Pria itu tersenyum ingin merangkul gadis itu, namun secepat kilat tangan itu ditepisnya. Haniya terlihat tidak suka berjalan dengan pria tersebut. Lalu, untuk apa dia menemui lelaki itu di sini?Aku turun dari mobil dan meminta Mang Mansur untuk menunggu di dalam mobil. Meski sopirku itu keberatan, namun aku tetap menyuruhnya untuk diam di mobil. Kucoba membuntuti mereka, meski dengan langkah tertatih karena kondisi kakiku yang masih belum bisa berjalan normal.Saat hampir mendekat, terdengar bentakan Haniya.“Jangan kurang ajar kamu! Kalau bukan karena ancamanmu, aku tidak akan datang ke sini untuk menemuimu! Aku jijik!” bentaknya dengan bahu naik turun, sepertinya dia sangat terlihat emosi.“Jangan begitu dong, Sayang. Aku menyesal sudah membatalkan pertunangan. Aku mohon, kita kembali lagi seperti dulu. Aku akan menikahimu seperti rencana awal kita,” ujar pria tersebut sambil berusaha untuk memegang tangan Haniya yang langsung ditepis gadis itu sebagai reaksinya.“Tidak akan pernah
“Saya tidak berbohong, Niya. Saya serius ingin menikahimu. Mungkin ini satu-satunya cara agar pria bernama Tomi itu berhenti untuk mengejar serta mengancammu.”Gadis di depanku ini kini terperangah dengan mata membulat. Mungkin terkejut dengan ucapanku barusan. Dia mendongak memandang ke arahku, membuat tatapan kami beradu. Kuselami isi hati Haniya dari bola matanya. Netra yang meneduhkan, persis seperti Arum. Aku menggeleng, mencoba menghilangkan bayang mantan istriku itu. Dia mungkin sudah bahagia sekarang bersama suaminya. Jadi, lebih baik aku harus mencoba melupakan dia dari pikiranku.Mungkin, dengan cara menikah lagi dapat membantuku menghilangkan bayang-bayangnya. Meski kutahu, dengan cara begini, artinya aku telah membohongi serta memanfaatkan Haniya untuk tujuanku sendiri. Akan tetapi, ini juga akan menguntungkan untuknya. Mungkin dengan menikah, pria yang bernama Tomi itu akan berhenti mengganggu gadis itu. Lagi pula aku tidak akan membebaninya dengan segala kewajiban seb
Selama seminggu, aku hanya datang ke restoran dua kali karena berbenturan dengan jadwal terapi dan mengecek klinik milikku. Meski belum bisa kembali menangani pasien yang berobat, aku masih mempertahankan tempat ini karena memang impianku sejak dulu. Apalagi, klinik ini diperuntukkan bagi para pasien yang kurang mampu. Dengan biaya berobat yang minim, mereka bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang cukup baik.Klinik ini pula mengingatkanku akan Arum. Kami memang memiliki impian yang sama, ingin membantu orang-orang kelas menengah ke bawah, baik dari segi kesehatan atau pun pendidikan. Bahkan Arum ingin membangun panti Asuhan yang lengkap dan bagus untuk anak-anak tidak beruntung. Latar pendidikan yang dimilikinya sebagai pengajar, membuat dia bermimpi membangun sekolah gratis pula untuk anak-anak kurang mampu. Mungkin karena masa kecilnya yang sulit, membuat dia tidak ingin melihat anak lain merasakan kesusahan yang sama dengannya. Berhari-hari pula aku tidak sering bertemu dengan
“Kau tahu, Haniya sudah tidak perawan lagi. Dia itu pernah menjadi korban pemerkosaan saat masih remaja. Apa kamu yakin ingin menikahi gadis yang tidak sempurna seperti itu?” Aku terperangah mendengar ucapan Tomi. Apa maksud pria ini menjelekkan Haniya? Bukankah dia juga ingin kembali pada gadis itu? Lantas, apa kenapa dia malah menceritakan hal yang sensitif seperti ini kepadaku?Ternyata cintanya pada Haniya itu kebohongan.“Bukankah kamu mencintai Haniya? Lantas, apa yang kamu dapatkan dengan mengotori nama baiknya seperti ini? Kau tahu, yang kamu lakukan ini semakin menguatkan kalau Haniya tidak pantas untukmu. Cintamu itu ternyata hanya kepalsuan,” ujarku dengan nada sinis.“Apa pun yang kau katakan, saya akan tetap menikahi Haniya dan menerima segala kekurangannya. Itu bukan sesuatu masalah untukku,” ujarku dengan senyum menyeringai karena kulihat Tomi tidak berkutik sedikit pun mendengar ucapanku.Melihat reaksiku Tomi melotot dengan wajah terkejut, mungkin tidak menyangka ka
