"Bu, salah satu pebisnis meninggal dunia dalam kecelakaan," terang Vivi.Awalnya Jingga terdiam sejenak. Dia berusaha menebak sendiri orang tersebut. Bahkan Jingga berharap kecelakaan itu adalah Dion. Namun dalam lamunannya itu Jingga menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. 'Aku nggak boleh jahat sama orang, kata Mama kalau orang jahat sama kita, biarkan Tuhan yang balas, karena balasan dari Tuhan itu lebih pedih.' Jingga membatin dalam hati. Kemudian dia berusaha untuk bicara kembali dengan Vivi."Inalillahi wa innailaihi raji'un, kalau boleh tahu siapa ya?" tanya Jingga akhirnya tidak mau menduga-duga lagi."Pak Lian, Bu, meninggal dunia dalam kecelakaan, sedangkan istrinya kritis, sopirnya juga sama," terang Vivi.Jingga menarik napas. Dia benar-benar terkejut ketika mendengar nama yang disebutkan olehnya."Oh Pak Lian," jawabnya singkat. "Iya, Bu, sekarang jenazahnya sedang dibawa ke rumah duka, tapi istri dan sopirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat," terang Vivi."Ya Allah, t
"Dari liburan," jawab Safitri singkat.Safitri masih bersikap dingin terhadap Inggit dan keluarganya. Dia seperti menghindar demi menjaga perasaan suaminya. Padahal Dion hanya memberikan alibi saja.Tirta yang melihat keanehan mamanya pun berinisiatif menarik pergelangan tangannya, dia agak menjauhi Safitri dari Inggit. "Mama kenapa?" tanya Tirta."Jaga perasaan papamu yang cemburu pada Om Pram," timpal Safitri berbisik."Oh, jadi karena itu, tapi kasihan Tante Inggit," ungkap Tirta.Namun Safitri memilih untuk mengakhiri pembicaraan. Dia beranjak menyusul Dion yang tengah menemui sanak keluarga Lian.Sementara Inggit pun merasakan ada yang disembunyikan oleh Safitri. Namun dia berusaha untuk menelannya terlebih dahulu karena ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat apalagi menanyakan hal sepele seperti ini."Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Tante Safitri, tapi aku yakin Mama juga memiliki perasaan yang sama," bisik Jingga.Inggit menoleh sebentar, dia melirik ke arah Safitri
"Dimas, kamu udah siuman?" tanya Pram ketika mendekatinya.Dimas menatap keduanya satu persatu. Dia tidak langsung menjawab sapaan Pram. Bahkan dia menyoroti sepasang suami istri itu cukup lama."Kalian siapa?" Akhirnya Dimas mempertanyakan itu dari mulutnya."Apa kamu tidak mengenal kami?" tanya Inggit gantian.Keduanya saling beradu pandang karena ingin menunggu jawaban dari Dimas. Namun, Dimas hanya menggelengkan kepalanya."Kamu tidak ingat saat kecelakaan?" tanya Pram."Saya tidak ingat apa-apa. Tadi kalian sebut nama Dimas. Apa nama saya Dimas?" tanyanya balik."Iya, nama kamu Dimas," jawab Pram.Pram dan Inggit berdiskusi meskipun bisik-bisik. Dia tidak pernah menyangka bahwa Dimas akan hilang ingatan.Mata Dimas berkeliling ke seluruh ruangan, dia tidak berusaha menghafal wajah Inggit dan Pram."Kalau begitu kami pamit, semoga cepat pulih, yang terpenting yang harus kamu tahu, namamu adalah Dimas," tutur Pram."Baiklah, kalau ada yang tanya nama, saya akan menjawab Dimas," jaw
Tirta menghampiri Tari yang tengah terpukul karena kenyataan pahit yang harus dia telan. Ya, Tari benar-benar syok saat dia sudah melewati masa kritisnya."Ibu adalah istri dari pebisnis hebat, yang menurut Papa saya itu kinerjanya sangat menjadi panutan, boleh merasa terpukul atas kehilangan mata dan suami, tapi di balik ini semua tentu ada hikmah yang tersembunyi," ungkap Tirta ketika mencoba menenangkan Tari. Dokter yang lain mundur saat Tirta sudah datang dan mengucapkan kata-kata tadi."Kamu siapa?" Tari bertanya karena dia tidak kenal suara dan juga tidak dapat melihat lagi."Kenalkan saya Dokter Tirta, Saya kenal Bu Tari dari Papa saya yang kebetulan pebisnis, kita sempat bertemu di pertemuan kemarin di Bandung, inilah yang dinamakan takdir. Saat bertemu kondisi sehat, Namun ternyata sepulang dari pertemuan tersebut kalian meninggal dunia dalam tragedi kecelakaan, saya dan keluarga turut berduka cita," ungkap Tirta.Tari terdiam sebentar, dia mengingat kembali kejadian yang beg
Ronald menunggu di depan, dia memantau sang papa yaitu Dion, yang masuk ke lapas bersama Haris.Dion tampak terburu-buru, dan hari sangat setia menemaninya. Memang Haris adalah orang kepercayaan Dion sejak dulu. Dia tidak pernah luput dari jangkauannya, setiap kali ada masalah Dion selalu mengandalkan Haris."Saya mau bicara dengan adik saya, kamu tunggu di depan," perintah Dion. Dia menyuruhnya untuk tetap berdiri di depan pintu ruangan besuk."Baik, Pak," jawab Haris.Kemudian Dion pun masuk dan menunggu kedatangan narapidana yang ingin dia kunjungi. Pria yang telah menikahi Safitri itu duduk dengan posisi tangan berada di atas meja.Tidak lama kemudian suara hentakan kaki pun terdengar. Penjaga lapas membawa seorang wanita dari sel tahanan."Chika, maaf Mas baru datang," ucap Dion."Nggak apa-apa, its oke," jawab wanita yang sudah lima belas tahun menjalani hukuman penjara. Tersisa lima tahun lagi untuk dia bebas dari hukuman."Chika, apakah kamu sudah tahu kalau Lian itu sudah mat
Ronald diam saja, namun sang papa terus bicara. Dia mengatakan semua kejelekan tentang Papa kandungnya Ronald.Satu hal yang tidak bisa ia terima. Ronald disamakan oleh orang yang sangat dihormati olehnya."Kamu dan papa kamu itu sama saja, brutal!" Teriakan Dion membuat Ronald semakin naik darah.Buk!Akhirnya tangan Ronald pun melayang ke area wajah Dion. Sebab cara itulah yang membuat Dion diam dan tidak melanjutkan celotehannya lagi tentang Ronald dan Dimas."Kamu tuh seorang ayah tapi tidak ada sama sekali perasaan sayang terhadap anak sambung! Apa jangan-jangan kamu sengaja nikah dengan mamaku?" Kini Ronald mulai terpancing emosi. Dia terlihat sudah geram terhadap papanya. Dian memang sangat membenci Ronald, di samping dia bukan anak kandungnya, Dion pun menikahi Safitri bukan dari ketulusan hati. Namun karena suruhan dari Chika. Hanya saja waktu yang terus berjalan membuat rasa cinta terhadap Safitri mulai tumbuh."Kamu itu anak mantan narapidana, jadi aku tidak sudi menyayang
"Tirta, Mama takut adikmu membahayakan diri sendiri," ucap Safitri. Dia berdiri sambil memasang wajah panik."Mama tenang, ya," timpal Tirta. "Biar aku yang ke atas lihat Ronald," tambahnya. Kemudian dia menyegerakan diri untuk naik ke lantai dua.Tirta menemui adiknya. Dia benar-benar sangat peduli dengan adik yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengannya.Setibanya di depan pintu, Tirta mengetuk-ngetuk, awalnya tidak ada suara sama sekali. Namun setelah beberapa menit kemudian, handle pintu terbuka, dan Ronald membukakan pintunya.Ronald membuka pintu kemudian menutupnya kembali setelah Tirta masuk. Dia tidak bersuara sama sekali. Namun melihat kondisi Ronald yang baik-baik saja, Tirta sudah sangat lega.Kemudian mereka duduk, di atas ranjang yang sangat berantakan. Sepertinya Ronald sempat mengamuk, hingga akhirnya salah satu gelas yang ada di meja sebelahan dengan ranjangnya pecah."Kamu kenapa? Ada yang kamu rahasiakan dari kami? Ada yang nyakitin hati kamu?" Mata Ronald ber
Ronald menceritakan semuanya, berawal dari ngikutin papanya ke lapas. Entah dia tengah menjenguk siapa, Ronald belum sempat bertanya pada Dion. "Jadi, awal mula kamu tahu bahwa Dimas adalah papa kamu karena lihat papamu salah satu narapidana?" tanya Safitri agak bingung. Kemudian dia menoleh ke arah Tirta."Aku nggak tahu Papa ngunjungin siapa," timpal Tirta.Jadi, Dion memang tidak memberitahukan pada Tirta bahwa dia memiliki adik yang bernama Chika, karena Dion baru mengetahuinya juga, dan setelah mereka bertemu, Chika pun mengantisipasi untuk tidak memberitahukan pada siapapun tentang statusnya yang ternyata adalah adik kandung dari Dion."Siapa ya? Kok bapak kamu nggak ngasih tahu Mama bahwa ada rekannya yang dipenjara di kota Jakarta ini," ucap Safitri keheranan. Sebenarnya bukan satu hal yang menjadi beban pikiran Safitri. Makanya dia langsung mengibaskan telapak tangannya dan menganggap ini bukan hal penting untuknya. Yang paling penting adalah anaknya sudah tidak lagi marah