September, 2019
Kira-kira Ailis sudah menguap lebih dari sepuluh kali. Begitu bosan menunggu gerimis yang menjadi hujan sangat lebatnya akan berhenti. Kalau bukan karena pertemuan mendadak ekstrakurikuler Broadcasting, mungkin ia sudah berleha-leha di dalam kamar dan rebahan di atas kasur empuknya. Terlebih Ailis baru saja masuk sekolah setelah tiga hari izin tidak masuk karena sakit musiman. Rasanya tempat tidur adalah benda yang paling diinginkannya saat ini. Namun, ia malah terjebak di ruang ekskul, sendirian.
Masalahnya, Ailis tidak mendengarkan pepatah tentang sedia payung sebelum hujan. Karena biasanya ia selalu nebeng bareng Ratna, sahabatnya, yang selalu siap sedia payung di dalam tas, dan jas hujan dalam bagasi motornya. Karena jarak dari gerbang sekolah menuju halte lumayan jauh, terpaksa Ailis harus menunggu sampai hujannya mereda.
“Lima belas menit lagi,” gumamnya seraya melirik singkat arloji yang melingkar di tangan kiri.
Tepat pukul empat sore nanti, gerbang sekolah akan ditutup. Tentu saja Ailis tidak mau terkurung sendirian di sekolah. Mendongakkan wajah menatap ke luar jendela, sepertinya hujan perlahan-lahan telah reda. Mungkin ia harus memilih jalur belakang yang jalan setapak menuju gerbang belakang lebih terlindungi daun dari pohon-pohon besar.
“Ya, lumayan, lah,” tukasnya segera bergegas.
Sempat terlintas dalam benaknya untuk menelepon Alarik, kekasih yang sudah dipacarinya selama satu tahun lebih. Namun, diurungkan setelah memikir ulang karena akhirnya pasti akan percuma. Setelah naik ke kelas dua belas, Alarik jadi lebih sering mengikuti les-les dan pelajaran tambahan baik di sekolah, luar sekolah, atau pun berbasis online. Anak itu seperti tidak ada kata lelah untuk belajar. Dia bercita-cita bisa kuliah di salah satu Universitas ternama di Amerika. Maka dari itu ia melakukan apa pun untuk mewujudkannya. Kalau soal pacar sudah pasti menjadi nomor sekian.
Dulu Alarik penuh perhatian. Seiring berjalannya waktu semua terasa hambar. Mereka berpacaran, tapi sibuk dengan urusan masing-masing. Sangat jarang untuk bertemu atau pun berkirim pesan.
Lama-lama Ailis terbiasa. Ia mencoba masa bodo. Pun, dia tidak berniat untuk mengakhirinya. Biar saja, Alarik yang mengawali maka Ailis menunggu cowok itu yang mengakhiri.
Kini, kakinya sudah berada di koridor penghubung antara gedung sekolah menuju kantin yang ada di luar pembatas sekolah. Sengaja disediakan untuk para murid yang ingin jajan di kantin luar. Sebenarnya semakin lama koridor tanpa atap itu jarang dilewati banyak murid kecuali siswa-siswa yang terkumpul dalam geng-geng pembuat masalah. Kalau bukan karena ketoprak warung Mang Pepen terkenal enak, Ailis, Ratna, dan Sarah pun enggan pergi ke sana. Karena di sana sarang berkumpulnya para kutu pengganggu dan kucing mata keranjang.
Ailis melihat ke sebelah kiri, terhampar kebun yang ditumbuhi pohon tomat, cabai dan bawang daun yang mulai menua dan siap dipanen. Ditimpa gerimis yang membuatnya terasa menyegarkan. Seketika matanya terpukau pada kebun hasil budidaya tanaman, pelajaran prakarya tersebut. Naluri berfotonya langsung muncul. Ia mengeluarkan handphone dan bersiap membidiknya. Meskipun Ailis bukan tim fotografi, tapi dalam ekskul broadcasting tentu saja diajarkan bagaimana cara menghasilkan foto yang bagus.
Melihat hasil fotonya yang lumayan bagus, Ailis tersenyum senang. Rasanya ia ingin berada lebih dekat dan memfotonya lebih banyak. Sampai ia melangkah dan berhenti tepat di bawah pohon mahoni yang tumbuh besar di lingkungan sekolah.
Saat sedang asyik memotret, tiba-tiba saja ada sesuatu yang jatuh dan terasa membakar punggung tangannya yang sedang memegang handphone. Sontak Ailis tersentak dan melihat puntung rokok yang masih menyala tergeletak di dekat sepatunya.
“Pantes panas,” ucapnya menahan kesal.
Lalu mendongak dan melihat seorang siswa meloncat dari pohon. Cowok itu bertingkah tidak peduli atau memang tidak melihat kehadiran Ailis dari balik pohon, karena setelahnya pergi begitu saja.
Emosi, Ailis mengambil puntung rokok tersebut, yang bisa saja menyebabkan kebakaran jika rumputnya tidak basah, dan segera mengejar cowok tinggi menjulang seperti tonggak jemuran itu karena sudah bertindak sembarangan.
Setelah cukup dekat, tangan kanannya lantas meraih tangan siswa itu, dan dengan sekali tarikan membuat si cowok berbalik—walaupun hanya setengah tubuhnya saja. Kendatipun begitu cukup merepotkan Ailis yang tenaganya jauh lebih kecil.
Tanpa menoleh, gadis itu sontak memindahkan puntung rokok dari tangannya ke telapak tangan cowok di hadapannya tersebut, lalu berkata, “Aku yakin sejak SD kamu udah diajarin buang sampah ke tempatnya, kan?”
Wajahnya menengadah dan seketika Ailis terdiam saat matanya bertemu dengan kedua mata cowok itu yang juga sedang menatapnya. Mulut Ailis sontak menganga. Kedua matanya melebar.
“A-res?!”
Ailis benar-benar tidak menyangka adanya sebuah kebetulan, tapi ia berharap ini bukan mimpi.
“Kamu benar-benar Ares, kan? Arestu Resandi?” ulangnya.
Melihat bagaimana cowok di hadapannya itu diam saja, dan malah melepaskan genggaman tangannya, lalu membuang kembali puntung rokok itu dan menginjaknya, Ailis kembali berkata, “Ini aku, Ailis. Ailis Aulia Zamita. Masa kamu lupa?”
Bukannya menjawab rasa penasaran yang hampir membuat Ailis menyerah takut salah. Takut jika ia sedang bermimpi tinggi yang membuatnya terjun ke dasar bumi, cowok tinggi itu berbalik badan lalu pergi. Sontak degup jantungnya yang semenjak tadi tidak terkontrol semakin menjadi. Napasnya tersendat. Seluruh gerak tubuhnya seakan hampa. Ia kecewa. []
“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.Bunda Tiara terkekeh, l
Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.Anak baru.Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkuny
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.
"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?" Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang. Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca
Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda