Perkataan ibu tadi pmembuat Nadine sangat sedih. Belum sembuh luka yang dia alami karena orang tua Laura kini semuanya telah terbongkar kenapa ibunya sangat membencinya. Nadine merasa sedih dengan semua ini. Nadine mengambil beberapa bajunya, dia menyimpulkan kalau bukan anak kandungnya. Ibu mana yang tega menyiksa anaknya. Nadine pergi entah kemana yang jelas dia ingin pergi sejenak dari kehidupan penuh topeng.“Mau kemana kamu?”Tanya Weni sambil mengiris bawang merah. ”Mau kabur ke orang yang ngaku menjadi orang tuamu. Bagus benar kamu mencari orang yang lebih kaya daripada ibumu sendiri. Kembalikan tasmu dan bantu ibu mengiris bawang merah buat bumbu.”Weni masih sibuk mengiris bawang merah.“Kalau aku tidak mau bagaimana?”Tanya Nadine dengan tegas. Weni langsung melempar pisaunya dan langsung mendekati Nadine sambil menjambak rambut Nadine dengan paksa. “Jangan pernah sedikitpun membantahku!”Weni marah. Nadine dengan sigap langsung melepaskan jambakan dari ibu Weni. ”Berani iya kam
Lima puluh ribu warna biru itulah sekarang yang Nadine lihat di dompetnya. Tidak ada tabungan lagi. Pernah menabung di celengan. Uangnya diambil oleh ibu Weni. Sedih rasanya mengingat kejadian tersebut karena berbulan-bulan dia mengumpulkan uang untuk ditabung tapi dirampas olehnya.Rahasia sudah terbongkar atau tidak entahlah. Nadine belum tahu semua langsung dari mulut ibu Weni dia hanya menerka-mereka kalau ibu Weni dan ayah Dendi bukan orang tua kandung Nadine. Perlakuan yang dilakukan ibu Weni yang membuat dia paham semuanya.“Aku harus kemana? Uang lima puluh ribu cukupkah bertahan hidup?” Nadine masih melihat lembaran uang lima puluh ribuan.Sepotong tangan menyentuh bahunya. Siapa lagi orang yang disampingnya. Hawanya berbeda. Nadine yakin dia bukan manusia tetapi hantu. Sayup-sayup angin terdengar. Daun yang jatuh bertebaran. Suara angin terdengar jelas di kedua telinga Nadine. Perlahan dia melirik siapa yang ada disampingnya. Kedua mata tajam. Sorotannya sampai tembus ke kor
Laura duduk di depan taman sambil tubuhnya dia selonjorkan di tempat duduk yang memanjang pas dengan ukuran tubuhnya. Memandangi air kolam renang yang tenang membuat dia sedikit fresh. Hari ini sekolah libur. Sebenarnya ingin healing dulu dari segala rutinitas yang ada. Mama mendekatinya sambil membawa jus jambu kesukannya dan tak lupa hamburger tersaji di balik nampan. Mama Risa duduk di dekat Laura.“Terima kasih iya, Ma. Sudah buatkan aku jus jambu dan hamburger kesukaan Laura.”Laura mengambil jus jambu dan meminumnya. Tenggorokan rasanya lega bisa menikmati segelas jus jambu.“Laura, papamu setelah selesai mengantar Launa dia menjadi pendiam terus. Mama mencoba tanya kepadanya. Papa kamu hanya diam saja. Mama yakin ada hal yang disembunyikan dari papamu.”Laura hanya mendengarkan mamanya yang curhat. Launa lagi dan lagi. Kembarannya itu sangat keras kepala sekali. Laura diam saja sambil menyeruput jus jambunya.“Sudahlah, Ma jangan dibahas lagi tentang Launa. Kalau memang dia puny
Si kembar lurus bermata biru duduk dikursi sambil memikirkan ajakan dari Laura. Masih terbayang rasa tidak percayanya dengan apa yang dia alami. Semuanya serasa hampa dan tabu. Laura masih menunggu kembarannya itu.“Kamu tahu Launa ...”Laura memulai pembicaraan setelah Launa lama terdiam. Launa hanya bisa memandang Laura sekilas. Wajahnya memang sangat mirip dengannya. Dia belum fokus untuk menanggapi perkataan Laura.“Memang ada hal perlu apa yang ingin aku ketahui. Aku bukan siapa-siapa dari kalian. Laura aku bimbang dan bingung dengan semua ini. 0 aku tak sanggup untuk menapak lagi ke arah depan. Rasanya sangat susah.”Nadine terunduk.Laura memegang tangan Launa.”Ingat. kamu bukan Nadine tapi Launa. Buat dunia tahu kalau kamu tidak Selema yang dia bayangkan. Aku baru tahu tadi betapa lemahnya dirimu.”“Namaku, Nadine Laura.”“Hai keras sekali kamu ini. Kamu bukan Nadine. Nadine itu hanya membuatmu menjadi orang seperti budak. Kamu tahu orang yang Merawatmu itu bagaikan pisau tajam
Sepasang mata serius memandang benda kecil warna hitam di sebuah papan. Benda tersebut bejejer di sebuah kotak yang perpaduan warna hitam dan putih, dia fokus untuk memenangkan sebuah permainan. Kepulan asap masih menghiasi area. Hisapan demi hisapan dia lakukan. Dan...Skak!“Kamu kalah, Bray.”Raymond memenangkan pertandingan catur setelah sekian lama dia melakukan permainan ini. Hisapan terakhir. Raymond sudah menghabiskan dua putung rokok.“Sial, aku kalah. Kamu menang lagi. Aku salut denganmu, Ray. Ini aku kasih lima ratus ribu … cass! Kamu memang, tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu lagi. Benar-Benar otak berlian.”Mas Bray memberikan pecahan seratus ribuan berwarna merah muda ke Raymond.“Masalah uang aku jagonya, Bray.”Raymond langsung memasukkan uang yang diberikan Bray ke dalam dompetnya. ”Ini aku gunakan untuk membayar suruhanku Bray.”“Suruhanmu? Mau ngapain kamu?”Mas Bray bingung sambil mengernyitkan keningnya.“Aku mau memberikan pelajaran kepada seseorang. Kamu mau ik
Kedua mata serius mengerjakan sesuatu di sebuah laptop berwarna hitam. Tangan demi tangan mengetik. Sesekali di backspace karena ada yang salah. Launa menulis sebuah novel. Tentang saudara kembar yang terpisah inspirasi dari real storynya. Baginya cukup menarik dijadikan sebuah novel tetapi untuk judul novelnya dia masih bingung. The Twins. Terlalu banyak orang menggunakan judul tersebut. Launa masih terus menulis sampai ada ending dari novel tersebut apakah happy ending atau sad.Ardiaz yang masih setia duduk disamping Launa sambil menunggu selesai menulis. Tak henti-hentinya dia memandangi wajahnya yang seperti bidadari. Andai dia bisa hidup kembali. Ardiaz akan menjadikan Launa istrinya. Ah, itu mustahil baginya. Sekarang saja Launa belum bisa mengungkapkan siapa pembunuh Ardiaz sebenarnya karena Ardiaz tahu Launa masih sibuk dengan dunianya.“Satu menit lagi memandangiku. Aku kasih piring cantik loh!”Launa dari tadi tersadar bahwa Ardiaz memandanginya terus-menerus.“Habisnya kam
Masih terbayang kemarin saat bersama dengan Raymond. Semua begitu indah untuk dilupakan. Baginya semua menjadi satu. Laura berkaca tentang dirinya. Semuanya begitu cepat berlalu. Badannya terasa lemas karena ulah Raymond. Laura kaget jika Raymond memperlakukan dia sangat manis. Tubuhnya basah kuyup karena gemericik shower dalam kamar mandi. Bagian tengah selangkanya sakit sekali dan perih. Baru pertama kali ini Laura melakukan adegan diluar batasnya dia tidak bisa membayangkan bagaimana mama dan papanya tahu kalau dia melakukan hal yang sangat terlarang. Dia mandi dan berendam di bathtub.Suara ketukan berasal dari luar kamar mandi. Berarti ada orang yang masuk dalam kamarnya.“Siapa?”Laura memainkan busa dibathupnya.“Ini aku, Launa.”Laura langsung menghela nafas panjang. Ada apa lagi dia? Laura hanya cuek tanpa mengatakan sepatah katapun kepada Launa, dia masih asyik memainkan busa.“Laura kamu tidak apa-apa, bukan? Aku kefikiran tentangmu. Takut terjadi apa apa denganmu.”Kata Launa
Mama Risa menyiapkan nasi goreng di piring masing-masing. Launa tidak menyangka perlakuan mama Risa beda dengan dirinya waktu bersama ibu Weni.“Terima kasih, Ma.”Launa melihat mamanya menaruh hidangan nasi goreng di piringnya.“Sama-sama sayang. Oh iya dimana, Laura?”Mama Risa celingak-celinguk mencari sosok Laura. Namun, dia belum keluar kamar juga. Risa masih penasaran dengan pergaulan Laura. Ada parfum cowok yang menempel di baju Laura.“Kenapa jalanmu tidak biasanya, Laura?”Mama Risa melihat Laura berjalan sedikit tertatih-tatih.“Tadi habis jatuh dari kamar mandi, Ma.”Laura berbohong dan duduk di kursi untuk makan. Mama Risa terdiam sambil memandang gerak-gerik Laura. Aneh. Tidak biasanya dia seperti itu. Mama Risa mengambil nasi goreng yang tersaji.“Makasih, Ma.”Ucap Laura.Suasana hening saat mereka berempat menyantap nasi goreng. Papa Farhan melihat mereka dengan kondisi tegang.“Sayang, papa akan merencanakan liburan ke London. Apakah kalian mau?”Papa Farhan memulai pembica