“Kalian maju satu-satu, ya. Jangan rebutan atau saling dorong. Semua pasti kebagian, kok,” ucapku ketika melihat beberapa anak yang tak sabar mulai saling dorong.“Iya, Kak,” jawab semuanya dengan serempak. Untunglah, anak-anak ini begitu penurut dan mudah diingatkan. Satu persatu dari mereka maju dan mendapatkan sesuatu dariku. Satu anak akan mendapatkan satu paperbag besar berisi baju baru dan peralatan salat serta alat tulis. Tak lupa, uang yang dari kakek dan Rajendra kubagi rata dalam amplop putih yang kusimpan di dalam tas.Binar bahagia begitu tercetak jelas dari mata mereka. Meski banyak donatur yang sering menyumbang untuk panti asuhan, tetapi tak setiap waktu mereka mendapatkan pakaian baru. Hanya terhitung beberapa kali saja dalam kurun beberapa bulan.Bukannya Bu Rina pelit, tetapi beliau menabung sebagian yang untuk keadaan mendesak dan kebutuhan biaya sekolah anak-anak. Apalagi, bukan satu dua penghuni di tempat ini, terdapat lebih dari lima puluhan anak yang dalam pen
Pov ArumBab 17.Kembalinya dari panti asuhan, aku termenung di taman belakang rumah. Memikirkan perkataan Bi Surmi yang membuat perasaanku sedikit terganggu. Entah kenapa, ada sesuatu yang menyakitkan hati ketika mendengar kenyataan bahwa Mas Arga kecelakaan, sesaat setelah dia pulang dari panti asuhan waktu itu. Bukan aku tak tahu, kalau Mas Arga masih mencintaiku sampai sekarang. Bahkan, ketika mendengar kenyataan bahwa aku telah menikah kembali dengan pria lain, dapat terlihat jelas gurat kecewa di wajahnya. Apalagi, dengan sudut mataku sendiri, aku melihat mantan suamiku itu keluar dari ruangan Bu Rina dengan wajah yang tampak lesu.Pun, ketika Mas Arga beberapa kali menoleh ke arahku berada, aku tahu itu. Dia memerhatikan diri ini cukup lama. Sampai, mantan suamiku tersebut pergi dengan langkah gontai dengan kepala yang menunduk.Ada sisi hatiku yang sesak melihatnya seolah hancur seperti itu, tetapi ketika mengingat kembali rasa sakit yang dia torehkan dahulu, aku benar-benar
Tubuhku bergetar, kilasan demi kilasan ketika menyaksikan sendiri Mas Arga membawa wanita itu dulu kembali mencuat. Bagaimana kalau Rajendra pun melakukan hal yang sama dalam rumah tangga kami? Bahkan, pernikahanku dan dia masih belum genap setahun, bagaimana kalau dia mencoba berkhianat?Benar, bukankah kelakuan aneh Rajendra hari ini begitu mencurigakan? Dia begitu terlihat bahagia, dan ternyata karena ingin menemui Maria?Aku mematung di tempat, dengan mata yang terus menatap suami baruku ini. Memperhatikan inci demi inci wajah tampan Rajendra yang kuakui seperti oppa-oppa korea.Pantas, banyak wanita yang mengejarnya. Aku baru sadar, ternyata suamiku ini begitu tampan dari yang sebelumnya kusadari. Mungkinkah wanita yang bernama Maria itu salah satu perempuan pengagum Rajendra? Wanita yang rela berbagi kehangatan dengan suamiku?“Hei. Arum. Kamu kenapa?” dengung suara Rajendra masuk ke telingaku. Namun, diri ini terus diam tak bergerak sedikit pun.“Kamu sakit?” tanyanya kembali s
“Akhirnya datang juga,” bisik Rajendra langsung mengunci tubuhku di tembok. Lantas, kakinya sebelah mencoba menutup pintu yang tadi sempat terbuka. Ada apa sebenarnya ini? Aku memindai sudut kamar, melirik ke kanan dan kiri, mencari keberadaan wanita itu. Di mana wanita yang bernama Maria tersebut? Apa mungkin Rajendra menyembunyikannya? Namun, kenapa dia bisa tahu aku akan datang menyusulnya ke sini? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang Rajendra sembunyikan? “Mencari siapa, Hem?” tanya pria yang sudah menjadi suamiku ini. Aku mendongak, hingga kedua mata kami berserobok. Tatapannya yang dalam berhasil mengunciku. Aku menelan Saliva, kenapa aku malah terjebak dalam situasi seperti ini dengan Rajendra? Bukankah tujuanku ke sini untuk memergoki perselingkuhannya dengan wanita bernama Maria itu? “Di mana wanita itu?” tanyaku ketus dan sedikit salah tingkah. “Wanita?” tanya Rajendra seraya mengerutkan dahinya. “Iya. Wanita yang sudah janjian denganmu di hotel ini. Jangan pura-pura ta
“Apa ini? Jadi ...?”“Ya. Aku memang sedang nunggu kamu dari tadi,” jelas Rajendra. Akan tetapi, aku masih tak percaya.“Terus, pesan dari Maria di ponselmu gimana? Bukankah itu menunjukkan kalau kalian sedang janjian di hotel ini?” cecarku masih penuh selidik.Namun, lagi-lagi Rajendra tertawa. Dia kemudian menggeleng.“Arum ... Arum. Sesuai tebakanku. Kamu pasti akan langsung curiga kalau ada seorang wanita yang mengirimkan pesan padaku.”“Maksudnya ? Jadi kamu tahu aku akan datang ke sini?”Tanpa berpikir panjang, Rajendra langsung mengangguk. Dia kemudian meraih tanganku kembali dan mengajak istrinya ini duduk di bibir kasur empuk hotel. Kasur yang sudah berhiaskan taburan mawar merah yang dirangkai berbentuk hati, serta terdapat handuk putih bergambar sepasang angsa. “Tentu saja aku tahu dan sudah yakin kalau kamu memang pasti akan datang sesuai rencanaku,” jelas Rajendra membuat alisku semakin berkerut.“Aku sengaja membuat kejutan seperti ini untukmu. Aku meminta Maria untuk b
“Apa boleh aku menemui Mas Arga sebelum kita pindah dari kota ini? Aku dengar dia kecelakaan,” ujarku membuat Rajendra menunduk sambil menatap mata ini. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Aku benar-benar harap-harap cemas menunggu jawaban dari Rajendra. Akankah suamiku ini memberikan izin? Rajendra terdiam sejenak seperti tengah berpikir. Lamat-lamat akhirnya dia menganggukkan kepala. Aku yang ingin memastikan lekas bertanya. “Gimana? Boleh?” tanyaku kembali. “Ya. Tapi dengan satu syarat,” ujarnya membuatku alisku mengerut. “Aku akan mengantarmu ke sana,” lanjutnya. Tak ingin berdebat, aku mengangguk, menyetujui syarat dari Rajendra. Toh tak ada salahnya permintaan suamiku ini. Mungkin, dengan begitu aku pun bisa mengenalkan Rajendra kepada orang-orang yang kukenal sebagai suami baruku. Lagi pula, aku ingin Mas Arga melupakan mantan istrinya ini dan memulai hidup baru dengan wanita lain. Mungkin ini yang terbaik untuk kita berdua. Aku dan dia tak berjodoh. Kami hanya diper
“Apa kamu masih mencintainya?” tanya Rajendra membuatku bingung harus menjawab apa. “Apaan sih. Kok tanya begitu? Memangnya itu penting? Bukankah yang terpenting saat ini aku bukan lagi miliknya? Yang menjadi suamiku sekarang itu kamu. Dan aku sudah berjanji akan mempertahankan pernikahan kita dan menerimanya,” jawabku sembil menghindari tatapan Rajendra. Dia menghela napas, lalu mengangguk.Kemudian tak memaksaku untuk menjawab pertanyaannya tadi.Sebenarnya, aku sedikit tak enak hati kepadanya. Bukan tak ingin menyenangkan perasaannya. Bisa saja aku berbohong dengan mengatakan kalau aku sudah tak menyimpan perasaan terhadap Mas Arga dan melupakan dia sepenuhnya. Akan tetapi, aku yakin, Rajendra bukan lelaki bodoh yang bisa dibohongi begitu saja. Akan tetapi, bukankah sesuai yang kukatakan. Meskipun aku masih memiliki perasaan terhadap mantan suamiku, itu semua sudah tak penting lagi. Aku pun telah menerima pernikahanku bersama Rajendra. Itu cukup bukan untuk sekarang? Meski belu
Luna sekretaris suamiku mengangguk sopan kepada kedua polisi yang baru saja keluar dari ruangan kerja atasannya tersebut. Kemudian, mereka pergi dari kantor ini diantar salah satu karyawan. Dapat kudengar pula bisik-bisik dari para karyawan yang lewat dan melihat beberapa penegak hukum datang ke kantor. Mungkin merasa aneh sekaligus penasaran. Sama sepertiku yang begitu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Aku kemudian mencoba menemui Rajendra di ruangannya dan meminta penjelasan. Saat membuka pintu, dapat kulihat Tobi asisten pribadi suamiku itu tengah berdiri tak jauh dari Rajendra.“Apa aku mengganggu?” tanyaku setelah sebelumnya berdehem sambil mengetuk pintu?Dapat kulihat Rajendra begitu terkejut melihat kedatanganku. Dia begitu gelagapan. Itu dapat terlihat jelas sekali dari wajahnya. Ada apa dengan Rajendra?“Ka-kapan kamu ke sini? Kenapa tak memberi kabar dulu?” tanya Rajendra.“Aku membawa makan siang untuk kita. Memangnya aku benar-benar harus minta izin dulu jika harus