Aku hanya bergeming mendengarkan pujian demi pujian terlontar dari mulut kakekku itu. Mungkin bila orang mengatakan aku keras kepala, bisa kukatakan iya. Sebagian suara hatiku setuju dengan yang Kakek katakan. Akan tetapi, sudut lain hati ini masih merasa enggan mengakui segala kebaikan yang telah Rajendra lakukan. Entahlah, aku merasa dia masih lelaki yang sama saat pertama kali kami bertemu. Seseorang yang kejam dan sanggup melakukan apa saja untuk meloloskan segala rencananya untuk membalaskan dendam kepada Ayah. Namun, malah salah sasaran. Kalau dia pikir bisa memuaskan sakit hatinya dengan membuat hidupku hancur, dia keliru. Karena di sini aku pun sebagai korban kelakuan Ayah di masa lalu. Mungkinkah dengan perubahan Rajendra itu, dia menyesal dan berusaha menebus kesalahannya kepadaku atau ada rencana kejam lain yang sedang dia susun? Ah. Memikirkannya saja membuatku sungguh pusing. Dugaan demi dugaan terus saja menghantuiku kini. “Kakek harap, kamu bisa mempertimbangkan kem
POV Arum. Mata ini terperangah melihat orang yang berada di atasku. Dia ... Rajendra, dengan wajah yang memucat dan darah mengalir dari tengkuknya. Kemudian, cairan merah menetes tepat ke pipiku. Membuatku hanya bisa menatap dengan kosong. Seolah saat ini jiwaku sedang tak menyatu dengan raga. Meski banyak suara wanita yang menjerit melihat ke arah kami. Tak lama, Rajendra ambruk di atas tubuhku. Dari situ aku mulai sadar dengan apa yang terjadi. ** “Dok, bagaimana keadaan Rajendra? Dia baik-baik saja, kan? Tak terjadi sesuatu yang buruk padanya, kan, Dok?” cecarku dengan panik. Bagaimana tidak, pria menyebalkan itu bisa-bisanya menjadikan tubuhnya tameng dan menyelamatkanku dari kecelakaan. Sebuah lampu hias berbahan kristal berukuran besar yang tergantung di gedung resepsi tadi hampir saja menimpa tubuhku. Kalau saja, Rajendra tak ada, mungkin yang dirawat di sini sekarang bukanlah dia, tetapi aku. Namun, berkat Rajendra, aku sehat dan baik-baik saja, tetapi tidak dengannya yan
“Lagi-lagi Kakek berhutang nyawa kepadanya. Apa kamu tidak sadar, Rum. Rajendra selalu saja menjadi pelindungmu. Dia ada di setiap kamu butuh bantuan. Bahkan, pria itu rela terluka hanya agar memastikanmu selamat. Kakek semakin yakin kalau dia pria yang tepat untuk menjadi suamimu selanjutnya. Nak Rajendra itu sebenarnya lelaki yang baik. Masa lalunya lah yang membuatnya mungkin terlihat menjadi pribadi yang kejam di matamu,” terang Kakek panjang lebar. Sedikit membujukku agar pandanganku terhadap pria kutub itu mungkin berubah. Aku hanya bergeming mendengarkan pujian demi pujian terlontar dari mulut kakekku itu. Mungkin bila orang mengatakan aku keras kepala, bisa kukatakan iya. Sebagian suara hatiku setuju dengan yang Kakek katakan. Akan tetapi, sudut lain hati ini masih merasa enggan mengakui segala kebaikan yang telah Rajendra lakukan. Entahlah, aku merasa dia masih lelaki yang sama saat pertama kali kami bertemu. Seseorang yang kejam dan sanggup melakukan apa saja untuk melolosk
POV Arum. Persiapan pernikahan pun mulai dilaksanakan. Terhitung dua Minggu dari sekarang acara akan dimulai. Awalnya, aku hanya ingin melakukan pernikahan keduaku ini secara sederhana. Hanya sekedar melakukan ijab kabul saja itu sudah cukup. Yang terpenting sah, bukan? Toh belum ada rasa spesial di antara kami berdua.Akan tetapi, kakek tak mau mendengarkanku, beliau menyetujui untuk akad nanti dilakukan secara sederhana. Namun, satu Minggu setelahnya, resepsi akan dilaksanakan secara besar-besaran di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta. Menurut Kakek, sudah lama sekali beliau menantikan acara seperti ini terjadi. Setelah dulu putranya, yang tak lain Ayahku menikahi Mama tanpa kehadiran beliau karena Ayah yang sempat hilang ingatan dan meresmikan hubungan dengan identitas baru. Pun, disaat aku menikah dengan Mas Arga dulu, kakek belum tahu keberadaanku sebagai cucunya. Kali ini, beliau tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk pernikahan keduaku, mumpung hayat masih dikandu
