“Iya, Pak. Saya mau melamar kerja di sini. Kata teman restoran ini membuka lowongan pekerjaan untuk menjadi kasir, jadi saya datang ke sini untuk mencari peruntungan,” ujarnya sambil menundukkan kepalanya.Apa gadis ini pemalu? Kenapa dari tadi hanya menundukkan kepalanya? Tiba-tiba terbersit wajah Arum saat melihat sekilas gadis ini. Jika dilihat-lihat, penampilannya seperti mantan istriku dulu saat pertama kali kami bertemu. Aku meraba dadaku, merasakan sesuatu di dalam sana. Perasaan apa ini?Aku menggeleng mencoba menghilangkan pikiran bodoh ini. Mengalihkan pikiranku kepada hal lain.“Jangan panggil saya, Pak. Itu terkesan tua sekali. Padahal saya belum sesepuh itu,” ujarku sambil menyodorkan tangan meminta berkas yang ada di tangan gadis di hadapanku. Dengan tergesa dia memberikannya dengan senyum yang kaku. Mungkinkah dia gugup? Gadis yang aneh dan terlihat lucu di mataku.“Dengan nilai IPK kamu yang tinggi ini, kenapa hanya melamar jadi seorang kasir?” tanyaku heran saat melih
Keesokan harinya entah kenapa aku semangat untuk datang ke Restoran. Tidak seperti biasanya ke sana setelah dua hari sekali. Mungkin karena ingin melihat hasil kerja gadis itu untuk pertama kali. Sudah biasa bukan seorang atasan menilai pegawainya ketika bekerja ketika awal kerja?Dengan diam-diam kulihat kerja gadis itu cekatan dan rajin. Apalagi, pakaiannya yang sopan membuat nilai plus di mataku. Aku menggeleng mencoba menepis pemikiranku ini. Apa yang kamu pikirkan, Ga? Buang jauh-jauh apa yang ada di dalam otakmu itu!Aku bermonolog sendiri dengan hati dan pikiranku. Mencoba tidak Memikirkan wanita mana pun. Bahkan, Arum masih saja bersemayam kuat di hati ini. Tidak mungkin ada yang bisa menggantikannya. Apa lagi, aku cukup tahu diri dengan kondisi kakiku yang cacat ini.Jangankan untuk hidup dengan orang lain, bahkan dengan Arum pun jika itu bisa aku akan memilih mundur. Tidak ada wanita yang pantas untukku yang pendosa serta cacat seperti ini.Karena ini akhir bulan, hari ini
“Harusnya kamu mencari pacar atau suami, biar bisa mengantar dan menjemputmu kerja. Kalau begini, kan, malah repot sendiri kalau pulang malam-malam,” ucapku tanpa bermaksud apa pun. Namun, gadis itu mematung. Wajahnya memerah seolah menahan tangis sambil memainkan tangan yang ada di pangkuannya. Ada apa dengannya? Apa aku salah bicara?“Kamu kenapa?” tanyaku merasa khawatir sekaligus rasa tidak enak hati karena takut salah ucap.“Tidak apa-apa, Mas,” jawabnya. Dia menoleh dengan senyum kaku tampil di wajahnya hingga semakin membuatku merasa bersalah.“Maaf kalau saya salah bicara. Saya tidak bermaksud apa pun,” sesalku. Membuat dia menggeleng dengan cepat.“Tidak! Mas Arga sama sekali tidak salah apa-apa. Saya baik-baik saja, kok. Beneran.” Gadis itu kembali menoleh ke arahku sambil tersenyum, meyakinkanku.Karena tidak ingin kembali salah bicara, sepanjang jalan tidak ada percakapan apa pun di antara kami. Hanya menyimak Mang Mansur yang terus saja mengajak Haniya mengobrol. Kebetul
Siang ini kudengar seseorang membuat keributan di luar restoran. Siapa orang-orang yang berisik itu? Apa itu preman? Ilham, seorang waiters sengaja kupanggil agar bisa bertanya apa yang sedang terjadi. Dia datang dengan berlari tergopoh-gopoh“Ada apa, Bos? Memanggilku?” tanyanya dengan suara yang ngos-ngosan seolah habis lari maraton saja.“Iya, Ham. Ada apa di depan? Kenapa terdengar ribut-ribut?” “Benar, Bos. Itu ada laki-laki datang ke sini, dia maksa Haniya untuk ikut sama dia. Padahal, kan masih jam kerja. Makanya, kami panggil satpam untuk mengusirnya,” ujar Ilham membuat mataku menyipit. Siapa sebenarnya pria yang memaksa Haniya?“Lho memangnya apa yang terjadi?” tanyaku kembali.Ilham bercerita kalau pria itu mengaku calon suami Haniya. Dia datang-datang mengajak Haniya pergi, tetapi mendapatkan penolakan dari gadis itu yang berakibat kemarahan. Saat berusaha memaksa membawa pergi dengan kasar, para pegawai lain memanggil keamanan dan mencoba mengusir pria tersebut. Akan te
“Kalau boleh tahu, apa alasan mantanmu itu membatalkan pertunangan kalian?” Aku kembali bertanya. Memang terdengar lancang, tetapi ini terpaksa agak bisa mendapatkan solusi yang terbaik.Haniya mendongak memandang wajahku sekilas sebelum akhirnya menunduk kembali. Wajahnya semakin sendu seperti beban berat mengimpit pundaknya. Sebenarnya apa masalah sesungguhnya?Air matanya terus saja mengalir dengan deras di pipi gadis itu. Apa aku kurang tepat menanyakan hal ini?“Sebenarnya ... a-aku ....,” Aku menghela napas merasa kasihan melihat gadis ini. Mungkin bukan hal yang pantas untuk menanyakan hal ini kepadanya.“Tidak perlu dijawab kalau itu berat. Maafkan saya telah lancang bertanya,” ucapku sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana yang sudah terasa sendu.“Tidak, Mas. Mungkin saya memang harus menceritakan semuanya kepada Mas Arga. Apalagi, Tomi sudah mengancam Mas Arga dan berani mengacau di sini. Lagi pula, saya percaya Mas Arga buka tipe orang yang akan menyebarkan aib orang
Pria itu tersenyum ingin merangkul gadis itu, namun secepat kilat tangan itu ditepisnya. Haniya terlihat tidak suka berjalan dengan pria tersebut. Lalu, untuk apa dia menemui lelaki itu di sini?Aku turun dari mobil dan meminta Mang Mansur untuk menunggu di dalam mobil. Meski sopirku itu keberatan, namun aku tetap menyuruhnya untuk diam di mobil. Kucoba membuntuti mereka, meski dengan langkah tertatih karena kondisi kakiku yang masih belum bisa berjalan normal.Saat hampir mendekat, terdengar bentakan Haniya.“Jangan kurang ajar kamu! Kalau bukan karena ancamanmu, aku tidak akan datang ke sini untuk menemuimu! Aku jijik!” bentaknya dengan bahu naik turun, sepertinya dia sangat terlihat emosi.“Jangan begitu dong, Sayang. Aku menyesal sudah membatalkan pertunangan. Aku mohon, kita kembali lagi seperti dulu. Aku akan menikahimu seperti rencana awal kita,” ujar pria tersebut sambil berusaha untuk memegang tangan Haniya yang langsung ditepis gadis itu sebagai reaksinya.“Tidak akan pernah
“Saya tidak berbohong, Niya. Saya serius ingin menikahimu. Mungkin ini satu-satunya cara agar pria bernama Tomi itu berhenti untuk mengejar serta mengancammu.”Gadis di depanku ini kini terperangah dengan mata membulat. Mungkin terkejut dengan ucapanku barusan. Dia mendongak memandang ke arahku, membuat tatapan kami beradu. Kuselami isi hati Haniya dari bola matanya. Netra yang meneduhkan, persis seperti Arum. Aku menggeleng, mencoba menghilangkan bayang mantan istriku itu. Dia mungkin sudah bahagia sekarang bersama suaminya. Jadi, lebih baik aku harus mencoba melupakan dia dari pikiranku.Mungkin, dengan cara menikah lagi dapat membantuku menghilangkan bayang-bayangnya. Meski kutahu, dengan cara begini, artinya aku telah membohongi serta memanfaatkan Haniya untuk tujuanku sendiri. Akan tetapi, ini juga akan menguntungkan untuknya. Mungkin dengan menikah, pria yang bernama Tomi itu akan berhenti mengganggu gadis itu. Lagi pula aku tidak akan membebaninya dengan segala kewajiban seb
Selama seminggu, aku hanya datang ke restoran dua kali karena berbenturan dengan jadwal terapi dan mengecek klinik milikku. Meski belum bisa kembali menangani pasien yang berobat, aku masih mempertahankan tempat ini karena memang impianku sejak dulu. Apalagi, klinik ini diperuntukkan bagi para pasien yang kurang mampu. Dengan biaya berobat yang minim, mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang cukup baik.Klinik ini pula mengingatkanku akan Arum. Kami memang memiliki impian yang sama, ingin membantu orang-orang kelas menengah ke bawah, baik dari segi kesehatan atau pun pendidikan. Bahkan Arum ingin membangun panti Asuhan yang lengkap dan bagus untuk anak-anak tidak beruntung. Latar pendidikan yang dimilikinya sebagai pengajar, membuat dia bermimpi membangun sekolah gratis pula untuk anak-anak kurang mampu. Mungkin karena masa kecilnya yang sulit, membuat dia tidak ingin melihat anak lain merasakan kesusahan yang sama dengannya. Berhari-hari pula aku tidak sering bertemu dengan