Beberapa bulan ini, kegiatan seorang Arga tidak terlalu banyak. Hari-hari kulakui hanya untuk memulihkan kembali kesehatan kakiku. Mama selalu menemani putranya ini untuk terapi, berharap secepatnya aku akan lekas sembuh. Untuk urusan pekerjaan, sudah kuserahkan tanggung jawab itu kepada teman sesama Dokter yang dapat dipercaya. Sedangkan, untuk restoran, setiap dua hari sekali aku akan datang ke sana untuk mengontrolnya ditemani Mang Mansur.Jangan ditanya rasaku saat ini, setiap malam masih saja merindukan mantan istriku Arum. Meski sudah kucoba untuk merelakannya tetap saja hati ini berat. Memang benar, seorang suami yang telah menyia-nyiakan istrinya akan menyesal saat sudah menjadi mantan dan bersama dengan pria lain. Arum sudah cukup memberikanku kesempatan kedua sehingga mustahil untukku mendapatkan yang ketiga kalinya. Hari-hari kulakui dengan kesepian, akan tetapi diri ini masih bersyukur, setidaknya masih bisa diberikan waktu untuk pria bodoh ini agar bisa memperbaiki diri.
“Iya, Pak. Saya mau melamar kerja di sini. Kata teman restoran ini membuka lowongan pekerjaan untuk menjadi kasir, jadi saya datang ke sini untuk mencari peruntungan,” ujarnya sambil menundukkan kepalanya.Apa gadis ini pemalu? Kenapa dari tadi hanya menundukkan kepalanya? Tiba-tiba terbersit wajah Arum saat melihat sekilas gadis ini. Jika dilihat-lihat, penampilannya seperti mantan istriku dulu saat pertama kali kami bertemu. Aku meraba dadaku, merasakan sesuatu di dalam sana. Perasaan apa ini?Aku menggeleng mencoba menghilangkan pikiran bodoh ini. Mengalihkan pikiranku kepada hal lain.“Jangan panggil saya, Pak. Itu terkesan tua sekali. Padahal saya belum sesepuh itu,” ujarku sambil menyodorkan tangan meminta berkas yang ada di tangan gadis di hadapanku. Dengan tergesa dia memberikannya dengan senyum yang kaku. Mungkinkah dia gugup? Gadis yang aneh dan terlihat lucu di mataku.“Dengan nilai IPK kamu yang tinggi ini, kenapa hanya melamar jadi seorang kasir?” tanyaku heran saat melih
Keesokan harinya entah kenapa aku semangat untuk datang ke Restoran. Tidak seperti biasanya ke sana setelah dua hari sekali. Mungkin karena ingin melihat hasil kerja gadis itu untuk pertama kali. Sudah biasa bukan seorang atasan menilai pegawainya ketika bekerja ketika awal kerja?Dengan diam-diam kulihat kerja gadis itu cekatan dan rajin. Apalagi, pakaiannya yang sopan membuat nilai plus di mataku. Aku menggeleng mencoba menepis pemikiranku ini. Apa yang kamu pikirkan, Ga? Buang jauh-jauh apa yang ada di dalam otakmu itu!Aku bermonolog sendiri dengan hati dan pikiranku. Mencoba tidak Memikirkan wanita mana pun. Bahkan, Arum masih saja bersemayam kuat di hati ini. Tidak mungkin ada yang bisa menggantikannya. Apa lagi, aku cukup tahu diri dengan kondisi kakiku yang cacat ini.Jangankan untuk hidup dengan orang lain, bahkan dengan Arum pun jika itu bisa aku akan memilih mundur. Tidak ada wanita yang pantas untukku yang pendosa serta cacat seperti ini.Karena ini akhir bulan, hari ini
“Harusnya kamu mencari pacar atau suami, biar bisa mengantar dan menjemputmu kerja. Kalau begini, kan, malah repot sendiri kalau pulang malam-malam,” ucapku tanpa bermaksud apa pun. Namun, gadis itu mematung. Wajahnya memerah seolah menahan tangis sambil memainkan tangan yang ada di pangkuannya. Ada apa dengannya? Apa aku salah bicara?“Kamu kenapa?” tanyaku merasa khawatir sekaligus rasa tidak enak hati karena takut salah ucap.“Tidak apa-apa, Mas,” jawabnya. Dia menoleh dengan senyum kaku tampil di wajahnya hingga semakin membuatku merasa bersalah.“Maaf kalau saya salah bicara. Saya tidak bermaksud apa pun,” sesalku. Membuat dia menggeleng dengan cepat.“Tidak! Mas Arga sama sekali tidak salah apa-apa. Saya baik-baik saja, kok. Beneran.” Gadis itu kembali menoleh ke arahku sambil tersenyum, meyakinkanku.Karena tidak ingin kembali salah bicara, sepanjang jalan tidak ada percakapan apa pun di antara kami. Hanya menyimak Mang Mansur yang terus saja mengajak Haniya mengobrol. Kebetul
Siang ini kudengar seseorang membuat keributan di luar restoran. Siapa orang-orang yang berisik itu? Apa itu preman? Ilham, seorang waiters sengaja kupanggil agar bisa bertanya apa yang sedang terjadi. Dia datang dengan berlari tergopoh-gopoh“Ada apa, Bos? Memanggilku?” tanyanya dengan suara yang ngos-ngosan seolah habis lari maraton saja.“Iya, Ham. Ada apa di depan? Kenapa terdengar ribut-ribut?” “Benar, Bos. Itu ada laki-laki datang ke sini, dia maksa Haniya untuk ikut sama dia. Padahal, kan masih jam kerja. Makanya, kami panggil satpam untuk mengusirnya,” ujar Ilham membuat mataku menyipit. Siapa sebenarnya pria yang memaksa Haniya?“Lho memangnya apa yang terjadi?” tanyaku kembali.Ilham bercerita kalau pria itu mengaku calon suami Haniya. Dia datang-datang mengajak Haniya pergi, tetapi mendapatkan penolakan dari gadis itu yang berakibat kemarahan. Saat berusaha memaksa membawa pergi dengan kasar, para pegawai lain memanggil keamanan dan mencoba mengusir pria tersebut. Akan te
“Kalau boleh tahu, apa alasan mantanmu itu membatalkan pertunangan kalian?” Aku kembali bertanya. Memang terdengar lancang, tetapi ini terpaksa agak bisa mendapatkan solusi yang terbaik.Haniya mendongak memandang wajahku sekilas sebelum akhirnya menunduk kembali. Wajahnya semakin sendu seperti beban berat mengimpit pundaknya. Sebenarnya apa masalah sesungguhnya?Air matanya terus saja mengalir dengan deras di pipi gadis itu. Apa aku kurang tepat menanyakan hal ini?“Sebenarnya ... a-aku ....,” Aku menghela napas merasa kasihan melihat gadis ini. Mungkin bukan hal yang pantas untuk menanyakan hal ini kepadanya.“Tidak perlu dijawab kalau itu berat. Maafkan saya telah lancang bertanya,” ucapku sambil tersenyum mencoba mencairkan suasana yang sudah terasa sendu.“Tidak, Mas. Mungkin saya memang harus menceritakan semuanya kepada Mas Arga. Apalagi, Tomi sudah mengancam Mas Arga dan berani mengacau di sini. Lagi pula, saya percaya Mas Arga buka tipe orang yang akan menyebarkan aib orang
Pria itu tersenyum ingin merangkul gadis itu, namun secepat kilat tangan itu ditepisnya. Haniya terlihat tidak suka berjalan dengan pria tersebut. Lalu, untuk apa dia menemui lelaki itu di sini?Aku turun dari mobil dan meminta Mang Mansur untuk menunggu di dalam mobil. Meski sopirku itu keberatan, namun aku tetap menyuruhnya untuk diam di mobil. Kucoba membuntuti mereka, meski dengan langkah tertatih karena kondisi kakiku yang masih belum bisa berjalan normal.Saat hampir mendekat, terdengar bentakan Haniya.“Jangan kurang ajar kamu! Kalau bukan karena ancamanmu, aku tidak akan datang ke sini untuk menemuimu! Aku jijik!” bentaknya dengan bahu naik turun, sepertinya dia sangat terlihat emosi.“Jangan begitu dong, Sayang. Aku menyesal sudah membatalkan pertunangan. Aku mohon, kita kembali lagi seperti dulu. Aku akan menikahimu seperti rencana awal kita,” ujar pria tersebut sambil berusaha untuk memegang tangan Haniya yang langsung ditepis gadis itu sebagai reaksinya.“Tidak akan pernah
“Saya tidak berbohong, Niya. Saya serius ingin menikahimu. Mungkin ini satu-satunya cara agar pria bernama Tomi itu berhenti untuk mengejar serta mengancammu.”Gadis di depanku ini kini terperangah dengan mata membulat. Mungkin terkejut dengan ucapanku barusan. Dia mendongak memandang ke arahku, membuat tatapan kami beradu. Kuselami isi hati Haniya dari bola matanya. Netra yang meneduhkan, persis seperti Arum. Aku menggeleng, mencoba menghilangkan bayang mantan istriku itu. Dia mungkin sudah bahagia sekarang bersama suaminya. Jadi, lebih baik aku harus mencoba melupakan dia dari pikiranku.Mungkin, dengan cara menikah lagi dapat membantuku menghilangkan bayang-bayangnya. Meski kutahu, dengan cara begini, artinya aku telah membohongi serta memanfaatkan Haniya untuk tujuanku sendiri. Akan tetapi, ini juga akan menguntungkan untuknya. Mungkin dengan menikah, pria yang bernama Tomi itu akan berhenti mengganggu gadis itu. Lagi pula aku tidak akan membebaninya dengan segala kewajiban seb
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal