POV Arum. Aku berdecap sebal ketika melangkah masuk ke dalam gedung resepsi. Terpaksa diri ini berjalan berdampingan dengan Rajendra di sisiku. Aku bisa apa? Kalau bukan permintaan kakek, pasti aku sudah menolaknya untuk datang ke acara ini bersama si kutub. Pintar sekali pria ini membuatku tak berkutik dengan menggunakan kakekku. Awalnya, malas sekali aku harus berangkat bersama dengan pria ini. Rasa kesalku terhadapnya belum berubah sampai sekarang.“Jangan mempermalukanku dengan terus saja menekuk wajahmu di hadapan semua orang begini,” bisik Rajendra seraya mencondongkan badannya ke arahku. Wajahnya yang terbiasa dingin, berubah ramah meski masih tak banyak senyum di depan orang-orang yang menyambut kedatangan kami. ‘Dasar tukang tipu, manipulatif, sok ramah dan pencitraan,’ umpatku dengan kesal di dalam hati. Saat terpaksa mata kami beradu, kutatap tajam dia dengan sinis. Biar Rajendra tahu, kalau aku sama sekali tak suka berada di dekatnya. Kami berjalan ke arah beberapa or
Terlihat keterkejutan dari raut wajah Rajendra, mungkin tak menyangka dengan reaksiku yang penuh dengan emosi seperti ini. “Memangnya apa yang kulakukan? Apa ada yang salah? Di luaran sana banyak sekali yang ingin berdekatan denganku. Kamu harusnya bersyukur,” tanyanya seperti pura-pura tak mengerti membuatku menghela napas berat. “Jangan pura-pura tak mengerti! Apa kamu tak pernah diajari hukum agama? Ya Allah, pria macam apa yang sudah kakek jodohkan untukku? Bahkan, dia sama sekali nol dalam pemahaman agama. Bagaimana Rajendra mau menjadi imam untukku nanti kalau dia saja jauh dari kata taat?” Aku tak peduli seberapa kejamnya kata-kata yang kulontarkan untuk Rajendra barusan. Yang kukatakan kepadanya itu benar. Tak ada yang dapat kulihat darinya untuk menjadi pilihan agar menjadi suamiku. Dia sama sekali tak paham agama, apalagi bagaimana cara memuliakan seorang perempuan. Pun, sikapnya selama ini sungguh jauh dari kata layak. Dia pria yang jahat dan kejam. Apa aku sanggup memi
Season 2. Menceritakan kehidupan serta kisah cinta Arum setelah berpisah dengan Arga. Bagaimana kisahnya? POV Arum. Mata ini terperangah melihat orang yang berada di atasku. Dia ... Rajendra, dengan wajah yang memucat dan darah mengalir dari tengkuknya. Kemudian, cairan merah menetes tepat ke pipiku. Membuatku hanya bisa menatap dengan kosong. Seolah saat ini jiwaku sedang tak menyatu dengan raga. Meski banyak suara wanita yang menjerit melihat ke arah kami. Tak lama, Rajendra ambruk di atas tubuhku. Dari situ aku mulai sadar dengan apa yang terjadi.**“Dok, bagaimana keadaan Rajendra? Dia baik-baik saja, kan? Tak terjadi sesuatu yang buruk padanya, kan, Dok?” cecarku dengan panik. Bagaimana tidak, pria menyebalkan itu bisa-bisanya menjadikan tubuhnya tameng dan menyelamatkanku dari kecelakaan. Sebuah lampu hias berbahan kristal berukuran besar yang tergantung di gedung resepsi tadi hampir saja menimpa tubuhku. Kalau saja, Rajendra tak ada, mungkin yang dirawat di sini sekarang b
Aku hanya bergeming mendengarkan pujian demi pujian terlontar dari mulut kakekku itu. Mungkin bila orang mengatakan aku keras kepala, bisa kukatakan iya. Sebagian suara hatiku setuju dengan yang Kakek katakan. Akan tetapi, sudut lain hati ini masih merasa enggan mengakui segala kebaikan yang telah Rajendra lakukan. Entahlah, aku merasa dia masih lelaki yang sama saat pertama kali kami bertemu. Seseorang yang kejam dan sanggup melakukan apa saja untuk meloloskan segala rencananya untuk membalaskan dendam kepada Ayah. Namun, malah salah sasaran. Kalau dia pikir bisa memuaskan sakit hatinya dengan membuat hidupku hancur, dia keliru. Karena di sini aku pun sebagai korban kelakuan Ayah di masa lalu. Mungkinkah dengan perubahan Rajendra itu, dia menyesal dan berusaha menebus kesalahannya kepadaku atau ada rencana kejam lain yang sedang dia susun? Ah. Memikirkannya saja membuatku sungguh pusing. Dugaan demi dugaan terus saja menghantuiku kini. “Kakek harap, kamu bisa mempertimbangkan kem
