Share

8. Ares dan Kesehariannya

“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir.

Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu.

Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara.

“Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan.

Ares sempat memandangi uang yang ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya itu. Memang tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk biaya makan dan ... sekolahnya. Tepatnya mengganti biaya sekolah yang sudah ia lewati selama ini.

“Terima kasih,” kata Ares setelah uang itu ada ditangannya.

“Tentu saja.” Hendra menepuk-nepuk pundak Ares, dan kembali berkata, “Apa besok kamu bisa datang lebih awal?”

Anak remaja itu sempat terdiam. Mendadak ia memikirkan tentang sekolahnya. Sekali lagi membuat kesalahan, bukankah ia akan langsung dikeluarkan? Namun, untuk apa juga. Dia, kan, tidak pernah ingin melanjutkan sekolahnya di sana.

“Jam berapa?” putusnya balik bertanya yang membuat pria itu tersenyum senang.

“Jam sepuluh pagi. Besok banyak sekali pesanan yang harus diantarkan, sementara satu pengantar masih cuti.”

Remaja itu mengangguk lagi, tanda jika ia setuju dengan permintaan bosnya tersebut.

“Bagus, kamu memang bisa diandalkan,” tukasnya lagi seraya menepuk-nepuk pundak Ares. “Sudah, sekarang kamu boleh pulang. ini sudah malam. Apa mau aku antar ke rumahmu?”

“Ah, tidak usah,” sergah Ares menggeleng cepat. “Aku masih ada pekerjaan lain malam ini.”

“Wow. Kamu benar-benar bekerja keras.”

Ares hanya menyunggingkan senyum tipis, sebelum ia berlalu dari hadapan pria itu.

**"

Sekarang ia sudah selesai berganti baju dengan kaus hitam dan celana abunya. Berjalan perlahan menyusuri lorong kecil sebuah pertokoan yang tentu saja sudah tutup. Sebenarnya yang ia katakan ada pekerjaan lain, itu hanya alasan. Ares hanya tidak ingin pulang ke rumah secepat itu dan melihat orang yang dibencinya di sana. Jika boleh memilih, ia ingin pergi dari rumah tersebut—kalau saja hatinya tidak lantas lemah saat melihat wanita itu menangis dan memohon agar tidak meninggalkannya.

“Argh!” geramnya merasa frustrasi seraya mengacak rambutnya, lantas menyandarkan punggung pada rolling door. Menekukkan salah satu lutut, lalu memejamkan mata. Merasakan semilir angin yang menusuk tulang dan hentakan musik yang membisingkan pendengaran.

Tentu ini bukan pertama kalinya Ares datang ke tempat tersebut. Tempat, di mana kelompok anak jalanan menghabiskan waktu malamnya untuk meneguk minuman beralkohol, merokok, menari bersama, bahkan berjudi. Namun, ada juga yang hanya iseng mencoret-coret rolling door pertokoan, sebagai hasrat menunjukkan rasa seni yang mereka miliki.

Mendadak, saat ia hampir terlelap, sebuah kaleng cat semprot menggelinding dan berhenti tepat dekat sepatunya. Ares membuka mata dan melihat si pemilik cat semprot—yang sudah puas dengan hasil karyanya dan berjalan menjauh.

Lantas pemuda itu mengambil kaleng tersebut dan mengguncangnya perlahan. Ia tahu jika di dalamnya masih ada sisa dan mencoba menggunakan itu untuk mewarnai rolling door yang ada di belakangnya.

Namun, baru saja menuliskan huruf A, tiba-tiba dari ujung lorong anak-anak jalanan itu berlarian dan membuatnya bingung.

“Woi! Buruan kabur, woi! Ada polisi!”

Kira-kira seperti itu kata-kata yang Ares dengar di antara gemuruhnya orang-orang berlarian dan suara teriakan yang memekakkan telinga.

Refleks ia pun berlari menjauhi area berbahaya dan sebisa mungkin agar tidak tertangkap polisi. Pun, semua mulai berhamburan mencari jalannya masing-masing hingga tinggal Ares seorang diri mencari jalan menuju celah toko yang semakin gelap.

Napasnya sudah tidak teratur, kakinya sangat lelah saat ia memutuskan untuk bersembunyi dibalik dinding salah satu toko dekat tong sampah. Ia berjongkok dan mencoba mengatur napasnya dengan perlahan—sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara. Anak itu hanya bisa tenang setelah mengetahui kalau polisi telah melewati lorong tempatnya bersembunyi.

Hendak pergi dan berniat untuk pulang, tiba-tiba saja ia menyadari jika sepatunya menginjak sebuah kertas yang dibentuk pesawat terbang. Memerhatikan itu, Ares jadi mengingat seseorang. Seorang gadis dari masa lalunya yang sekarang sudah memiliki pacar.

“Ailis.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status