"Ayolah Nico, kamu bicara kalau___" Jingga berhenti karena dipanggil oleh pembawa acara untuk naik ke podium. Sudah waktunya Jingga harus memberikan sambutan dan motivasi untuk para pebisnis muda.Jingga membasahi bibirnya, dia menghela napas karena harus menunda mengatakan sesuatu pada Safitri."Aku tidak mengerti maksudnya Jingga itu apa?" tanya Safitri pada Dion yang langsung membuang wajahnya nggak sembarang tempat."Sudahlah, dia itu masih kecil, pokoknya kamu nggak usah ikut campur ya," timpal sang suami.Safitri pun terpaksa diam, sebab kalau dia mengatakan sesuatu, tentu akan membuat suasana semakin ricuh. Dia tahu betul sifat suaminya. Dikarenakan suaminya langsung menyeret Haris pergi dari tempat pertemuan, akhirnya Safitri memutuskan untuk mengajak anaknya nimbrung bersama keluarga Pram.Mereka ngobrol bersama-sama. Meskipun tadi sempat ada adu mulut, tapi ketika Safitri menghampiri Pram dan Inggit, keduanya tetap bersikap seperti biasa."Padahal kemarin baru bertemu. Terny
"Tadi ada dua anak laki-laki, pasti kamu anak tirinya Safitri, kan?" tanya Dimas kembali menyecar.Ronald mulai curiga, dia keheranan dengan jawaban Dimas barusan. Jawaban yang malah bertanya balik padanya."Kenapa kamu sok-sokan tahu tentang anak tiri? Saya semakin ragu terhadap kamu, sopir, kamu sopir kan?" tanya Ronald membuat Dimas kesal. Rasa penasarannya seketika sirna saat Ronald mengatakan dirinya sopir dengan angkuhnya.Namun, tiba-tiba perdebatan mereka terlerai karena Safitri yang tiba-tiba muncul bersama Tirta. Dia buru-buru menarik pergelangan tangan anaknya yang tengah berhadapan dengan Dimas."Kenapa kamu ngobrol dengan orang asing?" Safitri memarahi anaknya."Kenapa? Aku cuma penasaran kenapa dia kenal Mama," jawab Ronald. Dia langsung membanting tangannya saat Safitri mencekal pergelangan tangan Ronald."Ronald, jangan marah-marah pada Mama," ucap Tirta mencegah Ronald supaya tidak tersulut emosi.Dimas mendengar ucapan Tirta, spontan dia terharu mendengarnya. Senyum
Safitri menutup mulut Tirta dengan jari telunjuknya. Dia memberikan kode untuk hati-hati dalam bicara. Safitri juga komat-kamit menunjukkan bahasa isyarat supaya Tirta tidak keras-keras bicaranya.Mata Safitri berkeliling, dia lihat sekitar terlebih dahulu sebelum melanjutkan pembicaraan dengan Tirta. Jantungnya berdetak kencang ketika ingin mengutarakan semuanya ke anak tirinya, dia sangat mempercayai Tirta karena sifatnya begitu berwibawa menurut pandangan seorang ibu sambung.Bagi Safitri memiliki anak tiri seperti Tirta adalah sebuah keberuntungan untuknya, dia merasa Tuhan begitu baik terhadapnya hingga mempertemukan orang baik untuknya.Setelah memastikan semua aman, Safitri menelan ludah dengan cepat. Dia menyeret tubuhnya supaya lebih dekat dari Tirta."Kalau kamu Mama ceritakan, tolong jaga rahasia ini ya," pesan Safitri. "Iya, Mah, Tirta janji," katanya sambil mengacungkan dua jari, yaitu jari telunjuk dan jari tengah."Yang kamu katakan benar, Dimas adalah ayah biologisnya
Safitri tetap mencoba masuk bersama kedua anaknya. Mereka berdiri tepat di belakang sang suami yang belum sadar bahwa mereka sudah berada di dalam."Haris, kalau sudah ketahuan dengan Jingga, kamu harus hati-hati ya," tutur Dion.Raut muka ketiga anaknya pun saling beradu pandang di belakang sang kepala keluarga. Mereka bertanya-tanya Kenapa Jingga yang disebutkan oleh Dion?Sampai beberapa menit Dion tidak sadar bahwa anak dan istri tengah berada di belakang. Dia begitu asik bicara dengan anak buahnya. Ya, membicarakan keluarga Jingga pula, yang tentunya membuat rasa penasaran Safitri dan Tirta meronta-ronta. Berbeda dengan Ronald, dia hanya menanggapi hal biasa tentang pebisnis. Sebab memang dia tidak ingin berkecimpung di dunia bisnis.Rasa masa bodo yang menyelimuti Ronald pun akhirnya membuat dia berdecak supaya sang Papa dengar dan tidak melanjutkan bicara dengan Haris lagi."Eh ada kalian di belakang? Sejak kapan? Kenapa masuk nggak beri salam lagi?" Pertanyaan yang dilontarkan
"Bu, salah satu pebisnis meninggal dunia dalam kecelakaan," terang Vivi.Awalnya Jingga terdiam sejenak. Dia berusaha menebak sendiri orang tersebut. Bahkan Jingga berharap kecelakaan itu adalah Dion. Namun dalam lamunannya itu Jingga menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri. 'Aku nggak boleh jahat sama orang, kata Mama kalau orang jahat sama kita, biarkan Tuhan yang balas, karena balasan dari Tuhan itu lebih pedih.' Jingga membatin dalam hati. Kemudian dia berusaha untuk bicara kembali dengan Vivi."Inalillahi wa innailaihi raji'un, kalau boleh tahu siapa ya?" tanya Jingga akhirnya tidak mau menduga-duga lagi."Pak Lian, Bu, meninggal dunia dalam kecelakaan, sedangkan istrinya kritis, sopirnya juga sama," terang Vivi.Jingga menarik napas. Dia benar-benar terkejut ketika mendengar nama yang disebutkan olehnya."Oh Pak Lian," jawabnya singkat. "Iya, Bu, sekarang jenazahnya sedang dibawa ke rumah duka, tapi istri dan sopirnya dilarikan ke rumah sakit terdekat," terang Vivi."Ya Allah, t
"Dari liburan," jawab Safitri singkat.Safitri masih bersikap dingin terhadap Inggit dan keluarganya. Dia seperti menghindar demi menjaga perasaan suaminya. Padahal Dion hanya memberikan alibi saja.Tirta yang melihat keanehan mamanya pun berinisiatif menarik pergelangan tangannya, dia agak menjauhi Safitri dari Inggit. "Mama kenapa?" tanya Tirta."Jaga perasaan papamu yang cemburu pada Om Pram," timpal Safitri berbisik."Oh, jadi karena itu, tapi kasihan Tante Inggit," ungkap Tirta.Namun Safitri memilih untuk mengakhiri pembicaraan. Dia beranjak menyusul Dion yang tengah menemui sanak keluarga Lian.Sementara Inggit pun merasakan ada yang disembunyikan oleh Safitri. Namun dia berusaha untuk menelannya terlebih dahulu karena ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat apalagi menanyakan hal sepele seperti ini."Aku nggak tahu apa yang terjadi dengan Tante Safitri, tapi aku yakin Mama juga memiliki perasaan yang sama," bisik Jingga.Inggit menoleh sebentar, dia melirik ke arah Safitri
"Dimas, kamu udah siuman?" tanya Pram ketika mendekatinya.Dimas menatap keduanya satu persatu. Dia tidak langsung menjawab sapaan Pram. Bahkan dia menyoroti sepasang suami istri itu cukup lama."Kalian siapa?" Akhirnya Dimas mempertanyakan itu dari mulutnya."Apa kamu tidak mengenal kami?" tanya Inggit gantian.Keduanya saling beradu pandang karena ingin menunggu jawaban dari Dimas. Namun, Dimas hanya menggelengkan kepalanya."Kamu tidak ingat saat kecelakaan?" tanya Pram."Saya tidak ingat apa-apa. Tadi kalian sebut nama Dimas. Apa nama saya Dimas?" tanyanya balik."Iya, nama kamu Dimas," jawab Pram.Pram dan Inggit berdiskusi meskipun bisik-bisik. Dia tidak pernah menyangka bahwa Dimas akan hilang ingatan.Mata Dimas berkeliling ke seluruh ruangan, dia tidak berusaha menghafal wajah Inggit dan Pram."Kalau begitu kami pamit, semoga cepat pulih, yang terpenting yang harus kamu tahu, namamu adalah Dimas," tutur Pram."Baiklah, kalau ada yang tanya nama, saya akan menjawab Dimas," jaw
Tirta menghampiri Tari yang tengah terpukul karena kenyataan pahit yang harus dia telan. Ya, Tari benar-benar syok saat dia sudah melewati masa kritisnya."Ibu adalah istri dari pebisnis hebat, yang menurut Papa saya itu kinerjanya sangat menjadi panutan, boleh merasa terpukul atas kehilangan mata dan suami, tapi di balik ini semua tentu ada hikmah yang tersembunyi," ungkap Tirta ketika mencoba menenangkan Tari. Dokter yang lain mundur saat Tirta sudah datang dan mengucapkan kata-kata tadi."Kamu siapa?" Tari bertanya karena dia tidak kenal suara dan juga tidak dapat melihat lagi."Kenalkan saya Dokter Tirta, Saya kenal Bu Tari dari Papa saya yang kebetulan pebisnis, kita sempat bertemu di pertemuan kemarin di Bandung, inilah yang dinamakan takdir. Saat bertemu kondisi sehat, Namun ternyata sepulang dari pertemuan tersebut kalian meninggal dunia dalam tragedi kecelakaan, saya dan keluarga turut berduka cita," ungkap Tirta.Tari terdiam sebentar, dia mengingat kembali kejadian yang beg