“Di sekolah, anak Tante jadi teman yang baik buat kamu, kan?”
Ailis hampir saja tersedak irisan kacang panjang saat Tante Puri, mamanya Ares, tiba-tiba bertanya di acara makan-makan di rumahnya sore itu. Sontak bunda dan Risna memusatkan pandangan padanya. Tidak terkecuali cowok bermata sipit dengan tulang hidungnya yang pendek itu, yang langsung menancapkan tatapan awas.
“Hmm ...,” responsnya yang berusaha tenang, lalu kembali berkata, “Dia teman yang baik, kok, Tante.”
Ya, benar-benar baik.
Saking baiknya, Ares sering menghabiskan bekal miliknya yang katanya sayang kalau dimakan, tapi disisakan. Baik dalam membuat Ailis ketakutan, menangis, marah. Ahli memalak, berkelahi, menjahili, berbohong dan baik dalam tidur di kelas saat jam pelajaran.
“Sungguh?” Ailis mengangguk ragu. “Ah, Ares memang anak kebanggaan Tante.”
Melihat Tante Puri yang bahagia, seketika Ailis menyesal. Dia tidak bermaksud untuk berbohong, tapi apa yang selama ini mereka lihat jauh berbeda dengan yang Ailis tahu di sekolah. Di depan Bunda Tiara, Risna, dan mamanya dia bersikap sangat manis, baik, rajin, dan penurut. Jika pun Ailis mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti tidak akan percaya. Sementara saat ini cowok itu tengah menebarkan senyum bahagia dengan jawaban yang diberikan Ailis.
Memang dasar bermuka dua.
***
Malam ini, Ailis merasa ada yang berbeda. Bukan suasana dingin yang tercipta setelah turunnya hujan, tapi karena jendela kamar tetangga yang tidak terbuka sejak jam tujuh malam.
Di seberang sana adalah jendela kamar Ares, biasanya setiap jam itu ia sudah mengetuk kaca jendela kamarnya dengan melemparkan kelereng kecil dan berdiri di balkon. Namun, malam ini lampu kamarnya tidak menyala. Samar-samar ia mendengar suara seperti benda dibanting, tangisan, dan teriakan. Semua itu membuatnya penasaran.
“Kenapa juga aku harus nungguin dia?” ucapnya bimbang seraya berdiri dari kursi meja belajar dan berniat untuk menutup jendela. Namun, sebelum Ailis melakukannya, tiba-tiba lampu kamar Ares menyala dan cowok itu muncul dari pintu yang terbuka menuju balkon.
Entah kenapa Ailis merasa lega.
“Kamu kenapa?” pertanyaan itu keluar begitu saja.
Sudut bibir Ares menukik naik. Ada kilatan dari manik matanya. Bukan rasa bahagia, melainkan ia seperti menyembunyikan bening di sudut matanya.
“Jadi sekarang lo udah khawatir sama gue?”
Napasnya dibuang kasar. Ailis salah besar sudah bertanya itu padanya. Merasa sudah tahu jika anak laki-laki itu baik-baik saja, Ailis pun memutuskan untuk menutup jendelanya dan pergi tidur. Akan tetapi, Ares kembali berkata, “Apa kamu percaya tentang harapan yang ditulis di pesawat kertas kalau diterbangkan bakal jadi kenyataan?”
Ailis refleks tertawa. “Kamu percaya sama mitos?”
“Gue suka melakukannya,” sambungnya tidak memedulikan ejekan Ailis. Berbeda sekali, karena biasanya ia tidak mau kalah. “Terakhir kali gue nerbangin di hari lo datang dan harapan itu terkabul.”
“Hah? Apa hubungannya sama aku?”
Dia hanya tersenyum singkat, lalu masuk kembali dan keluar dengan kotak berisi banyak pesawat kertas.
“Di sini ada sepuluh pesawat kertas yang udah gue tulis dengan banyak harapan. Aku harap Tuhan bakalan ngabulin harapanku walaupun cuma satu doang.”
Ailis hanya mampu terpaku. Memerhatikan Ares yang kini mulai mengeluarkan pesawat kertas itu dan menerbangkannya satu demi satu.
“Percuma kamu ngelakuin itu. Pesawat kertasnya cuma terbang sebentar dan akhirnya jatuh ke tanah.”
“Seenggaknya gue udah coba, walaupun cuma harapan yang akhirnya kosong.”
Dasar konyol.
Setelah itu senyumnya hampa. Tidak ada lagi kata apalagi tawa. Dia memandangi sepuluh pesawat kertasnya yang mulai berserakan di sebagian halaman rumah Ailis dan juga dirinya.
Anehnya kehampaan itu langsung menular saat paginya bunda mengatakan jika Tante Puri memutuskan untuk berpisah dan membawa Ares pergi bersamanya.
Ailis hanya mampu memandangi punggung bocah nakal itu yang kian menjauh memasuki bagian depan kursi penumpang mobil besar pengangkut barang-barang. Rasanya seperti akan ditinggalkan oleh seseorang yang sangat berharga. Begitu sakit, sampai napanya terasa sesak. Angin yang berembus lumayan kencang pun seolah tidak cukup membuat rongga dadanya kembali terbuka.
Kemudian matanya terpejam, menahan rasa perih akibat rangsangan air mata yang meronta minta dikeluarkan. Menepuk-nepuk dada berharap sakitnya menghilang. Seperti jejak sepatunya yang terkikis oleh tangisan langit yang tiba-tiba datang.
***
Ares dan Ailis bertetangga. Setiap hari mereka selalu bertemu di sekolah mau pun di rumah.
Ares mengatakan pada semua orang jika mereka berteman. Namun, Ailis sebaliknya. Dia tidak pernah menganggap Ares temannya.
Ailis selalu merasa terganggu setiap kali Ares didekatnya, tapi Ares justru senang setiap kali bisa berdekatan dengan Ailis dan mengganggunya.
Ailis berharap agar Ares pergi dari hidupnya. Namun, saat harapannya terkabul ia justru merasa kehilangan. Ya, Ailis berharap bisa bertemu lagi dengan Ares dan memperbaiki semuanya.
Ia menyesal. Jika saja waktu mengizinkan mereka bersama lebih lama, mungkin Ailis bisa tahu seperti apa Ares yang sebenarnya.
Andai saja. []
September, 2019Kira-kira Ailis sudah menguap lebih dari sepuluh kali. Begitu bosan menunggu gerimis yang menjadi hujan sangat lebatnya akan berhenti. Kalau bukan karena pertemuan mendadak ekstrakurikuler Broadcasting, mungkin ia sudah berleha-leha di dalam kamar dan rebahan di atas kasur empuknya. Terlebih Ailis baru saja masuk sekolah setelah tiga hari izin tidak masuk karena sakit musiman. Rasanya tempat tidur adalah benda yang paling diinginkannya saat ini. Namun, ia malah terjebak di ruang ekskul, sendirian.Masalahnya, Ailis tidak mendengarkan pepatah tentang sedia payung sebelum hujan. Karena biasanya ia selalu nebeng bareng Ratna, sahabatnya, yang selalu siap sedia payung di dalam tas, dan jas hujan dalam bagasi motornya. Karena jarak dari gerbang sekolah menuju halte lumayan jauh, terpaksa Ailis harus menunggu sampai hujannya mereda.“Lima belas menit lagi,” gumamnya seraya melirik singkat arloji yan
“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.Bunda Tiara terkekeh, l
Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.Anak baru.Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkuny
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.
"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?" Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang. Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca