POV Arum. Persiapan pernikahan pun mulai dilaksanakan. Terhitung dua Minggu dari sekarang acara akan dimulai. Awalnya, aku hanya ingin melakukan pernikahan keduaku ini secara sederhana. Hanya sekedar melakukan ijab kabul saja itu sudah cukup. Yang terpenting sah, bukan? Toh belum ada rasa spesial di antara kami berdua.Akan tetapi, kakek tak mau mendengarkanku, beliau menyetujui untuk akad nanti dilakukan secara sederhana. Namun, satu Minggu setelahnya, resepsi akan dilaksanakan secara besar-besaran di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta. Menurut Kakek, sudah lama sekali beliau menantikan acara seperti ini terjadi. Setelah dulu putranya, yang tak lain Ayahku menikahi Mama tanpa kehadiran beliau karena Ayah yang sempat hilang ingatan dan meresmikan hubungan dengan identitas baru. Pun, disaat aku menikah dengan Mas Arga dulu, kakek belum tahu keberadaanku sebagai cucunya. Kali ini, beliau tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk pernikahan keduaku, mumpung hayat masih dikandu
Kulihat Aurel menganggukkan kepalanya berulang kali. Seolah setuju dengan yang telah Rajendra ucapkan.Aurel mengajak kami duduk di sofa ruang tunggu. Wanita itu mencatat dengan serius gaun seperti apa yang menjadi pilihanku, pun dengan Rajendra. Aku menyerahkan semuanya kepada Aurel sebagai ahlinya. Hanya Rajendra yang menjabarkan konsep pernikahan impian yang dia inginkan.Bagiku, apa pun konsepnya sama saja. Yang terpenting ialah visi dan misi pernikahannya. Bagi diriku yang pernah gagal dalam berumah tangga, aku hanya berharap Rajendra takkan pernah mengecewakanku seperti Mas Arga kemarin. Rasa traumaku terhadap pria, membuat diri ini berharap suamiku nanti akan setia dan menjadi laki-laki yang terakhir ada di hidupku.Untuk akad nanti pilihan jatuh pada sebuah gaun pernikahan berwarna putih berpotongan lurus dengan detail renda rumit hasil karya terbaru rancangan Aurel yang masih beberapa hari lalu diluncurkan. Dan, untuk acara resepsinya, kami sepakat untuk memilih sebuah gaun
“Pernikahan? Ka-kamu mau menikah?” tanya Bang Satria dengan tergagap. Matanya menatapku dengan sendu. Aku tiba-tiba saja dilanda kebingungan. Diri ini terasa tengah dihadapkan dalam situasi yang tak mengenakkan. Apalagi, bukan aku tak tahu, Bang Satria pun memiliki perasaan kepadaku. Hanya saja, selama ini aku pura-pura abai dan tak mengetahuinya. “Iya, Bang. Dua Minggu lagi aku mau menikah kembali,” jawabku sambil tersenyum simpul.“Secepat itu?” ucapnya dengan suara lirih.Namun, yang membuatku kesal, Rajendra berdehem dan aku tahu, dia hanya pura-pura batuk ketika melihat Bang Satria terus menatap ke arahku serta mengabaikan keberadaan calon suami baruku ini.“Kalau begitu, selamat atas rencana pernikahannya, Rum. Aku turut senang. Semoga kamu bahagia dan mendapatkan suami yang tepat,” ucap Bang Satria dengan tulus. “Makasih, Bang. Kalau berkenan, Bang Satria juga bisa datang ke acara pernikahan kami nanti.”Aku membuka tas dan meraih kartu undangan resepsi pernikahanku dan Raje
Persiapan pernikahan pun sudah mencapai sempurna. Tinggal dilangsungkan akad nikah yang akan dilaksanakan dengan sederhana saja di rumah kakek.Sebenarnya, ini tak bisa terbilang sederhana juga. Kakek tetap menyewa jasa dekorasi untuk menghias beberapa sudut rumah dan ruangan dan menyewa beberapa tenda untuk tempat para tamu yang hadir. Sebenarnya, ijab kabul akan dilaksanakan di sebuah mesjid agung yang tak jauh dari rumah. Jadi, pagi-pagi sekali, sekitar pukul delapan pagi aku sudah mulai berangkat setelah dirias sedemikian rupa oleh beberapa MUA yang disewa. Ini pernikahan yang kata kakek sederhana. Sekitar seratus undangan telah hadir dan mengikuti proses ijab kabul yang akan diucapkan Rajendra untukku. Kakek dengan semringah menerima tamu penting yang sengaja diundang untuk menjadi saksi dari kedua belah pihak. Mulai dari pejabat dan seorang Kyai ternama. Tak banyak yang Rajendra undang dari pihak keluarganya, sebab dia memang hanya seorang yatim piatu saja. Bahkan, pamannya s