Tomi pun tak segan mengakui perasaannya kepadaku, Kalau dia sangat mencintai Haniya. Hanya saja, orang tuanya ternyata menentang hubungan mereka karena Tomi sempat berpindah keyakinan. Keluarganya pikir kalau Haniya lah yang telah mencuci otaknya selama ini. Padahal, itu memang keinginan Tomi sendiri. Aku begitu paham yang Tomi rasakan. Kisah cinta mereka sama sepertiku dan Arum. Sama-sama tidak mendapatkan restu. Bedanya, hanya Mama yang tidak setuju. Meski kali ini beliau telah berubah dan menyayangi Arum. Sayang, setelah hubungan membaik, mantan istriku itu sudah tidak sudi lagi kembali kepadaku.“Apa kamu tidak pernah mau berjuang untuk mempertahankan Haniya? Kalau memang kamu mencintai dia. Lantas, kenapa kamu malah mengkhianatinya?” tanyaku kembali memancing Tomi. Aku tidak bisa menyelesaikan masalahnya kalau sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.Mendengar pertanyaan dariku wajah Tomi semakin sendu. Dalam keadaan seperti ini dapat kulihat kalau dia benar-benar sedang k
Aku tidak menyangka, keputusan yang kubuat ternyata membawa kebahagiaan untuk pasangan Haniya dan Tomi. Bagaimana tidak, mereka memang sama-sama saling mencintai. Meski butuh waktu sangat lama, susah sekali untuk menyatukan mereka kembali. Banyak drama yang terjadi dalam prosesnya. Nyaris saja aku menikahi Haniya sebelum Tomi datang dan membatalkan pernikahan kami.Bukan! Tomi sama sekali tidak merebut Haniya dari aku. Dia bahkan dengan lapang dada datang saat akad nikah akan berlangsung. Hanya saja, sebelum kata pengikat itu kuucapkan. Aku sengaja berbisik kepada Haniya, bertanya apa dia siap menikah dan menjadi istriku setelah sehari sebelumnya kuceritakan niatku sebenarnya menikahinya.Kuceritakan pula kisahku bersama Arum. Pengalaman merajut rumah tangga dan berakhir perpisahan karena ternodanya kesetiaan. Serta perasaanku yang masih belum juga terlepas dari bayang-bayang mantan istriku itu. Aku hanya ingin tahu, apa Haniya siap kunikahi atau lebih memilih Tomi yang jelas-jelas sa
Tomi terkejut mendengar pertanyaan dariku. Dia hanya diam membisu, mungkin tidak tahu harus menjawab apa. Semua orang juga tahu termasuk aku kalau dia memang masih mencintai Haniya. Aku hanya ingin mengetes seberapa besar cintanya sehingga Tomi mau memperjuangkan Haniya sebelum terlambat menjadi istriku.“Jangan bercanda, Bang. Saat ini aku sedang mencoba untuk melupakannya. Mencoba untuk mengikhlaskan serta menerima keputusan Haniya. Mungkin memang kami tidak berjodoh. Kalau memang dengan melepaskannya bisa membuat dia bahagia. Aku ikhlas Haniya menikah denganmu, Bang,” tuturnya membuat hati ini semakin bangga akan perubahan Tomi yang sangat signifikan.Sebenarnya, Tomi memang pria yang baik meski memiliki watak keras. Keadaan yang membuat dia berbuat tidak menyenangkan seperti kemarin. Tekanan dari berbagai sisi membuat dia tidak tenang. Apalagi Tomi memang yang membuat Bapak Haniya meninggal meski dia tidak sengaja melakukannya.“Aku bertanya serius, Tom. Kenapa tidak terus berjuan
POV Arum“Saya ingin kamu mengurus keperluan saya di rumah ini dan menjadi istri pura-pura di hadapan kakekmu.” Sontak mataku membulat. Aku terkejut dengan apa yang telah dia katakan. Apa maksudnya? Kakek? Aku masih bergeming, tidak mengatakan apa pun. Apa kakek kandungku? Sungguh diri ini masih tidak percaya masih memiliki keluarga. Selama ini, yang kutahu keluarga ayah sudah tiada. Makanya saat menjadi yatim piatu, aku dititipkan di Panti Asuhan. Begitu pun keluarga Ibu, mereka telah meninggal jauh-jauh hari.Namun, apa yang sebenarnya di rencanakan pria ini? Bukankah dia sudah mendapatkan sesuatu yang dia inginkan? Harta warisan yang diberikan kakek untuk Ayah? Lalu, kenapa seolah dia belum puas untuk memperalatku?“Dalam posisi ini, kautidak bisa memilih. Kamu harus menuruti semua perintahku. Atau ... akan kugusur Panti Asuhan yang pernah kamu tempati dari kecil,” ancamnya. Sekali lagi aku terkejut.Kepalaku menggeleng tidak terima dengan ancamannya. Apa yang harus kulakukan? Har
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal