain yang belum bisa Pulung jamah.Mungkin juga lewat sebuah rahasia yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata, ada jiwa-jiwa lelah yang menghadapi sikap kekanak-kanakannya selama masa kehamilan ini. Bukan maunya Pulung, sungguh. Murni bawaan sang jabang bayi yang mengharuskan sikapnya berubah drastis. Mulai keluar dari jalur keaslian siapa dirinya sampai ke akar-akar sikapnya yang paling menyebalkan.Namun di atas itu semua yang paling membuat Pulung terkesan adalah Maharaja Askara yang dua puluh empat jam penuh mau mengurusi dirinya dengan telaten. Penuh kesabaran tanpa mengeluh a
Yang semalam tak bisa Ardika berikan jawaban.Pagi ini semuanya berjalan seolah memang tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak ada obrolan seputar perasaan Naomi Aksara dengan B.S Negara yang membuat Ardika penasaran setengah mati. Ingin searching pun rasanya belum sempat. Ardika betul-betul melupakan di mana letak ponselnya berada dan fokus menghabiskan waktu bersama ketiga anaknya.Usai sarapan, agenda yang sangat di tunggu oleh Baraja pun terkabulkan. Paralayang yang sudah di incarnya sejak masih dalam perjalanan. Dan selesai dengan itu, mereka akan segera turun untuk Ardika bawa ke rumah orangtua Pulung.Tentu yang bingung tidak hanya para krucil itu saja. Bahkan ibunya Pulung tertegun selama berdetik-detik sebelum memeluk Baraja seraya menghujani dengan ciuman.“Ada milik Pulung di sini. Matanya punya Pulung. Hidungnya punya Pulung. Sisanya dia cetakanmu.”Ardika tersenyum kikuk. Dan di persilakan untuk duduk di ruang tamu sederhananya. Sudah ada suguhan padahal Ardika tidak memberi
Tidak ada halangan apa pun untuk sampai ke puncak Gunung Putri. Suasana cukup ramai karena ini weekend. Dan semilir angin malam mulai menyapa. Sepoi-sepoi menerbangkan helaian rambut milik Naomi yang mencuat. Sejauh mata memandang, kerlipan lampu malam kota Garut tersaji dengan indah. Tidak ada suara bising di sini. Sunyi dan senyap namun menenangkan. Suara jangkrik malam menjadi pengiring semesta menunjukkan keunggulannya.Embusan napas Naomi terhela dengan teratur. Seulas senyum terbit dengan jari menyelipkan anak-anak rambut.“Kakak belum bobok?” Adalah Ardika yang menatapi putri sulungnya sejak 15 menit yang lalu. Ada gejolak aneh di dalam hatinya. Desirannya penuh kesakitan dan sesaknya kesakitan. Bergumul jadi satu menyumbat saluran pernapasannya.“Mau ngelukis bentar lagi.”“Malam-malam begini?” Naomi mengangguk. “Nggak bisa besok saja kak?”“Papa lihat deh.” Ardika baru sadar bahwa anaknya yang satu ini tidak suka banyak bicara dan lebih menyukai tindakan. “Aku suka kerlipan l
Membutuhkan waktu 3 jam 42 menit dengan jarak tempuh 217 km Jakarta-Garut via tol.Ardika kemudikan mobilnya sendiri di dampingi Baraja dan Naomi serta Armani di kursi belakang. Kedua kakak adik perempuan itu anteng bersama tablet soal edukasi mendaki bagi pemula. Sesekali canda tawa akan terkuar dan berebut channel untuk di play lebih dulu.Hati Ardika tenang melihatnya dan Baraja yang bermain rubrik di sampingnya kentara fokusnya. Anak ini persis dirinya di masa kecil dulu jika boleh Ardika katakan demikian. Pasti tidak akan adil bagi Maharaja kalau mendengar keegoisan hatinya tentang ini. Tapi memang kadang hati tak mau munafik juga enggan di tampik.“Papa … Garut.” Rengek Baraja yang sudah lelah dengan permainannya. Menagih janji yang kemarin Ardika cetuskan. “Oh, iya. Papa lupa.” Ardika tengok lewat spion tengahnya. Kedua putrinya sedang asik jadi tidak perlu di usik. “Kabupaten Garut. Ada tulisan Aksara Sundanya yang papa nggak tahu bacanya gimana. Adalah sebuah Kabupaten di pr
Sudah matang semua persiapan yang Ardika kumpulkan. Jadi satu di atas meja ruang tengah milik Maha. Ketiga anaknya sedang asik bercengkerama—lebih merecoki Naomi yang hendak membawa peralatan melukisnya. Ardika setujui. Memberi dukungan untuk putri sulungnya serta merta mengembangkan bakat di gunung.“Tapi pemandangan gunung lebih cocok dengan ini teteh.” Suara Armani tak mau kalah dengan Baraja yang terus melengkingkan ketinggiannya. Kepala Ardika menggeleng dengan senyum yang tak pudar sedikit pun.“Kan pepohonan hijau adek.” Naomi tetap kekeuh pada pendiriannya karena—yeah—menurutnya dia lah sang pelukis sejati. Aduh memang ya.“Sentuhan cokelat juga bagus kakak. Kaka kapa nggak tahu? Nih abang kasih lihat ya.” Tablet Baraja sudah memutar sebuah video dengan pemandangan pegunungan-pegunungan berbagai pilihan. “Dari jauh iya biru. Pas dekat itu malah cokelat kayak gini tahu. Jadi kak, warna cokelat pun berguna untuk kakak bawa.”Mulai dari sini terlihat wajah bimbang Naomi. Semula y
"Gitu ya sementang punya rumah sendiri.”“Nggak tahu saja yang nunggu sampai keroncongan.”“Ini sejak kapan tamu malah pesan delivery?”“Heran Gusti heran!”Sindiran demi sindiran yang tersentil ke rungu Maha maupun Pulung tak menjadi halangan bagi pasangan yang sedang menanti kelahiran sang buah hati terusik.“Pasangan budak cinta mah gitu.”“Gaes … Sudah punya masing-masing jangan ngeledek.”“Iri bilang bos!”Kan maen! Jawaban Maha lebih estetik dari mulut tetangga yang di sumpal lombok setan sepuluh kilo. “Ibu hamil apa kabar nih? Makin adem ayem saja kayaknya.” Adalah Ayana yang pertama kali menyapa.Perempuan itu pun sedang hamil muda. Dan menurut cerita Maha, Rambe di buat kelimpungan habis-habisan. Mulai dari terpangkasnya jatah waktu untuk berduaan sampai harus rela memomong putra pertamanya. Salut dengan Rambe yang berbesar hati.“Ih teteh mah jorok pisan. Masa tiga hari nggak mandi?” Dante ikut serta nimbrung. “Asli aku mau semaput di certain itu.”Pada akhirnya hubungan me
'Aku sudah melewati banyak waktu untuk sembuh. Banyak hari untuk pulih. Banyak memori yang terkikis. Aku sudah jauh berjalan dalam gelap. Menyingsing lengan dan menggulung panjangnya hampara. Dari tajam menyayat yang kurasakan sepanjang jalan. Namun aku bertahan hingga akhirnya sakit itu tumbuh sendiri. Tatapan kelam. Kernyitan dahi karena silaunya putih di depan. Haruskah tertawa? Atau menangis? Sudah tak tampak lagi bagian belakang. Aku lupa bagaimana rasanya tertusuk duri.’Jadi begini para pemirsa dan saudara setanah air setumpah darah, ehm.Ada cerita tersembunyi kenapa Maharaja Askara harus berpuisi di tengah semua orang yang berkumpul. Di ruang keluarganya di mana mestinya terjadi acara liburan karena ini weekend. Juga sebagai libur pertama kedua anak-anaknya; Baraja dan Naomi.Tapi seolah nasib sial—boleh tidak mengatakan demikian? Takutnya ada setan lewat terus mampir. Tercatat sudah itu omongan untuk di jadikan karma kemudian hari. Kan berabe, Hyung!“Lagi, Sayang.”Ini sum
Kehamilan anak Maharaja yang pertama ini memanglah luar biasa. Mulai dari sikap manja Pulung yang tiada duanya (menggemaskan bagi Maha) namun terlihat menyebalkan bagi orang sekitar. Sampai hal-hal aneh yang tak terduga.Pagi ini misalnya.Tumben-tumbenan Pulung mager (malas gerak). Dan hanya gegulingan di atas kasur. Biasanya, usai salah subuh dan mengaji, aktivitas Pulung langsung yoga karena memang itu olahraga teraman rekomendasi dari dokter. Di samping memudahkan untuk kelahiran nanti, yoga mengurangi stres. Pulung tidak ke dapur. Memasak seperti biasanya. Tidak Maha hiraukan. Mencoba paham dengan kondisi sang istri yang di yakini bawaan anaknya.“Nggak mau mandi?” Maha elusi rambut Pulung. Tidur menyamping dan memegang ponsel dengan asik. Entah video apa yang di tonton hingga asik tanpa merasa terganggu sedikit pun. “Mau mas masakin sesuatu nggak?”Sejak Pulung hamil, Maha tidak bisa semena-mena. Urusan makan tak seleluasa request seperti saat awal-awal menikah. Meski dengan mu
Maharaja Askara jadi punya hobi baru; nyanyi. Yang menurut Pulung, boleh juga. Suaranya berat dan serak-serak gimana gitu. Ketika di dengarkan—apa lagi ketika Pulung letakkan kepalanya di dada Maha—uwah sensasinya nggak kaleng-kaleng.Dugun-dugun di jantung Maha terdengar sangat jelas. Dan Pulung suka sekali mendengar detakannya. Iramanya selaras dengan nyanyian yang terlantun dari mulut Maha. Malam ini, begitu Bara dan Naomi memasuki kamarnya masing-masing. Terlelap setelah berdebat mengenai tugas sekolah. Maha dan Pulung bergelung malas di depan ruang televisi. Ada kasur lipat yang biasa Maha gunakan untuk rebahan malas-malasan di sana. Pulung ikut saja. Dengan daster hamilnya, rambutnya yang tak berbentuk lagi dan manja-manja time bersama suami di mulai.“Semua ini pasti akan musnah. Tetapi tidak cintaku padamu. Karena aku sang pangeran cinta.” Lirik yang Maha senandungkan mengikuti penyanyi aslinya di televisi. Once Mekel masih saja tampan sejak Pulung duduk di bangku Sekolah Da