POV Arum“Arum calon istriku, Kek. Saya baru saja melamarnya. Apa kakek tidak keberatan kalau saya menikahi cucu kakek?” tanyanya dengan wajah santai. Seolah dia benar-benar serius ingin menikahiku. Aku menatap wajah pria itu dengan intens. Bukankah kemarin dia bilang kalau kami tidak akan menikah?Lantas apa ini? Permainan apa yang akan dirancangnya lagi? Dalam perjalanan pulang, Rajendra sama sekali tidak mengatakan apa pun. Pria itu hanya diam membisu seakan tidak ada hal apa saja yang membebaninya. Aku yang sejak tadi duduk di sampingnya hanya geram mengingat obrolan ia bersama kakek.Sebelumnya, Rajendra hanya menyuruhku untuk menjadi istri pura-puranya di hadapan kakek. Lantas, apa sekarang? Pria ini berniat menikahiku secara sah? Bagaimana mungkin?Untuk saat ini, aku sama sekali belum memikirkan untuk berumah tangga kembali. Luka yang Mas Arga torehkan saja belum mengering, apalagi diri ini masih berduka atas meninggalnya bayiku. Hati ibu mana yang tidak hancur mendengar ka
Pagi-pagi sekali kakek datang menjemputku dengan wajah yang semringah. Sebelumnya, Rajendra mengancamku agar bungkam atas segala yang telah kualami di rumah ini. Pun, tentang rencananya untuk menikahiku serta motif di baliknya.Untuk sementara, tidak ada cara lain yang harus kulakukan selain mengikuti segala rencananya. Biarlah nanti akan kucari jalan keluar dari masalah ini. Bagaimanapun aku tidak mau terus-menerus dikekang oleh pria itu.Aku berdecap kagum saat masuk ke rumah mewah milik kakek. Ternyata, keluargaku benar-benar kaya. Pantas saja Rajendra ingin menguasai harta milik keluarga kami.Begitu mobil masuk melewati gerbang dapat kulihat rumah mewah bergaya klasik dari depannya. Saat turun dari mobil seorang pria memakai jas hitam datang menyambut kami sambil tersenyum.Aku melangkah memasuki bangunan tampaklah pada bagian depan rumah. Sebelumnya di depan halaman terdapat taman sederhana yang ditanami bunga-bunga, pohon, dan tanaman hijau yang menambah kesejukan dan keasrian
POV Arum. Setelah pembicaraan kakek di restoran waktu itu, beliau semakin getol untuk mendekatkanku lagi dengan Rajendra. Pria itu selalu saja datang membawakan hadiah-hadiah untukku. Entahlah, dia tulus atau memang hanya bersandiwara untuk mengambil hati kakek. Yang pasti, diri ini yakin kalau dia hanya sedang melakukan pencitraan akan dirinya.Contohnya saat siang ini, sebuah buket mawar merah pria kirimkan untukku. Andaikan Arum yang dulu, mungkin aku akan terlena dengan perlakuan manisnya Namun, seorang Arum kini tidak akan semudah itu untuk dapat menerima seorang lelaki. Apalagi, itu Rajendra. Pria dingin, kejam dan berbahaya. Pria yang hanya mengandalkan uang dan kekuasaan untuk mendapatkan sesuatu.Di sela-sela buket bunga tersebut terdapat sebuah kartu, yang ternyata undangan makan malam untukku. Aku memutar bola mata malas, melihat semua ini. Sandiwara apa lagi yang akan pria itu lakukan kali ini? Belum cukupkah Rajendra mengacaukan kehidupanku?Aku tahu, harus berterima ka
Sedangkan Kakek, beliau pun tidak bisa berbuat banyak. Ia sudah mencari keberadaan Ayah ke mana pun, sekaligus mencari keberadaan aku dan Ibu. Kakek semakin merasa bersalah terhadap kami terutama ibu. Semenjak mengetahui kesalahan ayah, kakek mencari tahu keluarga Rajendra. Alangkah terkejutnya, ternyata pria yang dulu menemui beliau telah tiada meninggalkan putranya yang saat itu diasuh sang paman yang hanya seorang pemabuk saja. Bahkan, Rajendra kecil sering mendapatkan kekerasan fisik karena ulah pamannya tersebut. Mendengarkan penjelasan itu dari anak buahnya, kakek menyuruh orang untuk mengadopsi Rajendra, dan setiap bulan beliau mentransfer segala kebutuhan Rajendra agar terpenuhi. Waktu demi waktu terlewati sampai Rajendra tumbuh menjadi pria dewasa. Kakek tidak menyangka, ternyata pria itu masih menyimpan dendam terhadap putranya. Setelah Remaja, Rajendra mengerti apa yang telah terjadi terhadap Papa mereka. Alasannya bunuh diri termasuk mengenai perselingkuhan sang Mama da
POV Arum. Sudah seminggu aku sama sekali tidak berbicara dengan kakek. Rasa kecewaku terhadapnya membuatku malas untuk berlama-lama mengobrol dengan beliau. Akan tetapi, demi menghargainya, aku mengikuti kegiatan yang telah sengaja dijadwalkan. Ya, kakek telah mengatur semua jadwal kegiatanku setiap harinya. Beliau menyuruh seseorang mengajarkan aku mengelola bisnis yang kakek miliki. Selain itu, waktu yang tersisa kupakai untuk mengalihkan segala pikiranku dengan membaca buku. Sudah berulang kali kakek menyuruhku untuk pergi ke luar untuk jalan-jalan atau sekedar berbelanja di pusat pembelanjaan. Namun, karena terbiasa berdiam diri di rumah saja selama berumah tangga bersama Mas Arga, membuat diriku merasa enggan ke tempat-tempat seperti itu.Sementara itu, Rajendra selalu saja mengirimkan barang-barang yang menurutku tidak penting. Entahlah, sikapnya perlahan-lahan menjadi aneh dan berbeda. Bila kami bertemu pun, dia tidak sekejam dulu meski masih dingin dan menyebalkan seperti bi
“Rum, bisakah kamu bantu menggantikan kakek untuk datang ke sebuah acara di daerah puncak? Kakek ada undangan dari salah seorang teman bisnis kakek untuk hadir di acara pernikahan putranya,” ujar Kakek di meja makan saat kami baru saja selesai menyantap makan malam.“Lho, kenapa Kakek tidak ke sana? Bukankah kakek yang di undang? Lagi pula, aku sama sekali belum kenal orangnya, kek. Kan kakek tahu, aku baru beberapa hari masuk ke perusahaan.” Bukan aku ingin menolak permintaan kecil Kakek. Akan tetapi, bagaimana bisa aku ke sana tanpa mengenal siapa pun?“Tenang saja, Rum. Kakek sudah meminta Rajendra untuk menemanimu ke sana. Lagi pula, dia juga dapat undangan yang sama dengan Kakek,” terang Kakek membuatku menghela napas berat.“Kenapa harus dia yang menemaniku sih? Orang ini selalu saja membayangiku ke mana pun? Apa ini salah satu rencana kakek lagi?” gumamku pelan. Bahkan sangat pelan sehingga kakek mungkin saja tidak mendengarnya dengan jelas.Mau menolak pun rasanya tidak mungk
“Sejak kapan kamu di sini?” pekikku saat terkejut dia ternyata sudah ada di belakangku.Namun, Rajendra hanya mengangkat bahunya tak menjawab pertanyaanku satu patah kata pun. Ia hanya melintasi tubuhku dan dengan ekspresi wajah yang datar.“Ckk. Dasar lelaki aneh,” rutukku sambil menyusulnya hendak mengatakan keberatan.“Maaf, ya. Tuan Rajendra yang terhormat. Meskipun kakek mengatakan kalau kamu akan menemaniku menghadiri undangan kolega bisnisnya. Tapi, bukan berarti aku akan mau datang bersamamu. Sudah cukup hidupku dipermainkan olehmu beberapa bulan ini. Jangan harap kali ini aku akan menurut.“Dan, ya. Ada hal penting yang harus kutegaskan. Harusnya kukatakan dari beberapa hari yang lalu kalau aku ingin rencana pernikahan yang kau dan kakek rencanakan untuk kita lebih baik batal. Kumohon jangan ganggu hidupku lagi. Aku lelah, aku capek dengan semuanya. Tak bisakah kalian membiarkanku hidup dengan damai?” teriakku membuat pria sedingin kutub Utara itu menghentikan langkahnya.“Mu
“Non Arum, kami sudah menunggu dari tadi. Oh iya, kenalkan ini penjaga Villa milik Kakek, Non. Beliau biasa dipanggil Mang Dedi,” jelas Shella memperkenalkan Mang Dedi kepadaku. “Masya Allah Non, ternyata Tuan besar akhirnya bisa ketemu sama cucunya. Setelah sekian lama mencari tapi tak berhasil. Untunglah sekarang Non sudah pulang,” ujar Mang Deni dengan antusias. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.Shella mengajakku untuk masuk agar bisa segera beristirahat setelah beberapa jam melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Ketika melihat design interior Villa ini membuatku seketika p merasa takjub. Pertama kali melangkah ke dalam bangunan ini, aku dapat melihat ruangan tamu dengan warna coklat kayu yang mendominasi. Mungkin, kakek ingin mempertahankan nuansa alam agar membuat suasana hati penghuninya lebih tenang. Berbagai gaya ornamen berbentuk bulat, kotak-kotak danp berbentuk geometris, sebagai akses interior ruang tamu menunjukkan konsep minimalis bangunan ini. Aku juga j
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal