Share

2. Harapan Dalam Pesawat Kertas

“Di sekolah, anak Tante jadi teman yang baik buat kamu, kan?”

Ailis hampir saja tersedak irisan kacang panjang saat Tante Puri, mamanya Ares, tiba-tiba bertanya di acara makan-makan di rumahnya sore itu. Sontak bunda dan Risna memusatkan pandangan padanya. Tidak terkecuali cowok bermata sipit dengan tulang hidungnya yang pendek itu, yang langsung menancapkan tatapan awas.

“Hmm ...,” responsnya yang berusaha tenang, lalu kembali berkata, “Dia teman yang baik, kok, Tante.”

Ya, benar-benar baik.

Saking baiknya, Ares sering menghabiskan bekal miliknya yang katanya sayang kalau dimakan, tapi disisakan. Baik dalam membuat Ailis ketakutan, menangis, marah. Ahli memalak, berkelahi, menjahili, berbohong dan baik dalam tidur di kelas saat jam pelajaran.

“Sungguh?” Ailis mengangguk ragu. “Ah, Ares memang anak kebanggaan Tante.”

Melihat Tante Puri yang bahagia, seketika Ailis menyesal. Dia tidak bermaksud untuk berbohong, tapi apa yang selama ini mereka lihat jauh berbeda dengan yang Ailis tahu di sekolah. Di depan Bunda Tiara, Risna, dan mamanya dia bersikap sangat manis, baik, rajin, dan penurut. Jika pun Ailis mengatakan yang sebenarnya, mereka pasti tidak akan percaya. Sementara saat ini cowok itu tengah menebarkan senyum bahagia dengan jawaban yang diberikan Ailis.

Memang dasar bermuka dua.

***

Malam ini, Ailis merasa ada yang berbeda. Bukan suasana dingin yang tercipta setelah turunnya hujan, tapi karena jendela kamar tetangga yang tidak terbuka sejak jam tujuh malam.

Di seberang sana adalah jendela kamar Ares, biasanya setiap jam itu ia sudah mengetuk kaca jendela kamarnya dengan melemparkan kelereng kecil dan berdiri di balkon. Namun, malam ini lampu kamarnya tidak menyala. Samar-samar ia mendengar suara seperti benda dibanting, tangisan, dan teriakan. Semua itu membuatnya penasaran.

“Kenapa juga aku harus nungguin dia?” ucapnya bimbang seraya berdiri dari kursi meja belajar dan berniat untuk menutup jendela. Namun, sebelum Ailis melakukannya, tiba-tiba lampu kamar Ares menyala dan cowok itu muncul dari pintu yang terbuka menuju balkon.

Entah kenapa Ailis merasa lega.

“Kamu kenapa?” pertanyaan itu keluar begitu saja.

Sudut bibir Ares menukik naik. Ada kilatan dari manik matanya. Bukan rasa bahagia, melainkan ia seperti menyembunyikan bening di sudut matanya.

“Jadi sekarang lo udah khawatir sama gue?”

Napasnya dibuang kasar. Ailis salah besar sudah bertanya itu padanya. Merasa sudah tahu jika anak laki-laki itu baik-baik saja, Ailis pun memutuskan untuk menutup jendelanya dan pergi tidur. Akan tetapi, Ares kembali berkata, “Apa kamu percaya tentang harapan yang ditulis di pesawat kertas kalau diterbangkan bakal jadi kenyataan?”

Ailis refleks tertawa. “Kamu percaya sama mitos?”

“Gue suka melakukannya,” sambungnya tidak memedulikan ejekan Ailis. Berbeda sekali, karena biasanya ia tidak mau kalah. “Terakhir kali gue nerbangin di hari lo datang dan harapan itu terkabul.”

“Hah? Apa hubungannya sama aku?”

Dia hanya tersenyum singkat, lalu masuk kembali dan keluar dengan kotak berisi banyak pesawat kertas. 

“Di sini ada sepuluh pesawat kertas yang udah gue tulis dengan banyak harapan. Aku harap Tuhan bakalan ngabulin harapanku walaupun cuma satu doang.”

Ailis hanya mampu terpaku. Memerhatikan Ares yang kini mulai mengeluarkan pesawat kertas itu dan menerbangkannya satu demi satu.

“Percuma kamu ngelakuin itu. Pesawat kertasnya cuma terbang sebentar dan akhirnya jatuh ke tanah.”

“Seenggaknya gue udah coba, walaupun cuma harapan yang akhirnya kosong.”

Dasar konyol.

Setelah itu senyumnya hampa. Tidak ada lagi kata apalagi tawa. Dia memandangi sepuluh pesawat kertasnya yang mulai berserakan di sebagian halaman rumah Ailis dan juga dirinya.

Anehnya kehampaan itu langsung menular saat paginya bunda mengatakan jika Tante Puri memutuskan untuk berpisah dan membawa Ares pergi bersamanya.

Ailis hanya mampu memandangi punggung bocah nakal itu yang kian menjauh memasuki bagian depan kursi penumpang mobil besar pengangkut barang-barang. Rasanya seperti akan ditinggalkan oleh seseorang yang sangat berharga. Begitu sakit, sampai napanya terasa sesak. Angin yang berembus lumayan kencang pun seolah tidak cukup membuat rongga dadanya kembali terbuka.

Kemudian matanya terpejam, menahan rasa perih akibat rangsangan air mata yang meronta minta dikeluarkan. Menepuk-nepuk dada berharap sakitnya menghilang. Seperti jejak sepatunya yang terkikis oleh tangisan langit yang tiba-tiba datang. 

***

Ares dan Ailis bertetangga. Setiap hari mereka selalu bertemu di sekolah mau pun di rumah.

Ares mengatakan pada semua orang jika mereka berteman. Namun, Ailis sebaliknya. Dia tidak pernah menganggap Ares temannya.

Ailis selalu merasa terganggu setiap kali Ares didekatnya, tapi Ares justru senang setiap kali bisa berdekatan dengan Ailis dan mengganggunya.

Ailis berharap agar Ares pergi dari hidupnya. Namun, saat harapannya terkabul ia justru merasa kehilangan. Ya, Ailis berharap bisa bertemu lagi dengan Ares dan memperbaiki semuanya.

Ia menyesal. Jika saja waktu mengizinkan mereka bersama lebih lama, mungkin Ailis bisa tahu seperti apa Ares yang sebenarnya.

Andai saja. []

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status