"Silakan kamu persentasi di depan, Inggit, waktu dan tempat saya persilakan," ucap Pak Pram tambah membuatku gugup gemetar. Aku terdiam sebab tidak pernah melakukan hal yang Pak Pram perintahkan tadi, persentasi di depan umum, meskipun hanya beberapa orang yang hadir. Namun, bagiku ini adalah hal langka.Dulu aku sekolah menengah kejuruan memang pernah mempelajari hal ini. Di mana hanya belajar dan belum mempraktekkan. Ada baiknya aku coba supaya tidak menunjukkan diri ini bodoh di hadapan Mas Dimas."Baik, Pak. Saya akan maju untuk persentasi," tuturku sambil bangkit dan maju ke hadapan mereka. Kini aku berdiri di hadapan sepuluh orang yang akan aku pimpin nantinya, termasuk Mas Dimas."Nggak mutu!" Mas Dimas nyeletuk seperti itu."Dimas, bisa diam nggak mulut kamu itu?" Pak Pram membelaku.Dia terlihat kesal karena sempat menggebrak meja kembali. Aku hanya menelan ludah sambil menghela napas panjang melihat suamiku tidak bisa terima apa yang dilihatnya sekarang."Saya berdiri di si
Semua terdiam ketika Pak Satria yang bicara. Dia bahkan menunjukkan berkas untuk masuk ke salah satu universitas swasta di Jakarta.Aku menelan ludah, bukan untuk berpuas diri, akan tetapi ingin mengucapkan terima kasih pada Pak Satria yang telah menyelamatkanku dari hujatan para marketing yang hadir."Kamu, Dimas, tahu kan konsekuensinya telah membohongi perusahaan? Terlebih merahasiakan identitas istri sendiri," tutur Pak Satria. "Saya tahu semua, bahkan kamu sempat mengumpat bos kamu sendiri sebagai_____ Saya kira tak perlu disebutkan," tambah Pak Satria."Tapi, Pak. Saya tidak bermaksud seperti itu," jawab Mas Dimas."Sudah, jangan mengelak. Kamu mau tetap bekerja di sini sebagai marketing atau mengundurkan diri? Terserah pilih yang mana," pungkas Pak Satria. "Rapat ditutup, dan saya akan menandatangani surat diangkatnya Inggit sebagai kepala marketing," paparnya lagi.Akhirnya semua bubar dengan menggenggam keputusan yang sudah diambil oleh atasannya. Mereka tidak bisa protes lag
"Kita periksa lebih dalam lagi, Pak. Tadi kami cek gula darah anak Bapak tinggi, apa ada keturunan?" tanya dokter."Iya, almarhumah ibunya, saat melahirkan Jingga, dia menderita diabetes, sampai akhirnya seminggu setelahnya meninggal dunia," terang Pak Pram. Aku turut memperhatikan dia bicara."Yang saya khawatirkan, putri bapak juga mengalami hal yang sama dan komplikasinya ke ginjal, ini baru dugaan sementara, kita akan melakukan beberapa pemeriksaan lagi," tutur dokter.Aku melihat ke arah Pak Pram yang sangat terlihat sedih wajahnya, binar matanya yang selalu ceria kini menjadi berembun. Pak Pram yang selalu tampak tegar tiba-tiba menjadi sosok laki-laki lemah ketika sang putri sakit tak berdaya.Tiba-tiba aku teringat sosok bapak yang sama persis seperti Pak Pram, almarhum tak pernah rela melihat putrinya terluka. Dia selalu menginginkan aku bahagia meskipun harus bercucuran keringat dan mempertaruhkan nyawa. 'Pak, Inggit kangen Bapak,' batinku ikut menangis.Aku menelan ludah sa
Aku melihat ke arah jam tangan, masih pukul tiga sore, tapi Mas Dimas nyuruh aku datang ke rumahnya. Apa dia sudah pulang dari kantor?"Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku padanya."Aku cuti barusan, males, udah nggak semangat kerja, turun jabatan segala. Makanya kamu temui aku sekarang di rumah ya, kan kamu belum mulai aktif kerja," perintah Mas Dimas seenaknya.Aku menoleh ke arah Pak Pram dan Pak Satria. Ingin rasanya aku mengadu pada mereka, tapi Mas Dimas adalah suamiku, seharusnya aku tidak melulu bicara tentang rumah tanggaku pada orang lain. Ditambah perceraian belum resmi, seharusnya aku masih menjaga martabat Mas Dimas sebagai kepala keluarga."Ya udah, aku mau, tapi nggak di rumah, aku mau ketemu di satu tempat, Cafe Enak, gimana?" Aku menawarkan pilihan lain."Baiklah, aku setuju, satu jam lagi ya," seru Mas Dimas. Kemudian sambungan telepon pun terputus setelah kami menemukan kesepakatan.Usai mengangkat telepon, aku kembali ke tengah-tengah Pak Pram dan anaknya. Mereka suda
Kalau aku tahu tujuan utama Mas Dimas mengajakku bertemu untuk mengumpat dan segala macam, tentu takkan aku terima ajakannya. Aku pikir dia ingin membicarakan masalah pekerjaan ataupun masalah rumah tangga kami."Dimas, ini siapa?" Tiba-tiba saja Mama jujur ikut bicara."Ini yang nanti bakal jadi calon menantu Mama. Lebih baik dari Inggit," sahut Mas Dimas. "Oh Mama pikir kamu ngajak Mama bertemu dengan Inggit itu, mau membujuknya supaya balik ke rumah, makanya agak aneh tadi," sambung Mama Dewi dengan mimik wajah menyunggingkan senyuman miring.Sekarang aku paham, mereka merencanakan ini untuk menjatuhkan harga diriku di depan umum. Seisi cafe hampir menyaksikan kami berdebat. Sorotan mata pengunjung menuju ke arah kami semua."Aku rasa Pram itu kena pelet orang ini, lihat saja tubuhnya, kulitnya yang kusam, rasanya tidak mungkin Pram mau dengannya," sindir Safitri lagi.Dari tadi mereka berkicau seperti burung, sementara aku hanya menyaksikan sindiran pedas dari manusia yang tidak
"Jangan salah paham dulu, Bu, maksud saya bukan seperti itu. Nggak ada maksud untuk mempermainkan pernikahan," sahut Pak Pram. "Kita bicarakan kelanjutannya nanti setelah bertemu dengan papa," sambungnya lagi.Kami terdiam dan tidak bisa melanjutkan pertanyaan lagi. Sebab, apa peran sudah mengakhiri pembicaraan mengenai pernikahan ini.Bukannya ingin menolak, aku dan Pak Pram beda kasta. Aku hanya perempuan miskin yang diangkat derajatnya oleh keluarga Pak Satria dan Pak Pram, itu juga atas balas budi terhadap bapakku.Memang semua tidak ada yang tidak mungkin, tapi realitanya mana ada orang kaya yang menginginkan orang sepertiku menjadi istrinya, seperti yang disebutkan oleh Safitri saat bertemu ku tadi. Bahkan hanya dijadikan kepala marketing saja itu sudah mustahil, bagaimana jika dijadikan istri.Setelah melakukan perjalanan antara hotel dan rumah yang akan diberikan oleh Pak Pram, akhirnya kami tiba juga dalam waktu hanya satu jam. Jarak dari rumah Pak Pram ke rumah yang akan kam
[Nggak usah merasa tersakiti, Mas. Itu karma buat kamu, telan aja.]Aku balas pesan darinya dengan berani, sebab sesekali ia harus diberi pelajaran, aku memang sering ditindas, tapi untuk sekarang, aku tidak mau lagi diinjak-injak olehnya. Kata-kata kasar yang sering dilontarkan untukku dan keluarga akan berbalik padanya. Aku yakin itu.[Sialan, wanita miskin tetaplah miskin, jangan berharap jadi orang kaya mendadak, itu mustahil.]Kata-katanya selalu menyakitkan hati, meskipun hanya dengan bentuk pesan, tapi tetap saja menorehkan luka yang terdalam. Aku menghela napas sebagai bentuk menahan diri dari emosi. Sebab, Jingga menatapku keheranan."Tante, aku ngomong dicuekin," protes Jingga. Aku tidak mengerti apa yang ia bicarakan saat aku berbalas pesan dengan Mas Dimas."Maaf, Sayang. Tadi kamu ngomong apa?" tanyaku penasaran."Tante, aku mau tidur, biasanya dielus-elus keningku," pinta Jingga.Aku pun melakukan permintaan anak dari Pak Pram itu. Sejenak aku melupakan apa yang Mas Dim
"Aku mandi duluan," ucap Pak Pram. Kemudian dia melangkah ke arah kamar mandi. Aku terpaku sambil mengulurkan tangan.Belum ada obrolan apa-apa ketika tadi Pak Pram memotong pembicaraanku dengan beranjak ke kamar mandi."Saya ke depan dulu, mau telepon rekan," ucap Pak Satria sambil pamit pada istrinya.Kemudian, aku yang masih ketakutan melihat sorotan mata ibu besar pun menunduk."Panggil saya, Mama ya, ingat, Mama, jangan ada embel-embel apapun," celetuk wanita yang berparas cantik, aku menoleh ke arahnya secara spontan, tubuhnya yang jenjang membuatku agak sedikit mendongak, iya, ibunya Pak Pram sangat tinggi sekali.Namun, ada yang masih aku cerna dari ucapannya barusan. Mama dia bilang? Aku disuruh panggil dengan sebutan mama? Apa ini tidak salah dengar? Aku dianggap anak?"Mama? Itu artinya aku diangkat sebagai anak?" tanyaku penasaran."Nggak usah pura-pura tidak tahu, Pram sudah bicara dengan kamu, kan?" Aku bergeming, seketika pikiran ini langsung mengingat obrolan tadi mal