Kulihat Aurel menganggukkan kepalanya berulang kali. Seolah setuju dengan yang telah Rajendra ucapkan.Aurel mengajak kami duduk di sofa ruang tunggu. Wanita itu mencatat dengan serius gaun seperti apa yang menjadi pilihanku, pun dengan Rajendra. Aku menyerahkan semuanya kepada Aurel sebagai ahlinya. Hanya Rajendra yang menjabarkan konsep pernikahan impian yang dia inginkan.Bagiku, apa pun konsepnya sama saja. Yang terpenting ialah visi dan misi pernikahannya. Bagi diriku yang pernah gagal dalam berumah tangga, aku hanya berharap Rajendra takkan pernah mengecewakanku seperti Mas Arga kemarin. Rasa traumaku terhadap pria, membuat diri ini berharap suamiku nanti akan setia dan menjadi laki-laki yang terakhir ada di hidupku.Untuk akad nanti pilihan jatuh pada sebuah gaun pernikahan berwarna putih berpotongan lurus dengan detail renda rumit hasil karya terbaru rancangan Aurel yang masih beberapa hari lalu diluncurkan. Dan, untuk acara resepsinya, kami sepakat untuk memilih sebuah gaun
“Pernikahan? Ka-kamu mau menikah?” tanya Bang Satria dengan tergagap. Matanya menatapku dengan sendu. Aku tiba-tiba saja dilanda kebingungan. Diri ini terasa tengah dihadapkan dalam situasi yang tak mengenakkan. Apalagi, bukan aku tak tahu, Bang Satria pun memiliki perasaan kepadaku. Hanya saja, selama ini aku pura-pura abai dan tak mengetahuinya. “Iya, Bang. Dua Minggu lagi aku mau menikah kembali,” jawabku sambil tersenyum simpul.“Secepat itu?” ucapnya dengan suara lirih.Namun, yang membuatku kesal, Rajendra berdehem dan aku tahu, dia hanya pura-pura batuk ketika melihat Bang Satria terus menatap ke arahku serta mengabaikan keberadaan calon suami baruku ini.“Kalau begitu, selamat atas rencana pernikahannya, Rum. Aku turut senang. Semoga kamu bahagia dan mendapatkan suami yang tepat,” ucap Bang Satria dengan tulus. “Makasih, Bang. Kalau berkenan, Bang Satria juga bisa datang ke acara pernikahan kami nanti.”Aku membuka tas dan meraih kartu undangan resepsi pernikahanku dan Raje
Persiapan pernikahan pun sudah mencapai sempurna. Tinggal dilangsungkan akad nikah yang akan dilaksanakan dengan sederhana saja di rumah kakek.Sebenarnya, ini tak bisa terbilang sederhana juga. Kakek tetap menyewa jasa dekorasi untuk menghias beberapa sudut rumah dan ruangan dan menyewa beberapa tenda untuk tempat para tamu yang hadir. Sebenarnya, ijab kabul akan dilaksanakan di sebuah mesjid agung yang tak jauh dari rumah. Jadi, pagi-pagi sekali, sekitar pukul delapan pagi aku sudah mulai berangkat setelah dirias sedemikian rupa oleh beberapa MUA yang disewa. Ini pernikahan yang kata kakek sederhana. Sekitar seratus undangan telah hadir dan mengikuti proses ijab kabul yang akan diucapkan Rajendra untukku. Kakek dengan semringah menerima tamu penting yang sengaja diundang untuk menjadi saksi dari kedua belah pihak. Mulai dari pejabat dan seorang Kyai ternama. Tak banyak yang Rajendra undang dari pihak keluarganya, sebab dia memang hanya seorang yatim piatu saja. Bahkan, pamannya s
Untuk pertama kalinya, aku mencium tangan Rajendra setelah sah menjadi istrinya. Pun, dia yang mengecup keningku dengan cukup lama meski terlihat begitu kaku. Apa baru kali ini pria ini bersentuhan dengan seorang wanita? Kenapa dia sepertinya begitu gugup?Ah, mana mungkin? Aku tak percaya. Pasti banyak perempuan yang rela walau hanya menjadi teman tidurnya, dan mana mungkin Rajendra menolak? Aku yakin, pasti pria ini pernah lebih dari bersentuhan dengan wanita.“Aduh, Nak Rajendra masih gugup aja. Padahal sekarang sudah sah lho,” celetuk Bapak pejabat tadi. “Tapi kalau malam pertama nanti, aku yakin pasti gugupnya bakal hilang. Dia gemeteran kan soalnya dilihat banyak orang, beda kalau hanya berdua,” lanjut bapak-bapak lain yang memang suka bercanda hingga membuat semua tamu yang hadir terkekeh.Namun, yang mereka katakan itu salah, malam harinya saat kami berdua dalam satu kamar yang sama, Rajendra sama sekali tak melirikku. Dia bahkan sibuk dengan laptop di pangkuannya. Mata suam