Terkejut setengah mati Kemangi ketika pagi hari saat makan bersama, Weni hadir dalam keadaan sehat tanpa kekurangan satu apa pun. Dua selir itu saling bertatapan. Namun, Kemangi berpaling. Lama-lama ia takut melihat Weni yang matanya memerah. “Aku tak suka buah, kau makan saja duluan.” Gadis tengil itu menyodorkan kates pada Lintang. Tidak demikian dengan Kemangi. Ia kehilangan nafsu makan ketika menatap Weni yang hanya mencomot ikan saja. Lalu ia pun menyudahi makan dan pergi ke kebun bunga sendirian. Niat selir licik itu ingin bertemu kekasihnya dan menanyakan mengapa gadis usil itu tak mati juga? “Mau ke mana?” Tiba-tiba saja Weni muncul di hadapan Kemangi. Selir jahat itu bergeser ke kiri, Weni ikut, begitu saja terus sampai tangan Kemangi ingin naik menampar pipi Weni. “Aku adukan kau pada demang kalau kau hidup lagi setelah mati!” “Adukan saja, aku katakan perselingkuhan dengan kekasihmu itu, sekalian dengan upaya pembunuhan yang kau lakukan!” ancam Weni kembali. Kemangi
“Dan dari sanalah semuanya terjadi.” Damar menyentuh rambut Candramaya yang tergerai angin malam. Sudah beberapa malam mereka mengenang masa lalu yang lebih banyak pahit daripada manisnya. “Dan kau lupa padaku. Aku memang perempuan yang hadir sebentar saja dalam hatimu. Terlalu berharap, tidak ingin melihatmu mati, hanya ingin kau bahagia, aku bahkan lupa dengan kebahagiaanku sendiri. Bodoh sekali aku jadi orang dulu. Untungnya sekarang aku siluman, jika hal itu tak menguntungkan bagiku, akan aku tinggalkan.” Candramaya memang sudah banyak berubah daripada saat ia bernama Weni. “Lalu mengapa kau masih bertahan tinggal ratusan tahun di Bukit Buas, tak mengaku sama sekali, tak buka mulut?” “Karena kau menutup semua pintu hatimu. Sudah pernah kau hitung berapa banyak perempuan di sisimu setelah kau jadi raja, kau tahu aku tidak dalam masa bersaing dengan siapa pun. Tapi aku tak mau pergi, jadi aku memilih melukai diri sendiri dengan tetap berada di sisimu, hei babu,” ucap Candramaya s
Akhirnya ranjang di kamar hotel itu berderit juga karena desakan hasrat dari seorang manusia harimau putih. Tentu ia tak mau melepas kesempatan seterang berlian di depan matanya. Candramaya yang kini menggunakan wajah aslinya membangkitkan semua kenangan masa lalu yang indah walau tak semuanya. Ular tujuh warna itu tak sanggup lagi berkelit. Ia tak mampu melawan kehendak penguasa yang sudah bosan hidup dengan manusia biasa. Deru AC di dalam kamar membuat kulit Candra semakin dingin dan semakin liarlah permainan dua siluman itu. Kuku yang tumbuh di tangan masing-masing membuat sprei, kasur dan bantal robek. Setiap goresan luka dari jemari Candra tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan rasa yang didapatkan Damar. Keduanya saling berburu dari setiap jengkal kulit lawan main dalam pelukan. Baik Candra maupun Damar sama beringasnya urusan ranjang. Tidak ada yang peduli berapa lama kamar itu berpenghuni. Damar hanya sedang mengulang adegan yang dulu katanya ia lakukan dalam keadaan
Dua siluman yang sedang menyamar jadi manusia itu memasuki sebuah restaurant bernuansa mewah. Meski tak tahu, maksdunya baru pertama kali ini mereka benar-benar berbaur dengan kehidupan manusia yang modern. Namun, keduanya tak canggung. Mereka ikut saja arahan pelayan yang mengantar duduk di meja. Candra melihat sekeliling, kebanyakan yang datang lelakinya membawakan bunga mawar merah dan cincin emas putih bertakhtakan berlian. “Apa bagusnya bunga itu, cepat busuk dan tak wangi.” “Sudahlah, biarkan saja, hidung mereka berbeda dengan kita.” Pelayan datang dan memberikan daftar menu pada Damar dan Candra. Keduanya saling melirik dan tak bisa membaca tulisan latin. “Bawakan saja hidangan dari daging,” ucap Damar sambil mengembalikan daftar menu. “Lucu sekali, kenapa harus ke sini? Kita hidup di bukit tak susah untuk cari makan.” “Sekali-sekali nikmati hidup, Wen, kau terlalu kaku dan tinggal dalam telaga saja terus.” “Ya, karena siapa?” “Ya, sudahlah, jangan dibahas lagi.” Per
Damar pulang menuju rumahnya dengan perasaan bersalah. Di dalam kediaman kosong tanpa penghuni itu, dirinya dan Weni telah menjadi pengkhianat dan berbuat dosa besar. Lelaki itu tak bisa menolak ketika salah satu selir demang dengan penuh kesadaran menyodorkan tubuh padanya. Sebagai lelaki yang telah lama tak menyentuh wanita tentu ia tergoda. Entah hukuman apa yang akan diturunkan para dewa untuknya. Sayangnya dia amat sangat pecundang. Setelah merampas keperawanan Weni, Damar puas lalu ia pun tak mampu melihat wajah gadis itu lagi. Ia pulang mencari istrinya. Wanita baik hati yang telah memberinya dua anak. “Apa yang telah aku lakukan?” gumamnya sambil mengikat rambut. Bagaimana nanti kalau Kinanti tahu dan sedih. Bagaimana pula kalau Demang Ranu tahu dan membunuhnya? “Harusnya aku berpikir lebih jernih tadi. Rayuannya benar-benar dahsyat.” Menyesal pun Damar seribu kali tak akan bisa membawanya kembali ke masa lalu sepersekian saat yang telah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur
Weni memang kecewa dengan keputusan Damar. Tapi, dia akan melakukan segala cara lagi agar lelaki itu tak menolaknya. Baginya malam tempo hari bukanlah sebuah kebodohan. “Kenapa? Padahal aku sudah secantik ini jadi orang.” Weni mengelus pipinya yang halus. Saat malam kejadian, Damar senang sekali membelai dan mengecupnya. “Kau yakin bisa menghindar dariku? Aku tidak yakin, Paman. Aku saja mengagumi wajah cantikku. Apalagi lelaki kurang kasih sayag sepertimu.” Kemudian Weni tersenyum. Mungkin sekarang Damar masih merasa berdosa karena mengkhianati istrinya. Tapi kalau sudah berkali-kali tentu dosa itu akan terasa biasa-biasa saja. Weni pun menjalani hari-harinya seperti biasa. Bersikap jual mahal dengan babu itu, tapi tetap mempercantik dirinya. Seperti siang hari sekarang, Weni dipanggil oleh demangnya untuk memasuki puri bagian dalam. Tak banyak selir yang diperbolehkan ke sana, termasuk Kemangi atau Lintang. Demang Ranu telah jatuh hati sepenuhnya pada Weni. “Lihat, sudah lama
Murti diberikan oleh Damar satu kantong penuh perak. Ia tak tahu asalnya dari mana yang jelas kandanya ingin berbagi saja.“Kenapa tidak digunakan untuk pengobatan Dayu Kinanti saja, Kanda?” “Dia tak mau lagi berobat, dia sudah menyerah, Kanda pasrah saja,” jawab Damar waktu itu.Murti bimbang harus menggunakan perak itu untuk apa. Untuk kebutuhan makan sendiri ia rajin menanam, untuk pakaian dia bukan seperti gadis lain yang suka bersolek. Hanya saja hatinya terasa hampa. Terutama sejak Pawana memberitahu bahwa ia tak lama lagi akan dinikahkan mengikuti titah pangeran. “Dulu aku pernah bilang, aku tak peduli jadi selir atau apa pun asal bisa bersamamu, ternyata rasanya sesakit ini.” Murti mengemas peraknya. Ia letakkan bersisian di sebelah perak pemberian Pawana yang masih datang untuk makan di rumahnya. Sudah diusir lelaki itu tapi tak juga tahu diri. Hati mereka telah terpaut satu sama lain. “Mintalah pelayan di rumahmu untuk memasakkannya, aku tunjukkan caranya,” kata Murti t
Murti tak paham apa maksud dari hutang darah yang dikatakan Pawana. Namun, tak butuh waktu lama baginya untuk mengerti. Ketika lelaki itu datang dan memeluk serta mengecup pipinya berkali-kali. “Haruskah hutang darah itu dibayar sekarang?” tanya Murti yang tak bisa menampik kalau ia juga suka. “Hutang darah bayar darah, kau paham maksuduku, kan? Hari ini kita lepas semuanya, besok aku sudah menikah dan aku akan datang kemari sering-serig sesuai janjiku.” Tanpa pikir panjang lagi, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu naik ke rumah Murti. Dimulai dari melepas satu demi satu selendang, perhiasan tanda Pawana adalah lelaki berkasta tinggi. Murti menyerah di dalam rayuan indah Pawana. Prajurit itu juga sama saja, menyerah atas keindahan dan lekukan tubuh Murti. Tidak ada yang menggangu karena jarak antara satu rumah dan yang lain sangat jauh, apalagi Murti memutuskan menyendiri karena julukan perawan tua. Kini ia bukan perawan tua lagi dan Pawana bukan jejaka sebelum pernikahan