Inggit membuka pesan yang diberikan kepala sekolah. Betapa terkejutnya dia ketika melihat kontak orang tua yang dikirimkan kepala sekolah."Safitri," ucap Inggit dengan mulut menganga. "Hah! Safitri?" tanya Pram terkejut."Siapa, Mah?"tanya Jingga kemudian. Semuanya terkejut mendengar namanya."Ternyata yang mukulin Ameer itu anaknya Safitri, Sayang," jawab Inggit.Jingga pun memutar badannya ke arah tempat sang mama duduk."Adiknya Tirta? Yang anaknya Om Dimas kan, Mah?" tanya Jingga balik.Inggit hanya mengangguk, dia shock dan tidak bisa berkata-kata lagi dengan informasi ini."Ameer nggak tahu masalah ini, dia cuma marah tadi ke Mama karena udah bikin malu," ungkap Inggit."Ah dia mah emang gede malunya, Mah, nggak tahu bagaimana orang tuanya mengkhawatirkan," timpal Jingga. "Kamu mandi, terus bujuk Ameer," suruh Pram.Jingga pun bangkit dari duduknya. Kemudian mereka menutup pembicaraan. Sebab, Inggit masih shock dengan apa yang didengarnya.**"Pasti papamu ngomel, Ronald kala
"Tidak seperti itu, Ronald, kamu juga anak baik," susul Tirta menyejukkan."Udah ya, Mama nggak mau debat," sahut Safitri. "Intinya kalau salah minta maaf," tambahnya lagi.Setibanya di rumah Pram, mereka langsung dipersilakan masuk karena satpam sudah mengenalnya. Raut wajah Ronald agak berbeda ketika melihat rumah Ameer yang megah, matanya berkeliling dari parkiran hingga ke dalam ruangan tamu."Pantesan Anisa lebih suka Ameer daripada aku, ternyata dia tajir," celetuk Ronald ketika dipersilakan duduk, mereka masih menunggu pemilik rumah turun dari kamarnya."Nggak usah banyak bicara, Ronald, kita ini tamu," pesan Tirta pada adiknya dengan berbisik. Baru kali ini dia agak tegas pada adiknya, biasanya Tirta pun sama seperti Safitri, sangat menyayangi Ronald."Kalian ini kenapa sih dengan keluarga ini? Apa spesialnya?" tanya Ronald.Tirta dan Safitri menutup mulutnya dengan jari telunjuk seraya menyuruhnya diam. Sebab, suara hentakan kaki terdengar dari lantai atas.Pram dan Inggit d
Jingga menatap mama dan papanya yang ikut mengantarkan Safitri dan anaknya ke parkiran."Nama Haris bukan cuma satu, di dunia ini banyak," bisik Inggit yang tahu gelagat Jingga, dia paham betul jika anaknya itu mencurigai seseorang.Safitri pun mengantongi ponselnya kembali, lalu dia pamit dengan orang yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.Setelah mereka pamitan, Jingga pun dirangkul oleh Ameer dari depan."Ciye, diapelin nih," ejek Ameer senang sekali becanda."Ah, kamu, benar-benar ingin diomelin terus ya," timpal Jingga kesal, dia geregetan bahkan mencubit sang adik."Lagian bengong aja dari tadi," celetuk Ameer."Mah, Pah, tahu kan kalau aku lagi kepikiran Haris yang dimaksud oleh Tante Safitri?" tanya Jingga.Pram dan Inggit pun mengangguk sambil terus berjalan, mereka tidak menanggapi prasangka buruk Jingga.Di jalan menuju kamar, Jingga masih saja terlintas Haris, biasanya jika dia memiliki feeling seperti ini, sebuah firasat yang benar."Nanti juga terbuka kalau mema
Tapi Dimas tidak memiliki kontak Safitri sama sekali. Dia hanya ketemu di jalan."Pak, balik lagi deh," pinta Dimas.Ojek pun memutar kembali ke arah yang Dimas tentukan. Mereka menuju rumah Lian dan Tari. Dimas tidak memiliki cara lain selain meminta maaf. Ya, karena dia benar-benar tidak mengetahui tempat tinggal Safitri.Setibanya di rumah Lian, terlihat pria tersebut tengah membuka pintu mobilnya, Dimas yang melihat buru-buru menghampiri Lian."Pak, belum pergi ke luar kota? Maafin saya, Pak, Bu," ucap Dimas memohon pada mereka."Bukankah tadi kamu pasrah saat saya memecat kamu," timpal Lian."Iya, Pak. Saya berpikir ulang karena ini kesalahan saya, jadi saya harus minta maaf sebesar-besarnya," kata Dimas, dia menurunkan egonya sementara.Saat itu juga wajah Tari menyorot suaminya. Dia mengedipkan mata seolah-olah menjadi isyarat untuknya.Helaan napas pun terdengar dari mulut Lian, dia membuang muka sebentar, lalu mengambil napas kembali."Baiklah, kebetulan saya belum dapat sopi
Setelah Jingga melihat kondisi kantor saat diprediksi datangnya kurir yang mengantarkan undangan. Dia melihat sosok laki-laki datang dengan menyerahkan selembar kertas."Itu Haris, astaga, kemarin pas kedatangan dia, kenapa orang itu yang nerima? Bisa-bisanya pihak kurir mempercayainya," gerutu Jingga.Jingga diam sejenak, selanjutnya dia tidak melanjutkan melihat CCTV tersebut. Dengan cepat jarinya menghubungi seseorang."Halo, Pak Juang, apa boleh datang jika saya tidak membawa undangan acara pertemuan di Bandung?" tanya Jingga to the point."Oh Bu Jingga undangannya hilang?" tanyanya balik."Nanti saya ceritakan di sana, boleh saya menyusul ke acara pertemuan?" tanyanya lagi."Oh boleh, justru di susunan acara Bu Jingga diperkenankan untuk memberikan motivasi sebagai pebisnis muda, sekitar jam satu siang, usai isoma, jadi saya berharap Bu Jingga hadir," kata Juang yang dihubungi Jingga."Baiklah, saya akan meluncur sekarang," jawab Jingga kemudian menutup sambungan teleponnya.Jing
"Dion!" teriak orang yang berada di dalam. Seketika itu juga Safitri bernapas lega karena akhirnya bisa mengalihkan pembicaraan dengan orang yang kini memanggil suaminya.Mereka masuk ke dalam karena Dion menghampiri orang yang memanggilnya. Pria tersebut adalah Lian, mereka saling mengenal."Kita ketemu di sini, terakhir kamu meminta diajarkan bisnis, eh ternyata sekarang malah jadi tamu undangan di sini, yang hadir orang-orang yang hebat, itu artinya kamu sudah terjun ke dunia bisnis di Indonesia, bukan begitu?" tanya Lian."Betul sekali. Istriku inilah yang menjadi acuan untukku berbisnis di Indonesia, karena ingin membahagiakan dia aku jadi sangat antusias menjalani bisnis," ungkap Dion. Dia bicara sambil menggenggam tangan sang istri lalu menggandengnya. Kedua anaknya bahkan tersipu malu ketika sang mama digoda oleh suaminya. 'Tumben Papa romantis,' batin Tirta sambil tersenyum.Dion itu memang sangat menyayangi Safitri. Bahkan kasih sayangnya melebihi rasa sayang terhadap anakn
"Ayolah Nico, kamu bicara kalau___" Jingga berhenti karena dipanggil oleh pembawa acara untuk naik ke podium. Sudah waktunya Jingga harus memberikan sambutan dan motivasi untuk para pebisnis muda.Jingga membasahi bibirnya, dia menghela napas karena harus menunda mengatakan sesuatu pada Safitri."Aku tidak mengerti maksudnya Jingga itu apa?" tanya Safitri pada Dion yang langsung membuang wajahnya nggak sembarang tempat."Sudahlah, dia itu masih kecil, pokoknya kamu nggak usah ikut campur ya," timpal sang suami.Safitri pun terpaksa diam, sebab kalau dia mengatakan sesuatu, tentu akan membuat suasana semakin ricuh. Dia tahu betul sifat suaminya. Dikarenakan suaminya langsung menyeret Haris pergi dari tempat pertemuan, akhirnya Safitri memutuskan untuk mengajak anaknya nimbrung bersama keluarga Pram.Mereka ngobrol bersama-sama. Meskipun tadi sempat ada adu mulut, tapi ketika Safitri menghampiri Pram dan Inggit, keduanya tetap bersikap seperti biasa."Padahal kemarin baru bertemu. Terny
"Tadi ada dua anak laki-laki, pasti kamu anak tirinya Safitri, kan?" tanya Dimas kembali menyecar.Ronald mulai curiga, dia keheranan dengan jawaban Dimas barusan. Jawaban yang malah bertanya balik padanya."Kenapa kamu sok-sokan tahu tentang anak tiri? Saya semakin ragu terhadap kamu, sopir, kamu sopir kan?" tanya Ronald membuat Dimas kesal. Rasa penasarannya seketika sirna saat Ronald mengatakan dirinya sopir dengan angkuhnya.Namun, tiba-tiba perdebatan mereka terlerai karena Safitri yang tiba-tiba muncul bersama Tirta. Dia buru-buru menarik pergelangan tangan anaknya yang tengah berhadapan dengan Dimas."Kenapa kamu ngobrol dengan orang asing?" Safitri memarahi anaknya."Kenapa? Aku cuma penasaran kenapa dia kenal Mama," jawab Ronald. Dia langsung membanting tangannya saat Safitri mencekal pergelangan tangan Ronald."Ronald, jangan marah-marah pada Mama," ucap Tirta mencegah Ronald supaya tidak tersulut emosi.Dimas mendengar ucapan Tirta, spontan dia terharu mendengarnya. Senyum
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su