Pov ArumBab 17.“Assalamualaikum ...,” teriakku sambil berlari ke arah Bu Rina yang tengah mengawasi anak-anak berganti makan siang.“Waalaikumsallam,” jawabnya seraya menoleh. Beliau, langsung mengulas senyum dan lekas memelukku dengan rindu.“Ya Allah, Rum. Kapan ke sini? Kenapa enggak ngasih tahu kalau mau mampir?”Bu Rina seperti biasa selalu menyambutku hangat, seolah dia tengah bertemu dengan putrinya sendiri. Ya, tak ada yang begitu tulus menyayangiku selain ketua yayasan panti asuhan tempatku dibesarkan ini. Wanita yang selama hidupnya hanya didedikasikan untuk membantu anak-anak terlantar dan yatim piatu. Perempuan yang begitu banyak berjasa dalam kehidupan kami anak asuhnya. Bahkan, demi mengabdikan diri, beliau tak pernah keinginan sedikit pun menikah lagi semenjak putrinya meninggal karena bencana puluhan tahun lalu beserta sang suami.Itulah kenapa, Bu Rina mendirikan panti asuhan serta menampung anak-anak yang membutuhkan uluran tangan serta kasih sayangnya untuk bisa
“Kalian maju satu-satu, ya. Jangan rebutan atau saling dorong. Semua pasti kebagian, kok,” ucapku ketika melihat beberapa anak yang tak sabar mulai saling dorong.“Iya, Kak,” jawab semuanya dengan serempak. Untunglah, anak-anak ini begitu penurut dan mudah diingatkan. Satu persatu dari mereka maju dan mendapatkan sesuatu dariku. Satu anak akan mendapatkan satu paperbag besar berisi baju baru dan peralatan salat serta alat tulis. Tak lupa, uang yang dari kakek dan Rajendra kubagi rata dalam amplop putih yang kusimpan di dalam tas.Binar bahagia begitu tercetak jelas dari mata mereka. Meski banyak donatur yang sering menyumbang untuk panti asuhan, tetapi tak setiap waktu mereka mendapatkan pakaian baru. Hanya terhitung beberapa kali saja dalam kurun beberapa bulan.Bukannya Bu Rina pelit, tetapi beliau menabung sebagian yang untuk keadaan mendesak dan kebutuhan biaya sekolah anak-anak. Apalagi, bukan satu dua penghuni di tempat ini, terdapat lebih dari lima puluhan anak yang dalam pen
Pov ArumBab 17.Kembalinya dari panti asuhan, aku termenung di taman belakang rumah. Memikirkan perkataan Bi Surmi yang membuat perasaanku sedikit terganggu. Entah kenapa, ada sesuatu yang menyakitkan hati ketika mendengar kenyataan bahwa Mas Arga kecelakaan, sesaat setelah dia pulang dari panti asuhan waktu itu. Bukan aku tak tahu, kalau Mas Arga masih mencintaiku sampai sekarang. Bahkan, ketika mendengar kenyataan bahwa aku telah menikah kembali dengan pria lain, dapat terlihat jelas gurat kecewa di wajahnya. Apalagi, dengan sudut mataku sendiri, aku melihat mantan suamiku itu keluar dari ruangan Bu Rina dengan wajah yang tampak lesu.Pun, ketika Mas Arga beberapa kali menoleh ke arahku berada, aku tahu itu. Dia memerhatikan diri ini cukup lama. Sampai, mantan suamiku tersebut pergi dengan langkah gontai dengan kepala yang menunduk.Ada sisi hatiku yang sesak melihatnya seolah hancur seperti itu, tetapi ketika mengingat kembali rasa sakit yang dia torehkan dahulu, aku benar-benar
Tubuhku bergetar, kilasan demi kilasan ketika menyaksikan sendiri Mas Arga membawa wanita itu dulu kembali mencuat. Bagaimana kalau Rajendra pun melakukan hal yang sama dalam rumah tangga kami? Bahkan, pernikahanku dan dia masih belum genap setahun, bagaimana kalau dia mencoba berkhianat?Benar, bukankah kelakuan aneh Rajendra hari ini begitu mencurigakan? Dia begitu terlihat bahagia, dan ternyata karena ingin menemui Maria?Aku mematung di tempat, dengan mata yang terus menatap suami baruku ini. Memperhatikan inci demi inci wajah tampan Rajendra yang kuakui seperti oppa-oppa korea.Pantas, banyak wanita yang mengejarnya. Aku baru sadar, ternyata suamiku ini begitu tampan dari yang sebelumnya kusadari. Mungkinkah wanita yang bernama Maria itu salah satu perempuan pengagum Rajendra? Wanita yang rela berbagi kehangatan dengan suamiku?“Hei. Arum. Kamu kenapa?” dengung suara Rajendra masuk ke telingaku. Namun, diri ini terus diam tak bergerak sedikit pun.“Kamu sakit?” tanyanya kembali s
