Dua hari, aku dan Rajendra menginap di rumah kakek, rasanya diri ini semakin yakin ada yang disembunyikan suamiku itu dariku. Entahlah, aku pun sama sekali tak tahu itu apa.Kucoba untuk mengorek informasi dari Rajendra, tetapi dia sama sekali tak ingin bercerita apa pun. Bahkan, cenderung untuk menutupinya. Seserius itu kah masalah yang dihadapi Rajendra?Bahkan, di taman belakang ini, aku seketika memikirkan mimpiku yang sudah dua kali kembali hadir dalam tidurku. Teringat apa yang terjadi dalam mimpi itu.Aku mengingat, Rajendra menggenggam tanganku dengan hangat. Dalam mimpi tersebut, aku dan dia bahagia menjalani keluarga kecil kami. Bahkan, Rajendra terus saja mengelus perutku yang mulai membuncit.“Ngomong-ngomong, kamu mau anak kita berjenis kelamin apa? Lelaki atau perempuan?” tanyaku ketika Rajendra sibuk mengelus perutku sejak tadi. Dia seperti tak bosan dan begitu perhatian serta hangat terhadapku, terutama bayi kami di perut.“Apa saja. Tapi, aku lebih ingin bayi perempua
Selepas bermimpi buruk. Aku terperanjat dan langsung membuka mata dengan seketika. Kurasakan keringat sudah mengucur deras membasahi sekujur tubuh ini. Dengan napas yang masih tak beraturan, aku mencoba mengingat-ingat semua mimpi yang baru saja menjadi bunga tidurku. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata.Bahkan, rasa takut di hati mulai menyelusup. Aku benar-benar takut jika mimpi ini bukan hanya mimpi biasa. Kurasa, semua ini sebuah firasat tak enak yang akan menimpa keluarga kami. Namun begitu, aku berharap tak terjadi apa pun dengan rumah tangga kami dan suamiku dan semua itu hanya perasaanku saja.Kuraba kasur di sisiku. Tempat di mana seharusnya Rajendra tidur. Akan tetapi, kenapa dia tak ada di kamar? Bukankah tadi dia sudah pulang ke rumah? Ke mana suamiku?Aku bangun dan mencari keberadaan Rajendra di seluruh penjuru kamar, tetapi sama sekali tak menemukannya di mana pun. Kembali benak ini mengingat akan mimpi burukku tadi, perasaan tak enak kembali menyelimuti. Aku benar-ben
Syok bukan main, itulah yang kurasakan saat mendengar perkataan Rajendra. Darahnya seakan berhenti mengalir seketika. Begitu pun hawa panas mulai menjalar ke seluruh tubuh, hingga membuat badan ini lemas tak bertulang.Telingaku terus berdengung. Ucapan Rajendra terus terngiang-ngiang bagai kaset yang tengah diputar berulang-ulang. Apa aku tak salah dengar?“Kamu bicara apa sih? Jangan bicara ngelantur dan omong kosong. Itu sama sekali tak lucu,” ujarku seraya memukul dada Rajendra. “Aku sedang tak bercanda, Rum. Maafkan aku ....” Rajendra menundukkan kepalanya. Dia menghela napas berkali-kali. Sedangkan aku, masih terpaku di tempat. “Jelaskan yang jelas dan aku tak ingin ada apa pun yang ditutup-tutupi lagi,” tegasku.Begitu terlihat Rajendra sungguh berat ketika ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Nyatanya, dia terus saja menganjurkan napas dengan panjang berulang-ulang.Apa seserius itu? Aku berharap itu tak seburuk firasat dalam hatiku.Kemudian, Rajendra mulai membuka suaranya
“Aku akan menyerahkan diri ke polisi.” Ucapan Rajendra beberapa jam lalu terus terngiang. Setelah sadar dari pingsan, aku dapat melihat Kakek sudah menungguku dengan tatapan cemasnya. Pun suamiku, saat membuka mata, yang pertama kali kulihat tak lain ialah dia. Pria yang duduk di sampingku tak kalah khawatir, seraya menggenggam telapak tangan milikku dengan erat. Seolah-olah takut kehilanganku. “Kamu sudah sadar, Nak?” tanya Kakek yang langsung bangkit dari duduknya sesaat setelah melihat aku membuka mata.Tanpa kata, aku mengangguk. Meski kepala ini masih terasa berat, aku mencoba memaksakan diri untuk mengumpulkan kesadaran. Ingatanku kembali mengingat kata-kata Rajendra tadi. Setelah tersadar, aku melepaskan diri dari genggaman tangan suamiku. Sungguh, saat ini aku masih belum memaafkan apa yang telah suami baruku ini lakukan terhadapku. Kesedihan karena kehilangan buah hati kembali menghantui. Siapa yang tak sakit hati, ketika mengetahui suami yang perlahan kupercaya ternyata
Keesokan harinya, sesuai perkataan Rajendra, dia pamit pergi ke kantor polisi. “Aku pergi sekarang. Jaga diri baik-baik dan bayi kita. Maafkan aku kalau sudah menyakiti perasaanmu,” pamitnya ketika aku tengah menyiram bunga di taman belakang rumah kakek pagi ini.Aku masih tetap diam. Sama sekali tak berselera untuk menyahut atau pun menjawab ucapannya. Rasa kecewa dan marahku belum juga reda. Bahkan, aku sungguh tak peduli jika Rajendra akan menyerahkan diri ke kantor polisi.Bukankah itu memang yang seharusnya dia lakukan sejak lama? Bahkan, jika dia dipenjara sekali pun, Rajendra takkan bisa merubah takdir dan mengembalikan putra pertamaku.Aku masih terus saja mengeraskan hati dan berpikir kalau semua ini memang pantas untuk suami baruku ini.Tak terduga, Rajendra kemudian menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Meski aku yang tak nyaman berusaha untuk melepaskan diri. Akan tetapi, dia tak melepaskanku barang sedikit pun. Karena tak bisa melawan tenaganya yang kalah kuat. Aku terpak
Pagi ini meja makan terasa sunyi. Setelah pengakuan Rajendra kemarin, kami belum terlibat lagi percakapan. Meskipun dari semalam pria itu sudah beberapa kali membuka komunikasi, tetapi aku tak mau menanggapinya.Jujur saja aku masih syok oleh pengakuannya. Rasa kehilangan yang perlahan tenggelam dalam pikiranku, seketika muncul kembali. Kepergian anak pertamaku yang hanya tinggal menunggu beberapa hari lagi lahir. Bahkan kami belum sempat bertatap muka dan berkomunikasi seperti yang selama ini aku bayangkan. Susah payah aku balut luka ini. Begitu keras usahaku untuk mengisi kehampaan, sekarang tiba-tiba aku kembali terhempas. “Aku tidak akan pernah berhenti untuk meminta maaf padamu, Rum.”Entah untuk ke berapa kali kalimat itu meluncur dari bibir Rajendra. Terakhir kali aku mendengarnya ketika kami sudah berada di atas ranjang. Posisiku yang membelakanginya hanya bisa mendengar kalimat itu diakhiri dengan embusan napas berat. Akan tetapi, aku sudah bisa membayangkan bagaimana raut
“Rumah sakit umum?” Aku mengulang pernyataan Pak Polisi tersebut menjadi sebuah kalimat pertanyaan.“Benar, mobil yang ditumpangi oleh saudara Rajendra mengalami kecelakaan .... “Suara Pak Polisi hanya terdengar sampai di sana, karena kalimat selanjutnya tidak begitu jelas. Ponsel yang berada di genggamanku sontak menjauh dari telingaku. Bibirku terbuka lebar, pandangan ke depan meskipun entah apa yang sedang kulihat. Kabar yang disampaikan oleh pihak kepolisian tentang kecelakaan yang dialami oleh mobil yang ditumpangi oleh Rajendra barusan membuatku kehilangan keseimbangan.Untuk beberapa saat aku hanya berdiri mematung. Hingga tersadar bahwa pembicaraanku dengan polisi tersebut belum berakhir.Dengan tangan gemetar, kembali aku mendekatkan ponsel ke arah telinga. Beruntung benda itu tidak terjatuh saat aku kaget tadi.“Ha .... halo .... ““Ya, halo, Bu. Saya harap Ibu tetap tenang dan bisa datang ke sini.”“Bagaimana keadaan suami saya, Pak ?” Dengan mulut bergetar akhirnya aku me
Dengan kaki gemetar aku turun dari mobil di pelataran parkir rumah sakit. Untuk beberapa saat hanya berdiri sambil mengatur nafas. Pandangannya lurus ke arah bangunan rumah sakit yang hanya beberapa meter saja berada di hadapanku.“Nona baik-baik saja?” tanya pria yang baru saja menutup pintu mobil yang beberapa saat lalu ia buka untukku.“Insya Allah saya kuat, Pak.” Tanpa menoleh ke arah sumber suara, aku menjawab dengan suara hampir tidak terdengar. “Mari saya temani.” Pria itu menawarkan bantuan lagi, seakan tahu bagaimana kondisi majikannya ini sekarang.“Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri.” Sekali lagi aku meyakinkan Pak sopir kalau aku dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun saat ini telapak tanganku terasa dingin serta lutut yang tidak bisa berdiri sempurna.“Silakan, Bu!” Tanpa perdebatan, pria berseragam hitam itu pun mempersilakanku untuk berjalan terlebih dahulu. Ia tahu apa yang seharusnya dilakukan dalam kondisi seperti ini.Setelahnya, aku tahu pria itu pun mengikuti l
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal