Empat tahun lalu
Gadis itu berhenti melangkah. Kedua mata yang awalnya melihat ke bawah, perlahan naik menatap bangunan futuristik berlantai dua yang terlihat sederhana, tapi nyaman dengan tumbuhnya pohon dan beberapa tanaman di sekitar pekarangan. Masih diam memerhatikan, ia memilih tak acuh saat bunda dan kakaknya justru sibuk mengeluarkan barang-barang pribadi mereka dari dalam mobil.
Lagi pula, gadis itu tidak suka dengan keadaan tersebut. Sudah tiga kali terjadi sejak ayahnya meninggal, mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Alasan pertama karena rumah besar dan mewah yang sebelumnya mereka tempati di Bandung harus dijual untuk melunasi hutang-hutang sang Ayah. Kedua, rumah yang mereka sewa sangat kecil sehingga tidak bisa memenuhi kapasitas kebutuhan. Ketiga, ia dan bundanya ikut serta sang Kakak yang memutuskan untuk meneruskan kuliah kedokterannya di Yogyakarta, dengan bantuan finansial dari Pakde. Setelah enam tahun masa pendidikannya selesai, sang Kakak di terima bekerja di salah satu rumah sakit ternama di Bogor, dan mengharuskan mereka kembali berpindah kota.
Akibat dari sering berpindah-pindah tempat membuat ia kesulitan beradaptasi. Butuh waktu lama, dan sekalinya mampu mereka kembali membawanya ke lingkungan yang baru. Menyerah adalah keputusan bermakna kelabu yang selalu saja menjadi usaha terakhirnya. Mau bagaimana lagi? Di dunia ini ia hanya memiliki mereka. Walau sebenarnya gadis itu sudah merasa nyaman tinggal di Yogyakarta.
“Ailis, cepat bawa koper-koper ini ke dalam,” kata wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu menginterupsi kediamannya. Ia yang merasa lelah dan malas menghela napas panjang. Namun, tetap melakukan seperti yang kakaknya perintahkan. “Bawa hati-hati. Kamu tau, kan, barang-barang yang ada di dalamnya sangat berharga.”
Gadis berambut hitam panjang itu hanya mengangguk setelah kedua pegangan koper berada di masing-masing genggaman tangannya. Menarik perlahan menyusuri jalanan setapak berlapis kerikil menuju pintu utama rumah yang dominan berwarna cokelat kayu tersebut. Namun, tiba-tiba saja sebuah benda dari kertas yang dilipat menyerupai pesawat mengenai tubuhnya dan jatuh tepat di depan sepatunya. Refleks ia menoleh ke sana kemari dan mendapati sesosok anak muda—mungkin seusianya—tengah duduk setengah rebahan di salah satu dahan pohon di pekarangan rumah tetangga.
Ia sempat memerhatikan dengan tatapan penasaran. Masalahnya cowok itu memasang wajah tanpa rasa bersalah. Meskipun tanpa sengaja, apa salahnya mengatakan maaf.
“Oh, hi! Lo belum tau nama gue, kan?”
Semakin heran ditodong pertanyaan seperti itu, jelas gadis tersebut memilih diam.
“Kalau gitu kenalin, nama gue Ares. Arestu Resandi. Cowok paling ganteng yang pernah terlahir ke muka bumi,” katanya tanpa keraguan sedikit pun, malah kedua sudut bibirnya menukik naik seakan bangga dengan predikat yang—gadis itu yakin—dia ciptakan sendiri. “Lo salah satu orang beruntung yang bisa kenalan sama gue.” Seketika satu matanya berkedip genit.
“Hah?” Kening remaja berumur tiga belas tahun itu mengernyit heran. Aneh. Lagian siapa yang mengajaknya berkenalan?
Enggan meladeni, Ailis lantas menarik kembali kakinya lebih cepat untuk memasuki rumah.
***
“Sekolah di SMP 45 juga?”
Ailis menoleh, memastikan siapa orang yang kini menyejajarkan langkahnya, yang ternyata adalah cowok tetangga sebelah—yang tempo hari melemparkan pesawat kertas padanya.
Siapa namanya?
Ah. Ares, iya.
Sepertinya gadis itu sudah kehilangan respect sehingga ia hanya melirik sekilas tanpa menjawab.
“Kayaknya lo sariawan terus, ya, dari kemarin,” celetuknya dengan nada cengengesan. Lalu memiringkan pundaknya dan memperlihatkan lengan seragam sebelah kanan. “Lihat dong, badge seragam kita samaan.”
Ailis menarik napas tertahan. Entah kenapa semuanya begitu kebetulan. Ini adalah kebetulan yang tidak diharapkan, karena sekarang bukan hanya di lingkungan rumah, mereka pun akan sering bertemu di lingkungan sekolah. Jujur saja, Ailis tidak terlalu suka dengan cowok itu sejak pandangan pertama. Dia itu tidak sopan, aneh, sok kenal sok dekat.
Lihat saja, tiba-tiba dia beringsut menghalangi langkah Ailis dan memicingkan mata tepat di depan dada gadis tersebut. Sontak saja Ailis menghalangi dengan menyilangkan tangan, tapi seolah reaksi gadis itu berlebihan, lagi-lagi Ares tertawa dengan ekspresi mengejek.
“Nama lo Ailis Aulia Zamita. Iya, kan? Hmm ...,” putusnya seperti sedang berpikir. “Gimana kalau gue panggil lo Ay?”
Kening Ailis mengernyit.
“Ayang. Hehe.”
“Ish ....”
Cukup. Ailis mulai geram. Sampai dia menginjak sepatu Ares dan bergegas dengan langkah cepat. Di belakang sana, bocah aneh itu masih tertawa sambil sesekali mengaduh. Semua itu membuat Ailis sangat malu. Ia bersumpah tidak ingin berinteraksi dengan manusia itu lagi. Si tetangga yang kurang kerjaan.
***
“Eh ... enak, ya, mau main lewat gitu aja?!”
Ailis menghentikan langkah saat dua orang siswa menghadangnya dengan ekspresi angkuh. Lalu kemudian salah satu dari mereka menjulurkan tangan seperti orang hendak meminta.
“Bagi duit dulu, baru lo bisa lewat.”
“Hah?”
“Kayaknya dia anak baru itu, Ren.”
Anak bernama Rendi itu mangut-mangut. “Pantes aja lo nggak ngerti. Oke, gue jelasin. Jadi, siapa pun yang lewat koridor ini, harus bayar sama kita.”
“Buat dia pengecualian!” teriak cowok yang baru saja keluar dari dalam kelas.
Mata Ailis memicing, alisnya bertaut saat tahu jika cowok itu lagi-lagi adalah Ares.
“Lho, kenapa, Res? Kan, lo sendiri yang bilang kalo kita nggak boleh pandang orang,” bantah Fakih heran.
Sekali lagi Ailis dibuat tercengang. Ternyata Ares adalah salah satu dari mereka yang suka mengganggu teman-teman dan ketentraman sekolah.
“Ya, tapi dia ini bagian dari kita.”
“What?”
“Serius?” tanya Rendi dan Fakih bersahutan.
“Nggak! Apaan sih? Itu nggak bener.”
Ares menukikkan senyumnya, lalu perlahan mengambil posisi di samping Ailis, seraya merangkul pundak gadis itu. Karena merasa risih, tentu saja Ailis langsung menepisnya dengan tatapan tajam minta penjelasan.
“Ayo dong, Ay. Kita kan udah temenan.”
“Berhenti manggil aku, Ay!” Tunjuk Ailis saking kesalnya. “Dan sejak kapan kita temenan? Jangan mimpi, ya, kamu.”
“Gue nggak lagi tidur. Seratus persen gue lagi sadarkan diri,” sambung Ares tidak mau kalah, lalu memutuskan, “Sejak lo buka mulut buat bicara sama gue, jadi sejak itu juga lo jadi temen gue.” []
“Di sekolah, anak Tante jadi teman yang baik buat kamu, kan?”Ailis hampir saja tersedak irisan kacang panjang saat Tante Puri, mamanya Ares, tiba-tiba bertanya di acara makan-makan di rumahnya sore itu. Sontak bunda dan Risna memusatkan pandangan padanya. Tidak terkecuali cowok bermata sipit dengan tulang hidungnya yang pendek itu, yang langsung menancapkan tatapan awas.“Hmm ...,” responsnya yang berusaha tenang, lalu kembali berkata, “Dia teman yang baik, kok, Tante.”Ya, benar-benar baik.Saking baiknya, Ares sering menghabiskan bekal miliknya yang katanya sayang kalau dimakan, tapi disisakan. Baik dalam membuat Ailis ketakutan, menangis, marah. Ahli memalak, berkelahi, menjahili, berbohong dan baik dalam tidur di kelas saat jam pelajaran.“Sungguh?” Ailis mengangguk ragu. “Ah, Ares memang anak kebanggaan Tante.”
September, 2019Kira-kira Ailis sudah menguap lebih dari sepuluh kali. Begitu bosan menunggu gerimis yang menjadi hujan sangat lebatnya akan berhenti. Kalau bukan karena pertemuan mendadak ekstrakurikuler Broadcasting, mungkin ia sudah berleha-leha di dalam kamar dan rebahan di atas kasur empuknya. Terlebih Ailis baru saja masuk sekolah setelah tiga hari izin tidak masuk karena sakit musiman. Rasanya tempat tidur adalah benda yang paling diinginkannya saat ini. Namun, ia malah terjebak di ruang ekskul, sendirian.Masalahnya, Ailis tidak mendengarkan pepatah tentang sedia payung sebelum hujan. Karena biasanya ia selalu nebeng bareng Ratna, sahabatnya, yang selalu siap sedia payung di dalam tas, dan jas hujan dalam bagasi motornya. Karena jarak dari gerbang sekolah menuju halte lumayan jauh, terpaksa Ailis harus menunggu sampai hujannya mereda.“Lima belas menit lagi,” gumamnya seraya melirik singkat arloji yan
“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.Bunda Tiara terkekeh, l
Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.Anak baru.Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkuny
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.