“Akhirnya datang juga,” bisik Rajendra langsung mengunci tubuhku di tembok. Lantas, kakinya sebelah mencoba menutup pintu yang tadi sempat terbuka. Ada apa sebenarnya ini? Aku memindai sudut kamar, melirik ke kanan dan kiri, mencari keberadaan wanita itu. Di mana wanita yang bernama Maria tersebut? Apa mungkin Rajendra menyembunyikannya? Namun, kenapa dia bisa tahu aku akan datang menyusulnya ke sini? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang Rajendra sembunyikan? “Mencari siapa, Hem?” tanya pria yang sudah menjadi suamiku ini. Aku mendongak, hingga kedua mata kami berserobok. Tatapannya yang dalam berhasil mengunciku. Aku menelan Saliva, kenapa aku malah terjebak dalam situasi seperti ini dengan Rajendra? Bukankah tujuanku ke sini untuk memergoki perselingkuhannya dengan wanita bernama Maria itu? “Di mana wanita itu?” tanyaku ketus dan sedikit salah tingkah. “Wanita?” tanya Rajendra seraya mengerutkan dahinya. “Iya. Wanita yang sudah janjian denganmu di hotel ini. Jangan pura-pura ta
“Apa ini? Jadi ...?”“Ya. Aku memang sedang nunggu kamu dari tadi,” jelas Rajendra. Akan tetapi, aku masih tak percaya.“Terus, pesan dari Maria di ponselmu gimana? Bukankah itu menunjukkan kalau kalian sedang janjian di hotel ini?” cecarku masih penuh selidik.Namun, lagi-lagi Rajendra tertawa. Dia kemudian menggeleng.“Arum ... Arum. Sesuai tebakanku. Kamu pasti akan langsung curiga kalau ada seorang wanita yang mengirimkan pesan padaku.”“Maksudnya ? Jadi kamu tahu aku akan datang ke sini?”Tanpa berpikir panjang, Rajendra langsung mengangguk. Dia kemudian meraih tanganku kembali dan mengajak istrinya ini duduk di bibir kasur empuk hotel. Kasur yang sudah berhiaskan taburan mawar merah yang dirangkai berbentuk hati, serta terdapat handuk putih bergambar sepasang angsa. “Tentu saja aku tahu dan sudah yakin kalau kamu memang pasti akan datang sesuai rencanaku,” jelas Rajendra membuat alisku semakin berkerut.“Aku sengaja membuat kejutan seperti ini untukmu. Aku meminta Maria untuk b
“Apa boleh aku menemui Mas Arga sebelum kita pindah dari kota ini? Aku dengar dia kecelakaan,” ujarku membuat Rajendra menunduk sambil menatap mata ini. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku benar-benar harap-harap cemas menunggu jawaban dari Rajendra. Akankah suamiku ini memberikan izin? Rajendra terdiam sejenak seperti tengah berpikir. Lamat-lamat akhirnya dia menganggukkan kepala. Aku yang ingin memastikan lekas bertanya. “Gimana? Boleh?” tanyaku kembali. “Ya. Tapi dengan satu syarat,” ujarnya membuatku alisku mengerut. “Aku akan mengantarmu ke sana,” lanjutnya. Tak ingin berdebat, aku mengangguk, menyetujui syarat dari Rajendra. Toh tak ada salahnya permintaan suamiku ini. Mungkin, dengan begitu aku pun bisa mengenalkan Rajendra kepada orang-orang yang kukenal sebagai suami baruku. Lagi pula, aku ingin Mas Arga melupakan mantan istrinya ini dan memulai hidup baru dengan wanita lain. Mungkin ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku dan dia tak berjodoh. Kami hanya diper
“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Rajendra membuatku bingung harus menjawab apa. “Apaan sih. Kok tanya begitu? Memangnya itu penting? Bukankah yang terpenting saat ini aku bukan lagi miliknya? Yang menjadi suamiku sekarang itu kamu. Dan aku sudah berjanji akan mempertahankan pernikahan kita dan menerimanya,” jawabku sembil menghindari tatapan Rajendra. Dia menghela napas, lalu mengangguk.Kemudian tak memaksaku untuk menjawab pertanyaannya tadi.Sebenarnya, aku sedikit tak enak hati kepadanya. Bukan tak ingin menyenangkan perasaannya. Bisa saja aku berbohong dengan mengatakan kalau aku sudah tak menyimpan perasaan terhadap Mas Arga dan melupakan dia sepenuhnya. Akan tetapi, aku yakin, Rajendra bukan lelaki bodoh yang bisa dibohongi begitu saja. Akan tetapi, bukankah sesuai yang kukatakan. Meskipun aku masih memiliki perasaan terhadap mantan suamiku, itu semua sudah tak penting lagi. Aku pun telah menerima pernikahanku bersama Rajendra. Itu cukup bukan untuk sekarang? Meski belu
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal