Aku merasa, Rajendra memang tak berniat satu kamar denganku di rumah ini, makanya dia masuk kamarnya terlebih dahulu tanpa memedulikanku.“Nona kan satu kamar dengan Tuan muda. Dia sudah menyuruh kami semua menyiapkan segalanya untuk menyambut Nona. Termasuk meminta kami membereskan baju-baju milik Nona di sana,” jawab Bi Ninung.Apa iya? Akan tetapi, kenapa Rajendra tak mengatakan apa pun padaku? Apa dia benar-benar masih marah gara-gara waktu itu? Ah, sepertinya aku harus meminta maaf terlebih dahulu kepadanya.“Ya sudah, Bi. Aku masuk kamar dulu. Oh iya, nanti bantu aku menyiapkan makan siang, ya, Bi. Rajendra pasti sudah merasa lapar. Ini kan sudah waktunya makan siang,” ujarku. Bi Ninung mengangguk. Dia bilang akan ke dapur menyiapkan bahan-bahan untuk memasak hidangan makan siang. Ya, mulai saat ini, aku akan melayani segala keperluan suami baruku. Meski belum ada cinta di antara kami, setidaknya aku tak boleh mengabaikan kewajiban sebagai seorang istri.Aku lekas menyusul Ra
Ah iya, dia memang sering membantuku di saat sulit dan rela terluka demi menyelamatkan nyawaku. Namun, kukira itu hanya sandiwara saja. Akan tetapi, kenapa aku merasa dia benar-benar tulus. Aku melihat sisi lain dari seorang Rajendra. Benarkah yang Kakek katakan kalau dia memang pada dasarnya berhati baik. Hanya saja, pengalaman pahit yang membuat dia berubah?Rajendra kemudian melangkah ke arah pintu, lalu meraih handle. Sebelum membukanya, dia berbalik ke arahku.“Semua kebutuhanmu sudah tersedia di kamar ini, termasuk semua pakaianmu,” ujarnya kemudian berlalu dari kamar ini.Entahlah, dia pergi ke mana. Namun, kutebak Rajendra sepertinya masuk ke ruang kerjanya. Aku bisa mendengar pintu kamar sebelah terbuka dan tertutup kembali.**Rajendra masih menghindariku meski di rumah ini. Bahkan, tak jarang dia tertidur di ruang kerja yang berada di sebelah kamar miliknya ini. Bahkan, saat waktu di mana resepsi terjadi. Dia tak berubah. Rajendra akan berdekatan denganku jika menyambut t
POV Arum. Derit pintu yang terbuka mulai masuk ke indera. Terdengar langkah sepatu seseorang memasuki kamarku bersama Rajendra. Aku yakin, dia pasti sudah pulang sesuai perkataan Bi Ninung tadi. Dari balik pintu walk in closet, dapat kulihat Rajendra membuka baju dan menyimpan pakaian kotor tersebut ke dalam keranjang cucian, lalu selanjutnya dia masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian, aku dapat mendengar dengan jelas suara gemericik air dari balik pintu.Aku menutup mata sambil menarik napas dalam-dalam. Beberapa detik kemudian, perlahan kubuka kembali dan menatap gambar diri di cermin. Pipiku memanas menyaksikan sendiri pakaian yang sedang kukenakan. Apa aku tak terlihat konyol berpenampilan seperti ini?Mungkinkah dengan usahaku kali ini, hubungan pernikahan kami akan mencair? Tak nyaman terus menerus didiamkan oleh suami sendiri. Apalagi, sebagai istri, aku merasa selama ini telah berdosa membuat Rajendra tak menyentuhku sama sekali dan membuatnya sebagai seorang lelaki dewasa te
“Iya. Aku tahu. Bi Ninung sudah mengatakannya. Aku juga ingin kita membicarakan sesuatu,” ujarku.Rajendra menoleh, dia sepertinya tengah berpikir keras. Terbukti, alis di wajahnya bertaut cukup dalam.“Ya.” Meski begitu, Rajendra mengangguk menyetujui ucapanku.Aku pun segera keluar dari walk in closet dan menunggu suami baruku itu keluar setelah selesai berpakaian. Kemudian duduk di sofa dengan nyaman sambil sesekali menggigit bibir bawah guna menghilangkan kegugupan yang perlahan mendera.Seperempat jam kemudian, Rajendra keluar dengan penampilan yang terlihat segar. Dia sudah memakai pakaian khas rumahan sekarang. Meski hanya memakai kaos lengan pendek dan celana sebatas lutut saja, ternyata membuat penampilannya tetap cocok.Pria yang telah berstatus suamiku ini duduk tak jauh dari sofa yang kutempati. Kini, posisi kami saling berhadapan.“Katanya, ada sesuatu yang ingin kamu katakan? Apa?” tanyaku mencoba memecah keheningan yang sempat beberapa menit menyelimuti kami berdua.Mat
