Laura duduk di depan taman sambil tubuhnya dia selonjorkan di tempat duduk yang memanjang pas dengan ukuran tubuhnya. Memandangi air kolam renang yang tenang membuat dia sedikit fresh. Hari ini sekolah libur. Sebenarnya ingin healing dulu dari segala rutinitas yang ada. Mama mendekatinya sambil membawa jus jambu kesukannya dan tak lupa hamburger tersaji di balik nampan. Mama Risa duduk di dekat Laura.“Terima kasih iya, Ma. Sudah buatkan aku jus jambu dan hamburger kesukaan Laura.”Laura mengambil jus jambu dan meminumnya. Tenggorokan rasanya lega bisa menikmati segelas jus jambu.“Laura, papamu setelah selesai mengantar Launa dia menjadi pendiam terus. Mama mencoba tanya kepadanya. Papa kamu hanya diam saja. Mama yakin ada hal yang disembunyikan dari papamu.”Laura hanya mendengarkan mamanya yang curhat. Launa lagi dan lagi. Kembarannya itu sangat keras kepala sekali. Laura diam saja sambil menyeruput jus jambunya.“Sudahlah, Ma jangan dibahas lagi tentang Launa. Kalau memang dia puny
Si kembar lurus bermata biru duduk dikursi sambil memikirkan ajakan dari Laura. Masih terbayang rasa tidak percayanya dengan apa yang dia alami. Semuanya serasa hampa dan tabu. Laura masih menunggu kembarannya itu.“Kamu tahu Launa ...”Laura memulai pembicaraan setelah Launa lama terdiam. Launa hanya bisa memandang Laura sekilas. Wajahnya memang sangat mirip dengannya. Dia belum fokus untuk menanggapi perkataan Laura.“Memang ada hal perlu apa yang ingin aku ketahui. Aku bukan siapa-siapa dari kalian. Laura aku bimbang dan bingung dengan semua ini. 0 aku tak sanggup untuk menapak lagi ke arah depan. Rasanya sangat susah.”Nadine terunduk.Laura memegang tangan Launa.”Ingat. kamu bukan Nadine tapi Launa. Buat dunia tahu kalau kamu tidak Selema yang dia bayangkan. Aku baru tahu tadi betapa lemahnya dirimu.”“Namaku, Nadine Laura.”“Hai keras sekali kamu ini. Kamu bukan Nadine. Nadine itu hanya membuatmu menjadi orang seperti budak. Kamu tahu orang yang Merawatmu itu bagaikan pisau tajam
Sepasang mata serius memandang benda kecil warna hitam di sebuah papan. Benda tersebut bejejer di sebuah kotak yang perpaduan warna hitam dan putih, dia fokus untuk memenangkan sebuah permainan. Kepulan asap masih menghiasi area. Hisapan demi hisapan dia lakukan. Dan...Skak!“Kamu kalah, Bray.”Raymond memenangkan pertandingan catur setelah sekian lama dia melakukan permainan ini. Hisapan terakhir. Raymond sudah menghabiskan dua putung rokok.“Sial, aku kalah. Kamu menang lagi. Aku salut denganmu, Ray. Ini aku kasih lima ratus ribu … cass! Kamu memang, tetapi lain kali aku akan mengalahkanmu lagi. Benar-Benar otak berlian.”Mas Bray memberikan pecahan seratus ribuan berwarna merah muda ke Raymond.“Masalah uang aku jagonya, Bray.”Raymond langsung memasukkan uang yang diberikan Bray ke dalam dompetnya. ”Ini aku gunakan untuk membayar suruhanku Bray.”“Suruhanmu? Mau ngapain kamu?”Mas Bray bingung sambil mengernyitkan keningnya.“Aku mau memberikan pelajaran kepada seseorang. Kamu mau ik
Kedua mata serius mengerjakan sesuatu di sebuah laptop berwarna hitam. Tangan demi tangan mengetik. Sesekali di backspace karena ada yang salah. Launa menulis sebuah novel. Tentang saudara kembar yang terpisah inspirasi dari real storynya. Baginya cukup menarik dijadikan sebuah novel tetapi untuk judul novelnya dia masih bingung. The Twins. Terlalu banyak orang menggunakan judul tersebut. Launa masih terus menulis sampai ada ending dari novel tersebut apakah happy ending atau sad.Ardiaz yang masih setia duduk disamping Launa sambil menunggu selesai menulis. Tak henti-hentinya dia memandangi wajahnya yang seperti bidadari. Andai dia bisa hidup kembali. Ardiaz akan menjadikan Launa istrinya. Ah, itu mustahil baginya. Sekarang saja Launa belum bisa mengungkapkan siapa pembunuh Ardiaz sebenarnya karena Ardiaz tahu Launa masih sibuk dengan dunianya.“Satu menit lagi memandangiku. Aku kasih piring cantik loh!”Launa dari tadi tersadar bahwa Ardiaz memandanginya terus-menerus.“Habisnya kam
Masih terbayang kemarin saat bersama dengan Raymond. Semua begitu indah untuk dilupakan. Baginya semua menjadi satu. Laura berkaca tentang dirinya. Semuanya begitu cepat berlalu. Badannya terasa lemas karena ulah Raymond. Laura kaget jika Raymond memperlakukan dia sangat manis. Tubuhnya basah kuyup karena gemericik shower dalam kamar mandi. Bagian tengah selangkanya sakit sekali dan perih. Baru pertama kali ini Laura melakukan adegan diluar batasnya dia tidak bisa membayangkan bagaimana mama dan papanya tahu kalau dia melakukan hal yang sangat terlarang. Dia mandi dan berendam di bathtub.Suara ketukan berasal dari luar kamar mandi. Berarti ada orang yang masuk dalam kamarnya.“Siapa?”Laura memainkan busa dibathupnya.“Ini aku, Launa.”Laura langsung menghela nafas panjang. Ada apa lagi dia? Laura hanya cuek tanpa mengatakan sepatah katapun kepada Launa, dia masih asyik memainkan busa.“Laura kamu tidak apa-apa, bukan? Aku kefikiran tentangmu. Takut terjadi apa apa denganmu.”Kata Launa
Mama Risa menyiapkan nasi goreng di piring masing-masing. Launa tidak menyangka perlakuan mama Risa beda dengan dirinya waktu bersama ibu Weni.“Terima kasih, Ma.”Launa melihat mamanya menaruh hidangan nasi goreng di piringnya.“Sama-sama sayang. Oh iya dimana, Laura?”Mama Risa celingak-celinguk mencari sosok Laura. Namun, dia belum keluar kamar juga. Risa masih penasaran dengan pergaulan Laura. Ada parfum cowok yang menempel di baju Laura.“Kenapa jalanmu tidak biasanya, Laura?”Mama Risa melihat Laura berjalan sedikit tertatih-tatih.“Tadi habis jatuh dari kamar mandi, Ma.”Laura berbohong dan duduk di kursi untuk makan. Mama Risa terdiam sambil memandang gerak-gerik Laura. Aneh. Tidak biasanya dia seperti itu. Mama Risa mengambil nasi goreng yang tersaji.“Makasih, Ma.”Ucap Laura.Suasana hening saat mereka berempat menyantap nasi goreng. Papa Farhan melihat mereka dengan kondisi tegang.“Sayang, papa akan merencanakan liburan ke London. Apakah kalian mau?”Papa Farhan memulai pembica
Launa duduk di kursi taman sambil melihat teman -teman bermain basket pada jam istirahat. Pelajaran olahraga sudah selesai. Ternyata sekolah disini enak juga. Tidak ada kekerasan dan Bullyan. Beda dengan sekolahnya yang dulu. Jesisca Cs selalu dengan kekerasan. Apa mungkin karena Laura banyak yang menyukainya jadi untuk tindak bullying tidak ada. Launa masih kefikiran bagaimana Laura bisa menghadapi Jesisca Cs.Sebuah bola basket menggelinding tepat dibawah kakinya. Launa diam. Tanpa memperdulikan bola basket yang ada. Semua cowok yang dilapangan basket menunggu Laura untuk melemparkan bola basketnya.“LAURA CEPAT LEMPAR BOLANYA!!!”Terdengar suara Edzard berteriak. Launa melihat bola basket dan menendangnya tepat diatas kepala Edzard.“Mati aku.”Launa menutup wajahnya dan berlari. Launa memang sedikit trauma dengan Bullyan dari teman – temannya. Launa berlariLauna menabrak seseorang. Baunya anyir. Launa melihat ada sosok anak perempuan memakai seragam dengan kepala berumuran darah. M
Suara hening menyelimuti ruang makan. Ada satu kursi kosong yang belum diisi. Laura sejak siang dia tidak pulang dan Launa mendengar dia mendesah kuat. Fikirannya sudah kemana- mana. Apakah Laura sedang bersama dengan Raymond. Apa yang mereka lakukan diluar sana. Launa yakin Laura sedang melakukan hubungan terlarang dengan Raymond. Makanan udang saos Padang hanya dia aduk-aduk saja. Launa masih memikirkan keadaan Laura di sana.“Launa, papa sudah memproses hukum untuk Weni dan Dendi. Mereka sebentar lagi akan dihukum sesuai dengan perbuatan mereka. Papa tidak terima dia bisa menculik kamu. Tujuh belas tahun papa dan mama mencari mu. Pintar sekali dia bisa menyembunyikan kamu dari kami. Kamu tenang saja Papa sudah urus semua.”Kata Papa Farhan memecah keheningan yang berlalu sambil menyantap udang saos Padang. Launa sontak kaget dengan perkataan papanya.“Apa ayah Dendi juga ikut dipenjara, Pa?”Tanya Launa meyakinkan apa yang didengar adalah salah. Papa masih menikmati udang saos Padang