POV Arum. Mata ini terperangah melihat orang yang berada di atasku. Dia ... Rajendra, dengan wajah yang memucat dan darah mengalir dari tengkuknya. Kemudian, cairan merah menetes tepat ke pipiku. Membuatku hanya bisa menatap dengan kosong. Seolah saat ini jiwaku sedang tak menyatu dengan raga. Meski banyak suara wanita yang menjerit melihat ke arah kami. Tak lama, Rajendra ambruk di atas tubuhku. Dari situ aku mulai sadar dengan apa yang terjadi. ** “Dok, bagaimana keadaan Rajendra? Dia baik-baik saja, kan? Tak terjadi sesuatu yang buruk padanya, kan, Dok?” cecarku dengan panik. Bagaimana tidak, pria menyebalkan itu bisa-bisanya menjadikan tubuhnya tameng dan menyelamatkanku dari kecelakaan. Sebuah lampu hias berbahan kristal berukuran besar yang tergantung di gedung resepsi tadi hampir saja menimpa tubuhku. Kalau saja, Rajendra tak ada, mungkin yang dirawat di sini sekarang bukanlah dia, tetapi aku. Namun, berkat Rajendra, aku sehat dan baik-baik saja, tetapi tidak dengannya yan
“Lagi-lagi Kakek berhutang nyawa kepadanya. Apa kamu tidak sadar, Rum. Rajendra selalu saja menjadi pelindungmu. Dia ada di setiap kamu butuh bantuan. Bahkan, pria itu rela terluka hanya agar memastikanmu selamat. Kakek semakin yakin kalau dia pria yang tepat untuk menjadi suamimu selanjutnya. Nak Rajendra itu sebenarnya lelaki yang baik. Masa lalunya lah yang membuatnya mungkin terlihat menjadi pribadi yang kejam di matamu,” terang Kakek panjang lebar. Sedikit membujukku agar pandanganku terhadap pria kutub itu mungkin berubah. Aku hanya bergeming mendengarkan pujian demi pujian terlontar dari mulut kakekku itu. Mungkin bila orang mengatakan aku keras kepala, bisa kukatakan iya. Sebagian suara hatiku setuju dengan yang Kakek katakan. Akan tetapi, sudut lain hati ini masih merasa enggan mengakui segala kebaikan yang telah Rajendra lakukan. Entahlah, aku merasa dia masih lelaki yang sama saat pertama kali kami bertemu. Seseorang yang kejam dan sanggup melakukan apa saja untuk melolosk
POV Arum. Persiapan pernikahan pun mulai dilaksanakan. Terhitung dua Minggu dari sekarang acara akan dimulai. Awalnya, aku hanya ingin melakukan pernikahan keduaku ini secara sederhana. Hanya sekedar melakukan ijab kabul saja itu sudah cukup. Yang terpenting sah, bukan? Toh belum ada rasa spesial di antara kami berdua.Akan tetapi, kakek tak mau mendengarkanku, beliau menyetujui untuk akad nanti dilakukan secara sederhana. Namun, satu Minggu setelahnya, resepsi akan dilaksanakan secara besar-besaran di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta. Menurut Kakek, sudah lama sekali beliau menantikan acara seperti ini terjadi. Setelah dulu putranya, yang tak lain Ayahku menikahi Mama tanpa kehadiran beliau karena Ayah yang sempat hilang ingatan dan meresmikan hubungan dengan identitas baru. Pun, disaat aku menikah dengan Mas Arga dulu, kakek belum tahu keberadaanku sebagai cucunya. Kali ini, beliau tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk pernikahan keduaku, mumpung hayat masih dikandu
Kulihat Aurel menganggukkan kepalanya berulang kali. Seolah setuju dengan yang telah Rajendra ucapkan.Aurel mengajak kami duduk di sofa ruang tunggu. Wanita itu mencatat dengan serius gaun seperti apa yang menjadi pilihanku, pun dengan Rajendra. Aku menyerahkan semuanya kepada Aurel sebagai ahlinya. Hanya Rajendra yang menjabarkan konsep pernikahan impian yang dia inginkan.Bagiku, apa pun konsepnya sama saja. Yang terpenting ialah visi dan misi pernikahannya. Bagi diriku yang pernah gagal dalam berumah tangga, aku hanya berharap Rajendra takkan pernah mengecewakanku seperti Mas Arga kemarin. Rasa traumaku terhadap pria, membuat diri ini berharap suamiku nanti akan setia dan menjadi laki-laki yang terakhir ada di hidupku.Untuk akad nanti pilihan jatuh pada sebuah gaun pernikahan berwarna putih berpotongan lurus dengan detail renda rumit hasil karya terbaru rancangan Aurel yang masih beberapa hari lalu diluncurkan. Dan, untuk acara resepsinya, kami sepakat untuk memilih sebuah gaun