Untuk pertama kalinya, aku mencium tangan Rajendra setelah sah menjadi istrinya. Pun, dia yang mengecup keningku dengan cukup lama meski terlihat begitu kaku. Apa baru kali ini pria ini bersentuhan dengan seorang wanita? Kenapa dia sepertinya begitu gugup?Ah, mana mungkin? Aku tak percaya. Pasti banyak perempuan yang rela walau hanya menjadi teman tidurnya, dan mana mungkin Rajendra menolak? Aku yakin, pasti pria ini pernah lebih dari bersentuhan dengan wanita.“Aduh, Nak Rajendra masih gugup aja. Padahal sekarang sudah sah lho,” celetuk Bapak pejabat tadi. “Tapi kalau malam pertama nanti, aku yakin pasti gugupnya bakal hilang. Dia gemeteran kan soalnya dilihat banyak orang, beda kalau hanya berdua,” lanjut bapak-bapak lain yang memang suka bercanda hingga membuat semua tamu yang hadir terkekeh.Namun, yang mereka katakan itu salah, malam harinya saat kami berdua dalam satu kamar yang sama, Rajendra sama sekali tak melirikku. Dia bahkan sibuk dengan laptop di pangkuannya. Mata suam
Yang membuatku tertegun, ketika dia mulai menggeser laptop di pangkuannya dan menyimpan benda tersebut ke atas sofa. Kemudian, Rajendra berdiri menghampiri kasur di mana aku merebahkan diri dengan mata yang masih menatap nyalang.Aku tergagap di tempat dengan was-was. Dia mau apa? Bukannya menjawab, malah datang menghampiriku seperti ini?“Soalnya apa? Katakan!” tekan Rajendra dengan tatapan menuntut. Dia berkacang pinggang dengan napas yang sudah mulai naik turun.“Emh. Lupakan! Aku hanya melantur saja,” jawabku dengan terbata.Rajendra menyeringai dan membuatku sedikit salah tingkah serta waspada. Mau apa dia?Matanya terus saja menyorot ke arahku tanpa berkedip. Aku semakin mengeratkan tangan di dalam selimut. Kemudian, diri ini mulai tersentak ketika tangan Rajendra meraih selimut yang kupegang dan menyibaknya dengan cepat.Aku memekik karena terkejut dan langsung menyilangkan tangan di atas dada. Apalagi, pria yang telah berstatus sebagai suamiku ini langsung membeliakkan matany
POV Arum. Sejak malam itu, Rajendra tak banyak bicara, atau pun sekedar berulah untuk membuatku kesal seperti sebelumnya, seolah aku ini tak ada di sekitarnya. Bahkan, ketika bersama kakek pun, suami baruku itu hanya sesekali mengajakku bicara jika kakek bertanya.Ya, kami sempat bermalam di rumah milik kakek pasca sah menjadi suami istri. Di hari ketiga, Rajendra membawaku pindah ke rumahnya. Awalnya, kakek seperti berat melepaskanku untuk pergi kembali, tetapi beliau tak kuasa mencegahku sama sekali. “Maaf, kek. Arum enggak bisa menemani Kakek di rumah ini lagi. Arum harus pergi. Tapi Kakek tenang saja, aku pasti akan sering mampir ke rumah ini, kok. Lagi pula, kita akan sering bertemu di kantor,” ujarku saat berpamitan. Kulihat, kakek sempat menitikkan air matanya. Namun, beliau tak urung tersenyum ketika melepasku pergi.“Jangan khawatirkan Kakek. Tenang saja, Kakek di sini pun masih banyak yang jaga. Bagaimana pun, sebagai istri kamu harus ikut ke mana saja suamimu pergi. Ben
Aku merasa, Rajendra memang tak berniat satu kamar denganku di rumah ini, makanya dia masuk kamarnya terlebih dahulu tanpa memedulikanku.“Nona kan satu kamar dengan Tuan muda. Dia sudah menyuruh kami semua menyiapkan segalanya untuk menyambut Nona. Termasuk meminta kami membereskan baju-baju milik Nona di sana,” jawab Bi Ninung.Apa iya? Akan tetapi, kenapa Rajendra tak mengatakan apa pun padaku? Apa dia benar-benar masih marah gara-gara waktu itu? Ah, sepertinya aku harus meminta maaf terlebih dahulu kepadanya.“Ya sudah, Bi. Aku masuk kamar dulu. Oh iya, nanti bantu aku menyiapkan makan siang, ya, Bi. Rajendra pasti sudah merasa lapar. Ini kan sudah waktunya makan siang,” ujarku. Bi Ninung mengangguk. Dia bilang akan ke dapur menyiapkan bahan-bahan untuk memasak hidangan makan siang. Ya, mulai saat ini, aku akan melayani segala keperluan suami baruku. Meski belum ada cinta di antara kami, setidaknya aku tak boleh mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri.Aku lekas menyusul Ra