“Kakek. Dari mana Kakek mendapatkannya?”Aku begitu tak menyangka bisa mendapatkan hadiah yang begitu berharga. Dua buah foto lama yang telah dibingkai dengan cantik. Kenangan aku dan Ibu ketika masih balita dan satu lagi setelah aku berumur lima tahunan. Saat itu, kami sekeluarga masih begitu harmonis. Kedua orang tuaku terlihat begitu saling mencintai. Ayah masih menyayangi kami dan seseorang yang pada saat itu sangat kukagumi. Beliau selalu memberikan kehangatan dalam keluarga kecil kami. Sebelum wanita, dan yang ternyata ibu kandung Rajendra datang dan menghancurkan segalanya. Kilasan demi kilasan masa kecilku kembali berkelindan dalam pikiran. Mengingat semua itu, aku tak kuasa menahan air mata yang tiba-tiba saja merangsek keluar.“Apa kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Kakek. Sedangkan diri ini masih fokus menatap foto yang sudah berbingkai kaca. Mengusap-usap benda tersebut dengan mata yang sendu.Entahlah, akhir-akhir ini, semenjak mengetahui kehamilanku, aku tak seperti bias
Dua hari, aku dan Rajendra menginap di rumah kakek, rasanya diri ini semakin yakin ada yang disembunyikan suamiku itu dariku. Entahlah, aku pun sama sekali tak tahu itu apa.Kucoba untuk mengorek informasi dari Rajendra, tetapi dia sama sekali tak ingin bercerita apa pun. Bahkan, cenderung untuk menutupinya. Seserius itu kah masalah yang dihadapi Rajendra?Bahkan, di taman belakang ini, aku seketika memikirkan mimpiku yang sudah dua kali kembali hadir dalam tidurku. Teringat apa yang terjadi dalam mimpi itu.Aku mengingat, Rajendra menggenggam tanganku dengan hangat. Dalam mimpi tersebut, aku dan dia bahagia menjalani keluarga kecil kami. Bahkan, Rajendra terus saja mengelus perutku yang mulai membuncit.“Ngomong-ngomong, kamu mau anak kita berjenis kelamin apa? Lelaki atau perempuan?” tanyaku ketika Rajendra sibuk mengelus perutku sejak tadi. Dia seperti tak bosan dan begitu perhatian serta hangat terhadapku, terutama bayi kami di perut.“Apa saja. Tapi, aku lebih ingin bayi perempua
Selepas bermimpi buruk. Aku terperanjat dan langsung membuka mata dengan seketika. Kurasakan keringat sudah mengucur deras membasahi sekujur tubuh ini. Dengan napas yang masih tak beraturan, aku mencoba mengingat-ingat semua mimpi yang baru saja menjadi bunga tidurku. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata.Bahkan, rasa takut di hati mulai menyelusup. Aku benar-benar takut jika mimpi ini bukan hanya mimpi biasa. Kurasa, semua ini sebuah firasat tak enak yang akan menimpa keluarga kami. Namun begitu, aku berharap tak terjadi apa pun dengan rumah tangga kami dan suamiku dan semua itu hanya perasaanku saja.Kuraba kasur di sisiku. Tempat di mana seharusnya Rajendra tidur. Akan tetapi, kenapa dia tak ada di kamar? Bukankah tadi dia sudah pulang ke rumah? Ke mana suamiku?Aku bangun dan mencari keberadaan Rajendra di seluruh penjuru kamar, tetapi sama sekali tak menemukannya di mana pun. Kembali benak ini mengingat akan mimpi burukku tadi, perasaan tak enak kembali menyelimuti. Aku benar-ben
Syok bukan main, itulah yang kurasakan saat mendengar perkataan Rajendra. Darahnya seakan berhenti mengalir seketika. Begitu pun hawa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh, hingga membuat badan ini lemas tak bertulang.Telingaku terus berdengung. Ucapan Rajendra terus terngiang-ngiang bagai kaset yang tengah diputar berulang-ulang. Apa aku tak salah dengar?“Kamu bicara apa sih? Jangan bicara ngelantur dan omong kosong. Itu sama sekali tak lucu,” ujarku seraya memukul dada Rajendra. “Aku sedang tak bercanda, Rum. Maafkan aku ....” Rajendra menundukkan kepalanya. Dia menghela napas berkali-kali. Sedangkan aku, masih terpaku di tempat. “Jelaskan yang jelas dan aku tak ingin ada apa pun yang ditutup-tutupi lagi,” tegasku.Begitu terlihat Rajendra sungguh berat ketika ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Nyatanya, dia terus saja menganjurkan napas dengan panjang berulang-ulang.Apa seserius itu? Aku berharap itu tak seburuk firasat dalam hatiku.Kemudian, Rajendra mulai membuka suaranya
“Aku akan menyerahkan diri ke polisi.” Ucapan Rajendra beberapa jam lalu terus terngiang. Setelah sadar dari pingsan, aku dapat melihat Kakek sudah menungguku dengan tatapan cemasnya. Pun suamiku, saat membuka mata, yang pertama kali kulihat tak lain ialah dia. Pria yang duduk di sampingku tak kalah khawatir, seraya menggenggam telapak tangan milikku dengan erat. Seolah-olah takut kehilanganku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanya Kakek yang langsung bangkit dari duduknya sesaat setelah melihat aku membuka mata.Tanpa kata, aku mengangguk. Meski kepala ini masih terasa berat, aku mencoba memaksakan diri untuk mengumpulkan kesadaran. Ingatanku kembali mengingat kata-kata Rajendra tadi. Setelah tersadar, aku melepaskan diri dari genggaman tangan suamiku. Sungguh, saat ini aku masih belum memaafkan apa yang telah suami baruku ini lakukan terhadapku. Kesedihan karena kehilangan buah hati kembali menghantui. Siapa yang tak sakit hati, ketika mengetahui suami yang perlahan kupercaya ternyata
Keesokan harinya, sesuai perkataan Rajendra, dia pamit pergi ke kantor polisi. “Aku pergi sekarang. Jaga diri baik-baik dan bayi kita. Maafkan aku kalau sudah menyakiti perasaanmu,” pamitnya ketika aku tengah menyiram bunga di taman belakang rumah kakek pagi ini.Aku masih tetap diam. Sama sekali tak berselera untuk menyahut atau pun menjawab ucapannya. Rasa kecewa dan marahku belum juga reda. Bahkan, aku sungguh tak peduli jika Rajendra akan menyerahkan diri ke kantor polisi.Bukankah itu memang yang seharusnya dia lakukan sejak lama? Bahkan, jika dia dipenjara sekali pun, Rajendra takkan bisa merubah takdir dan mengembalikan putra pertamaku.Aku masih terus saja mengeraskan hati dan berpikir kalau semua ini memang pantas untuk suami baruku ini.Tak terduga, Rajendra kemudian menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Meski aku yang tak nyaman berusaha untuk melepaskan diri. Akan tetapi, dia tak melepaskanku barang sedikit pun. Karena tak bisa melawan tenaganya yang kalah kuat. Aku terpak
Pagi ini meja makan terasa sunyi. Setelah pengakuan Rajendra kemarin, kami belum terlibat lagi percakapan. Meskipun dari semalam pria itu sudah beberapa kali membuka komunikasi, tetapi aku tak mau menanggapinya.Jujur saja aku masih syok oleh pengakuannya. Rasa kehilangan yang perlahan tenggelam dalam pikiranku, seketika muncul kembali. Kepergian anak pertamaku yang hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi lahir. Bahkan kami belum sempat bertatap muka dan berkomunikasi seperti yang selama ini aku bayangkan. Susah payah aku balut luka ini. Begitu keras usahaku untuk mengisi kehampaan, sekarang tiba-tiba aku kembali terhempas. “Aku tidak akan pernah berhenti untuk meminta maaf padamu, Rum.”Entah untuk ke berapa kali kalimat itu meluncur dari bibir Rajendra. Terakhir kali aku mendengarnya ketika kami sudah berada di atas ranjang. Posisiku yang membelakanginya hanya bisa mendengar kalimat itu diakhiri dengan embusan napas berat. Akan tetapi, aku sudah bisa membayangkan bagaimana raut
“Rumah sakit umum?” Aku mengulang pernyataan Pak Polisi tersebut menjadi sebuah kalimat pertanyaan.“Benar, mobil yang ditumpangi oleh saudara Rajendra mengalami kecelakaan .... “Suara Pak Polisi hanya terdengar sampai di sana, karena kalimat selanjutnya tidak begitu jelas. Ponsel yang berada di genggamanku sontak menjauh dari telingaku. Bibirku terbuka lebar, pandangan ke depan meskipun entah apa yang sedang kulihat. Kabar yang disampaikan oleh pihak kepolisian tentang kecelakaan yang dialami oleh mobil yang ditumpangi oleh Rajendra barusan membuatku kehilangan keseimbangan.Untuk beberapa saat aku hanya berdiri mematung. Hingga tersadar bahwa pembicaraanku dengan polisi tersebut belum berakhir.Dengan tangan gemetar, kembali aku mendekatkan ponsel ke arah telinga. Beruntung benda itu tidak terjatuh saat aku kaget tadi.“Ha .... halo .... ““Ya, halo, Bu. Saya harap Ibu tetap tenang dan bisa datang ke sini.”“Bagaimana keadaan suami saya, Pak ?” Dengan mulut bergetar akhirnya aku me