Bab 15. POV Arum Sejak malam itu, akhirnya aku memberanikan diri untuk menjadi istri yang seutuhnya untuk Rajendra. Kulayani dia dengan sepenuh hati meski belum ada cinta untuknya. Kulihat, beberapa kali pria yang biasanya seperti kutub es tersebut menampilkan senyum dan sisi hangat sebagai seorang suami. Perlahan, bongkahan es yang begitu dingin itu mencair seiring waktu. Jarak di antara kami pun mulai terkikis. Aku tak percaya, itu pertama kali bagi Rajendra menyentuh seorang perempuan. Bahkan, awal penyatuan kami pun, dia sungguh begitu kaku. Pria yang telah menjadi suamiku ini, hanya mengandalkan insting alaminya sebagai seorang lelaki dewasa ketika menuntunku ke puncak. Jangan ditanya perasaanku sekarang. Meski ada rasa tak percaya, tetapi aku begitu bahagia mendapatkan kenyataan ini. Kukira, sebagai seorang pria yang cukup dikagumi para wanita, dia begitu menjaga diri untuk tak menyentuh wanita mana pun secara sembarang. Tadinya, kukira Rajendra adalah lelaki yang sering be
Kulihat, suami baruku ini salah tingkah sambil menggaruk belakang telinganya.“Kenapa?” “Aku lupa cara berwudu,” ujar Rajendra dengan mimik muka yang menurutku terlihat lucu. Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan suami baruku ini. Bagaimana mungkin, dia lupa bagaimana cara bersuci? Pantas saja sejak tadi, dia hanya bolak-balik di depan pintu kamar mandi saat kusuruh dia berwudu setelah berpakaian.“Ya sudah. Biar aku ajarkan saja,” ujarku sambil melepaskan mukena yang telah kupakai dan menyusulnya ke kamar mandi. Menuntunnya perlahan untuk mengajarkan langkah demi langkah cara bersuci. Aku pun tak mengatakan apa pun padanya, tidak ingin membuat suamiku ini tersinggung atau pun rendah diri. Aku tahu, ini sesuatu hal yang baru untuk dia. Mau menuruti keinginanku pun aku cukup bersyukur. Apalagi, kulihat dia mau berubah sedikit demi sedikit.Selepas berwudu dan kemudian memakai sarung serta peci, Rajendra kembali terlihat kebingungan. Kutebak, pasti cara salat pun dia suda
“Pindah ke Bandung? Kenapa mendadak seperti ini?” tanyaku begitu syok mendengar rencana Rajendra yang begitu mendadak.“Tak mendadak, aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Kakek juga sudah tahu,” katanya.Aku kembali menoleh dengan bibir yang sedikit terbuka. Apa katanya? Kakek juga sudah tahu masalah ini? “Lalu, kenapa kamu baru cerita sekarang padaku? Apalagi, mendadak seperti ini?” tanyaku mulai geram. Dia pikir aku ini siapa? Sesuka hatinya memutuskan sesuatu tanpa berunding denganku, tanpa melibatkan istrinya ini. Ah, apa aku dianggap sebagai istri setelah mengetahui keputusannya dia ambil sendiri. Aku merajuk. Benar-benar tersinggung oleh tingkah suamiku. Aku merasa begitu tak dihargai. “Kamu itu keterlaluan. Memutuskan segala sesuatu sendiri. Kamu pikir aku ini siapa? Orang lain begitu?” semburku meluapkan kekecewaan.Aku merasa seperti tak mengenal diriku sendiri. Entah kenapa, saat bersama Rajendra aku lebih berani mengungkapkan perasaan. Tak seperti dulu, selalu men
Aku masih kesal kepadanya.“Masih marah? Sampai kapan kamu diam begini?” tanyanya kembali. Namun, aku tetap membisu.“Ya sudah. Sayang sekali. Padahal, aku punya sesuatu untuk kamu,” ujarnya membuatku mengernyit.“Rajendra mengambil sesuatu dari saku jasnya. Kulihat sebuah kotak beludru berwarna merah sudah ada di tangannya. Dia membuka benda tersebut dan ternyata di dalamnya sudah ada sebuah kalung dengan bandul inisial nama R dan A.Aku paham apa artinya, tetapi pura-pura tak tertarik sedikit pun dengan memalingkan muka ke arah lain.“Kamu mau menyogokku? Enggak mempan,” ujarku dengan ketus.“Siapa bilang? Kalau kamu tidak mau ya sudah. Lagi pula, bentuk kalungnya memang jelek. Bisa-bisanya Maria membantuku memesan benda ini untukmu. Memang norak.”Rajendra memasukkan kembali benda tersebut dan menyingkirkannya. Dia masukkan kotak perhiasan itu ke dalam laci dengan sembarang. Aku tahu, dari wajahnya Rajendra begitu kecewa mendengar reaksi dariku barusan. Sebenarnya aku tak tega jug