POV Arum. Sudah seminggu aku sama sekali tidak berbicara dengan kakek. Rasa kecewaku terhadapnya membuatku malas untuk berlama-lama mengobrol dengan beliau. Akan tetapi, demi menghargainya, aku mengikuti kegiatan yang telah sengaja dijadwalkan. Ya, kakek telah mengatur semua jadwal kegiatanku setiap harinya. Beliau menyuruh seseorang mengajarkan aku mengelola bisnis yang kakek miliki. Selain itu, waktu yang tersisa kupakai untuk mengalihkan segala pikiranku dengan membaca buku. Sudah berulang kali kakek menyuruhku untuk pergi ke luar untuk jalan-jalan atau sekedar berbelanja di pusat pembelanjaan. Namun, karena terbiasa berdiam diri di rumah saja selama berumah tangga bersama Mas Arga, membuat diriku merasa enggan ke tempat-tempat seperti itu.Sementara itu, Rajendra selalu saja mengirimkan barang-barang yang menurutku tidak penting. Entahlah, sikapnya perlahan-lahan menjadi aneh dan berbeda. Bila kami bertemu pun, dia tidak sekejam dulu meski masih dingin dan menyebalkan seperti bi
“Rum, bisakah kamu bantu menggantikan kakek untuk datang ke sebuah acara di daerah puncak? Kakek ada undangan dari salah seorang teman bisnis kakek untuk hadir di acara pernikahan putranya,” ujar Kakek di meja makan saat kami baru saja selesai menyantap makan malam.“Lho, kenapa Kakek tidak ke sana? Bukankah kakek yang di undang? Lagi pula, aku sama sekali belum kenal orangnya, kek. Kan kakek tahu, aku baru beberapa hari masuk ke perusahaan.” Bukan aku ingin menolak permintaan kecil Kakek. Akan tetapi, bagaimana bisa aku ke sana tanpa mengenal siapa pun?“Tenang saja, Rum. Kakek sudah meminta Rajendra untuk menemanimu ke sana. Lagi pula, dia juga dapat undangan yang sama dengan Kakek,” terang Kakek membuatku menghela napas berat.“Kenapa harus dia yang menemaniku sih? Orang ini selalu saja membayangiku ke mana pun? Apa ini salah satu rencana kakek lagi?” gumamku pelan. Bahkan sangat pelan sehingga kakek mungkin saja tidak mendengarnya dengan jelas.Mau menolak pun rasanya tidak mungk
“Sejak kapan kamu di sini?” pekikku saat terkejut dia ternyata sudah ada di belakangku.Namun, Rajendra hanya mengangkat bahunya tak menjawab pertanyaanku satu patah kata pun. Ia hanya melintasi tubuhku dan dengan ekspresi wajah yang datar.“Ckk. Dasar lelaki aneh,” rutukku sambil menyusulnya hendak mengatakan keberatan.“Maaf, ya. Tuan Rajendra yang terhormat. Meskipun kakek mengatakan kalau kamu akan menemaniku menghadiri undangan kolega bisnisnya. Tapi, bukan berarti aku akan mau datang bersamamu. Sudah cukup hidupku dipermainkan olehmu beberapa bulan ini. Jangan harap kali ini aku akan menurut.“Dan, ya. Ada hal penting yang harus kutegaskan. Harusnya kukatakan dari beberapa hari yang lalu kalau aku ingin rencana pernikahan yang kau dan kakek rencanakan untuk kita lebih baik batal. Kumohon jangan ganggu hidupku lagi. Aku lelah, aku capek dengan semuanya. Tak bisakah kalian membiarkanku hidup dengan damai?” teriakku membuat pria sedingin kutub Utara itu menghentikan langkahnya.“Mu
“Non Arum, kami sudah menunggu dari tadi. Oh iya, kenalkan ini penjaga Villa milik Kakek, Non. Beliau biasa dipanggil Mang Dedi,” jelas Shella memperkenalkan Mang Dedi kepadaku. “Masya Allah Non, ternyata Tuan besar akhirnya bisa ketemu sama cucunya. Setelah sekian lama mencari tapi tak berhasil. Untunglah sekarang Non sudah pulang,” ujar Mang Deni dengan antusias. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapannya.Shella mengajakku untuk masuk agar bisa segera beristirahat setelah beberapa jam melakukan perjalanan yang cukup melelahkan. Ketika melihat design interior Villa ini membuatku seketika p merasa takjub. Pertama kali melangkah ke dalam bangunan ini, aku dapat melihat ruangan tamu dengan warna coklat kayu yang mendominasi. Mungkin, kakek ingin mempertahankan nuansa alam agar membuat suasana hati penghuninya lebih tenang. Berbagai gaya ornamen berbentuk bulat, kotak-kotak danp berbentuk geometris, sebagai akses interior ruang tamu menunjukkan konsep minimalis bangunan ini. Aku juga j
“Kalian jangan macam-macam sama Non Arum. Kalian akan menyesal kalau mengganggunya,” pungkas Euis, berharap para pemuda itu akan ketakutan.Namun, salah satu dari mereka tetap ngotot dan menggodaku hendak melakukan hal yang tak pantas. Akan tetapi, seketika diri ini terkesiap ketika sebuah bogem mentah mendarat di pipi pemuda tersebut, berkali-kali juga dipukuli tanpa ampun sampai tersungkur di tanah. Mataku terbelalak melihat siapa orangnya. Kenapa dia ada di sini?“Berani kurang ajar dengan calon istriku, Hah?” tanya Rajendra dengan sorot mata setajam belati yang siap mengoyak musuhnya.Suaranya yang maskulin ketika menggertak terdengar lebih menakutkan. Apalagi, urat di lehernya mencuat, terlihat seperti benar-benar telah diliputi amarah yang memuncak, membuat beberapa pemuda yang tadi dia pukuli menciut karena takut.“Dasar pengec*t. Bisanya mengganggu wanita saja. Kalau kau berani mengganggu wanitaku, kalian akan habis saat ini juga,” bentak Rajendra. Para pemuda tersebut langsun
Sejak kejadian itu, entah kenapa aku selalu tak tenang. Kurasa ada sesuatu yang mengganjal di sudut hatiku. Akan tetapi, apa itu?Perasaan tak enak kembali menyelusup ketika mengingat Rajendra. Apa mungkin karena aku pergi tanpa berterima kasih kepadanya lebih dahulu? Bukankah kebaikannya kemarin itu tak tulus dan hanya untuk keuntungannya saja?Sepanjang malam aku tak bisa tidur, hanya bolak-balik merubah posisi di atas pembaringan. Beberapa kali kucoba untuk memejamkan mata, tetapi tetap tak kunjung terlelap. Ada apa sebenarnya dengan diriku ini?Kuambil ponsel milikku di atas nakas, mencari kontak pria kutub itu dan memilih berterima kasih di chat saja. Pesan yang telah kuketik tak urung kuhapus kembali. Apa cukup hanya mengucapkan terima kasih dalam pesan saja?Lagi-lagi diriku gamang. Harus bagaimana menghadapi masalah ini. Namun, ketika sedang mencoba memikirkan cara untuk berterima kasih kepada Rajendra, sebuah panggilan masuk di ponsel. Tercatat nama kakek di sana.Ada apa Kak
POV Arum. Aku berdecap sebal ketika melangkah masuk ke dalam gedung resepsi. Terpaksa diri ini berjalan berdampingan dengan Rajendra di sisiku. Aku bisa apa? Kalau bukan permintaan kakek, pasti aku sudah menolaknya untuk datang ke acara ini bersama si kutub. Pintar sekali pria ini membuatku tak berkutik dengan menggunakan kakekku. Awalnya, malas sekali aku harus berangkat bersama dengan pria ini. Rasa kesalku terhadapnya belum berubah sampai sekarang.“Jangan mempermalukanku dengan terus saja menekuk wajahmu di hadapan semua orang begini,” bisik Rajendra seraya mencondongkan badannya ke arahku. Wajahnya yang terbiasa dingin, berubah ramah meski masih tak banyak senyum di depan orang-orang yang menyambut kedatangan kami. ‘Dasar tukang tipu, manipulatif, sok ramah dan pencitraan,’ umpatku dengan kesal di dalam hati. Saat terpaksa mata kami beradu, kutatap tajam dia dengan sinis. Biar Rajendra tahu, kalau aku sama sekali tak suka berada di dekatnya. Kami berjalan ke arah beberapa or
Terlihat keterkejutan dari raut wajah Rajendra, mungkin tak menyangka dengan reaksiku yang penuh dengan emosi seperti ini. “Memangnya apa yang kulakukan? Apa ada yang salah? Di luaran sana banyak sekali yang ingin berdekatan denganku. Kamu harusnya bersyukur,” tanyanya seperti pura-pura tak mengerti membuatku menghela napas berat. “Jangan pura-pura tak mengerti! Apa kamu tak pernah diajari hukum agama? Ya Allah, pria macam apa yang sudah kakek jodohkan untukku? Bahkan, dia sama sekali nol dalam pemahaman agama. Bagaimana Rajendra mau menjadi imam untukku nanti kalau dia saja jauh dari kata taat?” Aku tak peduli seberapa kejamnya kata-kata yang kulontarkan untuk Rajendra barusan. Yang kukatakan kepadanya itu benar. Tak ada yang dapat kulihat darinya untuk menjadi pilihan agar menjadi suamiku. Dia sama sekali tak paham agama, apalagi bagaimana cara memuliakan seorang perempuan. Pun, sikapnya selama ini sungguh jauh dari kata layak. Dia pria yang jahat dan kejam. Apa aku sanggup memi