POV Arum. Mata ini terperangah melihat orang yang berada di atasku. Dia ... Rajendra, dengan wajah yang memucat dan darah mengalir dari tengkuknya. Kemudian, cairan merah menetes tepat ke pipiku. Membuatku hanya bisa menatap dengan kosong. Seolah saat ini jiwaku sedang tak menyatu dengan raga. Meski banyak suara wanita yang menjerit melihat ke arah kami. Tak lama, Rajendra ambruk di atas tubuhku. Dari situ aku mulai sadar dengan apa yang terjadi. ** “Dok, bagaimana keadaan Rajendra? Dia baik-baik saja, kan? Tak terjadi sesuatu yang buruk padanya, kan, Dok?” cecarku dengan panik. Bagaimana tidak, pria menyebalkan itu bisa-bisanya menjadikan tubuhnya tameng dan menyelamatkanku dari kecelakaan. Sebuah lampu hias berbahan kristal berukuran besar yang tergantung di gedung resepsi tadi hampir saja menimpa tubuhku. Kalau saja, Rajendra tak ada, mungkin yang dirawat di sini sekarang bukanlah dia, tetapi aku. Namun, berkat Rajendra, aku sehat dan baik-baik saja, tetapi tidak dengannya yan
“Lagi-lagi Kakek berhutang nyawa kepadanya. Apa kamu tidak sadar, Rum. Rajendra selalu saja menjadi pelindungmu. Dia ada di setiap kamu butuh bantuan. Bahkan, pria itu rela terluka hanya agar memastikanmu selamat. Kakek semakin yakin kalau dia pria yang tepat untuk menjadi suamimu selanjutnya. Nak Rajendra itu sebenarnya lelaki yang baik. Masa lalunya lah yang membuatnya mungkin terlihat menjadi pribadi yang kejam di matamu,” terang Kakek panjang lebar. Sedikit membujukku agar pandanganku terhadap pria kutub itu mungkin berubah. Aku hanya bergeming mendengarkan pujian demi pujian terlontar dari mulut kakekku itu. Mungkin bila orang mengatakan aku keras kepala, bisa kukatakan iya. Sebagian suara hatiku setuju dengan yang Kakek katakan. Akan tetapi, sudut lain hati ini masih merasa enggan mengakui segala kebaikan yang telah Rajendra lakukan. Entahlah, aku merasa dia masih lelaki yang sama saat pertama kali kami bertemu. Seseorang yang kejam dan sanggup melakukan apa saja untuk melolosk
POV Arum. Persiapan pernikahan pun mulai dilaksanakan. Terhitung dua Minggu dari sekarang acara akan dimulai. Awalnya, aku hanya ingin melakukan pernikahan keduaku ini secara sederhana. Hanya sekedar melakukan ijab kabul saja itu sudah cukup. Yang terpenting sah, bukan? Toh belum ada rasa spesial di antara kami berdua.Akan tetapi, kakek tak mau mendengarkanku, beliau menyetujui untuk akad nanti dilakukan secara sederhana. Namun, satu Minggu setelahnya, resepsi akan dilaksanakan secara besar-besaran di sebuah hotel berbintang di bilangan Jakarta. Menurut Kakek, sudah lama sekali beliau menantikan acara seperti ini terjadi. Setelah dulu putranya, yang tak lain Ayahku menikahi Mama tanpa kehadiran beliau karena Ayah yang sempat hilang ingatan dan meresmikan hubungan dengan identitas baru. Pun, disaat aku menikah dengan Mas Arga dulu, kakek belum tahu keberadaanku sebagai cucunya. Kali ini, beliau tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk pernikahan keduaku, mumpung hayat masih dikandu
Kulihat Aurel menganggukkan kepalanya berulang kali. Seolah setuju dengan yang telah Rajendra ucapkan.Aurel mengajak kami duduk di sofa ruang tunggu. Wanita itu mencatat dengan serius gaun seperti apa yang menjadi pilihanku, pun dengan Rajendra. Aku menyerahkan semuanya kepada Aurel sebagai ahlinya. Hanya Rajendra yang menjabarkan konsep pernikahan impian yang dia inginkan.Bagiku, apa pun konsepnya sama saja. Yang terpenting ialah visi dan misi pernikahannya. Bagi diriku yang pernah gagal dalam berumah tangga, aku hanya berharap Rajendra takkan pernah mengecewakanku seperti Mas Arga kemarin. Rasa traumaku terhadap pria, membuat diri ini berharap suamiku nanti akan setia dan menjadi laki-laki yang terakhir ada di hidupku.Untuk akad nanti pilihan jatuh pada sebuah gaun pernikahan berwarna putih berpotongan lurus dengan detail renda rumit hasil karya terbaru rancangan Aurel yang masih beberapa hari lalu diluncurkan. Dan, untuk acara resepsinya, kami sepakat untuk memilih sebuah gaun
“Pernikahan? Ka-kamu mau menikah?” tanya Bang Satria dengan tergagap. Matanya menatapku dengan sendu. Aku tiba-tiba saja dilanda kebingungan. Diri ini terasa tengah dihadapkan dalam situasi yang tak mengenakkan. Apalagi, bukan aku tak tahu, Bang Satria pun memiliki perasaan kepadaku. Hanya saja, selama ini aku pura-pura abai dan tak mengetahuinya. “Iya, Bang. Dua Minggu lagi aku mau menikah kembali,” jawabku sambil tersenyum simpul.“Secepat itu?” ucapnya dengan suara lirih.Namun, yang membuatku kesal, Rajendra berdehem dan aku tahu, dia hanya pura-pura batuk ketika melihat Bang Satria terus menatap ke arahku serta mengabaikan keberadaan calon suami baruku ini.“Kalau begitu, selamat atas rencana pernikahannya, Rum. Aku turut senang. Semoga kamu bahagia dan mendapatkan suami yang tepat,” ucap Bang Satria dengan tulus. “Makasih, Bang. Kalau berkenan, Bang Satria juga bisa datang ke acara pernikahan kami nanti.”Aku membuka tas dan meraih kartu undangan resepsi pernikahanku dan Raje
Persiapan pernikahan pun sudah mencapai sempurna. Tinggal dilangsungkan akad nikah yang akan dilaksanakan dengan sederhana saja di rumah kakek.Sebenarnya, ini tak bisa terbilang sederhana juga. Kakek tetap menyewa jasa dekorasi untuk menghias beberapa sudut rumah dan ruangan dan menyewa beberapa tenda untuk tempat para tamu yang hadir. Sebenarnya, ijab kabul akan dilaksanakan di sebuah mesjid agung yang tak jauh dari rumah. Jadi, pagi-pagi sekali, sekitar pukul delapan pagi aku sudah mulai berangkat setelah dirias sedemikian rupa oleh beberapa MUA yang disewa. Ini pernikahan yang kata kakek sederhana. Sekitar seratus undangan telah hadir dan mengikuti proses ijab kabul yang akan diucapkan Rajendra untukku. Kakek dengan semringah menerima tamu penting yang sengaja diundang untuk menjadi saksi dari kedua belah pihak. Mulai dari pejabat dan seorang Kyai ternama. Tak banyak yang Rajendra undang dari pihak keluarganya, sebab dia memang hanya seorang yatim piatu saja. Bahkan, pamannya s
Untuk pertama kalinya, aku mencium tangan Rajendra setelah sah menjadi istrinya. Pun, dia yang mengecup keningku dengan cukup lama meski terlihat begitu kaku. Apa baru kali ini pria ini bersentuhan dengan seorang wanita? Kenapa dia sepertinya begitu gugup?Ah, mana mungkin? Aku tak percaya. Pasti banyak perempuan yang rela walau hanya menjadi teman tidurnya, dan mana mungkin Rajendra menolak? Aku yakin, pasti pria ini pernah lebih dari bersentuhan dengan wanita.“Aduh, Nak Rajendra masih gugup aja. Padahal sekarang sudah sah lho,” celetuk Bapak pejabat tadi. “Tapi kalau malam pertama nanti, aku yakin pasti gugupnya bakal hilang. Dia gemeteran kan soalnya dilihat banyak orang, beda kalau hanya berdua,” lanjut bapak-bapak lain yang memang suka bercanda hingga membuat semua tamu yang hadir terkekeh.Namun, yang mereka katakan itu salah, malam harinya saat kami berdua dalam satu kamar yang sama, Rajendra sama sekali tak melirikku. Dia bahkan sibuk dengan laptop di pangkuannya. Mata suam
Yang membuatku tertegun, ketika dia mulai menggeser laptop di pangkuannya dan menyimpan benda tersebut ke atas sofa. Kemudian, Rajendra berdiri menghampiri kasur di mana aku merebahkan diri dengan mata yang masih menatap nyalang.Aku tergagap di tempat dengan was-was. Dia mau apa? Bukannya menjawab, malah datang menghampiriku seperti ini?“Soalnya apa? Katakan!” tekan Rajendra dengan tatapan menuntut. Dia berkacang pinggang dengan napas yang sudah mulai naik turun.“Emh. Lupakan! Aku hanya melantur saja,” jawabku dengan terbata.Rajendra menyeringai dan membuatku sedikit salah tingkah serta waspada. Mau apa dia?Matanya terus saja menyorot ke arahku tanpa berkedip. Aku semakin mengeratkan tangan di dalam selimut. Kemudian, diri ini mulai tersentak ketika tangan Rajendra meraih selimut yang kupegang dan menyibaknya dengan cepat.Aku memekik karena terkejut dan langsung menyilangkan tangan di atas dada. Apalagi, pria yang telah berstatus sebagai suamiku ini langsung membeliakkan matany
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal