“Pindah ke Bandung? Kenapa mendadak seperti ini?” tanyaku begitu syok mendengar rencana Rajendra yang begitu mendadak.“Tak mendadak, aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Kakek juga sudah tahu,” katanya.Aku kembali menoleh dengan bibir yang sedikit terbuka. Apa katanya? Kakek juga sudah tahu masalah ini? “Lalu, kenapa kamu baru cerita sekarang padaku? Apalagi, mendadak seperti ini?” tanyaku mulai geram. Dia pikir aku ini siapa? Sesuka hatinya memutuskan sesuatu tanpa berunding denganku, tanpa melibatkan istrinya ini. Ah, apa aku dianggap sebagai istri setelah mengetahui keputusannya dia ambil sendiri. Aku merajuk. Benar-benar tersinggung oleh tingkah suamiku. Aku merasa begitu tak dihargai. “Kamu itu keterlaluan. Memutuskan segala sesuatu sendiri. Kamu pikir aku ini siapa? Orang lain begitu?” semburku meluapkan kekecewaan.Aku merasa seperti tak mengenal diriku sendiri. Entah kenapa, saat bersama Rajendra aku lebih berani mengungkapkan perasaan. Tak seperti dulu, selalu men
Aku masih kesal kepadanya.“Masih marah? Sampai kapan kamu diam begini?” tanyanya kembali. Namun, aku tetap membisu.“Ya sudah. Sayang sekali. Padahal, aku punya sesuatu untuk kamu,” ujarnya membuatku mengernyit.“Rajendra mengambil sesuatu dari saku jasnya. Kulihat sebuah kotak beludru berwarna merah sudah ada di tangannya. Dia membuka benda tersebut dan ternyata di dalamnya sudah ada sebuah kalung dengan bandul inisial nama R dan A.Aku paham apa artinya, tetapi pura-pura tak tertarik sedikit pun dengan memalingkan muka ke arah lain.“Kamu mau menyogokku? Enggak mempan,” ujarku dengan ketus.“Siapa bilang? Kalau kamu tidak mau ya sudah. Lagi pula, bentuk kalungnya memang jelek. Bisa-bisanya Maria membantuku memesan benda ini untukmu. Memang norak.”Rajendra memasukkan kembali benda tersebut dan menyingkirkannya. Dia masukkan kotak perhiasan itu ke dalam laci dengan sembarang. Aku tahu, dari wajahnya Rajendra begitu kecewa mendengar reaksi dariku barusan. Sebenarnya aku tak tega jug
Pov ArumBab 17.“Assalamualaikum ...,” teriakku sambil berlari ke arah Bu Rina yang tengah mengawasi anak-anak berganti makan siang.“Waalaikumsallam,” jawabnya seraya menoleh. Beliau, langsung mengulas senyum dan lekas memelukku dengan rindu.“Ya Allah, Rum. Kapan ke sini? Kenapa enggak ngasih tahu kalau mau mampir?”Bu Rina seperti biasa selalu menyambutku hangat, seolah dia tengah bertemu dengan putrinya sendiri. Ya, tak ada yang begitu tulus menyayangiku selain ketua yayasan panti asuhan tempatku dibesarkan ini. Wanita yang selama hidupnya hanya didedikasikan untuk membantu anak-anak terlantar dan yatim piatu. Perempuan yang begitu banyak berjasa dalam kehidupan kami anak asuhnya. Bahkan, demi mengabdikan diri, beliau tak pernah keinginan sedikit pun menikah lagi semenjak putrinya meninggal karena bencana puluhan tahun lalu beserta sang suami.Itulah kenapa, Bu Rina mendirikan panti asuhan serta menampung anak-anak yang membutuhkan uluran tangan serta kasih sayangnya untuk bisa
“Kalian maju satu-satu, ya. Jangan rebutan atau saling dorong. Semua pasti kebagian, kok,” ucapku ketika melihat beberapa anak yang tak sabar mulai saling dorong.“Iya, Kak,” jawab semuanya dengan serempak. Untunglah, anak-anak ini begitu penurut dan mudah diingatkan. Satu persatu dari mereka maju dan mendapatkan sesuatu dariku. Satu anak akan mendapatkan satu paperbag besar berisi baju baru dan peralatan salat serta alat tulis. Tak lupa, uang yang dari kakek dan Rajendra kubagi rata dalam amplop putih yang kusimpan di dalam tas.Binar bahagia begitu tercetak jelas dari mata mereka. Meski banyak donatur yang sering menyumbang untuk panti asuhan, tetapi tak setiap waktu mereka mendapatkan pakaian baru. Hanya terhitung beberapa kali saja dalam kurun beberapa bulan.Bukannya Bu Rina pelit, tetapi beliau menabung sebagian yang untuk keadaan mendesak dan kebutuhan biaya sekolah anak-anak. Apalagi, bukan satu dua penghuni di tempat ini, terdapat lebih dari lima puluhan anak yang dalam pen
Pov ArumBab 17.Kembalinya dari panti asuhan, aku termenung di taman belakang rumah. Memikirkan perkataan Bi Surmi yang membuat perasaanku sedikit terganggu. Entah kenapa, ada sesuatu yang menyakitkan hati ketika mendengar kenyataan bahwa Mas Arga kecelakaan, sesaat setelah dia pulang dari panti asuhan waktu itu. Bukan aku tak tahu, kalau Mas Arga masih mencintaiku sampai sekarang. Bahkan, ketika mendengar kenyataan bahwa aku telah menikah kembali dengan pria lain, dapat terlihat jelas gurat kecewa di wajahnya. Apalagi, dengan sudut mataku sendiri, aku melihat mantan suamiku itu keluar dari ruangan Bu Rina dengan wajah yang tampak lesu.Pun, ketika Mas Arga beberapa kali menoleh ke arahku berada, aku tahu itu. Dia memerhatikan diri ini cukup lama. Sampai, mantan suamiku tersebut pergi dengan langkah gontai dengan kepala yang menunduk.Ada sisi hatiku yang sesak melihatnya seolah hancur seperti itu, tetapi ketika mengingat kembali rasa sakit yang dia torehkan dahulu, aku benar-benar
Tubuhku bergetar, kilasan demi kilasan ketika menyaksikan sendiri Mas Arga membawa wanita itu dulu kembali mencuat. Bagaimana kalau Rajendra pun melakukan hal yang sama dalam rumah tangga kami? Bahkan, pernikahanku dan dia masih belum genap setahun, bagaimana kalau dia mencoba berkhianat?Benar, bukankah kelakuan aneh Rajendra hari ini begitu mencurigakan? Dia begitu terlihat bahagia, dan ternyata karena ingin menemui Maria?Aku mematung di tempat, dengan mata yang terus menatap suami baruku ini. Memperhatikan inci demi inci wajah tampan Rajendra yang kuakui seperti oppa-oppa korea.Pantas, banyak wanita yang mengejarnya. Aku baru sadar, ternyata suamiku ini begitu tampan dari yang sebelumnya kusadari. Mungkinkah wanita yang bernama Maria itu salah satu perempuan pengagum Rajendra? Wanita yang rela berbagi kehangatan dengan suamiku?“Hei. Arum. Kamu kenapa?” dengung suara Rajendra masuk ke telingaku. Namun, diri ini terus diam tak bergerak sedikit pun.“Kamu sakit?” tanyanya kembali s
“Akhirnya datang juga,” bisik Rajendra langsung mengunci tubuhku di tembok. Lantas, kakinya sebelah mencoba menutup pintu yang tadi sempat terbuka. Ada apa sebenarnya ini? Aku memindai sudut kamar, melirik ke kanan dan kiri, mencari keberadaan wanita itu. Di mana wanita yang bernama Maria tersebut? Apa mungkin Rajendra menyembunyikannya? Namun, kenapa dia bisa tahu aku akan datang menyusulnya ke sini? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang Rajendra sembunyikan? “Mencari siapa, Hem?” tanya pria yang sudah menjadi suamiku ini. Aku mendongak, hingga kedua mata kami berserobok. Tatapannya yang dalam berhasil mengunciku. Aku menelan Saliva, kenapa aku malah terjebak dalam situasi seperti ini dengan Rajendra? Bukankah tujuanku ke sini untuk memergoki perselingkuhannya dengan wanita bernama Maria itu? “Di mana wanita itu?” tanyaku ketus dan sedikit salah tingkah. “Wanita?” tanya Rajendra seraya mengerutkan dahinya. “Iya. Wanita yang sudah janjian denganmu di hotel ini. Jangan pura-pura ta
“Apa ini? Jadi ...?”“Ya. Aku memang sedang nunggu kamu dari tadi,” jelas Rajendra. Akan tetapi, aku masih tak percaya.“Terus, pesan dari Maria di ponselmu gimana? Bukankah itu menunjukkan kalau kalian sedang janjian di hotel ini?” cecarku masih penuh selidik.Namun, lagi-lagi Rajendra tertawa. Dia kemudian menggeleng.“Arum ... Arum. Sesuai tebakanku. Kamu pasti akan langsung curiga kalau ada seorang wanita yang mengirimkan pesan padaku.”“Maksudnya ? Jadi kamu tahu aku akan datang ke sini?”Tanpa berpikir panjang, Rajendra langsung mengangguk. Dia kemudian meraih tanganku kembali dan mengajak istrinya ini duduk di bibir kasur empuk hotel. Kasur yang sudah berhiaskan taburan mawar merah yang dirangkai berbentuk hati, serta terdapat handuk putih bergambar sepasang angsa. “Tentu saja aku tahu dan sudah yakin kalau kamu memang pasti akan datang sesuai rencanaku,” jelas Rajendra membuat alisku semakin berkerut.“Aku sengaja membuat kejutan seperti ini untukmu. Aku meminta Maria untuk b