“Kau tahu, Haniya sudah tidak perawan lagi. Dia itu pernah menjadi korban pemerkosaan saat masih remaja. Apa kamu yakin ingin menikahi gadis yang tidak sempurna seperti itu?” Aku terperangah mendengar ucapan Tomi. Apa maksud pria ini menjelekkan Haniya? Bukankah dia juga ingin kembali pada gadis itu? Lantas, apa kenapa dia malah menceritakan hal yang sensitif seperti ini kepadaku?Ternyata cintanya pada Haniya itu kebohongan.“Bukankah kamu mencintai Haniya? Lantas, apa yang kamu dapatkan dengan mengotori nama baiknya seperti ini? Kau tahu, yang kamu lakukan ini semakin menguatkan kalau Haniya tidak pantas untukmu. Cintamu itu ternyata hanya kepalsuan,” ujarku dengan nada sinis.“Apa pun yang kau katakan, saya akan tetap menikahi Haniya dan menerima segala kekurangannya. Itu bukan sesuatu masalah untukku,” ujarku dengan senyum menyeringai karena kulihat Tomi tidak berkutik sedikit pun mendengar ucapanku.Melihat reaksiku Tomi melotot dengan wajah terkejut, mungkin tidak menyangka ka
Tomi pun tak segan mengakui perasaannya kepadaku, Kalau dia sangat mencintai Haniya. Hanya saja, orang tuanya ternyata menentang hubungan mereka karena Tomi sempat berpindah keyakinan. Keluarganya pikir kalau Haniya lah yang telah mencuci otaknya selama ini. Padahal, itu memang keinginan Tomi sendiri. Aku begitu paham yang Tomi rasakan. Kisah cinta mereka sama sepertiku dan Arum. Sama-sama tidak mendapatkan restu. Bedanya, hanya Mama yang tidak setuju. Meski kali ini beliau telah berubah dan menyayangi Arum. Sayang, setelah hubungan membaik, mantan istriku itu sudah tidak sudi lagi kembali kepadaku.“Apa kamu tidak pernah mau berjuang untuk mempertahankan Haniya? Kalau memang kamu mencintai dia. Lantas, kenapa kamu malah mengkhianatinya?” tanyaku kembali memancing Tomi. Aku tidak bisa menyelesaikan masalahnya kalau sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.Mendengar pertanyaan dariku wajah Tomi semakin sendu. Dalam keadaan seperti ini dapat kulihat kalau dia benar-benar sedang k
Aku tidak menyangka, keputusan yang kubuat ternyata membawa kebahagiaan untuk pasangan Haniya dan Tomi. Bagaimana tidak, mereka memang sama-sama saling mencintai. Meski butuh waktu sangat lama, susah sekali untuk menyatukan mereka kembali. Banyak drama yang terjadi dalam prosesnya. Nyaris saja aku menikahi Haniya sebelum Tomi datang dan membatalkan pernikahan kami.Bukan! Tomi sama sekali tidak merebut Haniya dari aku. Dia bahkan dengan lapang dada datang saat akad nikah akan berlangsung. Hanya saja, sebelum kata pengikat itu kuucapkan. Aku sengaja berbisik kepada Haniya, bertanya apa dia siap menikah dan menjadi istriku setelah sehari sebelumnya kuceritakan niatku sebenarnya menikahinya.Kuceritakan pula kisahku bersama Arum. Pengalaman merajut rumah tangga dan berakhir perpisahan karena ternodanya kesetiaan. Serta perasaanku yang masih belum juga terlepas dari bayang-bayang mantan istriku itu. Aku hanya ingin tahu, apa Haniya siap kunikahi atau lebih memilih Tomi yang jelas-jelas sa
Tomi terkejut mendengar pertanyaan dariku. Dia hanya diam membisu, mungkin tidak tahu harus menjawab apa. Semua orang juga tahu termasuk aku kalau dia memang masih mencintai Haniya. Aku hanya ingin mengetes seberapa besar cintanya sehingga Tomi mau memperjuangkan Haniya sebelum terlambat menjadi istriku.“Jangan bercanda, Bang. Saat ini aku sedang mencoba untuk melupakannya. Mencoba untuk mengikhlaskan serta menerima keputusan Haniya. Mungkin memang kami tidak berjodoh. Kalau memang dengan melepaskannya bisa membuat dia bahagia. Aku ikhlas Haniya menikah denganmu, Bang,” tuturnya membuat hati ini semakin bangga akan perubahan Tomi yang sangat signifikan.Sebenarnya, Tomi memang pria yang baik meski memiliki watak keras. Keadaan yang membuat dia berbuat tidak menyenangkan seperti kemarin. Tekanan dari berbagai sisi membuat dia tidak tenang. Apalagi Tomi memang yang membuat Bapak Haniya meninggal meski dia tidak sengaja melakukannya.“Aku bertanya serius, Tom. Kenapa tidak terus berjuan
POV Arum“Saya ingin kamu mengurus keperluan saya di rumah ini dan menjadi istri pura-pura di hadapan kakekmu.” Sontak mataku membulat. Aku terkejut dengan apa yang telah dia katakan. Apa maksudnya? Kakek? Aku masih bergeming, tidak mengatakan apa pun. Apa kakek kandungku? Sungguh diri ini masih tidak percaya masih memiliki keluarga. Selama ini, yang kutahu keluarga ayah sudah tiada. Makanya saat menjadi yatim piatu, aku dititipkan di Panti Asuhan. Begitu pun keluarga Ibu, mereka telah meninggal jauh-jauh hari.Namun, apa yang sebenarnya di rencanakan pria ini? Bukankah dia sudah mendapatkan sesuatu yang dia inginkan? Harta warisan yang diberikan kakek untuk Ayah? Lalu, kenapa seolah dia belum puas untuk memperalatku?“Dalam posisi ini, kautidak bisa memilih. Kamu harus menuruti semua perintahku. Atau ... akan kugusur Panti Asuhan yang pernah kamu tempati dari kecil,” ancamnya. Sekali lagi aku terkejut.Kepalaku menggeleng tidak terima dengan ancamannya. Apa yang harus kulakukan? Har
“Non, Dipanggil Tuan di meja makan. Beliau ingin Non Arum ke sana.” Aku mengangguk mengikuti langkah Bi Ninung. Aku yakin, dia pasti akan menanyakan jawabanku tempo hari.Langkah demi langkah yang kulalui terasa berat. Sebenarnya malas sekali untuk bertemu dengan pria kutub itu. Bi Nuning mempersilahkanku duduk. Rajendra tetap saja dengan muka datarnya. Dia hanya sibuk memotong-motong steak yang ada di depannya tanpa mau menoleh ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum kepada Bi Ninung saat dia menuangkan air putih untukku. Tidak lupa juga kuucapkan terima kasih padanya.Jujur, aku sama sekali tidak berselera makan satu meja dengan Rajendra. Hawa tidak nyaman menguar di penjuru ruangan ini. Apalagi melihat tatapannya yang menusuk membuatku benar-benar merasa sesak di dekatnya. Aku hanya membolak-balikkan hidangan di depanku. Meski dapat kucium makanan yang di meja semua terlihat menggoda, tetapi diri ini sama sekali tidak menikmatinya.“Sudah selesai? Kenapa kamu hanya memainkan makananny
POV Arum“Pakailah besok malam semua ini. Aku akan membawamu menemui kakekmu.” Dia berdiri di belakangku dengan tangan yang dimasukkan ke saku celananya, membuatku sedikit terkejut sebab dia datang dengan tiba-tiba.Aku terperangah mendengar ucapannya. Apa yang dia maksud? Aku akan menemui kakekku?“Maksudnya?” tanyaku mulai kebingungan. Jujur aku tidak percaya akan bertemu dengan kakek, bertemu dengan keluargaku satu-satunya.“Apa kamu tidak mendengar apa yang kukatakan barusan? Saya kita perkataannya cukup jelas. Lantas, kenapa kamu masih bertanya seolah-oleh tidak mengerti?” geramnya. Aku mendelik dengan wajah yang cemberut, menahan kekesalan untuk pria yang bernama Rajendra tersebut. Seolah tidak peduli dengan apa Seolah tidak peduli, pria itu kembali berlalu dari hadapanku. Dasar pria menyebalkan.Aku mengumpat di dalam hati merasa jengkel dengan perlakuan semena-mena lelaki itu. Selama aku tinggal di sini. Ia sama sekali tidak berubah. Tetap menjadi Rajendra yang menyebalkan,
Aku menggeleng dengan pemikiranku barusan. Apa yang kubayangkan? Lagi pula itu bukan urusanku, kenapa aku repot-repot memikirkannya?“Ada apa, Non? Non tidak apa-a, kan? Non Arum pusing?” panik Bi Ninung saat melihatku menggelengkan kepala.“Ah. Tidak, Bi. Sebaiknya kita turun sekarang, Bi,” ajakku yang dibalas dengan anggukan olehnya. Lagi pula menurut Bi Ninung, Rajendra juga sudah menunggu di ruang tamu.Saat memasuki ruang tersebut, kulihat Rajendra sedang memainkan ponsel di tangannya dengan mimik wajah yang serius. Membuatku berpikir apa dia tidak pernah tersenyum sekali pun? Senyum yang pernah kulihat itu tidak tulus melainkan hanya senyum sinis dan meremehkan.“Tuan, Non Arum sudah siap berangkat,” ujar Bi Ninung membuat pria itu mendongak serta memandangku. Aku merasa gugup saat matanya tidak lepas melihat ke arahku. Apa ada yang salah dengan penampilanku saat ini? Kenapa laki-laki ini menatapku seperti itu?Sekian detik kemudian, ia seolah tersadar dari lamunannya. Lalu kemb