Luna sekretaris suamiku mengangguk sopan kepada kedua polisi yang baru saja keluar dari ruangan kerja atasannya tersebut. Kemudian, mereka pergi dari kantor ini diantar salah satu karyawan. Dapat kudengar pula bisik-bisik dari para karyawan yang lewat dan melihat beberapa penegak hukum datang ke kantor. Mungkin merasa aneh sekaligus penasaran. Sama sepertiku yang begitu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.Aku kemudian mencoba menemui Rajendra di ruangannya dan meminta penjelasan. Saat membuka pintu, dapat kulihat Tobi asisten pribadi suamiku itu tengah berdiri tak jauh dari Rajendra.“Apa aku mengganggu?” tanyaku setelah sebelumnya berdehem sambil mengetuk pintu?Dapat kulihat Rajendra begitu terkejut melihat kedatanganku. Dia begitu gelagapan. Itu dapat terlihat jelas sekali dari wajahnya. Ada apa dengan Rajendra?“Ka-kapan kamu ke sini? Kenapa tak memberi kabar dulu?” tanya Rajendra.“Aku membawa makan siang untuk kita. Memangnya aku benar-benar harus minta izin dulu jika harus
“Kamu kenapa enggak peka sih? Aku ini sedang mengandung anak kamu tahu, darah daging kita di perutku. Aku hamil.”Reaksi Rajendra benar-benar membuatku terkejut setelahnya. Dia memeluk tubuh istrinya ini dengan erat, dan yang tak terduga dari semua itu, Rajendra terus saja menghadiahkan kecupan di wajahku. Dia bahkan tak peduli sekitar. Ada beberapa pengunjung yang menoleh ke arah kami karena kegaduhan suara Rajendra dan melihat aksinya yang bertubi-tubi menciumiku. Bahkan, melihat reaksi dari mereka membuatku begitu ingin menenggelamkan diri. Ada yang terkekeh, ada pula yang saling berbisik bersama temannya.“Ih. Apa-apaan sih? Malu tahu. Dilihat banyak orang,” bisikku mencoba menghindar dari suamiku.“Aku tak peduli. Justru biar semua tahu dan lihat kalau aku ini bahagia,” pekiknya tak peduli ucapanku sama sekali. Dia bahkan memintaku berdiri dan yang membuatku terkejut, Rajendra memangku tubuh istrinya ini dengan sekali ayunan dan berteriak.“Aku akan punya anak ....”Aku benar-be
Pesawat kini sudah terbang landas. Selama di atas pesawat ini, Rajendra terlihat begitu tak tenang. Dia seperti gelisah tak menentu. Akan tetapi, aku tak tahu dia ini kenapa? Mengapa aku merasa suamiku ini menyembunyikan sesuatu? Namun, apa itu? Kenapa rasanya Rajendra begitu banyak menyimpan rahasia? Seperti saat ini, dia terus saja melirik ke arah ponselnya yang sedang diaktifkan mode pesawat sehingga tak bisa menerima pesan apa pun. Rajendra terlihat seperti tak sabar untuk menghubungi seseorang atau mungkin sebaliknya, akan ada orang yang menghubunginya.Aku benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi dengan suamiku.“Kamu kenapa? Apa ada masalah?” selidikku.Rajendra menoleh dia kemudian tersenyum kaku. Kembali suamiku ini memasukkan ponsel ke dalam saku celana miliknya.“Tidak apa-apa. Hanya ada masalah sedikit. Oh iya, kamu tidak keberatan kan kalau kita tunda saja perjalanan ke bogornya. Nanti, akan kusuruh orang untuk membeli manisan yang kamu inginkan. Aku h
“Kakek. Dari mana Kakek mendapatkannya?”Aku begitu tak menyangka bisa mendapatkan hadiah yang begitu berharga. Dua buah foto lama yang telah dibingkai dengan cantik. Kenangan aku dan Ibu ketika masih balita dan satu lagi setelah aku berumur lima tahunan. Saat itu, kami sekeluarga masih begitu harmonis. Kedua orang tuaku terlihat begitu saling mencintai. Ayah masih menyayangi kami dan seseorang yang pada saat itu sangat kukagumi. Beliau selalu memberikan kehangatan dalam keluarga kecil kami. Sebelum wanita, dan yang ternyata ibu kandung Rajendra datang dan menghancurkan segalanya. Kilasan demi kilasan masa kecilku kembali berkelindan dalam pikiran. Mengingat semua itu, aku tak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba saja merangsek keluar.“Apa kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Kakek. Sedangkan diri ini masih fokus menatap foto yang sudah berbingkai kaca. Mengusap-usap benda tersebut dengan mata yang sendu.Entahlah, akhir-akhir ini, semenjak mengetahui kehamilanku, aku tak seperti bias
Dua hari, aku dan Rajendra menginap di rumah kakek, rasanya diri ini semakin yakin ada yang disembunyikan suamiku itu dariku. Entahlah, aku pun sama sekali tak tahu itu apa.Kucoba untuk mengorek informasi dari Rajendra, tetapi dia sama sekali tak ingin bercerita apa pun. Bahkan, cenderung untuk menutupinya. Seserius itu kah masalah yang dihadapi Rajendra?Bahkan, di taman belakang ini, aku seketika memikirkan mimpiku yang sudah dua kali kembali hadir dalam tidurku. Teringat apa yang terjadi dalam mimpi itu.Aku mengingat, Rajendra menggenggam tanganku dengan hangat. Dalam mimpi tersebut, aku dan dia bahagia menjalani keluarga kecil kami. Bahkan, Rajendra terus saja mengelus perutku yang mulai membuncit.“Ngomong-ngomong, kamu mau anak kita berjenis kelamin apa? Lelaki atau perempuan?” tanyaku ketika Rajendra sibuk mengelus perutku sejak tadi. Dia seperti tak bosan dan begitu perhatian serta hangat terhadapku, terutama bayi kami di perut.“Apa saja. Tapi, aku lebih ingin bayi perempua
Selepas bermimpi buruk. Aku terperanjat dan langsung membuka mata dengan seketika. Kurasakan keringat sudah mengucur deras membasahi sekujur tubuh ini. Dengan napas yang masih tak beraturan, aku mencoba mengingat-ingat semua mimpi yang baru saja menjadi bunga tidurku. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata.Bahkan, rasa takut di hati mulai menyelusup. Aku benar-benar takut jika mimpi ini bukan hanya mimpi biasa. Kurasa, semua ini sebuah firasat tak enak yang akan menimpa keluarga kami. Namun begitu, aku berharap tak terjadi apa pun dengan rumah tangga kami dan suamiku dan semua itu hanya perasaanku saja.Kuraba kasur di sisiku. Tempat di mana seharusnya Rajendra tidur. Akan tetapi, kenapa dia tak ada di kamar? Bukankah tadi dia sudah pulang ke rumah? Ke mana suamiku?Aku bangun dan mencari keberadaan Rajendra di seluruh penjuru kamar, tetapi sama sekali tak menemukannya di mana pun. Kembali benak ini mengingat akan mimpi burukku tadi, perasaan tak enak kembali menyelimuti. Aku benar-ben
Syok bukan main, itulah yang kurasakan saat mendengar perkataan Rajendra. Darahnya seakan berhenti mengalir seketika. Begitu pun hawa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh, hingga membuat badan ini lemas tak bertulang.Telingaku terus berdengung. Ucapan Rajendra terus terngiang-ngiang bagai kaset yang tengah diputar berulang-ulang. Apa aku tak salah dengar?“Kamu bicara apa sih? Jangan bicara ngelantur dan omong kosong. Itu sama sekali tak lucu,” ujarku seraya memukul dada Rajendra. “Aku sedang tak bercanda, Rum. Maafkan aku ....” Rajendra menundukkan kepalanya. Dia menghela napas berkali-kali. Sedangkan aku, masih terpaku di tempat. “Jelaskan yang jelas dan aku tak ingin ada apa pun yang ditutup-tutupi lagi,” tegasku.Begitu terlihat Rajendra sungguh berat ketika ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Nyatanya, dia terus saja menganjurkan napas dengan panjang berulang-ulang.Apa seserius itu? Aku berharap itu tak seburuk firasat dalam hatiku.Kemudian, Rajendra mulai membuka suaranya
“Aku akan menyerahkan diri ke polisi.” Ucapan Rajendra beberapa jam lalu terus terngiang. Setelah sadar dari pingsan, aku dapat melihat Kakek sudah menungguku dengan tatapan cemasnya. Pun suamiku, saat membuka mata, yang pertama kali kulihat tak lain ialah dia. Pria yang duduk di sampingku tak kalah khawatir, seraya menggenggam telapak tangan milikku dengan erat. Seolah-olah takut kehilanganku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanya Kakek yang langsung bangkit dari duduknya sesaat setelah melihat aku membuka mata.Tanpa kata, aku mengangguk. Meski kepala ini masih terasa berat, aku mencoba memaksakan diri untuk mengumpulkan kesadaran. Ingatanku kembali mengingat kata-kata Rajendra tadi. Setelah tersadar, aku melepaskan diri dari genggaman tangan suamiku. Sungguh, saat ini aku masih belum memaafkan apa yang telah suami baruku ini lakukan terhadapku. Kesedihan karena kehilangan buah hati kembali menghantui. Siapa yang tak sakit hati, ketika mengetahui suami yang perlahan kupercaya ternyata